ASSALAMU ALAIKUM

SELAMAT DATANG DI IQBAL'S BLOG

Selasa, 19 Mei 2009

BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

I. IFTITAH.

A.Pengertian Bimbingan dan Konseling
Istilan “bimbingan”dan “konseling” di gunakan sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris “guidance” dan “counceling” dalam penggunaan istilah bimbingan timbul beberapa kesulitan karena kata bimbingan sudah mempunyai suatu arti yang mengarah kepada pendidikan, pada hal bimbingansebagai terjemahan dari guidance mempunyai arti yang berbeda. Demikian pula istilah konseling mempunyai arti yang khas pula ( W S winkell 1993).

Bimbingan dan konseling adalah suatu proses pemberian bantuan kepada seseorang dan atau sekelompok orang yang bertujuan agar masing-masing individu mampu mengembangkan dirinya secara optimal, sehingga dapat mandiri dan atau mengambil keputusan secara bertanggungjawab. Jadi yang ingin dicapai dengan bimbingan ialah tingkat perkembangan yang optimal bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya.
Dalam Sk Mendikbud,Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku (SK Mendikbud No. 025/O/1995).Dalam bebrapa pengertian tersebut tersimpul hal-hal pokok bahwa :
Bimbingan dan Konseling merupakan pelayanan bantuan.
a. Pelayanan bimbingan dan konseling dilakukan melalui kegiatan secara perorangan dan kelompok
b. Arah kegiatan bimbingan dan konseling ialah membantu peserta didik untuk dapat melaksanakan kehidupan sehari-hari secara mandiri dan berkembang secara optimal.
c. Ada empat bidang bimbingan, yaitu bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir.
d. Pelayanan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui jenis-jenis layanan tertentu, ditunjang sejumlah kegiatan pendukung.
e. Pelayanan bimbingan dan konseling harus didasarkan pada norma-norma yang berlaku.
1.Tujuan Bimbingan dan Konseling
Tujuan utama pelayanan bimbingan di sekolah, dan tujuan tersebut terutama dilaksanakan siswa- siswi sebagai individu yang diberi bantuan. Akan tetapi sebenarnya tujuan bimbingan di sekolah tidak terbatas bagi siswa saja, melainkan juga bagi sekolah secara keseluruhan dan bagi masyarakat.
Dengan demikian hakekat tujuan bimbingan dan konseling yaitu suatu upaya bantuan kepada individu agar dapat menerima dan menemukakan dirinya sendiri secara efektif dan produktif, sehingga dapat mengerahkan kemampuan dirinya dengan tepat, mengambil keputusan dengan benar dan dapat menyesuaikan dengan lingkungannya.

2. Fungsi Bimbingan Konseling
1. Fungsi penyaluran,
Yakni fungsi bimbingan dalam rangka membantu siswa mendapatkan program studi yang sesuai baginya dalam rangka kurikulum pengajaran yang disediakan di sekolah, misalnya: membantu siswa memilih kegiatan ekstra kurikuler yang cocok baginya, melanjutkan sekolah ke jenjang yang le-bih tinggi sesuai dengan kemampuannya atau merencanakan bidang pekerjaan yang cocok baginya di masa mendatang. Fungsi ini disebut sebagai `decision making.'
2. Fungsi penyesuaian
Yakni fungsi bimbingan dalam membantu siswa me-nemukan cara menempatkan diri secara tepat dalam berbagai keadaan dan situasi yang dihadapi, misalnya siswa yang baru masuk ke sekolah dibantu untuk bergaul secara memuaskan dengan menentukan sikap di tengah-tengah lingkungan yang baru baginya dan menyesuaikan diri de-ngan teman-teman barunya tanpa harus menekan prinsip-prinsip yang telah dipahaminya. Fungsi ini disebut sebagai fungsi "adjustment."
3. Fungsi pengadaptasian
Yakni fungsi bimbingan sebagai nara sumber bagi tenaga-tenaga ke-pendidikan yang lain di sekolah, khususnya bagi pimpinan sekolah dan staf pengajar, dalam hal meng-arahkan kegiatan-kegiatan pendidikan dan pengajar-an supaya sesuai dengan kebutuhan para siswa. Di sini pelayanan tidak langsung diberikan kepada siswa.
Tenaga bimbingan memberikan informasi dan usulan kepada sesama tenaga peng-ajar tentang kemampuan anak dalam menerima pendidikan di sekolah. Nara sum- ber bagi siswa dalam hal memberikan informasi yang baru, yang berkaitan de-ngan proses belajar mengajar serta pen- didikan misalnya informasi tentang nilai budi pekerti, atau jenjang-jenjang sekolah yang lebih tinggi sesuai dengan kemampuan siswa dan cita-cita siswa itu sen- diri.
Semua jenis pendidikan sekolah bertujuan membentuk manusia-manusia yang berimana dan ber taqwa sesuai dengan cita-cita pendidikan nasional. Namun perbedaan-perbedaan individual dalam cara dan corak mewujudkan hasil pendidikan sekolah dalam kehidupan warga masyarakat tetap ada. Dengan kata lain pendidikan nasional tidak mencetak manusia-manusia robot yang tak kenal akan per- bedaan-perbedaan dalam kepribadian.
Realisasi tujuan pendidikan secara menyeluruh membentuk perkembangan peserta didik dan kenyataan adanya perbedaan-perbedaan individual yang semuanya tercakup dalam lingkup tujuan pendidikan nasional. Pendidikan sekolah dewa-sa ini dapat dikatakan ti-dak akan leng-kap tanpa pe- layanan bim-bingan dan konseling sebagai bagian yang integral dari keseluruhan program kegiatan di sekolah.
Dapat dilihat bahwa antara bimbingan konseling dan pendidikan terdapat kesamaan tujuan, yaitu tujuan pendidikan dan dasar ope-rasional. Baik bimbingan maupun pendidik-an bertujuan supaya siswa-siswa mencapai taraf perkembangan yang optimal bagi mereka, dan keduanya beroperasi atas dasar ke-nyataan bahwa orang muda mempunyai potensi untuk berkembang dan dapat didam-pingi dalam perkembangannya. Dengan demikian maka tujuan bimbingan dan konseling dapat difahami sebagai berikut
1 Tujuan umum bimbingan dan konseling ialah memandirikan peserta didik dan mengembangkan potensi mereka secara optimal.
2. Tujuan umum tersebut dijabarkan ke dalam tujuan yang mengarah kepada keefektifan hidup sehari-hari dengan memperhatikan potensi peserta didik.
3. Lebih khusus lagi, tujuan-tujuan tersebut dirumuskan dalam bentuk kompetensi.
3 .Prinsip Bimbingan dan Konseling
Prinsip-prinsip bimbingan dan konseling berkenaan dengan :
1. Sasaran layanan.
2. Permasalahan yang dialami individu.
3. Program pelayanan.
4. Tujuan dan pelaksanaan pelayanan

4. Asas Bimbingan dan Konseling
Asas-asas bimbingan dan konseling meliputi :
a. Asas kerahasiaan
b. Asas kesukarelaan
c. Asas keterbukaan
d. Asas kegiatan
e. Asas kemandirian
f. Asas kekinian
g. Asas kedinamisan
h. Asas keterpaduan
i. Asas kenormatifan
j. Asas keahlian
k. Asas alih tangan kasus
l. Asas tut wuri handayani
B. Arah Kegiatan Bimbingan dan Konseling
1. Kegiatan bimbingan dan konseling diarahkan kepada :
1. Terpenuhinya tugas-tugas perkembangan peserta didik dalam setiap tahap usia perkembangan .
2. Dalam upaya mewujudkan tugas-tugas perkembangan itu, kegiatan bimbingan dan konseling mendorong peserta didik mengenal diri dan lingkungan, mengembangkan diri dan sikap positif, mengembangkan arah karir dan masa depan.
3. Kegiatan bimbingan dan konseling meliputi bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir.
2.Pelayanan bimbingan dan konseling
1. secara konkrit diarahkan kepada pengembangan berbagai kompetensi peserta didik. Kompetensi yang akan dikembangkan itu dirumuskan melalui langkah-langkah sebagaimana tergambar dalam diagram berikut :













B. Kegiatan Pokok Bimbingan dan Konseling
1. Kegiatan Layanan
Kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah diselenggarakan melalui :
a. Layanan orientasi
b. Layanan informasi
c. Layanan penempatan dan penyaluran
d. Layanan pembelajaran
e. Layanan konseling perorangan
f. Layanan bimbingan kelompok
g. Layanan konseling kelompok
2. Kegiatan Pendukung
Ada sejumlah kegiatan yang dapat mendukung kelancaran dan keberhasilan layanan bimbingan dan konseling, yaitu :
a. Aplikasi instrumentasi
b. Himpunan data
c. Konferensi kasus
d. Kunjungan rumah
e. Alih tangan kasus



III SASARAN PELAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Yang menjadi sasaran pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah dijabarkan dari tugas-tugas perkembangan peserta didik pada jenjang persekolahan tertentu dengan memperhatikan bidang-bidang bimbingan untuk jenjang persekolahan tersebut.
A. Tugas Perkembangan
Tugas-tugas perkembangan siswa :
1. Mencapai kematangan dalam beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mencapai kematangan dalam hubungan teman sebaya, serta kematangan dalam peranannya sebagai pria atau wanita.
3. Mencapai kematangan pertumbuhan jasmaniah yang sehat.
4. Mengembangkan penguasaan ilmu, teknologi dan seni sesuai dengan program kurikulum dan persiapan karir atau melanjutkan pendidikan tinggi, serta berperan dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas.
5. Mencapai kematangan dalam pilihan karir.
6. Mencapai kematangan gambaran dan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial, intelektual dan ekonomi.
7. Mencapai kematangan gambaran dan sikap tentang kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
8. Mengembangkan kemampuan komunikasi sosial dan intelektual, serta apresiasi seni.
9. Mencapai kematangan dalam sistem etika, nilai kehidupan dan moral.

B. Bidang Bimbingan
Bidang-bidang bimbingan di seklah adalah :
1. Bimbingan Pribadi
a. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Pemantapan pemahaman tentang potensi diri dan pengembangannya untuk kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun untuk peranannya di masa depan.
c. Pemantapan pemahaman tentang bakat dan minat pribadi serta penyaluran dan pengembangannya melalui kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif.
d. Pemantapan pemahaman tentang kelemahan diri dan usaha-usaha penanggulangannya.
e. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan dan mengarahkan diri secara mandiri sesuai dengan sistem etika, nilai kehidupan dan moral, serta apresiasi seni.
f. Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat, baik secara rohaniah maupun jasmaniah, termasuk perencanaan hidup berkeluarga.
2. Bimbingan Sosial
a. Pemantapan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan secara efektif, efisien dan produktif.
b. Pemantapan kemampuan menerima dan mengemukakan pendapat serta berargumentasi secara dinamis dan kreatif.
c. Pemantapan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan sosial, baik di rumah, di sekolah, di tempat latihan/kerja/unit produksi maupun di masyarakat luas dengan menjunjung tinggi tata krama, sopan santun, serta nilai-nilai agama, adat istiadat, hukum, ilmu, dan kebiasaan yang berlaku.

d. Pemantapan hubungan yang dinamis, harmonis dan produktif dengan teman sebaya, baik di sekolah yang sama, di sekolah lain, di luar sekolah, maupun di masyarakat pada umumnya.
e. Pemantapan pemahaman tentang peraturan, kondisi rumah, sekolah , dan lingkungan, serta upaya pelaksanaannya secara dinamis dan bertanggung jawab.
f. Orientasi tentang kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Bimbingan Belajar
a. Pemantapan sikap, kebiasaan dan keterampilan belajar yang efektif dan efisien serta produktif, dengan sumber belajar yang lebih bervariasi dan kaya.
b. Pemantapan disiplin belajar dan berlatih, baik secara mandiri maupun berkelompok.
c. Pemantapan penguasaan materi program belajar keilmuan, tehnologi dan atau seni di Sekolah Menengah Atas dan sebagai persiapan untuk mengikuti pendidikan yang lebih tinggi.
d. Pemantapan pemahaman dan pemanfaatan kondisi fisik, sosial dan budaya di lingkungan sekolah, dan atau alam sekitar, serta masyarakat untuk pengembangan diri.
e. Orientasi belajar untuk pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi.
4. Bimbingan Karir
a. Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karir yang hendak dipilih dan dikembangkan.
b. Pemantapan orientasi dan informasi karir pada umumnya, khususnya karir yang hendak dipilih dan dikembangkan.
c. Orientasi dan informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan yang baik dan halal untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
d. Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki tamatan SLTA.
e. Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi, khususnya sesuai dengan karir yang hendak dikembangkan.
f. Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan: pelatihan diri untuk keterampilan kejuruan khusus pada lembaga kerja (instansi, perusahaan, industri) sesuai dengan program kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan.
IV.PENUTUP.
A.KESIMPULAN
• BK. Merupakan layanan batun kepada kelompok, individu,serta berintergarasi dengan system pendidikan yang berfungsi membantu siswa –siswi menemukan jati dirinya dalam menghadapi proses pendidikan.
• BK,ber upaya memberikan bantuan kepada individu agar dapat menerima dan menemukakan dirinya sendiri secara efektif dan produktif, sehingga dapat mengerahkan kemampuan dirinya dengan tepat, mengambil keputusan dengan benar dan dapat menyesuaikan dengan lingkungannya.
• Berdasarkan realita di atas sungguh sangat tragis dalam realitas BK yang selalu di kesampingkan.dengan ruangan yang di sekat tirai dekat toilet atau gudang, nabung di tuntut tugas dan tanggung jawab yang begitu besar dan berat.
B. SARAN
• Dalam rangka implementasi Undang Undang Nomor : 14 Tahun 2006, tentang Guru dan Dosen maka Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah kongkrit dengan mengangkat atau menetapkan profesi dan sertifikasi guru layanan bimbingan dan konseling pada sekolah-sekolah luar biasa, sehingga perhatian terhadap anak luar biasa menjadi tidak terabaikan dan sekaligus menepis issue diskriminasi terhadap anak didik.
• Berdasarkan realita di atas semoga guru dan kepala sekolah, serta elemen yang tersangkut dengan pendidikan agar mengaplikasi Peraturan perundang undangan supaya fungsi dan tugas BK dapat berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan yang kita inginkan.




LITERATURE.

1. Prayitno,Pedoman Khusus Bimbingan Konseling,DIRJEN DIKNAS,2004
2. WS.Winkell.Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Grasindo, Jakarta, 1993
3. Dirjen Diknas,Undang Undang. NOMOR. 2 Tahun /1989,Sisdiknas, Jakarta, 1993.
4. Dirjen Diknas,Undang-Undang Nomor. 20. Tahun.2003.Sisdiknas, Jakarta, 2003
5. Dirjen Diknas, Undang- Undang GURU Dan Dosen, Nomor 14. Tahun 2006,
6. Lorentina, Forum guru, Pikiran Rakyat, 9/1/2006
7. E. Sutiwati, Bimbingan Konseling Antara ada dan Tiada, Fak Psikologi Universitas Muhamadiyah, Surakarta, 2006
8. Dedi Supriyadi, Bimbingan Dan Konseling,Fak Psikologi UM Surakarta, 2004
9. Mendikbud, SK Nomor 025/0/1995, Jakarta, 1995





DASAR LEGAL
PELAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH


A. Undang-undang No. 2/1989 : Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 1 Ayat 1 : Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Ayat 8 : Tenaga pendidikan adalah anggota masyarakat yang bertugas membimbing, mengajar dan/atau melatih peserta didik.
B. Peraturan Pemerintah
1. PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar
BAB X
Pasal 25 Ayat 1 : Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan.
Ayat 2 : Bimbingan diberikan oleh Guru Pembimbing
Ayat 3 : Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud Ayat (1) dan Ayat (2) diatur oleh Menteri.

2. PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah
BAB X
Pasal 27 Ayat 1 : Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan.
Ayat 2 : Bimbingan diberikan oleh Guru Pembimbing.
C. SK Menpan
1. SM Menpan No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Pasal 3 : Tugas pokok guru adalah :
a. menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, evaluasi belajar, analisis hasil evaluasi belajar, serta menyusun program perbaikan dan pengayaan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya; atau
b. menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap peserta didik yang menjadi tanggung jawabnya.
2. SK Menpan No. 118/1995 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya.
Sebagaimana dimaksudkan dalam angka (1) mempunyai bidang pengawasan sebagai berikut :
a. Bidang pengawasan Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal/ Bustanul Athfal, Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Madrasah Diniyah/Sekolah Dasar Luar Biasa.
b. Bidang pengawasan Rumpun Mata Pelajaran/Mata Pelajaran
c. Bidang pengawasan Pendidikan Luar Biasa
d. Bidang pengawasan Bimbingan dan Konseling.
SKB Mendikbud dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No. 25 Tahun 1993 tentang Petunjuk Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Pasal 1 4. Guru Pembimbing adalah guru yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.
10. Penyusunan program bimbingan dan konseling adalah membuat rencana pelayanan bimbingan dan konseling dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir.
11. Pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah melaksanakan fungsi pelayanan pemahaman, pencegahan, pengentasan, pemeliharaan dan pengembangan dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir.
12. Evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah kegiatan menilai layanan bimbingan dan konseling dalam bidang bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir.
13. Analisis evaluasi pelaksanaan bimbingan dan konseling dalah menelaah hasil evaluasi pelaksanaa bimbingan dan konseling yang mencakup layanan orientasi, informasi, penempatan dan penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok, dan bimbingan pembelajaran serta kegiatan pendukungnya.
14. Tindak lanjut pelaksanaan bimbingan dan konseling adalah kegiatan menindaklanjuti hasil analisis evaluasi tentang layanan orietnasi, informasi, penempatan dan penyaluran, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok dan bimbingan pembelajaran, serta kegiatan pendukungnya.
Pasal 4 (1) Standar prestasi kerja Guru Pratama sampai dengan Guru Dewasa Tingkat I dalam melaksanakan proses belajar-mengajar atau bimbingan meliputi kegiatan :
persiapan program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling;
penyajian program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling; dan
evaluasi program pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling.
(2) Standar Prestasi kerja Guru Pembina sampai dengan Guru Utama selain tersebut pada Ayat (1) ditambah :
a. analisis hasil evaluasi pengajaran atau praktik atau bimbingan dan konseling;
b. penyusunan program perbaikan dan pengayaan atau tindak lanjut pelaksanaan bimbingan dan konseling; dan
c. pengembangan profesi dengan angka kredit sekurang-kurangnya 12 (dua belas).
(3) Khusus standar prestasi kerja Guru Kelas, selain tersebut pada Ayat (1) atau ayat (2), sesuai dengan jenjang jabatannya ditambah melaksanakan program bimbingan dan konseling di kelas yang menjadi tanggung jawabnya.


Pasal 5 (3) Jumlah peserta didik yang harus dibimbing oleh seorang Guru Pembimbing adalah 150 orang.
(4) Kelebihan peserta didik bagi Guru Pembimbing yang dapat diberi angka kredit adalah 75 orang, berasal dari pelaksanaan program bimbingan dan konseling.
(7) Guru Pembimbing yang menjadi Kepala Sekolah, wajib melaksanakan bimbingan dan konseling terhadap 40 orang peserta didik.
(9) Guru sebagaimana tersebut Ayat (7) yang menjadi Wakil Kepala Sekolah wajib melaksanakan bimbingan dan konseling terhadap 75 orang peserta didik.
D. SK Mendikbud No. 025/O/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksa-naan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya :
1. Bimbingan dan konseling adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
2. Bimbingan karir kejuruan adalah bimbingan/layanan yang diberikan oleh Guru Mata Pelajaran Kejuruan, dalam membentuk sikap dan pengembangan keahlian profesi peserta didik agar mampu mengantisipasi potensi lapangan kerja.
3. a. Pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Sekolah Menengah Umum terdapat Guru Mata Pelajaran dan Guru Pembimbing
b. Pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang menyelenggarakan program keterampilan dan Sekolah Menengah Kejuruan terdapat Guru Mata Pelajaran, Guru Praktik, dan Guru Pembimbing.
4. Tugas Guru Pembimbing :
a. Setiap Guru Pembimbing diberi tugas bimbingan dan konseling sekurang-kurangnya terhadap 150 siswa.
b. Bagi sekolah yang tidak memiliki Guru Pembimbing yang berlatar belakang bimbingan dan konseling, maka guru yang telah mengikuti penataran bimbingan dan konseling sekurang-kurangnya 180 jam dapat diberi tugas sebagai Guru Pembimbing. Penugasan ini bersifat sementara sampai guru yang ditugasi itu mencapai taraf kemampuan bimbingan dan konseling sekurang-kurangnya setara D3 atau di sekolah tersebut telah ada Guru Pembimbing yang berlatar belakang minimal D3 bidang bimbingan dan konseling.
c. Pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling dapat diselenggarakan di dalam atau di luar jam pelajaran sekolah. Kegiatan bimbingan dan konseling di luar sekolah sebanyak-banyaknya 50 % dari keseluruhan kegiatan bimbingan untuk seluruh siswa di sekolah itu, atas persetujuan Kepala Sekolah.
d. Guru Pembimbing yang tidak memenuhi jumlah siswa yang diberi pelayanan bimbingan dan konseling, diberi tugas sebagai berikut :
a. memberikan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah lain baik negeri maupun swasta. Penugasan dilakukan secara tertulis oleh pejabat yang berwenang, sekurang-kurangnya Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kotamadya; atau
b. melakukan kegiatan lain dengan ketentuan bahwa setiap 2 (dua) jam efektif disamakan dengan membimbing 8 (delapan) orang siswa. Kegiatan lain tersebut misalnya menjadi pengelola perpustakaan dan tugas sejenis yang ditetapkan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Penugasan tersebut dapat diberikan sebanyak-banyaknya 12 (dua belas) jam efektif. Kegiatan tersebut tidak dinilai lagi pada unsur penunjang, karena telah digunakan untuk memenuhi jumlah kewajiban siswa yang harus dibimbing.
e. Bagi Guru Pembimbing yang jumlah siswa yang dibimbing kurang dari 150 siswa, diberi angkat kredit secara proporsional.
f. Bagi Guru Pembimbing yang jumlah siswa yang dibimbing lebih dari 150 siswa, diberi bonus angka kredit. Bonus angka kredit bimbingan diberikan dari butir kegiatan melaksanakan program bimbingan. Pemberian bonus angka kredit kelebihan siswa yang dibimbing sebanyak-banyaknya 75 siswa.
5. Pelaksanaan Kegiatan Bimbingan dan Konseling :
a. Setiap kegiatan menyusun program, melaksanakan program, mengevaluasi, menganalisis, dan melaksanakan kegiatan tindak lanjut, kegiatannya meliputi :
(1) layanan orientasi
(2) layanan informasi
(3) layanan penempatan dan penyaluran
(4) layanan pembelajaran
(5) layanan konseling perorangan
(6) layanan bimbingan kelompok
(7) layanan konseling kelompok
(8) aplikasi instrumentasi
(9) himpunan data
(10) konferensi kasus
(11) kunjungan rumah
(12) alih tangan kasus

b. Kegiatan bimbingan dan konseling secara keseluruhan harus mencakup :
(1) bimbingan pribadi
(2) bimbingan sosial
(3) bimbingan belajar
(4) bimbingan karir

c. Layanan orientasi wajib dilaksanakan pada awal catur wulan pertama terhadap siswa baru.
d. Satu kali kegiatan bimbingan dan konseling memakan waktu rata-rata 2 (dua) jam tatap muka.









Lampiran
1. Dasar Legal Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah






MAKALAH IQBAL STAI MU TPI

Wanita yang Berpakaian Tapi Telanjang,

Inilah yang kami sedihkan pada kaum wanita saat ini.
mana. Pornografi yang sudah semakin marak.
oleh orang dewasa, namun juga anak
tidak sadar-sadarnya wanita dalam berpakaian.
Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau
telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani
membuka paha dengan memakai celana atau rok setinggi b
mengadu, melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini
Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan lebih parah dari
saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat
aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi keluarga kita dan generasi kaum
muslimin dari musibah ini.
Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bersabda,
ِب  ها النا  س  وِن  ساءٌ َ كا  سيا  ت  عا ِ ريات
ي ِ ج  د َ ن
ِ ر  يح  ها  وِإنَّ ِ ر  يح  ها َليو  ج  د م  ن مسِ  يرة
“Ada dua golongan dari penduduk ner
cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan
berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring
Zaman sudah semakin rusak. Perzinaan di mana
Bahkan hal-hal porno semacam ini bukan hanya digandrungi
anak-anak. Bahkan terakhir ini yang sudah membuat kami semakin geram,
Saat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam.
betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami
ini.
yang transparan dan sangat memamerkan
anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
َل  م
َأ  ر  ه  ما َق  وم مع  ه  م  سياطٌ َ كَأ ْ ذنا ِ ب اْلبَق ِ ر ي  ضِ ربو َ ن
 رءُو  س  هن
َ كَأ  سِن  مة اْلب  خ  ت اْل  مائَلة َ لا ي  د  خْل  ن اْل  جنَة  و َ لا neraka yang belum pernah aku lihat:  Suatu kaum yang memiliki
  para wanita yang berpakaian tapi telanjang
miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk
Muhammad Abduh Tuasikal
Page
manahal
,  صنَفا  ن م  ن َأ  ه ِ ل النا ِ ر م  مي َ لا  ت مائ َ لات َ ك َ ذا  و َ ك َ ذا
telanjang,
anita
http://ru maysho.wordpress.com Muhammad Abduh Tuasikal
Page
surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
.HR. Muslim no. /0/12
Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits
ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup
.Lihat Syarh Muslim, 4//56 dan Faidul Qodir, 5//782. Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi
dan kerusakannya lebih parah.
Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun’
An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna
kasiyatun ‘ariyatun.
Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.
Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau
mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.
Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan
tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita
tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. .Lihat Syarh Muslim, 4//562
Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna
maknawi .abstrak2. Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai
pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi .anggota
tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna2. Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya
mereka telanjang.” .Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 0/8-0/:2
Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang
wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan
pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan
perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan
nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun
kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia
membuka sebagian anggota tubuhnya .yang wajib ditutupi2 untuk menampakkan keindahan dirinya.”
.Faidul Qodir, 5//782
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada
tiga makna.
http://ru maysho.wordpress.com Muhammad Abduh Tuasikal
Page
Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini
memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.
Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya .yang wajib ditutup2. Wanita ini sebenarnya
telanjang.
Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. .Kasyful Musykil
min Haditsi Ash Shohihain, 0/06<02
Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga
nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.
Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini
Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang,
dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak
akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya
bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini
dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan
ancaman seperti ini?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut
tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui
keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup
.atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis2, maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia
tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika
memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. .Lihat Syarh Muslim,
4//562
Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai
dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan
orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa mereka
masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!
Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya!
http://ru maysho.wordpress.com Muhammad Abduh Tuasikal
Page
Wahyu Dari Langit Memerintahkan Menutup Seluruh Tubuh Kecuali Wajah
dan Telapak Tangan
Allah Ta’ala berfirman,
يا َأي  ها النِبي ُق ْ ل لَأ  ز  وا ِ ج  ك  وبنات  ك  وِن  ساءِ اْل  م  ؤمِن  ين ي  دِن  ين  عَلي ِ هن م  ن  جَلاِبيِب ِ هن َ ذل  ك َأ  دنى َأ ْ ن ي  ع  رْف  ن َفَلا ي  ؤ َ ذي  ن
 و َ كا َ ن اللَّه َ غُفو  را  ر  حي  ما
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min:
"Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. .@S. Al Ahzab A<dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
 وُق ْ ل لْل  م  ؤمنا  ت ي  غ  ض  ض  ن م  ن َأب  صا ِ ر  هن  وي  حَف ْ ظ  ن ُف  رو  ج  هن  وَلا يب  دي  ن ِ زينت  هن ِإلَّا ما َ ظ  ه  ر من  ها
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya.” .@S. An Nuur A/5B : <02. Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Cmar, Atho’ bin Abi Robbah, dan
Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.
Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah
mustahab .dianjurkan2. .Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 052
Syarat Pakaian Wanita yang Harus Diperhatikan
Pakaian wanita yang benar dan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya memiliki syarat-syarat. Jadi
belum tentu setiap pakaian yang dikatakan sebagai pakaian muslimah atau dijual di toko muslimah dapat
kita sebut sebagai pakaian yang syar’i. Semua pakaian tadi harus kita kembalikan pada syarat-syarat
pakaian muslimah.
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat ini dan ini semua tidak menunjukkan bahwa pakaian yang
memenuhi syarat seperti ini adalah pakaian golongan atau aliran tertentu. Tidak sama sekali. Semua syarat
pakaian wanita ini adalah syarat yang berasal dari Al @ur’an dan hadits yang shohih, bukan pemahaman
golongan atau aliran tertentu. Kami mohon jangan disalah pahami.
Clama yang merinci syarat ini dan sangat bagus penjelasannya adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani rahimahullah –ulama pakar hadits abad ini-. Lalu ada ulama yang melengkapi syarat yang beliau
http://ru maysho.wordpress.com Muhammad Abduh Tuasikal
Page
sampaikan yaitu Syaikh Amru Abdul Mun’im hafizhohullah. Ingat sekali lagi, syarat yang para ulama
sebutkan bukan mereka karang-karang sendiri. Namun semua yang mereka sampaikan berdasarkan Al
@ur’an dan hadits yang shohih.
Syarat pertama: pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ingat,
selain kedua anggota tubuh ini wajib ditutupi termasuk juga telapak kaki.
Syarat kedua: bukan pakaian untuk berhias seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang
warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik! Yang
terkahir ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan di antara kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman,
 وَق  ر َ ن في بيوت ُ كن  وَلا تبر  ج  ن تبر  ج اْل  جا  هلية اْلُأوَلى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang
jahiliyyah pertama.” .@S. Al Ahzab : <<2. Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan
dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu dapat menggoda kaum
lelaki.
Ingatlah, bahwa maksud perintah untuk mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutupi perhiasan
wanita. Dengan demikian, tidak masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita
malah menjadi pakaian untuk berhias sebagaimana yang sering kita temukan.
Syarat ketiga: pakaian tersebut tidak tipis dan tidak tembus pandang yang dapat menampakkan bentuk
lekuk tubuh. Pakaian muslimah juga harus longgar dan tidak ketat sehingga tidak menggambarkan bentuk
lekuk tubuh.
Dalam sebuah hadits shohih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua golongan dari
penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu : Suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti ekor
sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala
mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan
mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini.” .HR.Muslim2
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang
memakai pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut
belum menutupi .anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna2. Mereka memang berpakaian,
namun pada hakikatnya mereka telanjang.” .Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, 0/8-0/:2
Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para
mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.
Syarat keempat: tidak diberi wewangian atau parfum.
Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
http://ru maysho.wordpress.com Muhammad Abduh Tuasikal
Page
َأي  ما ا  م  رَأة ا  ست  ع َ ط  ر  ت َف  مر  ت  عَلى َق  و ٍم لي ِ ج  دوا م  ن ِ ر  يح  ها َف ِ ه  ي  زاِنيةٌ
“Perempuan mana saja yang memakai wewangian, lalu melewati kaum pria agar mereka
mendapatkan baunya, maka ia adalah wanita pezina.” .HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad.
Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. yang keras ini!
Syarat kelima: tidak boleh menyerupai pakaian pria atau pakaian non muslim.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,
َلع  ن النِبى - صلى الله عليه وسلم - اْل  م  خنث  ين م  ن الر  جا ِ ل ،  واْل  مت  رج َ لا  ت م  ن الن  ساءِ
“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai
kaum pria.” .HR. Bukhari no. :1<52
Sungguh meremukkan hati kita, bagaimana kaum wanita masa kini berbondong-bondong merampas sekian
banyak jenis pakaian pria. Hampir tidak ada jenis pakaian pria satu pun kecuali wanita bebas-bebas saja
memakainya, sehingga terkadang seseorang tak mampu membedakan lagi, mana yang pria dan wanita
dikarenakan mengenakan celana panjang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
م  ن ت  شبه ِبَق  و ٍم َف  ه  و من  ه  م
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” .HR. Ahmad dan
Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus2
Betapa sedih hati ini melihat kaum hawa sekarang ini begitu antusias menggandrungi mode-mode busana
barat baik melalui majalah, televisi, dan foto-foto tata rias para artis dan bintang film. Laa haula walaa
quwwata illa billah.
Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari ketenaran atau popularitas .baca: pakaian syuhroh2.
Dari Abdullah bin ‘Cmar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
م  ن َلِب  س َث  و  ب  ش  ه  رة فى الدنيا َأْلب  سه اللَّه َث  و  ب م َ ذلَّة ي  و م اْلقيامة ُثم َأْل  ه  ب فيه نا  را
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di dunia, niscaya Allah akan mengenakan pakaian
kehinaan padanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” .HR. Abu Daud dan
Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan2
Pakaian syuhroh di sini bisa bentuknya adalah pakaian yang paling mewah atau pakaian yang paling kere
atau kumuh sehingga terlihat sebagai orang yang zuhud. Kadang pula maksud pakaian syuhroh adalah
http://ru maysho.wordpress.com Muhammad Abduh Tuasikal
Page
pakaian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri tersebut dan tidak digunakan di zaman
itu. Semua pakaian syuhroh seperti ini terlarang.
Syarat ketujuh: pakaian tersebut terbebas dari salib.
Dari Diqroh Cmmu Abdirrahman bin Cdzainah, dia berkata,
ُ كنا ن ُ طو  ف ِباْلبي  ت م  ع ُأم اْل  م  ؤمِن  ين َف  رَأ  ت  عَلى ا  م  رَأة ب  ردًا فيه ت  صليب َفَقاَل  ت ُأم اْل  م  ؤمِن  ين ا ْ ط  ر  حيه ا ْ ط  ر  حيه َفِإنَّ
 ر  سو َ ل اللَّه -صلى الله عليه وسلم- َ كا َ ن ِإ َ ذا  رَأى ن  ح  و  ه َ ذا َق  ضبه
“Dulu kami pernah berthowaf di Ka’bah bersama Cmmul Mukminin .Aisyah2, lalu beliau melihat wanita
yang mengenakan burdah yang terdapat salib. Cmmul Mukminin lantas mengatakan, “Lepaskanlah salib
tersebut. Lepaskanlah salib tersebut. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat
semacam itu, beliau menghilangkannya.” .HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits
ini hasan2
Ibnu Muflih dalam Al Adabusy Syar’iyyah mengatakan, “Salib di pakaian dan lainnya adalah sesuatu yang
terlarang. Ibnu Hamdan memaksudkan bahwa hukumnya haram.”
Syarat kedelapan: pakaian tersebut tidak terdapat gambar makhluk bernyawa .manusia dan hewan2.
Gambar makhluk juga termasuk perhiasan. Jadi, hal ini sudah termasuk dalam larangan bertabaruj
sebagaimana yang disebutkan dalam syarat kedua di atas. Ada pula dalil lain yang mendukung hal ini.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahku, lalu
di sana ada kain yang tertutup gambar .makhluk bernyawa yang memiliki ruh, pen2. Tatkala Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau langsung merubah warnanya dan menyobeknya. Setelah itu beliau
bersabda,
ِإنَّ َأ  شد النا ِ س  ع َ ذابا ي  وم القيامة الذِّي  ن ي  شب  ه  و َ ن  بخْل ِ ق اللهِ
”Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah yang menyerupakan
ciptaan Allah.” .Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan ini adalah lafazhnya. Hadits ini juga diriwayatkan
oleh Bukhari, Muslim, An Nasa’i dan Ahmad2
Syarat kesembilan: pakaian tersebut berasal dari bahan yang suci dan halal.
Syarat kesepuluh: pakaian tersebut bukan pakaian kesombongan.
Syarat kesebelas: pakaian tersebut bukan pakaian pemborosan .
Syarat keduabelas: bukan pakaian yang mencocoki pakaian ahlu bid’ah. Seperti mengharuskan memakai
pakaian hitam ketika mendapat musibah sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah Rofidhoh pada wanita
mereka ketika berada di bulan Muharram. Syaikh Ibnu Ctsaimin mengatakan bahwa pengharusan seperti
ini adalah syi’ar batil yang tidak ada landasannya.
http://ru maysho.wordpress.com Muhammad Abduh Tuasikal
Page
Inilah penjelasan ringkas mengenai syarat-syarat jilbab. Jika pembaca ingin melihat penjelasan
selengkapnya, silakan lihat kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani. Kitab ini sudah diterjemahkan dengan judul ‘Jilbab Wanita Muslimah’. Juga bisa
dilengkapi lagi dengan kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Amru Abdul Mun’im yang
melengkapi pembahasan Syaikh Al Albani.
Jika Allah memberikan waktu longgar, kami akan melengkapi pembahasan syarat-syarat pakaian wanita
pada posting tersendiri. Semoga Allah memudahkan urusan ini.
Terakhir, kami nasehatkan kepada kaum pria untuk memperingatkan istri, anggota keluarga atau
saudaranya mengeanai masalah pakaian ini. Sungguh kita selaku kaum pria sering lalai dari hal ini. Semoga
ayat ini dapat menjadi nasehatkan bagi kita semua.
يا َأي  ها الَّ  ذي  ن آَمنوا ُقوا َأنُف  س ُ ك  م  وَأ  هلي ُ ك  م نا  را  وُقو  د  ها النا  س  واْل  ح  جا  رُة  عَلي  ها مَلائ َ كةٌ  غَلاظٌ  ش  دا  د َلا ي  ع  صو َ ن اللَّه
ما َأم  ر  ه  م  وي ْ فعُلو َ ن ما ي  ؤم  رو َ ن
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
.@S. At Tahrim: :2
Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua dalam mematuhi setiap perintah-Nya dan menjauhi setiap
larangan-Nya.
Alhamdullillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.
Rujukan:
0. Faidul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah
/. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Islamiyah-
Amman, Asy Syamilah
<. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh ‘Amru Abdul Mun’im Salim, Maktabah Al Iman
>. Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, Ibnul Jauziy, Darun Nasyr/Darul Wathon, Asy Syamilah
8. Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
SUMBER: Muhammad Abduh Tuasikal, ST

BESARNYA DOSA MENINGGALKAN SHALAT

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat
adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat
membuat bangunan Islam tegak. Namun,
Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang
meninggalkan rukun Islam yang satu ini
shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat
seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi
shalat dalam setahun dua kali yaitu
Memang sungguh prihatin dengan
kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat
pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahka
taufik kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.
Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari Dosa
Besar Lainnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah
shalat lima waktu dengan sengaja adalah
membunuh, merampas harta orang lain,
meninggalkannya akan mendapat hukuman dan
dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. /)
Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Kafir alias Bukan Muslim?
Yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah
kafir? Asy Syaukani -rahimahullah
muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena
apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima wak
kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini
Dosa Berzina
termasuk salah satu rukun Islam
. realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda
yang dalam KTP-nya mengaku Islam
alkan ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya
ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan
ang lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan
ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.
kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku
. rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat
dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa
berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang
kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia
ang rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum
mengingkari kewajibannya
waktu itu wajib
ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (
yang utama yang bisa
ngah berbeda.
Islam, namun biasa
. melaksanakan
shalat sekali dalam
, Islam di KTP, namun
memudahkannya dan memberi
bahwa meninggalkan
zina, kewajibannya. Namun
tu -sebagaimana
, Lihat
Nailul Author, 45678). Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat
itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena
dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad dan pendapat
sebagian ulama Syafi’iyah. Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat
dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah
salah satu pendapat Imam Ahmad. Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan
shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia
mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
;;54<7-4hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an. Di antara ayat tersebut adalah firman Allah
Ta’ala (yang artinya), “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam > ?8-7@)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di
Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 64)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang
menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat
adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana
tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah,
bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan (yang artinya), ”kecuali orang yang bertaubat,
beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia
tidak dimintai taubat untuk beriman.
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini. Di antaranya, dari Jabir bin ‘Abdillah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta
kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. ;?/). Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, beliau
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemisah Antara seorang hamba dengan
kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.”
(HR. Ath Thobariy. Shahih).
Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir
Umar mengatakan, ”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh
Malik. Shahih). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada
satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat
adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim
dalam kitab Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah
kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan, “Dulu para
shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila
ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah
bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan
menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar
Al Mustathob, hal. ?;)
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini
adalah ijma’’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan
sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang
ada. Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an),
As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).”
(Ash Sholah, hal. ?7)
Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya, semacam ini
dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak
pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang
semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang
yang meninggalkan shalat.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan
shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang
nampak pada dirinya) dan tidak kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan
meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu
bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. …
Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga
shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan terkadang
meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi
mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan)
bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan
kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, +,-.+)
[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa
meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana
orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai
sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia
selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang
semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela. Lihat surat Al Maa’un>
F-?. (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 4<8-48@)
Penutup
Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah
menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih
disia-siakan lagi.
Imam Ahmad –rahimahullah- mengatakan, “Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti
telah meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya
terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang betulbetul
memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah
engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam
hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholah, hal. 4;)
Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib.
Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan
tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota
badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar
membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan
(tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal anakanak
mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“ (Lihat Ash
Sholah, 6?-67)
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan
kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi
wa shohbihi wa sallam.
DI SARIKANN DARI Al Faqir Ilallah> Muhammad Abduh Tuasikal (http>55rumaysho.wordpress.com)

Senin, 18 Mei 2009

Kritik terhadap Gagasan “Pembaharuan” Pemikiran Islam di Indonesia(Merujuk kepada Pemikiran Nurcholish Majid

Kritik terhadap Gagasan “Pembaharuan” Pemikiran Islam di Indonesia(Merujuk kepada Pemikiran Nurcholish Majid)*

Oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi M.Phil



Istilah “pembaharuan Pemikiran Islam” di Indonesia telah merupakan trade mark yang menempel pada nama Nurcholish Madjid (NM). Meskipun Harun Nasution (HN) mempunyai gagasan serupa, label lebih sering diberikan kepada NM. Inti pembaharuan pemikiran yang ditawarkan NM adalah liberalisasi dan sekularisasi pemikiran Islam, sedangkan HN membawa ide rasionalisasi pemahaman Islam. Karena keterbatasan ruang, tulisan ini hanya akan menggambarkan ulang konstruk pembaharuan Islam yang ditawarkan NM pada tahun 1970 dan 1972, dan bagaimana realisasi dan implikasinya terhadap situasi pemikiran Islam dan kondisi ummat Islam hasil dari gagasan yang telah berjalan lebih kurang 36 tahun yang lalu itu. Evaluasi dan kritik ini diharapkan dapat ditanggapi dalam amosfir ilmiyah dengan kesadaran akan perlunya mengembangkan sikap “keterbukaan” dan sikap pendewasaan intelektual demi membangun peradaban Islam. Ini sejalan dengan apa yang sering disampaikan NM sendiri bahwa “kita harus belajar mengkritik dan menerima kritik”.[1] Untuk menangkap gagasan awal pembaruan pemikiran Islam NM, Pidato di Taman Ismail Marzuki tahun 1971-1972 menjadi rujukan utama, sedangkan untuk melihat realisasi gagasan itu akan dirujuk buku yang dianggap magnum opus-nya, yaitu Islam Doktrin Dan Peradaban (IDP). Hipotesisnya, apakah ide atau gagasan yang dibawa oleh buku ini tetap menawarkan sebuah “pembaharuan”.

I. Gagasan awal
Perjalanan awal gagasan pembaharuan NM dimulai dari pidatonya di Taman Ismail Marzuki tahun pada 2 januari 1970 berjudul Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan, dan pada tanggal 13 Januari 1972, berjudul Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia.[2] Inti dari gagasan yang disampaikan itu dapat disarikan dalam beberapa poin:

A. Kondisi Ummat Islam
Ketika NM mengungkapkan gagasan “pembaruannya” itu ummat Islam
Indonesia baru melalui masa-masa pergumulan ideologi yang sangat keras di era Orde Lama dan masuk kedalam era Orda Baru. Namun, di era Orde Baru ternyata umat Islam harus menghadapi masalah yang lain yaitu progam de-politisasi. Nampaknya kekuatan ideologis umat Islam dengan partai politiknya Masyumi dianggap “membahayakan” tatanan politik Orde Baru dan diupayakan agar tidak menjadi kekuatan yang menyaingi ideologi negara. Upaya-upaya penggembosan dilakukan dengan berbagai macam cara. Dalam kondisi seperti ini NM menyatakan bahwa:

ummat Islam tidak tertarik kepada partai-partai atau organisasi-organisasi Islam kecuali sedikit saja. Sikap mereka kira-kira bisa dirumuskan dengan “Islam yes, partai Islam no!” Jadi, jika partai-partai Islam merupakan wadah dari ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide-ide itu sekarang sudah tidak menarik lagi.[3]
Gambaran NM tentang penolakan umat terhadap partai Islam merupakan diskripsi yang tidak valid, sebab kekalahan partai-partai Islam waktu itu bukan karena rendahnya minat ummat Islam untuk memperjuangkan Islam lewat partai politik, tapi karena sistim politik yang tidak memberi kesempatan umat Islam untuk bersaing secara terbuka. Terbukti pada era reformasi dimana bangsa
Indonesia mengenyam euforia kebebasan berpolitik partai-partai berasas Islam memperoleh suara yang cukup signifikan. Jika asumsi NM itu valid, maka semestinya kondisi ini berkembang hingga zaman reformasi. Tapi perkembangan yang terjadi justru “Islam Yes Partai Islam Yes”. Ini berarti umat Islam masih berpandangan bahwa berislam adalah juga berpartai politik.
Nampaknya NM ingin mengalihkan konsentrasi perjuangan umat Islam agar tidak melulu kepada perjuangan partai politik. Caranya dengan melontarkan kritik bahwa “Ide-ide dan pemikiran Islam [yang diperjuangkan partai politik Islam] itu sekarang sedang memfosil dan menjadi usang, kehilangan dinamika”. Respon ummat waktu itu, sudah tentu, dibarengi oleh sikap curiga bahwa gagasan NM ini membawa misi de-politisasi umat Islam. Pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut mereka, waktu itu, boleh jadi mengapa sasarannya partai politik Islam dan bukan ide dan pemikiran? Dan kini lebih tegas lagi benarkah partai politik tidak layak menjadi kendaraan untuk memperjuangkan ide-ide dan pemikiran Islam? Lalu mengapa NM pada era reformasi mencari partai politik Islam guna kendaraan menuju Presiden? Pertanyaan-pertanyaan itu hingga kini belum mendapat penjelasan dari NM.
Selain kondisi politik NM juga menyoroti kondisi pemikiran umat Islam. Dalam hal ini ia mengidentifikasi problem umat Islam kedalam 2 hal:
1. Umat Islam
Indonesia sekarang ini ….lebih mementingkan jumlah daripada mutu atau kuantitas daripada kualitas”.
2. Kelumpuhan ummat Islam akhir-akhir ini disebabkan, antara lain, oleh kenyataan bahwa mereka cukup rapat menutup mata terhadap cacat-cacat yang menempel pada tubuhnya.[4]
Yang pertama tidak ada penjelasannya, namun nampaknya masih dalam konteks dan bahasa politik. Yang kedua mengasumsikan kondisi umat Islam yang tertutup untuk menerima perubahan. Namun sayang, NM tidak memberi penjelasan secara lebih rinci atau contoh kongkrit dari dua variable kondisi pemikiran umat Islam tersebut. Karena gambaran kondisi yang seperti itulah maka NM mengidamkan terjadinya dinamisme dalam tubuh umat Islam. Dinamisme itu menurutnya tercipta dengan pembaharuan ide-ide. Ia kemudian mengutip kata-kata Vladimir Ilich (1870-1924) “tidak ada tindakan yang revolusioner tanpa teori-teori revolusioner”.
Disini NM terinspirasi untuk mengemukakan ide-ide atau teori-teori yang revolusionernya. Padahal suatu ide atau pemikiran tidak serta merta menghasilkan tindakan, penanaman pemikiran baru memerlukan waktu yang tidak sebentar.

B. Gagasan Pembaruan dan liberalisasi
Karena kecenderunganya yang revelusioner itu maka pendekatan dan oritentasi pembaharuan yang dicanangkan NM akhirnya tidak berpijak pada tradisi intelektual Islam. Ia menyatakan :

Pembaharuan harus dimulai dengan dua tindakan yang satu sama lain erat hubunganya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan.[5]
Apa yang ia maksud dengan “nilai-nilai tradisional” adalah orientasi kemasa lampau dan bernostalgia yang berlebihan. NM menghendaki agar oritentasi ke masa lampau itu dilepaskan atau dihilangkan. Namun ia tidak memberi alternatif apa pijakan kita untuk memahami Islam jika tanpa melihat masa lampau? Disini pendekatan NM jelas bertentangan dengan motto pesantren yang berbunyi “a-muhafazatu ala al-qadim al-salih wa al-akhdhu bi al-jadid al-aslah“, (menjaga [tradisi] lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).
Kemudian maksud dari kata-kata “berorientasi ke masa depan” ternyata adalah liberalisasi dan obyek yang diliberalkan itu adalah “ajaran-ajaran Islam”, bukan nilai-nilai tradisional yang disebutkan sebelumnya. Ia dengan jelas menyatakan

Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan pada ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yang ada sekarang. Proses itu menyangkut proses lainnya.[6]
Dari kutipan diatas sebenarnya ia telah meletakkan ajaran Islam sebagai obyek dari liberalisasi. Liberalisasi yang dimaksud disini, seperti yang akan dinyatakan kemudian tidak merujuk kepada konsep Islam, tapi Barat. Dan ternyata benar bahwa diantara proses liberalisasi itu itu adalah sekularisasi Sekularisasi adalah “menduniawikan (temporalizing) nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.”[7] Sekularisasi dimaksudkan “untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah Allah di bumi. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya diatas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggung jawab manusia atas perbuatan itu di hadapan Tuhan”.

Jadi gagasan pertama pembaruan NM adalah liberalisasi, oleh sebab itu konsepnya berbeda dari tajdid. [8] Poinnya masih senafas dengan sekularisme yaitu dichotomic, artinya memisahkan masalah dunia dan akherat. Alasannya yang digunakan adalah agar manusia dalam kehidupannya di dunia bebas memilih, dan tetap bertanggung jawab kepada Tuhan. Sepintas nampak adanya integrasi antara hubungan manusia-dunia dan manusia Tuhan. Namun pada baris-baris berikutnya ia menyatakan bahwa sekularisasi adalah “desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat ilahiyah yaitu dunia”. Ini sejatinya tidak berbeda dari semangat modernisme yang programnya adalah menghilangkan spiritualisme dan menggantinya dengan rasionalisme. Maka dari itu dalam pernyataan selanjutnya NM menegaskan bahwa :

Obyek proses deskralisasi itu ialah segala sesuatu yang bersifat duniawi, baik moral maupun material. Termasuk obyek duniawi yang bersifat moral ialah nilai-nilai, sedangkan yang bersifat material adalah benda-benda.[9]

Pandangan NM ini berarti mereduksi nilai-nilai moral dan benda-benda dari yang bersifat trasenden dan sakral (sacred) menjadi profan. Implikasinya, segala nilai dan benda di dunia ini tidak ada yang sakral. Pemisahan ini menjadi rancu dengan pernyataaan NM kemudian bahwa

Pandangan Dunia (weltanschaung) Islam mengenai hubungan antara alam dan Tuhan itu ibarat sebuah tubuh dengan kepala diatas dan kaki dibawah. ….Artinya kepercayaan kepada Tuhan mendasari pandangan pada alam, dan tidak sebaliknya, seperti ajaran materialisme”.[10]
Nampaknya terdapat kerancuan antara pernyataan diatas dengan gagasan sekularisasi.
Jika NM berfikir konsisten dan konseptual maka seharusnya ia berpendapat bahwa aqidah (teologi) merupakan asas bagi ilmu (epistemologi), iman sebagai asas bagi pandangan pada alam. Artinya pandangan seorang Muslim tentang dunia harus berdimensi akherat. Karena itu Muslim tetap memandang dunia ini sebagai makhluk yang diperlakukan secara sakral, dalam artian ukuran keakheratan. Tapi, seperti dinyatakan di awal, NM justru ingin menghilangkan aspek ukhrawi, aspek teologi dalam kehidupan dunia. Disamping konsepnya rancu, istilahnya membingungkan. Mungkin karena kerancuan ini barangkali NM kemudian menarik penggunaan istilah sekularisasi.

C. Kebebasan Berfikir
Sejalan dengan gagasan pembaharuan dengan liberalisasi pemikiran maka NM mencanangkan gagasan kebebasan berfikir. Disini ia merujuk Pondok Modern Darussalam Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang liberal. Ini tidak benar. Motto kebebasan berfikir di Gontor merujuk kepada pengertian Islam, dan tidak kepada pengertian liberal. Dalam motto itu syarat untuk bisa befikiran bebas adalah akhlaq mulia (berbudi tinggi), badan yang sehat dan ilmu yang tinggi (berpengatahuan luas). Tanpa akhlaq dan pengetahuan kebebasan akan menjadi liar. Bebas dalam pengertian Gontor tidak sampai kepada pemikiran yang meninggalkan tradisi atau yang mempersoalkan masalah-masalah usul. Kebebasan yang dimaksud Gontor adalah kebebasan memilih yang baik dari yang tidak baik berdasarkan ilmu. Jika seseorang tidak mempunyai ilmu untuk membedakan yang baik dan buruk, ia tidak bebas memilih. Kebebasan seperti ini disebut ikhtiyar, artinya memilih yang khayr (baik).[11] Jadi bebas dalam batas-batas pengetahuan Islam yang dapat dipertanggung jawabkan.
Nampaknya kebebasan berfikir yang dimaksud NM adalah kebebasan berfikir yang liberal, yaitu bebas tanpa batas. Sebab ia mengutip pedapat hakim Amerika O.W.Holmes yang menyatakan bahwa “kebebasan berfikir adalah perdagangan bebas dalam ide-ide (free trades in ideas)”. Ini yang ia sebut dengan intellectual freedom. Masalahnya apakah kebebasan berfikir seperti ini dapat diterima sebagai masih dalam batas-batas nilai keislaman.
Karena ketiadaan kebebasan berfikir yang seperti itulah maka kemudian NM menyimpulkan Pertama “tidak adanya pikiran-pikiran yang segar yang disebut sebagai psychological striking force (daya dobrak psikologis). Kedua, “tidak ada suatu badan dengan pikiran bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik dibidang ekonomi, politik, maupun sosial.” Dan sebagai akibat akhirnya “umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi ini”.

Disini NM menggunakan shock therapy untuk mendobrak pemikiran umat Islam yang dianggapnya “memfosil” itu. Untuk itu NM menginginkan suatu lembaga atau badan yang dapat merespon tantangan zaman dalam bidang-bidang ekonomi, sosial dan politik yang terus berkembang. Namun, apa dan bagaimana bentuk badan tersebut? Apakah universitas, lembaga penelitian atau forum kajian, tidak ada gambaran dan konsep yang pasti disini. Adapun “pikiran-pikiran yang segar” yang dia maksudkan adalah pikiran yang berdasarkan Islam yang

disesuaikan, dipersegar, diperbaharui dan diorganisasikan (dikoordniasikan), sehingga ide-ide itu dapat sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang.[12]
Sepintas obsesi NM untuk menjadikan pemikiran Islam sejalan dengan kenyataan zaman sekarang adalah positif. Yaitu dengan menterjemahkan konsep-konsep penting dalam Islam secara kreatif dan innovatif. Namun dari contoh yang dikemukakan ternyata maksudnya adalah menjustifikasi konsep-konsep Barat yang sesuai atau hampir sesuai dengan konsep Islam. Contohnya menjustifikasi demokrasi sebagai sama dengan syura dalam Islam. Tentunya ini tidak sejalan dengan obsesi dan perjuangan umat Islam dimanapun untuk menjadikan pemikiran masyarakat Muslim zaman sekarang - yang dihegemoni oleh peradaban Barat itu - sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Pikiran NM hanya berdasarkan sebuah asumsi bahwa hirarki nilai-nilai ukhrawi dan duniawi dalam pikiran umat Islam itu kacau.[13] Padahal yang ia maksud “kacau” adalah karena tidak sejalan dengan gagasan sekularisasinya yaitu bercampurnya orientasi duniawi dan ukhrawi umat Islam.

D. Sikap keterbukaan dan idea of progress
Sesudah menggagas kebebasan berfikir NM menyampaikan perlunya sikap terbuka. Makna keterbukaan disini adalah terbuka menerima ide-ide dari luar Islam (baca: Barat) asalkan mengandung kebenaran. Untuk menjustifikasi ini ia menggunakan ayat al-Qur’an “Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu megikut apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah yang diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Al-Zumar 18). Namun sekali lagi proses keilmuan bagaimana Islam menerima ide-ide dari luar, tidak dijelaskan. Ia malah menyatakan bahwa
..kita harus bersedia medengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum yang seluas mungkin, kemudian memilih diantaranya mana yang menurut ukuran-ukuran obyektif, mengandung kebenaran.[14]
Karena tidak menyebut proses keilmuan yang jelas maka kerancuannya segera nampak, bahwa ukuran penerimaan dan penolakan ide-ide asing adalah adalah “obyektifitas”. Obyektifitas dalam pengertian Barat bertentangan dengan subyektifitas. Kebenaran obyektif adalah kebenaran yang ditentukan menurut ukuran-ukuran sosial. Jadi ukurannya bukan kebenaran menurut al-Qur’an atau menurut Islam. Seakan-akan Islam tidak memiliki standar atau ukuran kebenaran.


Nampaknya NM gagal melihat Islam sebagai agama yang memiliki konsep-konsep keilmuan yang kemudian dapat berkembang menjadi peradaban yang spektakuler. Inilah sebabnya mengapa ia menggagas sikap terbuka menerima ide-ide asing. Islam dipersepsi sebagai tidak memiliki ide yang setanding dengan ide-ide asing, khususnya Barat. Itulah sebabnya pula mengapa NM memiliki gagasan untuk melepaskan nilai-nilai tradisional. Kegagalan ini tercermin dalam pernyataan dibawah ini:

Umat Islam keluar dari jazirah
Arabia tidak mempunyai apa-apa kecuali iman yang teguh yang memancar dari al-Qur’an dan sunnah. Di daerah-daerah yang baru mereka taklukkan, mereka menemukan warisan-warisan manusiawi, baik dari Barat (Yunani, Romawi) maupun dari Timur (
Persia). Kemudian mereka mengembangkan warisan-warisan itu di atas dasar prinsip-prinsip yang mereka bawa dari
padang pasir jazirah Arab dan menjadikannya milik sendiri. Bukankah itu yang kemudian melahirkan apa yag kita keal sekarang sebagai kebudayaan dan peradaban Islam yang kita banggakan?”
Kutipan diatas menunjukkan dua pendirian, pertama bahwa NM mengingkari kenyataan sejarah bahwa ketika umat Islam keluar dari jazirah
Arabia mereka telah memiliki memiliki konsep-konsep keilmuan yang berasal dari al-Qur’an dan Hadith. Konsep-konsep Muslim mengenai Tuhan, alam, manusia, kehidupan, akhlak, ilmu dsb. telah ada sebelum mereka keluar jazirah
Arabia. Bahkan konsep-konsep teknis keilmuan seperti ‘ilm, ta’lim, ijtihad, fiqh, tafaqquh, tafsir, riwayah, ma’rifah dsb. telah mereka miliki sejak zaman madrasah al-Suffah. Kedua NM memandang Islam hanya memilik modal iman dan prinsip-prinisip
padang pasir. Islam menjadi peradaban hanya ketika menemukan warisan-warisan asing.
Kesimpulannya NM tidak memandang Islam sebagai agama dan peradaban. Ia menyatakan:

jika memang Islam itu bukan kebudayaan, dan bukan pula peradaban, melainkan dasar dari kebudayaan itu, kemanakah hendaknya dicari bahan-bahan kebudayaan dan peradaban Islam untuk membangunnya, jika tidak diseluruh muka bumi yang berupa warisan-warisan kemanusiaan yang universal.[15]
Jadi jelas bahwa Islam bagi NM adalah kekuatan “iman dan prinsip
padang pasir”. Ini sebenarnya adalah titik kelemahan gagasan pembaharuan yang dicanangkannya itu. Sebab persoalannya bukan sekedar terbuka atau tidak terhadap ide-ide asing atau warisan-warisan kemanusiaan. Persoalanya adalah bagaimana proses keilmuan (epistemologis) untuk mengambil ide-ide asing itu? Bagaimana seorang Muslim menguji kesesuaian sebuah konsep asing dengan konsep Islam dan kemudian mengambil atau menolaknya? Masalah belum selesai sampai disini, bagaimana Muslim akan menguji konsep-konsep asing jika konsep-konsep dalam Islam itu belum terbangun secara kokoh. Ini barangkali karena NM gagal menggambarkan Islam sebagai sistim pemikiran atau sistim konsep, Islam hanya sebuah keimanan.

Karena kelemahan epistemologis itulah maka tolok ukur yang digunakan NM untuk mengambil atau menjustifikasi konsep-konsep asing adalah obyektifitas. Kalau hanya sekedar obyektifitas, bagaimana Muslim harus mengukur obyektifitas kebenaran wahyu. Pada halaman yang sama NM mengganti ukuran obyektifitas menjadi “ukuran-ukuran prinsip Islam”. Tapi bagaimana bangunan keilmuan dari ‘prinsip-prinsip Islam” itu juga tidak jelas benar. Ternyata prinsip-prinsip itu digunakan sebagai alat untuk menjustifikasi pemikiran Barat yang terbaik, seperti demokrasi, sosialisme, kerakyatan, komunisme dsb.


Pandangan-pandangan NM diatas dipertegas lagi pada pidatonya pada tanggal 13 Januari 1972, berjudul Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia. Dalam teks pidatonya ia menegaskan bahwa “….dimensi kehidupan duniawi yang material itu adalah ilmu, sedangkan dimensi kehidupan ukhrawi yang spiritual adalah iman.” Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa “Iman tumbuh dan berkembang dengan bertitik tolak pada wahyu, sedangkan ilmu tumbuh dan berkembang karena rasionalitas. Karena perbedaan dimensi itu pendekatan kepada salah satunya dapat dilakukan dengan mengabaikan dimensi yang lainnya.”

Penegasan diatas menunjukkan bahwa pendekatan dichotomis atau sekularistis NM nampak sangat menonjol. Karena berpendapat bahwa ilmu tidak tumbuh dari wahyu bisa berimplikasi bahwa aqidah Islam itu memiliki dimensi keilmuan yang rasional. Akhirnya bisa membawa kesimpulan bahwa wahyu tidak menjamin perkembangan ilmu. Padahal al-Ghazzali tegas menyatakan bahwa “kebanyakan ilmu wahyu itu rasional dan kebanyakan ilmu rasional itu religious.”[16] Demikian pula ketika mengatakan bahwa dimensi kehidupan materi adalah ilmu, nampak sejalan dengan spirit modernisme yaitu penafian dimensi spiritual dalam urusan dunia.

F. Konsep Islam sebagai al-Din
NM mengkritik orang-orang yang mencoba menggunakan identitas Islam sebagai al-Din. Ini menurutnya adalah sikap apologetik. Sebab Din juga dipakai untuk menyatakan agama lain, termasuk agama syirknya orang-orang Quraisy Makkah. Karena itu ia menyimpulkan bahwa al-Din adalah agama seperti agama-agama lain.


Keengganan NM menggunakan konsep al-Din karena tiga alasan 1) akan melahirkan apresiasi ideologis-politis totaliter. 2) akan berpendirian bahwa selain menggarap bidang spiritual Islam juga menangani bidang-bidang lain seperti ekonomi, politik, sosial dsb. tidak kalah dengan Barat. 3) akan berfikir serba legalistik terhadap Islam, artinya Islam itu adalah struktur dan kumpulan hukum, sehingga menimbulkan sikap fikihisme. “Fikih telah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan zaman sekarang. Sedangkan perubahan secara total, agar sesuai dengan pola kehidupan modern dalam segala aspeknya, memerlukan pengetahuan menyeluruh mengenai kehidupan modern dengan segala aspeknya, sehingga tidak hanya melihat kompetensi dan kepentingan umat Islam saja, melainkan juga orang-orang lain. Maka hasilnya pun tidak perlu hanya merupakan hukum Islam, melainkan hukum yang meliputi semua orang untuk mengatur kehidupan bersama”. [17]

Benar istilah al-Din dapat digunakan untuk agama lain, tapi pengertian al-Din untuk Islam dan al-Din untuk yang bukan Islam sangat berbeda. Ahli bahasa al-Jurjani mengartikan al-Din sebagai institusi ilahi yang mengajak orang-orang yang berfikir untuk menerima apa yang dibawa oleh Rasulullah.[18] Al-Baijuri menyatakan al-Din adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah melalui lisan Nabi.[19] Al-Tahanawi juga menyatakan bahwa al-Din adalah institusi ilahi yang membimbing kaum berfikir untuk menganutnya agar mencapai kesejahteraan batin (al-salah fi al-hal) dan keuntungan harta (al-falah fi al-mal).[20]

Definisi-definisi al-Din diatas adalah definisi khusus untuk al-Din yang bersumber dari Allah, yaitu al-Din al-Haqq. Maka dari itu istilah al-Din yang digunakan untuk agama dan kepercayaan lain berbeda dari makna al-Din diatas. Prof. Rouf Syalabi dan Mustafa Abd al-Raziq juga berpendapat bahwa al-Din dapat diartikan dalam dua pengertian al-Din al-Haqq dan al-Din al-Batil. Seperti dikatakan Mustafa Abd al-Raziq bahwa :

Meskipun al-Qur’an menggunakan istilah al-din dengan pengertian yang komprehensif (shamil), yang memasukkan pengertian kepercayaan-kepercayaan orang musyrik sebagai Din [seperti lakum dinukum wa liya din) sesungguhnya al-Qur'an telah menetapkan bahwa dalam agama itu terdapat usul (fondasi) yang dalam pengertian itu terkandung makna syariat khusus bagi agama tersebut."[21]
Jadi al-Din tetap merupakan suatu institusi yang memiliki sistimnya sendiri. Dalam kaitannya dengan Islam adalah pengakuan dan kepercayaan terhadap apa yang diturunkan Allah dan mengambilnya sebagai pandangan hidup (manhaj al-hayat). Sedangkan dalam kaitannya dengan agama lain al-Din adalah apa yang dipercayai manusia dan dijadikannya pedoman hidup ilmiyah maupun amaliyah.[22] Jadi tidak salah jika umat Islam menggunakan konsep al-Din untuk memahami agamanya. Dan karena al-Din yang dilabelkan kepada Islam adalah agama yang lurus, al-Din al-Qayyim, tentu berbeda dari makna al-Din yang dilabelkan kepada musyrik Arab. Demikian pula al-Din untuk Islam telah disempurnakan sehingga menjadi kamil yang jelas beda dibanding al-Din yang lain.

Selanjutnya, ketiga alasan NM menolak penggunaan al-Din untuk Islam tidak memiliki dasar yang kuat. Alasan pertama lebih merupakan kekhawatiran politis yang berlebihan.
Sepertinya NM diliputi rasa ketakutan jika Islam berubah menjadi ideologi yang kuat. Alasan kedua masih relevan dengan asumsi D diatas yang berkenaan dengan konsepnya tentang Islam. Baginya Islam bukan sistim pemikiran, maka dari itu tidak heran jika NM berpendirian bahwa membangun dan mempercayai adanya bangunan politik, ekonomi dan sosial Islam adalah sikap apologetik. Alasan ketiga juga berlebihan, sebab pemahamannya terhadap makna Fikih terlalu sempit, sehingga ia menganggap Fikih itu hukum-hukum ijtihadiyah saja dan tidak relevan lagi dengan pola kehidupan zaman sekarang. Padahal salat, puasa, zakat, haji, nikah, waris dsb adalah Fikih yang sangat diperlukan dan sangat relevan untuk kehidupan sekarang. Selain itu obsesinya untuk melahirkan hukum yang bukan hukum Islam tapi yang mengatur orang selain Islam adalah angan-angan belaka. Masalahnya, siapa yang akan menyusun hukum itu dan apa asas untuk penyusunannya jika bukan Islam. Jika hukum itu bukan hukum Islam maka bukan Islam yang rahmatan lil alamin, tapi orang-orang non-Muslim.

Dari uraian diatas maka kita dapat menangkap pokok pikiran NM dan konsep “pembaruan” pemikiran Islam yang ditawarkannya 37 tahun yang lalu. Karena ide-ide yang dilontarkan pertama kali di Taman Ismail Marzuki itu tidak teroragnisir dengan baik dan kurang coherent, maka saya coba organisasikan kedalam
lima poin dibawah ini:

1. Bahwa Islam bukan peradaban tapi dasar peradaban, dan bukan pula al-Din yang berarti struktur dan kumpulan hukum yang totaliter. Pemikiran umat Islam hanya berorientasi pada fikih, mengutamakan kuantitas, tidak dinamis dan memfosil. Karena itu harus dipebaharui.
2. Strategi penyebaran ide-ide pembaruan adalah shock therapy dan penyebaran ide-ide yang revolusioner.
3. Proses untuk itu adalah liberalisasi dalam bentuk sekularisasi terhadap “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” yaitu dengan a) Melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. b) Menyesuaikan, mempersegar, memperbarui dan mengorganisasikan ide-ide Islam sehingga ide-ide itu dapat sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang, c) dengan mengembangkan keterbukaan terhadap konsep-konsep asing dengan ukuran-ukuran kebenaran obyektif.
4. Sarananya untuk melakukan liberalisasi adalah lembaga atau badan yang dapat merespon tantangan zaman dalam bidang-bidang ekonomi, sosial dan politik yang terus berkembang.

Apa yang disampaikan dalam pidato tersebut, seperti diakuinya sendiri, tidak pernah berubah. Namun dibawah ini akan kita lihat apakah gagasannya itu telah sepenuhnya berhasil diaplikasikan kedalam pemikiran Islam di Indonesia. Jika sudah, perlu sejauh manakah perbedaan antara gagasan asli dan aplikasi gagasan itu.

II. Aplikasi gagasan
Sebenarnya aplikasi sebuah pembaruan pemikiran dan efektifitasnya tidak dapat dilihat secara empiris. Karena ia adalah berbentuk pemikiran maka yang perlu diuji adalah gejala pemikiran yang terdapat di masyarakat. Lebih jelasnya karena gagasannya adalah liberalisasi dan sekularisasi ajaran Islam maka yang perlu diuji adalahj apakah terdapat gejala liberalisasi dan sekularisasi dalam cara berfikir masyarakat saat ini. Pengujian akan merujuk kepada keempat gagasan diatas yang akan direduksi menjadi tiga (3) poin penting. Untuk itu akan dibahas pertama strategi pelaksanaan pembaruan pemikiran dan kedua aplikasi “pembaharuan”nya terhadap makna Islam yang telah dipahami secara liberal dan sekuler itu; dan ketiga praktek liberalisasi dan sekularisasi pemikiran yang dilakukan NM sepanjang 36 tahun, yang tercermin dari magnum opusnya.


A. Strategi penyebaran

Ide-ide NM pada awal mulanya tersebar melalui media masa, sehingga diikuti oleh masyarakat terpelajar perkotaan. Organisasi HMI yang pernah dipimpinnya menjadi sarans efektif untuk penyebaran ide-idenya itu. Namun, sejatinya NM sendiri mengidamkan adanya suatu lembaga atau badan yang dapat merespon tantangan zaman dalam bidang-bidang ekonomi, sosial dan politik yang terus berkembang. Untuk merealisir cita-cita ini sepulang dari
Amerika NM mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina yang didalamnya diadakan kajian agama yang dinamakan KKA (Kelompok Kajian Agama).[23] Kegiatan kelompok ini mendapat respon yang cukup luas dikalangan masyarakat metropolitasn
Jakarta. Dan menurut pengakuan Fachry Ali NM berhasil membentuk komunitas intelektual yang meneruskan ide-ide NM. Diantara tanda-tanda hidupnya komunitas itu adalah terbitnya jurnal ilmiyah Studia Islamika di Ciputat dan buku-buku yang dikarang oleh anggota komunitas itu.[24] Namun, ide-ide NM yang mendapat penekanan hanyalah pemahaman Islam yang terbuka, universal dan toleran alias rahmatan lil alamin - seperti yang akan disebutkan pada poin II.B. Apa yang dikatakan NM dalam pidato di TIM tahun 1972 “untuk merespon tantangan ekonomi, sosial dan politik” tidak merupakan prioritas kegiatan komunitas intelektual tersebut. Tidak terdengar misalnya suatu teori baru tentang ekonomi Islam, pendidikan Islam yang bersifat terbuka, universal dan rahmatan lil alamin. Tidak pula muncul dari kalangan ini suatu teori politik Islam yang baru. Salah satu kegiatan komunitas ilmiyah (scientific community) semestinya menciptakan struktur konsep keilmuan (scientific conceptual scheme). Tapi sejauh ini saya gagal melihat hal ini muncul dari dalam komunitas pembaharuan pemikiran Islam.

Kesimpulan ini diperkuat oleh fakta ketika NM mendirikan Universitas Paramadina. Sudah tentu universitas ini adalah Universitas Islam, bukan universitas sekuler. Sebelum mendirikan universitas ini NM (dalam Orasi Ilmiyah di ISID Gontor tahun 1992) menolak jika IAIN dijadikan universitas. Alasannya karena disitu Fakultas Agama Islam hanya akan menjadi salah satu dari fakultas-fakultas umum. Tapi ketika NM mendirikan Universitas Paramadian ia melakukan sesuatu yang dikritiknya itu. Universitas Paramadina ternyata memiliki fakultas-fakultas sekuler dan satu fakultas agama. Disitu lagi-lagi tidak terdengar pula respon-respon Islam terhadap masalah ekonomi, sosial dan politik dalam bentuk konsep-konsep baru yang diderivasi dari ajaran-ajaran Islam dan respon terhadap konsep-konsep Barat. Gagasan liberalisasi dan sekularisasi pemahaman keagamaan NM tidak tercermin dalam lembaga universitas Paramadina.
Yang justru terdengan santer dan menjadi major concept NM adalah pengembangan paham pluralisme agama. Sekolah yang rencananya akan menjadi underbow Paramadina di desain sebagai sekolah untuk murid-murid semua agama dan didalamnya diajarkan ajaran semua agama. Namun, karena sesuatu alasan yang prinsip sekolah inipun ditutup.
Selain itu, keterlibatan NM dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Sensor Film, di IAIN dan di lembaga-lembaga lain tidak membawa konsep-konsep keilmuan baru. Padahal masyarakat intelektual saat itu sangat membutuhkan konsep dan teori baru dalam bidang penelitian ilmiyah, politik, eknomi, kebudayaan, manajemen, sains, pendidikan. Kesadaran umat Islam untuk membentuk sistim perekonomian mereka bukan produk dari proses liberalisasi dan sekularisasi NM, bukan pula menggunakan konsep yang dihasilkan oleh komunitas ini.

B. Pembaruan Pemahaman
Apa yang fundamental dalam pembaruan pemikiran adalah pembaruan makna-makna, atau pengungkapan kembali ajaran Islam dengan makna-makna baru.
Disini NM menawarkan makna Islam dan Allah.

a) Pemahaman Makna Islam
Menurut NM Islam selain berarti agama Islam, juga dapat diartikan “agama pasrah kepada Allah” atau “berserah diri”. Ide ini hasil rujukannya terhadap terjemahan al-Qur’an Muhammad Asad dan A.Yusuf Ali. Jadi ayat yang berbunyi “inna al-din ‘inda Allah al-Islam” (Al imran 19), menurutnya bisa diterjemahkan menjadi “Sesungguhnya kepatuhan bagi Allah ialah sikap pasrah [kepadaNya]. Ia kemudian merujuk terjemahan Muhamad Asad “Behold, the only [true] religion in the sight of God is [man's] self surrender unto Him“. Juga merujuk A Yusuf Ali “The religion before God is Islam [submission to His Will]. [25] Pemaknaan ini juga ditrapkan pada ayat lain “wa man yabtaghi ghayr al-Islam dina fala yuqbal minhu wa huwa fi al-akhirati min al-khasirin” (Ali Imran 85). Artinya “Dan barangsiapa mengikuti agama selain sikap pasrah kepada Tuhan maka ia tidak tidak akan diterima….”
Yang tidak diterangkan NM disini adalah etymologi al-Islam sendiri sebagai nama agama, padahal ia menyatakan Islam itu nama agama dan sikap berserah diri. Ia tidak menyatakan secara eksplisit bahwa Islam adalah nama agama yang mengandung makna berserah diri. Ia lebih menitik berartkan pada memaknai berserah diri. Kemudian ia menyimpulkan bahwa sikap berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan itu yang menjadi inti dan hakekat agama dan keagamaan yang benar. Akibatnya makna Islam sebagai nama agama menjadi kabur.

b) Pemahaman Makna Allah
Sebelum itu, dalam mukaddimah buku Islam, Doktrin dan Peradaban, dan juga diberbagai tempat[26] NM menganggap Allah bukan nama Tuhan, tapi ism Ilah yang diberi prefix alif lam (al-) menjadi al-Lah atau Allah [27] yang berarti “Tuhan yang sebenarnya itu”. NM mengklain bahwa pendapat ini adalah pendapat yang “menurut banyak ahli”, tapi ia tidak menyebutkan rujukan. Padahal pada halaman 76 ia merujuk al-Faruqi bahwa nama Allah itu telah digunakan sejak zaman jahiliyyah sebagai dewa air, pencipta semuanya, penguasa langit dan bumi, tapi tugasnya diambil oleh dewa-dewi selainNya.[28] Disamping itu ia merujuk pula kepada al-Mu’jam al-Mufahras, namun argumentasi kebahasaannya didalamnya lemah.
NM tidak sampai menggali sejarah asma Allah, kapan pertama kali digunakan dan kapan disebut bersamaan dengan tuhan-tuhan kepercayaan Jahiliyyah.
Kemudian, NM juga tidak mengkaji lebih mendalam perubahan konsep yang terjadi ketika kata Allah dikembalikan kepada konsep aslinya oleh Islam. Selain itu kata Allah itu sendiri adalah lafaz nama yang bunyi lafaznya turun langsung dari Allah melalui Nabi dan diriwayatkan secara rapih. Jika nama itu merupakan alif lam yang ditambahkan kepada kata-kata ilah, maka lafaz itu mestinya berbunyi Allah bukan Alloh. Dalam hal ini para ulama berpegang pada teori: Al-rasm tabi li al-riwayah (tulisan itu mengikuti riwayat). Selain itu jika lafz Allah itu merupakan penambahan prefiks alf lam pada kata-kata ilah, maka dapat diartikan bahwa Allah adalah salah satu genus dari ilah-ilah yang ada. Ini yang tidak dipertimbangkan oleh NM.[29]

Pemahaman NM yang seperti berimplikasi pada menafikan ism Allah sebagai ma’rifah. Padahal Allah adalah ism yang memiliki nama-nama lain yang baik (al-Asma’ al-Husna). Jika Allah diartikan sebagai “Tuhan yang sebenarnya itu” maka terjemahan rabbukumullah adalah Tuhan kamu adalah Tuhan itu. Ini rancu. Demikian pula inni ana Allah akan berarti “sesungguhnya Aku inilah Tuhan yang sebenarnya itu”, dan ini tidak logis karena inni ana adalah deklarasi identitias personal, dan jika kemudian disusul dengan kalimat “Tuhan yang sebenarnya itu” maka deklarasi yang maksudnya untuk menyingkap asma Allah itu menjadi misteri lagi.

c) Pemahaman “Islam yang Inklusif”
Dari pemahaman makna Islam dan pemahaman makna lafz Allah diatas, NM ingin membawa pemahaman Islam yang dalam istilah gereja disebut “inklusif”. Pemahaman ini merupakan prasyarat bagi paham pluralisme agama. NM mencoba membawa sesuatu yang menjadi ciri khas Islam kepada ciri yang lebih umum yaitu sikap keberagaman. Dengan dalih bahwa agama yang dibawa oleh nabi-nabi itu hakekatnya adalah Islam juga.
Jadi dengan merubah makna al-Din, al-Islam dan lafz
Allah NM dapat menawarkan paham inklusifitas Islam atau paham pluralisme agamanya. Sebab dengan merubah kata-kata kunci tersebut pemahaman ayat yang berbunyi Inna al-din ‘inda Allah al-Islam, yang berarti “Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah Islam” menjadi berarti “Sesungguhnya agama yang diterima Tuhan adalah yang berserah diri’. Tuhan disini bisa saja diartikan Yahweh, Wishnu, Buddha Gautama, tuhan Bapak, atau the Real nya John Hick. Artinya siapapun dan agama apapun yang berserah diri akan diterima amal baiknya. Ini adalah pandangan yang mendukung konsep pluralisme agama. Sebab ia menyatakan sbb:
Ketuhanan YME adalah inti semua agama yang benar. Setiap pengelompokan (umat) menusia telah mendapatkan ajaran tentang ketuhanan YME melalui para rasul. Karena itu terdapat titik pertemuan (kalimah sawa’) antara semua agama dan orang-orang Muslim diperintahkan dan mengembangkan titik pertemuan sebagai landasan.[30]
Sebenarnya memaknai kata kunci Allah menjadi ‘Tuhan’ mengandung kerancuan konsep. Masalahnya apakah konsep Tuhan yang dipahami oleh agama lain itu sama dengan konsep Allah dalam Islam? Tuhan dalam Islam, misalnya tidak beranak dan tidak diperanakkan sedangkan Tuhan dalam Kristen beranak. Tuhan dalam Islam hanya satu sementara Tuhan dalam agama Hindu ada 3 Brahma, Wisnu dan Shiwa dan masing-masing mempunyai peranan yang berbeda. Jika memang Tuhan dalam Kristen, Majusi dan lain-lain itu sama mengapa Rasulullah mengajak mereka masuk Islam atau mengajak mereka kepada kalimah sawa’ ? Kalimah sawa’ yang dimaksud bukalah kompromi teologis, bukan common platform, tapi tawhid dalam Islam yang menjadi ajaran-ajaran Nabi-nabi terdahulu. Titik kesamaannya bukan sekedar percaya pada Tuhan, tapi konsep keesaan Tuhan yang dibawa nabi-nabi terdahulu dan dilengkapi Islam.

Persoalan lain timbul ketika NM menafsirkan al-Baqarah 62 dan al-Ma’dah 69 yang berbunyi :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum Sabian, siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian serta beramal saleh, maka tiada rasa takut menimpa mereka dan mereka pun tidak perlu bersedih. (al-Baqarah 62)Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka] yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (al-Ma’idah, 69)
Dalam penafsirannya NM nampaknya tidak merujuk kepada kitab-kitab klassik. Ia mengklain bahwa penafsiran ini adalah penafsiran umum yang ia sebut “pengertian spontan”. Yaitu bahwa ayat ini “memberi jaminan bahwa sebagaimana orang-orang muslim, orang-orang Yahudi, Kristen dan Sabian, asalkan mereka percaya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada hari kemudian, kemudian berdasarkan kepercayaannya itu ia berbuat baik, maka mereka semua itu masuk surga.”[31] Dari pemahaman sepontan itu dapat membawa pengertian bahwa Muslim, Yahudi, Nasrani dan Shabiun mempunyai setatus kebenaran yang sama. Padahal kata-kata “sesungguhnya orang-orang mu’min” disitu menurut ibn Qutaybah dan kebanyakan mufassirun, adalah orang-orang yang mengaku beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq.[32] Maka dari itu disusul dengan kata-kata “yang beriman kepada Allah” (man aman billah). Jika tidak maka aka timbul pemahaman bahwa orang yang beriman itu tidak berbeda keimanannya dari pemeluk agama lain.
NM kemudian merujuk kepada Tafsir al-Baydhawi. al-Baydhawi menyatakan yang dimaksud dengan agama-agama itu adalah “agama masing-masing sebelum agama itu dibatalkan (mansukh), dengan sikap membenarkan dalam hati akan pangkal pertama (al-mabda’) dan tujuan akhir (al-ma’ad), serta berbuat baik sejalan dengan syariat agama itu.” Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiun dsb itu kini telah mansukh. Artinya ayat ini berlaku untuk ahlul kitab sebelum datangnya Islam. Bahkan menurut al-Tabari al-Baqarah ayat 62 dan Ali Imran ayat 69 itu telah di mansukh oleh ayat 75 Ali Imran “Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….”. Jadi ahlul kitab yang tidak memeluk Islam artinya beriman kepada Allah dan rasulNya maka agama atau din mereka itu tidak akan diterima Allah. Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas,[33] dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. Tapi sayagnya NM tidak memberi catatan apa-apa dari penafsiran al-Baydhawi tersebut. Ia malah segera mengutip Yusuf Ali dan Muhammad Asad dan menyimpulkan bahwa siapapun yang beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian dan berbuat baik, tanpa memandang apakah keturuan Nabi Ibrahim seperti kaum Yahudi atau bukan akan memperoleh keselamatan.

Selanjutnya, NM malah memasukkan agama-agama lain seperti Veda, Buddha, Konghucu kedalam golongan ahlul kitab. Lagi-lagi disini NM merujuk kepada A Yusuf Ali. Dengan dalih bahwa Sabian yang disebutkan dalam al-Qur’an itu adalah penyembah bintang. Oleh karena itu para pengikut Zoroaster, Veda, Buddha, Konghucu, dan Guru budi pekerti yag lain dapat dimasukkan kedalam ahlul kitab. Padahal meurut al-Tabari yang berdasarkan pada berbagai riwayat orang Sabean itu adalah kaum yang menyembah malaikat, membaca kitab Zabur dan sembahyang menghadap kiblat.[34] Dan menurut Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah Shabiun itu adalah umat yang telah ada sejak sebelum datangnya Yahudi dan Nasrani, mereka itu ada yang hanif dan ada yang musyrik.[35] Meskipun perlu dikaji lebih lanjut, nampaknya Shabiun disebut dalam ayat itu bukan karena syiriknya tapi karena mereka adalah ummat yang percaya pada nabi-nabi terdahulu, meskipun kepercayaan mereka itu telah mengalami kerusakan.
Dalam pemahaman beberapa masalah diatas NM nampak tidak menggali khazanah pemikiran Islam secara komprehensif, tapi lebih cenderung merespon tren pemikiran yang berkembang di Barat. Dalam memaknai Islam misalnya, ia lebih menekankan pada makna “berserah diri” daripada makna Islam sebagai agama. Ini jelas merupakan bukti bahwa NM sangat dipengaruhi oleh paham inklusifisme atau pluralisme yang kini berkembang pesat di Barat.

C. Proses liberalisasi dan sekularisasi

Gagasan NM tentang liberalisasi dan sekularisasi “ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam” dapat dilihat aplikasinya dalam kumpulan makalah yang terrangkum dalam buku Islam Doktrin dan Peradaban. Yang menonjol dalam tulisan-tulisan NM adalah upaya-upaya untuk melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional. Dalam artian bahwa ia tidak banyak merujuk kitab-kitab klasik. Kalaupun ia merujuk, ia hanya mengambil pandangan yang sesuai dengan gagasannya. Dalam sub-judul “Iman dan Persoalan Makna serta Tujuan Hidup Manusia”, NM tidak merujuk satupun kitab klasik. Padahal konsep seminal dalam al-Qur’an tentang iman, hidup, dan manusia itu telah dikembangkan sejak lama oleh para ulama. Konsekuensi sikap ini dapat dilihat dalam sub-judul “Simpul-simpul keagamaan Pribadi: taqwa, tawakkal, ikhlas”. Karena ia melepaskan nilai-nilai tradisional maka eksposisinya tidak mengandung suatu teori baru dan segar yang dapat bermanfaat sebagai obat bagi nestapa psikologis manusia modern. Padahal teori-teori al-Balkhi, al-Ghazzali, al-Razi, dsb., begitu canggih (sophisticated) dan masih terbuka untuk dikembangkan. Pendek kata Bagian Ke Satu buku tersebut dan sub-judul didalamnya memiliki pendekatan yang hampir sama. Yang terpenting dan mendapat penekanan yang menonjol pada Bagian Satu adalah teori NM tentang kemajemukan, yaitu teori yang menjustifikasi paham pluralisme agama.

Pada Bagian Kedua dari buku itu yang berjudul “Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional”.[36] Pembaca mungkin berharap dari Bagian ini akan ada kritik terhadap ilmu tradisional, sebab obsesi NM adalah melepaskan nilai-nilai tradisional. Tapi membaca dengan cermat seluruh makalah dalam Bagian ini, kita akan kecewa. Karena tidak menemukan kritik-kritik yang tajam terhadap nilai-nilai atau ilmu-ilmu tradisional. Selain bentuk tulisan diskriptif yang dominan aspek kesejarahannya juga menonjol. Bagi pembaca kalangan akademis akan sulit menangkap indikasi adanya framework baru dalam bidang keilmuan.

Dari sini pembaca akan mengerti mengapa NM menyatakan bahwa Islam bukan peradaban tapi asas peradaban. Islam keluar dari jazirah Arab hanya bermodalkan iman. Tapi kemudian ia mengambil kutipan yang justru bertentangan dengan itu dan tidak memberi catatan yang berarti. Seperti misalnya

…sebelum orang-orang Arab mewarisi filsafat alam Yunani dan alkami Cina kemudian meneruskannya ke Barat, tidak ada badan tunggal ilmu pengetahuan alam yang diteruskan dari suatu peradaban ke paradaban yang lain. Sebaliknya dalam setiap peradaban, penelitian tentang alam mengikuti jalannya sendiri-sendiri.
Para filosof Yunani dan Cina memberi penjelasan yang berbeda tentang dunia fisik yang sama….….orang-orang Arab menyatupadukan badan ilmu pengetahuan yang luas itu dan menambahkannya…(kutipan dari George F Kneller, Science as a Human Endeavor,
New York: Columbia University Press, 1978, 3-4).[37]
Dari kata-kata “dalam setiap peradaban, penelitian tentang alam mengikuti jalannya sendiri-sendiri” sebenarnya dapat ditangkap bahwa Islam mempunyai jalan atau cara pandang dan metodologi tersendiri tentang ilmu pengetahuan. Ini berarti bahwa cendekiawan Muslim tidak hanya bermodalkan iman, tapi juga teori dan metodologi.
Tapi NM gagal membuat teori tentang metodologi apa yang dimiliki cendekiawan Muslim sehingga mereka berhasil menyatupadukan “badan ilmu pengetahuan dan menambahkannya”. Yang kita dapati disitu hanya pernyataan bahwa ilmuwan Muslim berjasa menginternasionalkan ilmu pengetahuan dan menyebarkannya. Sementara itu pada halaman selanjutnya (lihat hal. 153) NM jelas-jelas mengutip Dimont bahwa “Budaya Arab tidaklah didirikan diatas rampasan negeri-negeri lain dan otak orang-orang lain. Ia tumbuh dari kedalaman sumur daya cipta yang ada pada manusia itu sendiri” (dari Max I Dimont, The Indestructible Jews,
New York: New American Library, 1973, 184). Disni nampak sekali bahwa NM gagal menangkap sistim epistemologi Islam atau sistim epistemologi dalam tradisi intelektual Islam yang lahir dari hasil daya cipta Muslim sendiri, dan bukan hanya sekedar iman seperti yang disinyalir NM. Padahal ilmu-ilmu seperti Fiqih, Hadith, Tafsir, Faraid, Tarikh dan sebagainya adalah ilmu yang benar-benar lahir dari tradisi tafaqquh dalam Islam.
Disini proses liberalisasi dan sekularisasi yang intinya melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional tidak berdasarkan pada suatu kajian apresiatif atau kritis terhadap tradisi pemikiran Islam secara ilmiyah dan komprehensif. Oleh karena kegagalan itu maka usahanya untuk “Menyesuaikan, mempersegar, memperbarui dan mengorganisasikan ide-ide Islam sehingga ide-ide itu dapat sejalan dengan kenyataan-kenyataan zaman sekarang”, juga tidak berhasil. Maslahnya ide-ide yang “disesuaikan, dipersegar, diperbarui dan diorganisasikan” itu tidak nampak jelas. Lebih-lebih jika ditelusuri dengan pertanyaan mengapa dan bagaimana. Belum selesai membahas masalah keilmuannya NM segera mengamati pluralitas komunitas ilmuwan yang terlibat dalam tradisi intelektual Islam. Jadi, pembahasan terhadap dimensi sosial dan kultural nampaknya lebih menonjol daripada dimensi keilmuannya.
Dalam proses liberalisasi dan sekularisasi yang minus epistemologi itu NM kemudian malah menggagas ide keterbukaan terhadap “konsep-konsep asing”. Ia hanya dapat meninggalkan tradisi dan mendatangkan konsep asing dengan tanpa perangkat keilmuan untuk itu. Teori bagaimana Muslim seharusnya mengadapsi konsep-konsep asing kedalam ranah pemikiran Islam tidak mendapatkan elaborasi yang mencukupi. Buku kompilasi yang digarap semasa NM berada di Amerika berjudul Khazanah Intelektual Islam, tidak dapat memotret suatu framework yang telah berjalan dalam perjalanan intelektual para cendekiawan Muslim dimasa lalu.
Jika seandainya pada Bagian
Kedua NM berhasil melakukan kritik terhadap ilmu-ilmu tradisional, tentu ia akan mengemukakan bangunan ilmu-ilmu keislaman yang baru. Sebab kritik terhadap suatu disiplin ilmu akan melahirkan disiplin ilmu baru. Namun karena NM gagal melakukan kritik ia pun gagal menghasilkan keilmuan Islam yang baru. Disini tradisi pemikiran Islam yang memiliki alur al-nafy wa al-ithbat (negasi dan affirmasi) tidak sepenuhnya tercermin dalam pemikiran NM. Kritik atau negasi terhadap pemikiran umat Islam itu ternyata hanya bersifat superficial.
Oleh sebab itu Bagian Ketiga diberi judul “Membangun Masyarakat Etika”, bukan membangun pemikiran keislaman yang baru atau membangun disiplin ilmu keislaman yang baru. Dalam sub-sub judul didalamnya nampak tidak coherent. Konsep individu yang merupakan asas bagi pembentukan masyarakat tidak dibahas secara mendetail. Ia juga tidak menghubungkan konsep individu tersebut dengan konsep kosmologi, antropologi dan hukum dalam al-Qur’an. Namun yang menarik disini, meskipun ia menolak nilai-nilai tradisional, ia menyatakan bahwa “sejarah Islam memperoleh keutuhannya dan maknanya yang khas dari adanya pandangn hidup…”[38]. pada paragraf selanjutnya ia menyatakan bahwa
..ketika Islam yang pada intinya bersifat pribadi itu memancar keluar dalam bentuk tindakan, dan ketika tindakan-tindakan dari banyak pribadi Muslim itu terkait, saling menopang, dan kemudian menyatu, maka al-Islam pun melandasi terbentuknya suatu kolektiva spiritual (ummah) dengan ciri-ciri yang khas sebagai pancaran cita-citanya yang khas. Maka sebatas ini al-Islam mendorong lahirnya pola-pola ikatan kemasyarakatan dan itu intinya adalah hukum.[39]

Disini NM menangkap Islam sebagai suatu pandangan hidup (worldview), kemudian ia menggambarkan secara ringkas konsep hubungan antara individu dan masyarakat atau ummat yang berlandaskan pada sistim hukum. Namun, sayang ia tidak mengelaborasi lebih lanjut apa bentuk pandangan hidup yang ia sebutkan itu secara konseptual. Dan bagaimana pula bentuk pola-pola ikatan kemasyarakatan yang dihasilkan Islam yang intinya adalah hukum. Padahal sebelumnya ia menolak Islam sebagai al-Din yang mencerminkan struktur hukum. Belum selesai membahas ini ia tiba-tiba membahas tentang Ijtihad Umar. Disini pun NM gagal menangkap konsep ijtihad Umar yang dapat dikembangkan kemudian. Sub-judul “Masalah Etos Kerja…” juga tidak mendetail.

III. Dampak Sosial dan Intelektual
Gagasan yang dilontarkan di TIM 1971 dan 1972 yang kemudian disebut gagasan pembaharuan pemikiran Islam
Indonesia itu ternyata tidak sepenuhnya terrealisir. Artinya antara gagasan dan realisasinya tidak memiliki korelasi yang positif. Sebabnya bisa ditelusuri dari berbagagi sisi. Pertama gagasan yang dilontarkan 37 tahun yang lalu itu ternyata tidak berdasarkan suatu kritik yang ilmiyah terhadap kondisi pemikiran umat Islam saat itu. Kritiknya lebih berorientasi politis atau sosiologis. Kedua, prinsip sekularisasi yang didalamnya terdapat upaya melepaskan diri dari nilai tradisional itu ternyata tidak berjalan dengan baik, karena asasnya bukan asas epistemologis. Ketiga, upaya untuk membuka diri menerima ide-ide asing warisan kemanusiaan itu tidak dibekali oleh konsep-konsep yang kuat dalam Islam, yaitu konsep-konsep yang berguna dalam proses peminjaman ide-ide asing itu untuk peradaban Islam. Akibatnya, kini banyak cendekiawan muda Muslim yang terlalu berlebihan mengapresiasi konsep-konsep Barat dan tanpa sikap kritis.
Dari sisi sosial keagamaan gagasan pembaruan pemikiran yang dilontarkan NM masih bersifat elitis. Padahal kritiknya ketika melontarkan gagasan awalnya itu ditujukan kepada kepada umat Islam kelas bawah. Oleh sebab itu pengaruhnya terhadap pemikiran elit perkotaan cukup signifikan, khususnya untuk kota
Jakarta dan sekitarnya. Namun, karena elit perkotaan yang merespon gagasan NM ini tergolong masih awam dalam kajian Islam, ide-ide keislaman yang dilontarkan NM diterima dengan tanpa kritik. Hingga kini komunitas yang mendapatkan manfaat dari pemikiran NM ini lebih banyak bersikap apresiatif. Buku berjudul Prof. Dr.Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa hampir seluruhnya berisi makalah-makalah yang simpatik dan apresiatif. Jika pendukung NM konsisten dalam mengikuti Barat, kini sudah waktunya muncul dari kalangan mereka yang mengkritik ide-ide NM dan dikembangkan dalam bentuk yang lebih akademis.
Selain dari sisi sosial keagamaan dari sisi intelektual, pengaruh pemikiran NM masih sangat terbatas. Sekurang-kurangnya masih berkisar dilingkungan IAIN, HMI dan beberapa perguruan tinggi negeri tertentu. Pengaruh inipun tidak berjalan lama dan mentradisi. Tidak banyak cendekiawan Muslim yang berkecimpung dalam berbagai disiplin ilmu sekuler yang dapat merealisir gagasan pembaharuan NM ini dalam bidang mereka masing-masing. Gagasan pembaharuannya belum sampai menyentuh persoalan pembentukan atau penyusunan kembali disiplin ilmu-ilmu sekuler menurut prinsip-prinsip Islam. Tidak ada upaya dari pengikutnya yang melanjutkan gagasan pembaharuan NM dalam bidang ekonomi, politik, sains, dan lain sebagainya.
Dampak intelektual yang menonjol terhadap pemikiran generasi sekarang ini adalah gagasan Islam inklusif NM. Gagasan ini mendapatkan apresiasi yang luar biasa tingginya dari anggota komunitas pemabaharuan Islam. Gagasan Islam inklusif NM malah mendapatkan tempat yang penting dalam diskursus pluralisme agama yang akhir-akhir ini sangat marak dan merupakan agenda kelompok pemikir liberal. Gagasan kebebasan berfikir dan keterbukaan NM itu kini menjadi senjata ampuh kelompok liberal dalam memasarkan ide-ide liberal mereka.

Penutup
Gagasan pembaharuan pemikiran Islam NM itu hanya berpijak pada hasil pengamatannya terhadap kondisi umat Islam
Indonesia. Itupun telah berubah pada beberapa dasawarsa berikutnya. Bahkan kini asumsinya tentang politik umat Islam tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh sebab itu tidak heran jika gagasan ini tidak bisa muncul menjadi wacana internasional atau sekurang-kurangnya menjadi diskursus hangat kalangan intelektual Muslim tingkat dunia.[40] Sebabnya, pertama mungkin masalah teknis bahasa, artinya gagasan NM yang terlontar selama ini tidak pernah ditulis dalam bahasa Inggeris (atau diterjemahkan orang kedalam bahasa Inggeris) sehingga tidak dapat tersebar dan dibaca ummat Islam dinegara-negara lain.[41] Kedua, mungkin substansi gagasannya dinilai terlalu berbau keindonesiaan yang terbatas pada dasawarsa 70 an dan 80 an. Ketiga, gagasan pembaharuannya itu mungkin tidak menawarkan konsep-konsep baru dalam pemikiran Islam yang dapat memberi solusi bagi problematika yang dihadapi dunia Islam saat itu dan saat ini. Kemungkinan-kemungkinan tersebut masih perlu pengujian lebih lanjut. Berdasarkan asumsi-asumsi diatas dan upaya-upaya berlebihan oleh sementara pihak untuk membekukan dan membakukan pemikrian NM, maka perlu kiranya gagasan itu ditinjau kembali dengan dievalusasi secara kritis dan analitis. Jika para eksponen pembaharuan pemikiran Islam berhenti pada sikap glorifikasi dan merasa tabu untuk melontarkan kritikan terhadap NM, maka ini hanya membuktikan bahwa NM sendiri telah gagal mengaplikasikan gagasannya.


Kuala Lumpur, 9 Maret 2007
________________________________________
* Makalah disampaikan pada Diskusi INSISTS Kuala Lumpur, di Segambut,
Kuala Lumpur, 9 Maret 2007.
[1] Nurcholish Majid, “Dialog Keterbukaan”, lihat Facry Ali, Kata Pengantar, xxi.
[2] Kutipan teks pidato NM berasal dari Charles Kurzman (editor), “Liberal Islam, A Source Book”, di Indonesiakan oleh Bahrul Ulum & Heri Junadi, Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, Jakarta : Penerbit Paramadina, cetakan 12001,
[3] Ibid, 485-486
[4] Ibid, 486.
[5] Ibid, 487
[6] Ibid
[7] Ibid, 488
[8] Tajdid dalam konteks hadith Nabi adalah “menghidupkan kembali ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang tidak dijalankan dan mengamalkan apa yang dikehendaki keduanya” lihat Abd Rahman Muhammad Uthman (Muhaqqiq) ‘Aun al-Ma’bud, ‘Ala Sunan Abi Dawud, Sharh Abi Tayyib Muhammad Shams al-Haqq ‘Adhim Abadi, al-Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Salafiyyah, 1969, juz 11, hal. 386; Ibn Kathir menjelaskan bahwa tajdid adalah menyebarkan ilmu dari orang-orang yang terdahulu kepada orang-orang sesudahnya…..pada tiap generasi baru akan ada orang-orang adil yang membawa ilmu ini. Mereka membersihaknnya dari penyelewengan para pemalsu dan pengotoran para pembohong”, Dalail al-Nubuwwah, seperti dikutip Bustami M Said MA, dalam Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam, Pusat Studi Ilmu dan Amal (PSIA), IPD-Gontor, 1992, 17.
[9] Ibid, 488-489.
[10] Ibid, 489
[11] Istilah istikharah yang merujuk kepada suatu macam shalat sunnah berasal dari adalah dari akar yang sama, khayr, artinya memohon petunjuk untuk memilih yang baik. (allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika…).
[12] Ibid,
[13] Ibid, 490
[14] Ibid, 491
[15] Ibid
[16] Al-Ghazzali, al-Imam Abu Hamid. (1993). “Al-Risalah al-Laduniyyah”. Majmu‘at al-Rasail li al-Imam al-Ghazzali. vol. 3.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hal. 63; lihat terjemahan Inggerisnya di JRAS. Part III, July, 23.
[17] Nurcholish Majid, Ibid, 502
[18] Al-Jurjani, al-Ta’rifat, hal. 105
[19] Al-Bayjuri, Tuhfat al-Murid al Jauhar al-Tawhid, 12
[20] Al-Tahanawi, Kashshaf Istilahat al-Funun wa al-Ulum, jld 2, 503.
[21] Mustafa Abd al-Raziq, al-Din wa al-Wahy fa al-Islam,
Cairo: Dar Ihya al-Kutub Isa Babi al-Halabi, 1945, hal. 29.
[22] Ahmad bin Abdullah Jud, Ilm al-Milal wa Manahij al-Ulama Fihi,
Riyadh: Dar al-Fadilah, 2005, 17-19.
[23] Ihsan Ali Fauzi, Pemikiran Indonesia Dekade 1980 an, dalam
Sukandi AK (Penyunting), Prof.Dr. Nurchlish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai Guru Bangs, Pustaka Pelajar, 2003, 241
[24] Nurcholish Majid, “Dialog Keterbukaan”, lihat Facry Ali, Kata Pengantar, xxxiii-xxxvii.
[25] Nurcholish Majid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Yayasan Wakaf Paramadina, 2000, 2, lihat footnote no 8; 41. Selanjutnya disingkat IDP
[26] Lihat misalnya wawancara NM dengan Harian Pelita, tanggal 17-21 Oktober 1986, berjudul “Antara Tuhan atau Dewata Raya” dalam Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan, Penerbit PARAMADINA, Jakarta, 1998, 259-262.
[27] IDP, li.
[28] Ismail R al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, The cultural Atlas of Islam,
New york: McMillan, 1986, 65-66
[29] Dalam masalah ini ternyata NM tidak melakukan kajian pendahuluan seperti yang dilakukan Izutsu. Dalam bukunya God and Man in the Kur’an: Semantic if the Koranic Weltanschauung,
Tokyo: The Keio Insatitute of Cultural and Linguistic Studies, 1964.
[30] IDP, 1
[31] IDP, 186
[32] Ibn Qutaybah, Ta’wil Mushkilat al-Qur’an, ed. Sayyid Ahmad Safar, Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1973, 482
[33] Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu’ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma’thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma’athir, Madinah, 1999, 169
[34] Ibid
[35] Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Ahkam Ahl al-Dhimmah Li Ibn al-Qayyim al-Jawzxiyyah, jld. 1,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995, 85
[36] IDP, 201-285.
[37] IDP, 135
[38] IDP, 382
[39] IDP, 383
[40] Bandingkan misalnya konsep pembaharuan dan Islamisasi Propf.SMN Naquib al-Attas yang diikuti oleh Prof. Dr. Ismail R al-Faruqi, juga Prof. Dr. Fazlur Rahman yang merespon modernisasi, Sir Syed Ahmad Khan dengan revivalismenya, Abul Ala al-Maududi dengan pemikiran politiknya dsb. Terlepas dari keabsahan substansi gagasan mereka itu tersebar cukup luas di dunia Islam dan Barat dan mengundang diskusi intelektual tingkat dunia pula.
[41] Disertasi yang ditulis oleh Kamal Hasan berjudul “Indonesian Muslim Intellectual response to the Issue of Modernization” di Columbia University, Fauzan Soleh “Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia” di McGill, Canada, Victor Tanja tentang HMI, Greg Barton tentang Nurcholish dan Abdurraham Wahid, di Monash University, Masykuri Abdullah di Hamburg, adalah kajian-kajian kawasan dan merujuk kepada persoalan rumah tangga ummat Islam Indonesia.