ASSALAMU ALAIKUM

SELAMAT DATANG DI IQBAL'S BLOG

Minggu, 20 September 2009

tafsir al fatihah

TAFSIR AL FATIHAH
"BismillahirRahmanirRahim"
(Dengan nama Allah Maha Pemurah Maha Penyayang)
Dalam al Qur'an al Karim dan juga pada awal setiap surah selain Surah al Taubah dimulakan dengan "Bismillahir Rahmanir Rahim". Ini memberikan satu panduan agar kita memulakan segala apa yang kita lakukan dengan menyebut nama Allah terlebih dahulu.
Rasulullah s.a.w bersabda yang mafhumnya:
"Setiap urusan yang baik yang tidak dimulakan dengan "Bismillahir Rahmanir Rahim", maka tidak akan mendapat barakah" (Abu Dawud)
Perkataan "ISM" adalah suatu perkataan yang menunjukkan zat atau makna. Sedangkan lafz al Jalalah,yaituALLAH, adalah zat yang mesti ada, suatu nama yang pokok dan penghimpun. Adapun selain daripada itu adalah sifat sifat Allah yang berkenaan dengan perbuatan maupun dengan perkataan, yang semua itu dinamakan Asma' al Husna atau nama nama yang indah. Di mana setiap nama itu berarti sifat yang menunjukkan pada zat dan sifat perbuatan. Sedangkan ism al Jalalah ini menunjukkan itu semua dengan seluruh kesempurnaan dan kesucian Nya daripada segala sifat yang berlawanan dengannya. Itu sendiri menunjukkan sifat zat yang bersifat Maha Sempurna dan bersih daripada segala sifat kekurangan.
"ArRahmanir Rahim" pula adalah dua sifat Allah yang berasal daripada perkataan rahmah dengan arti yang layak bagi Allah.
Ibnul Qayim mengatakan: "Menghimpun antara Rahman dan Rahim di sini mengandungi arti yang indah sekali. "Rahman " menunjukkan sifat dasar bagi Allah. "Rahim" pula menunjukkan hubungannya dengan yang diberi rahmat. Jadi seolah olah yang pertama itu berarti sifat, sedang yang kedua itu berarti perbuatan. Yang pertama menunjukkan, bahwa rahmah dan kasih sayang itu menjadi sifat zat Allah, sedang yang kedua menunjukkan, bahwa Dia memberi rahmat kepada makhluk Nya dengan sifat kasih sayangnya itu.
Untuk memahami arti ini, renungkan firman Allah yang mafhumnya:
"Dia adalah maha kasih sayang kepada orang orang mukmin"
"Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang dan pengasih kepada orang mereka"
Di situ tidak terdapat kata "Rahman" kepada mereka. Dengan demikian, maka kamu dapat mengetahui, bahwa "Rahman" itu berarti zat yang disifati dengan rahmah, sedang "Rahim" berarti zat yang diberi rahmat.
Selanjutnya kata ibn al gayim:
"Titik ini hampir tidak dijumpai dalam kitab mana pun."
Tetapi Syeikh Muhammad Abduh berpendapat lain. Beliau mengatakan:
"Yang saya ketahui, bahwa sighat "Fa'Laan" menunjukkan sifat perbuatan yang mengandung arti mubalaghah (sangat) separti "Fa'aalun" yang dalam penggunaan bahasa terpakai untuk sifat sifat mendatang separti "Atsyan"(orang haus), "Gharthan" (orang yang Iapar), "Ghad ban" (orang yang marah)"
Sedang sighat "Fa'iilun" menunjukkan arti yang tetap, separti akhlaq dan tabiat manusia separti: "alim (yang mengetahui), hakim (yang bijaksana), halim (yang sabar) dan jamil (yang bagus). Sedang al Quran tidak pernah keluar daripada gaya bahasa Arab yang mengena dalam menceriterakan sifat sifat Allah 'azza wajalla, yang sentiasa jauh daripada menyamai sifat sifat makhluk.
Jadi perkataan "Rahman" berarti menunjukkan zat yang daripadanya timbul rahmah itu dengan perbuatannya pula yang meliputi seluruh keni'matan dan kebaikan. Sedang kata "Rahim" berarti menunjukkan pangkal timbulnya rahmah dan ihsan itu, dan ini adalah sifat yang selalu ada pada Allah.
Dengan demikian satu sama lain saling berkaitan. Tidak berarti yang kedua sebagai penguat yang pertama. Maka apabila seseorang Arab mendengar sifat Allah dengan "Rahman", dan ia mengarti bahwa secara kenyataan Dialah yang meluaskan ni'mat ni'mat itu, dia tidak boleh mempercayai bahwa Rahmah itu sifat yang mesti dan selalu ada, sekalipun terjadi dalam banyak hal. Tetapi kalau dia mendengar "Rahim" maka kepercayaannya kepada Allah menjadi sempurna menurut arti yang layak bagi Allah dan di redainya serta dia akan mengetahui, bahwa Allah mempunyai satu sifat yang disebut "Rahmah" yang daripadanya akan membuahkan satu pengaruh yang besar, kendati sifat sifat yang tersebut tidak sama dengan sifat sifat makhluk.
Sifat ini disebut, sesudah menyebut kata "Rahman", adalah tak ubahnya dengan menyebut dalil sesudah madlulnya untuk memberikan kejelasan baginya.
Demikian kami ringkaskan daripada Tafsir al Manar.
Barangkali pendapat terakhir ini lebih mendekati kepada kaedah-kaedah dan uslub bahasa Arab.
Syeikh Muhammad Abduh dalam menjawab sementara lawan berfikirnya dan pengarahan pendapatnya ini sehingga melupakan satu aliran yang sangat lembut sekali, yang hendak kami bawakan di sini secara ringkas, separti berikut:
"Kemungkinan untuk memperkuat dengan menyebut dua sifat itu secara bersama sama bagi tujuan meniadakan berbilang, adalah sangat jauh. Kerana antara tauhid dan arti rahmah sama sekali tidalc ada hubungannya, sedang sepanjang sejarah tidak pernah ada orang yang berpendapat. bahwa "Rahman" itu berarti ma'bud (yang disembah) dan "Rahim" pun berarti ma'bud yang lain, sehingga periu dikongkritkan, bahwa Rahman dan Rahim itu berarti satu"
Tetapi yang dikenal pengartian separti ini ialah perkataan orangorang Kristian yang berpendirian Triniti (Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Ruhul Kudus), dengan anggapan Tiga sama dengan Satu. Kemudian Allah bermaksud menjadikan pembuka amal baik kaum muslimin yang terdiri dari tiga makna: Yang pertama "zat" sedang yang kedua dan ketigayaitu"Dua Sifat".
Lafz al Jalalah (Allah) adalah zat yang sama dengan penyebut Bapa menurut orang Kristian. Rahman adalah sifat perbuatan yang selalu baru yang timbul sebagai pengaruh daripada keluasan kedermawanNya. Ini separti kata "Anak" menurut anggapan Kristian, sebab 'rahman' adalah basil daripada zat. Sedang kata "Rahim" menunjukkan sifat yang abadi daripada zat yang Maha Suci, yang kepadanya kembalilah perbuatan yang baru itu. Dengan anggapan timbul dan serba bare adalah separti penyebutan Ruhul Kudus menurut anggapan Kristian dalam hubungannya antara anak dan bapa, namun mereka akan terus berusaha untuk menutupinya dengan pelbagai cara.
Kemudian al Quran mengajar kita bagaimana harus kita meletakkan Tauhid di tempat Triniti, dan kita ganti lafaz lafaz tanzih (kata yang membersihkan) yang justru lebih baik dengan lafaz lafaz tasybih (kata yang menyerupai). Dan kami mengarti arti yang dijadikan alasan untuk maksud Tuhan Bapa, Tuhan Anak dan Ruhul Kudus itu, adalah arti daripada Rahmah dan meluasnya ni'mat.
Di sinilah perlunya mengapa dua kata (Rahman dan Rahim) diulang dalam permulaan tiap surat dan hita disunnatkan membacanya dalam setiap melakukan amal kebajikan. '
Daripada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa kebanyakan ahli tafsir mengartikan arti kata "Rahman" itu berarti pemberi ni'mat dalam bentuk barang kasar. Sedang kata "Rahim" berarti pemberi ni'mat dalam bentuk barang yang halus. Tetapi pendapat ini tidak bersandar dalil.
Atau kedua duanya mempunyai arti yang lama. Sedang kata yang kedua sebagai penguat (ta'kid) bagi yang pertama.
Ini adalah pendapat al Jalal, al Shabban dan sebahagian ahli tafsir. Tetapi pendapat ini dipandang lemah. Sebab di dalam al Quran tidak ada satu pun kata tambahan yang tidak mengandung pengartian yang dimaksud. Demikian sebagaimana yang ditegaskan oleh ibnu Jarir alTabari.
Atau salah satu sifatnya itu menunjukkan arti Rahmah yang tetap pada diri Allah. Sedang yang kedua menunjukkan berulangnya perbuatanperbuatan yang ada hubungannya dengan sifat ini. Inilah pendapat ibn al Qayim dan Syeikh Muhammad Abduh. Dan ini pula kiranya cukup dapat mententeramkan hati.
Alhamdulillahi Rabbil 'Alamin
(Segala puji bagi Allah, Tuhan bagi sekelian alam)
"ALHAMDU", adalah segala pujian yang bagus dan indah. Pujian ini sangat bergantung kepada kadar pengenalan pemujanya kepada sifat sifat yang dipuji. Kalau pemujanya mempunyai pengetahuan yang luas dan menyeluruh, maka akan tepadah pujiannya itu. Justru itulah setup muslim berkewajipan bersungguh sungguh untuk mengkaji rahsia alum dan mengetahui seluruh daya dan keindahan yang terkandung di dalamnya. supaya dengan demikian mereka dapat mengenal dengan baik akan keagungan penciptanya. Dan dengan itu pula pujiannya itu akan tepat dan benar, sebab pujiannya itu benar benar tumbuh dari pengenalan yang hakiki dan perasaan yang tumbuh dari hati nurani serta penghormatan yang timbul dari rasio, bukan sekedar memberi atau ketaatan yang turun temurun.
Justru itu pula, pujian dan sanjungan yang tartinggi, ialah pujian dan sanjungan Allah terhadap dirinya sendiri: "Maha Suci Engkau, Kami tidak dapat menghitung pujian atas Mu sebagaimana Engkau telah memuji sendiri pada Diri MU".
Pujian Allah pada dirinya itu satu hat yang wajar dan mesti, kerana Dialah yang bersifat mahasempurna, yang berhak mendapat segala macam pujian, kendati ada beberapa sebab yang mempengaruhi arti pujian ini kepada jiwa hambanya, separti halnya seorang yang lapar akan memuji ketika ia sudah kenyang, seorang haus ketika puas mendapat minum, seorang miskin ketika kaya, seorang bodoh ketika memperoleh pengetahuan dan seorang yang tersingkirkan apabila telah dikabulkan permintaannya, separti pujian Nabi Ibrahim yang mafhumnya:
"Segala puji bagi Allah yang telah memberiku Ismail dan Ishak sesudah tuaku, kerana memang sesungguhnya Tuhanku sungguh mendengarkan pemohonan" (Ibrahim: 39)
Di sinilah letak rahsia menghimpun antara hak pujian (ALHAMDU) dan ketuhanan Allah terhadap seluruh clam ini (RABBIL ALAMIN).
"RABBIL ALAMIN" (Tuhan bagi sekelian alam)
Imam Baidawi mengatakan, "Rabbun" pada asalnya adalah kata 'masdar' yang berarti 'tarbiyah' (pendidikan),yaitumenyampaikan sesuatu secara sempurna dengan bertahap. Maka Allah disifati dengan "Rabbun" adalah untuk melebihkan (lil mubalaghah). Rabb juga disebut "Malik" (pemilik) kerana Dia melindungi dan mendidik apa yang dimilikinya.
Kata "Rabb"ini tidak boleh dipakai untuk selain Allah, kecuali dengan adanya pembatasan atau disandarkan kepada yang lain.
Sedang al Raghib berpendapat, "Rabb" itu pada asalnya berarti tarbiyah,yaitumenumbuhkan sesuatu secara bertahap hingga sempurna.
Kata "Rabb" ini tidak boleh dipergunakan secara mutlak, kecuali bagi Allah.
"'ALAMIN" (sekelian alam)
Kata ini sebagai kata jama' daripada "ALAM", yang menurut sementara pendapat maksudnya ialah: manusia, berdasarkan firman Allah yang mafhumnya:
"Supaya ia (Nabi) itu menjadi pengancam bagi manusia" (Al Furqan: 1)
Sementara adaa juga yang berpendapat, meliputi semua makhluk Allah yang berilmu, separti malaikat, manusia dan jin.
Dan ada juga yang mengatakan, setup jumlah yang berbeda dengan afradnya sebagai sifat yang mendekati berakal, separti: 'alam al insan (alam manusia), 'alam al nabat (aam tumbuh tumbuhan) dan 'alam alhayawanat (alam binatang). Tetapi untuk benda benda mati separti batu, gunung dan sebagainya tidak dapat disebut alam. Oleh kerana itu tidak boleh disebut: 'alam al hajar (alam batu), 'alam al jabal (alam gunung) dan sebagainya.
Bahkan ada juga yang berpendapat, bahwa yang disebut 'alaminyaitusemua jenis makhluk, dengan alasan firman Allah yang mafhumnya:
"Fir'aun berkata: "Siapakah Tuhan bagi alam semesta ini? " Musa menjawab: Yaitu Tuhannya Iangit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, kalau benar benar kamu beriman." (As Syu'ara': 23-24)
Daripada sekian banyak pendapat, barangkali pendapat yang lebih tepat bahwa arti itu semua tidak lepas daripada karenah. Sedang yang dimaksud dengan kata "'Alamin" di surah al Fatihah ini ialah arti yang terakhir. Sebab sesungguhnya Allah adalah zat yang mengatur seluruh makhluk ini. '
Sedang pengaturan Tuhan terhadap seluruh makhluk ini nampak dengan jelas dalam seluruh manifestasi dunia ini, daripada yang paling kecil hingga yang paling besar. Misalnya benda benda yang mati, yang mengatur adalah Allah, dengan hukum hukum clam Nya, yang tidak terlepas daripada satu reaksi, konstruksi, peleburan, campuran, gabungan dan penukaran.
Selanjutnya dalam keanekaragaman tumbuh tumbuhan, dalamnya terkandung pengartian tarbiyah ilahiyah dengan satu bentuk yang lebih jelas, dibandingkan dengan apa yang terkandung dalam bendabenda mati, kerana di dalamnya terdapat arti dan dasar dasar hidup. Kita ambit contoh misalnya janin tumbuh tumbuhan yang bersembunyi dalam biji bijian, sehingga apabila ia telah bertemu dengan tanah yang subur, dia akan berkembang, bergerak dan memakan bahan bahan makanan yang berada di sekitarnya, yang memang disediakan untuk itu. Maka bahan bahan makanan yang dihisap oleh janin tadi tak ubahnya dengan puting binatang. Begitulah sehingga janin ini apabila sudah tumbuh dan membesar, akarnya menghunjam di tanah dan menghisap makanannya dari tanah, kemudian bertambah menjadi susunan yang indah nampak di permukaan bumf berbentuk tumbuhtumbuhan yang akan menjadi pohon kecil, terus membesar dengan beranting, berdaun dan berbunga yang bernafas, makan dan bunting kemudian melahirkan buah buahan.
Binatang dengan seluruh macamnya, dan manusia dengan seluruh jenisnya adalah diatur oleh Allah dalam seluruh tahap tahap hayatnya, sejak dari bentuk nutfah sampai menjadi darah menggumpal, dan menginjak kepada segumpal daging, dan terus dilengkapi dengan tulang belulang sampai kepada bentuk yang sempurna. Kemudian lahir, menyusu , berkembang dan besar dengan dimudahkan jalanjalan untuk mempertahankan hidup serta penjagaan yang sempurnayaitudengan dijaganya perlengkapan, anggota dan jalan mencari makan melalui cara cara pengetahuan dan perasaan yang bermacammacam, sehingga dengan demikian manusia dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk dan .clapat merasakan arti kebaikan, kebenaran dan keindahan.
"ARRAHMANIRRAHIM" (Pemurah lagi Penyayang)
Tafsir al Manar mengatakan: "Kalimat ini diulang untuklmenunjukkan bahwa pengaturan Tuhan terhadap alam semesta ini bukan kerana keperluan Allah kepada mereka separti demi mengambil manfaat atau menolak mudarat. Tetapi itu semua hanyalah semata mata menunjukkan keluasan rahmat kasih sayang Allah serta kebaikan Nya kepada makhluk Nya.
Walaupun arti "rabb" yang difahami sebagai kekuasaan dan paksaan, Allah hendak menyadarkan mereka itu dengan rahmah dan kebaikanNya supaya mereka dapat memadukan antara kepercayaan terhadap keagungan dengan kebaikan Allah. Maka disebutlah kata "RAHMAN" dengan arti yang meluaskan ni'mat serta berganti gantinya ni'mat itu yang tiada habis habisnya. Dan disusulnya dengan kata "RAHIM" yang berarti mempunyai sifat rahmah yang abadi yang tidak pernah tiada untuk selama lamanya.
Jadi seolah olah Allah hendak memperlihatkan kasih Nya kepada hamba Nya, kemudian memperlihatkan kepada mereka bahwa pengaturannya itu adalah pengaturan yang berbentuk kerana rahmah dan kebaikan Nya, supaya mereka tahu, bahwa sifat inilah (RAHMAN dan RAHIM) yang menjadi sumber seluruh sifat, sehingga dengan demikian mereka akan mahu menerima dengan rela untuk mencari keredaan Nya.
Sifat ini tidak berarti akan meniadakan keumuman rahmah dan hukum hukum Allah tentang hukuman di dunia dan akhirat bagi orang orang yang memperkosa hukum dan melanggar larangan.
Sesungguhnya Allah, sekalipun disebut "QAHHAR" (pemaksa) dilihat di segi bentuk dan realitinya, tetapi pada hakikatnya paksaan Nya itu berbentuk rahmah, kerana di dalamnya terdapat suatu pendidikan bagi manusia dan menghalang mereka daripada melanggar hukum Allah, sebab dengan pelanggarannya itu mereka akan jadi celaka. Sedang disiplin pada hukum Allah akan membawa kebahagiaan dan kesenangan mereka.
"MAALIKI YAUMIDDIN" (Yang merajai hari kemudian)
"MAALIKI" dengan dipanjangkan "mim"nya berarti memiliki, dapat dibaca "MALIKI" dengan dipendekkan "mim"nya yang artinya ; raja. Kedua dua bacaan ini mempunyai dasar dalam ayat al Quran. Yang pertamayaitudasar fir man Allah yang mafhumnya:
"Pada suatu hari di mana satu jiwa tidak dapat menolong jiwa lainnya, sebab semua urusan di hari itu adalah kepunyaan Allah." (Al Infitar: l9)
Alasan bagi bacaan kedua ialah firman Allah yang mafhumnya:
"Milik siapakah kerajaan pada hari itu? ihlilik Allah yang Maha Esa dan Maha perkasa." (Ghafir: 16)
"AL-DIN" artinya: al hisab (perhitungan) , al mukafa'ah (kecukupan) dan al jaza' (pembalasan). Arti terakhir inilah yang sangat munasabah bagi ayat ini.
Maka arti "Yaumiddin"yaituhari kebangkitan yang besar untuk menerima perhitungan dan balasan amal. Separti juga diterangkan oleh Allah dalam al Quran yang mafhumnya:
"Yaitu suatu hari yang tiap tiap jiwa akan mendapatkan di hadapannya kebaikan yang mereka lakukan dan kejahatan yang mereka lakukan; tiap tiap jiwa itu akan merasa senang kalau antara dia dan hari itu ada jarak yang jauh". (Ali 'Imran: 30)
Allah memperingatkan makhluknya dengan kelembutan perhitunganNya, sehingga dengan demikian manusia mahu mengikuti dan mengakui, bahwa TUHAN SEKELIAN ALAM YANG MAHA RAHMAN DAN RAHIM itu adalah raja pada hari kemudian (maaliki yaumiddin), yang kemudian Dia akan menghitung dan memberi balasan amal yang mereka kerjakan.
"IYYAKA NA' BUDU WAIYYAKA NASTA'IN"
(Hanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu kami minta tolong).
Pengartian menurut bahasa berarti taat dengan benar benar tunduk. Tetapi pentafsiran ini belum dapat mencapai maksud ibadah. Ibadah tidak sama dengan pengabdian. Menurut Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya mengenai arti ibadah ialah secara ringkasnya: "Seorang yang mencintai orang lain akan berlebih Lebihan dalam menyanjung kekasihnya sehingga sanggup berkorban untuk memenuhi kehendak kekasihnya". Ini belum dinamakan ibadah dengan arti yang sebenarnya.
Pengartian ibadah yang sebenarnya ialah ketaatan yang paling tinggi yang tumbuh dari hati kerana merasa kebesaran yang diabdi, yakin akan kekuasaan Nya.
Justru itu ibadah ini mempunyai beberapa bentuk yang disyariatkan demi menyedarkan manusia akan kekuasaan Tuhan yang Maha Tinggi sebagai jiwa dan rahsia ibadah.
Setiap bentuk ibadah yang benar mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk keperibadian pelakunya serta membersihkan jiwanya yang berpunca daripada ketaatan dan pengagungan.
"ISTI'ANAH" atau "nasta'in" artinya ialah: mencari bantuan untuk mengatasi kelemahannya dan bantuan untuk apa yang tidak dapat dilaksanakan atau disempurnakan.
Permintaan bantuan ini dalam persoalan duniawi yang menjadi kekuasaan manusia dan perbuatan manusia, boleh dilakukan antara manusia itu sendiri. Bahkan cara ini termasuk cara bertaqarrub kepada Allah sebagaimana hadis Nabi s.a.w yang mafhumnya:
"Bahwa sesungguhnya Allah akan memberi pertolongan kepada hamba Nya, selama hamba tersebut mahu menolong saudaranya"
Memberi dan meminta pertolongan kepada manusia separti tersebut di atas adalah satu cara yang dibenarkan, demi melaksanakan dan menyempurnakan perbuatan perbuatannya.
Adapun meminta pertolongan (isti'anah) dalam hal hal yang khusus buat Allah dan yang tidak dibenarkan minta bantuan kepada selain Allah, adalah hal hal yang di luar kemampuan manusia, separti minta sembuh daripada penyakit setelah berubat, meminta kemenangan untuk melawan musuh sesudah mengadakan persiapan dan mengerahkan seluruh daya kemampuan, dan separti meminta Allah daripada segala macam gangguan dan bala yang memang perkara tersebut semata mata berada di tangan Allah yang tidak mungkin dielakkan kecuali oleh zat yang mengatur urusan bumi dan langit ini.
Ibadah dan isti'anah dan pengartiannya separti ini, hanya untuk dan kepada Allah semata. Justru itu didahulukannya dhamir "IYYAKA" (hanya kepada Mu), untuk menunjukkan kekhususan, separti yang dikatakan oleh ahli bahasa.
Setiap manifestasi yang menunjukkan ibadah secara syar'i, yang nampak ataupun yang tidak nampak, tidak boleh tidak kecuali untuk Allah semata mata, separti: salat, ruku', sujud, nadzar, qurban, sumpah, takut, mengharap, tawakkal, cinta, senang, merendah diri dan seterusnya.
Begitu juga bentuk bentuk permintaan pertolongan yang secara khusus oleh syara' ditentukan hanya kepada Allah, tidak boleh dilakukan kepada selain Allah, separti: do'a, minta hujan, minta panjang umur, minta kekuatan, minta dicapainya seluruh keperluan.
Dengan demikian, maka selamatlah agama seseorang mu'min, iman dan kepercayaannya akan menjadi lebih sempurna. Dan dia pun akan selamat daripada noda noda syirik serta dapat memadukan antara tauhid uluhiyah (mengakui keesaan Tuhan) dan tauhid rububiyah (mengakui keesaan pengaturan).
Ayat ini termasuk kata yang lengkap (jawami'ul kalim), sebab dalam kalimat ini telah disyariatkan kesimpulan seluruh risalah dan hak serta kurnia Allah kepada makhluk Nya yang telah dibawa oleh para rasul.
Tidak ada persoalan pertama yang lebih banyak dibawa oleh Agama selain mengenal Allah, dalam bentuk "HANYA KEPADAMULAH KAMI MENYEMBAH DAN HANYA KEPADAMULAH KAMI MINTA PERTO LO NGAN. "
Di antara kehalusan kata "ISTI'ANAH" (minta pertolongan). Kata ini dapat menimbulkan ghairah beramal dan mencari jalan untuk beramal, sebab "isti'anah" itu sendiri artinya minta pertolongan kepada Allah.
'Umar bin al Khattab r.a. pernah berkata:'
"Janganlah kamu mencari rezki sambit duduk dengan cukup mengatakan 'Ya Allah berilah aku rezki!' kerana kamu tahu, bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak"
Dalam uacapan ini tersimpul suatu penghargaan bagi manusia,yaitudengan menjadikan "amal" sebagai dasar pokok untuk mencapai seluruh keperluannya.
Sementara ahli tafsir ada yang berpendapat, bahwa meminta pertolongan itu terbatas pada meminta taufiq kepada Allah dengan mengerjakan ibadah, berdasar sabda Nabi s.a.w kepada Mu'adh r.a. yang mafhumnya:
"Demi Allah saya sangat menyukaimu, makaku wasiatkan kepadamu kiranya kamu tidak akan meninggatkan berdo'a setiap selesai sembahyang, dengan mengucapkan: "Ya Allah! Ya Tuhan kami! Berilah aku pertolongan untuk mengingat Kamu dan bersyukur kepada Mu serta beribadah kepadaMu dengan baik!"
"IHDINAS SIRATAL MUSTAQIM" (Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus)
"Sirat" artinya: jalan; "Mustaqim" artinya: lurus. Ayat ini merupakan kalimat yang lengkap (jawami'ul kalim). Sebab setiap manusia pada hakikatnya perlu pada pimpinan ke jalan yang lures, baik dalam perkataannya, perbuatannya, fikirannya maupun kehendaknya.
Jalan lurus inilah Agama uyang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. tanpa tambahan, pengurangan, dan perubahan separti firman Allah yang mafhumnya:
"KatakanIah! Inilah jaIanku yang ku seru kalian kepada Allah dengan terang; begituIah aku dan orang orang yang mengikuti aku; Maha Suci Allah dan aku tidak tergolong orang orang yang menyekutukan Allah." (Yusuf: 108)
"Dan sesungguhnya ini adalah jalan Ku yang Lurus; oleh kerana itu ikutilah dia dan jangan kamu mengikuti macam macam jalan, maka jalan jaIan itu akan memisahkan kamu daripada jalan Allah." (Al An'am: 153)
"Dan sesungguhnya engkau sungguh akan memimpin ke jaIan yang lurus,yaitujalan Allah yang memiliki semua apa yang di Langit dan apa yang di bumi; Ingat! Kepada ALIahlah seluruh urusan ini akan dikembalikan." (As-Syura: 52-53)
Ada empat cara yang diberikan Allah kepada manusia untuk mendapat pimpinan, yang masing masing akan naik setingkat demi setingkat sesuai dengan tingkatan perkembangan dan persediaannya.
Pertama: melalui perasaan dan ilham yang'telah menjadi tabi'at dan naluri manusia yang dibawanya sejak manusia itu lahir ke dunia separti seorang bayi yang lapar. Apabila diberikan susu ibunya terns dihisapnya dengan menggunakan alat nalurinya yang tidak pernah difikir dan dihayati sebelumnya.
Kedua: Melalui indra dan alat perasa yang tumbuh bersama pertumbuhan manusia sendiri, separti pendengaran, penglihatan, perasaan, pencium dan peraba.
Ketiga: Melalui seluruh kekuatan akalnya separti berfikir, mengh'afal, mengingat dan ini semua adalah asas adanya hukum dan taklif bagi manusia.
Keempat: Melalui al Din dan pimpinan Allah serta risalah yang dibawa oleh para rasul
Kadang kadang manusia salah dalam mempergunakannya, tidak tahu memanfaatkannya atau akalnya lemah oleh kerana sesuatu sebab. Oleh kerana itu Allah mensyari'atkan agar kita memohon hidayah kepadaNya ke jalan yang lurus sehingga daya indra kita tidak sempat dan akal kita tidak lemah dan tidak salah dalam memahami al Din dan kebenaran.
Namun untuk benar benar sampai ke siratal mustaqim (jalan yang lures) dalam seluruh ucapan dan perbuatan adalah mustahil kerana setiap perkataan dan perbuatan itu ada batasnya.
"Siratalladhina an'amta 'alaihim ghairil maghduubi 'alaihim waladdallin"
(Jalan orang orang yang telah Engkau beri ni'mat, yang tidak dimurka dan tidak sesat).
Dalam ayat ini ada tiga bentuk manusia:
1. Orang orang yang mendapat ni'mat
2. Orang orang yang dimurka
3. Orang orang yang sesat
Ahli tafsir berpendapat bahwa maksud golongan pertama ialah: orang orang mu'min daripada kalangan umat Muhammad s.a.w maupun umat sebelumnya.
Golongan kedua ialah orang orang Yahudi yang telah menyimpang daripada tuntutan Taurat.
Golongan ketiga ialah orang orang Kristian yang tidak mahu berpegang pada ajaran Injil yang sebenarnya.
Maksud "maghduubi 'alaihim" ialah mereka yang berbuat bid'ah dan maksud "dallin" ialah orang orang yang sesat daripada sunnah.
Maksud yang lebih menyeluruh bagi "mereka yang beroleh ni'mat " ialah orang orang yang mengetahui kebenaran dan beroleh pimpinan Allah sehingga mereka itu mahu jalan yang benar. Maksud "orang-orang yang dimurkai" ialah orang orang yang mengetahui kebenaran tetapi menyimpang daripada agama yang dianuti. Sikap ini menjadi bukti kemarahan Allah atas mereka. Maksud "orang-orang yang sesat" itu adalah orang orang yang lalai daripada kebenaran dan sesat atau mereka yang mencari kebenaran tetapi tidak mahu mengikuti kebenaran itu daripada agama apa pun yang mereka peluk di mana pun mereka berada.
Maka Allah memimpin kita untuk selalu meminta kepada Nya pimpinan untuk mengikuti jejak golongan pertama,yaituorang orang yang beroleh ni'mat daripada Allah dan menghindar daripada golongan kedua yang rosak itu.
"Amin" (Ya Allah! Kabulkanlah!)
Kalimat ini bukan bahagian daripada al Fatihah, dengan ijma' dan maksudnya ialah: Ya Tuhan kami! Kabulkanlah kami!
"Amin" ini dibaca sesudah kita membaca al Fatihah dalam sembahyang dan juga di luar sembahyang, adalah sunat, sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr yang mafhumnya: "Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w. membaca "ghairil maghdubi 'alaihim walad dallin", kemudian ia membaca amin, dengan suara yang panjang." (Ahmad, Abu Daud, Tarmidhi)
Dan juga hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda yang mafhumnya:
"Apabila imam membaca amin, malca bacalah amin, kerana barangsiapa aminnya itu bersamaan dengan aminnya Malaikat, dosa dosanya yang lalu itu akan diampuninya"
Ibnu Syihab berkata: Rasulullah s.a.w juga pernah membaca amin" Jama'ah kecuali Tirmidhi tidak menyebutkan perkataan Ibnu Syihab tersebut.
Abu Hurairah juga pernah berkata yang mafhumnya:
"Rasulullah s.a.w. apabita telah membaca "ghairil maghdubu 'alaihim waladh daLlin" ia membaca amin, sehingga orang orang di saf pertama yang berada disampingnya mendengar bacaan itu. Sehingga masjid gemwuh dengan suara amin." (Abu Daud, Ibnu Majah)
Imam Syafi'i dan Malik dalam riwayat ahli Madinah berpendapat, bahwa amin ini hendaknya dibaca dengan kuat, baik oleh imam ataupun makmum. Abu Hanifah, sebahagian ahli Madinah dan Tabari berpendapat: tidak perlu dikuatkan bacaannya.
Membaca amin itu disunnatkan pada akhir setiap do'a. Abu Zuhair mengatakan yang mafhumnya:
"Mahukah kamu saga beritahu tentang itu?yaitupada suatu malam kami pernah keluar bersama Rasuiuilah s. a. w, kemudian kami datang ke tempat seorang laki laki yang tidalc berhenti henti berdo'a, Iantas Rasulullah s.a.w. mendengar)cannya, lalu berkata: Dia pasti akan dikabulkan kalau ia mahu mengalchiri. Kemudian ada seorang iai Iaki bertanya: Dengan apa ia harus mengakhiri? Nabi menjawab: Dengan "amin", sebab kalau dia mahu mengakhiri dengan amin, nescaya dikabuIkan." Kemudian orang bertanya )cepada Nabi itu pergi dan mendatangi laki Iaki tersebut dan berkata: Akhirilah hai fulan, dan gembiralah kamu"
http://www.geocities.com/farouq1965/TPSM/index.htm

Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam separti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah
Makna bacaan Ta’awwudz
أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Makna bacaan Basmalah
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat
Makna Ayat Pertama
الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).
Makna Ayat Kedua
الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.
Makna Ayat Ketiga
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keempat
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengartian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Kelima
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).
Makna Ayat Keenam
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengarti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).
Makna Ayat Ketujuh
غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya separti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab
Faedah Keenam: Kewajiban untuk meminta petunjuk kepada-Nya
Hal ini terkandung dalam ayat ‘Ihdinas shirathal mustaqim’. Hidayah merupakan anugerah dari Allah ta’ala kepada hamba yang dipilih-Nya. Sedangkan hidayah itu terdiri dari dua macam; hidayah ilmu dan hidayah amal. Dan hidayah semacam itu dibutuhkan oleh manusia di setiap saat dalam perjalanan hidupnya. Setiap hamba senantiasa membutuhkan hidayah tersebut selama dia masih hidup di alam dunia ini. Oleh karena besarnya kebutuhan setiap hamba untuk memohon hidayah maka Allah pun mewajibkan mereka memintanya dalam sehari dan semalam minimal tujuh belas kali di dalam sholat.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “…Seandainya bukan karena besarnya kebutuhan dirinya untuk mendapatkan hidayah di waktu malam maupun siang niscaya Allah ta’ala tidak akan membimbingnya untuk melakukan hal itu -meminta hidayah setiap kali sholat-. Sebab seorang hamba itu sesungguhnya di setiap saat dan keadaan senantiasa memerlukan pertolongan dari Allah untuk bisa tegar mengikuti hidayah dan berpijak dengan kokoh padanya, agar terus mendapatkan pencerahan, peningkatan ilmu, dan bisa terus menerus berada di atasnya. Karena setiap hamba tidaklah menguasai kemanfaatan maupun kemudharatan bagi dirinya sendiri kecuali sebatas yang Allah kehendaki. Oleh sebab itulah maka Allah ta’ala membimbingnya untuk senantiasa meminta hidayah itu di setiap saat agar Allah mencurahkan kepadanya pertolongan, keteguhan dan tafik dari-Nya.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/39])
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan, “Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa ini juga mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan petunjuk.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kita ke jalan Islam. Sebab dengan Islam inilah seorang hamba akan bisa masuk ke dalam surga. Allah ta’ala berfirman mengenai kegembiraan penduduk surga,
وَقَالُوا الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
“Mereka mengatakan; ‘Segala puji hanya bagi Allah yang telah menunjukkan kepada kami ke surga ini. Kami tidak akan mendapat petunjuk sekiranya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kami. Sesungguhnya rasul-rasul Rabb kami telah datang dengan membawa kebenaran.’.” (QS. al-A’raaf: 43)
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati dalam keadaan kafir maka tidak akan pernah diterima dari mereka emas sepenuh bumi walaupun hal itu mereka gunakan untuk menebus siksa, mereka itu memang layak untuk menerima siksa yang sangat menyakitkan dan tidak ada bagi mereka seorang penolongpun.” (QS. Ali Imran: 91)
Allah juga berfirman,
إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada seorang penolong.” (QS. al-Maa’idah: 72)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ
“Tidak akan masuk ke dalam surga melainkan jiwa yang muslim.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Dalam riwayat lainnya, beliau bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ
“Tidak akan masuk surga selain orang-orang yang beriman.” (HR. Muslim dari Umar bin Khatthab radhiyallahu’anhu)
Hidayah juga bukan yang perkara sepele, namun dia adalah anugerah Allah kepada hamba pilihan-Nya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan hidayah (taufik) kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah lah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui siapakah orang yang ditakdirkan mendapatkan hidayah.” (QS. al-Qashash: 56)
al-Musayyab radhiyallahu’anhu menuturkan,
لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Di saat kematian akan menghampiri Abu Thalib maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang untuk menemuinya dan ternyata di sisinya telah ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata; ‘Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, sebuah kalimat yang akan aku gunakan untuk bersaksi untukmu di sisi Allah’. Maka Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah mengatakan; ‘Wahai Abu Thalib, apakah kamu benci kepada agama Abdul Muthallib -bapakmu-?’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menawarkan dan mengulangi ajakannya itu, sampai akhirnya Abu Thalib mengucapkan perkataan terakhirnya kepada mereka bahwa dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan untuk mengucapkan la ilaha illallah…” (HR. Muslim)
Faedah Ketujuh: Kewajiban untuk mengikuti Rasul dan para sahabatnya
Hal itu terkandung dalam ayat ‘Shirathalladzina an’amta ‘alaihim’. Jalan orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari Allah, yaitu jalan para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’ dan orang-orang salih. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, syuhada’, dan orang-orang salih. Dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia juga mengikuti selain jalan orang-orang beriman maka Kami akan membiarkan dia terlantar di atas kesesatan yang dipilihnya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidaklah pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara kemudian masih ada bagi mereka pilihan yang lainnya dalam menghadapi masalah mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Maka para sahabat bertanya, ‘Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?’. beliau menjawab, “Barangsiapa yang menaatiku akan masuk surga dan barangsiapa yang durhaka kepadaku dialah yang enggan.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berpesan,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup sesudahku maka dia pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk tetap mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah para khalifah yang berada di atas petunjuk dan terbimbing. Berpegang teguhlah dengannya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan -di dalam agama-, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan -dalam agama- itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah pasti sesat.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari Irbadh bin Sariyah radhiyallahu’anhu, disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib [37])
Inilah jalan lurus itu, yaitu mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ilmu maupun amalan. Allah ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama -membela Islam- dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah sediakan untuk mereka surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah keberuntungan yang sangat besar.” (QS. at-Taubah: 100)
Faedah Kedelapan: Kewajiban untuk mengamalkan ilmu
Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘Ghairil maghdhubi ‘alaihim’. Orang yang dimurkai itu adalah orang yang mengetahui kebenaran tapi justru tidak mau mengamalkannya. Sebagaimana orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka. Syaikh Abdurrahman bin Naashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Shirathal Mustaqim) adalah jalan terang yang akan mengantarkan hamba menuju Allah dan masuk ke dalam Surga-Nya. Hakikat jalan itu adalah mengetahui kebenaran dan mengamalkannya…” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39). Sehingga jalan yang lurus itu menuntut seorang muslim untuk mengamalkan ilmunya.
Syaikh Abdul Muhsin mengatakan, “Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata,
“Hendaknya diingat bahwa seseorang yang tidak beramal dengan ilmunya maka ilmunya itu kelak akan menjadi bukti yang menjatuhkannya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Barzah radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai dia akan ditanya tentang empat perkara, diantaranya adalah tentang ilmunya, apa yang sudah diamalkannya.” (HR. Tirmidzi 2341)
Hal ini bukan berlaku bagi para ulama saja, sebagaimana anggapan sebagian orang. Akan tetapi semua orang yang mengetahui suatu perkara agama maka itu berarti telah tegak padanya hujjah. Apabila seseorang memperoleh suatu pelajaran dari sebuah pengajian atau khutbah Jum’at yang di dalamnya dia mendapatkan peringatan dari suatu kemaksiatan yang dikerjakannya sehingga dia pun mengetahui bahwa kemaksiatan yang dilakukannya itu adalah haram maka ini juga ilmu. Sehingga hujjah juga sudah tegak dengan apa yang didengarnya tersebut. Dan terdapat hadits yang sah dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“al-Qur’an itu adalah hujjah bagimu atau hujjah untuk menjatuhkan dirimu” (HR. Muslim)” (Hushulul Ma’mul, hal. 18)
Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah mengatakan, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu itu ada dalam rangka mencapai sesuatu yang lainnya. Ilmu diibaratkan separti sebuah pohon, sedangkan amalan adalah separti buahnya. Maka setelah mengetahui ajaran agama Islam seseorang harus menyertainya dengan amalan. Sebab orang yang berilmu akan tetapi tidak beramal dengannya lebih jelek keadaannya daripada orang bodoh. Di dalam hadits disebutkan, “Orang yang paling keras siksanya adalah seorang berilmu dan tidak diberi manfaat oleh Allah dengan sebab ilmunya.” Orang semacam inilah yang termasuk satu di antara tiga orang yang dijadikan sebagai bahan bakar pertama-tama nyala api neraka. Di dalam sebuah sya’ir dikatakan,
Orang alim yang tidak mau
Mengamalkan ilmunya
Mereka akan disiksa sebelum
Disiksanya para penyembah berhala
(Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, hal. 12)
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. at-Taubah: 34) menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang rusak di antara orang berilmu di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.” (Min Kunuz al-Qur’an)
Faedah Kesembilan: Kewajiban untuk beribadah di atas ilmu
Hal ini terkandung dalam potongan ayat ‘wa lad dhaallin’. Orang-orang yang sesat itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah namun dengan cara yang tidak benar, sebagaimana kaum Nasrani. Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, dan minta ampunlah bagi dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Ilmu merupakan landasan ucapan dan perbuatan. Oleh sebab itu Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Kitab Shahihnya dengan judul al-’Ilmu qablal qaul wal ‘amal (Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan). Allah ta’ala berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, itu semua pasti akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. al-Israa’: 36)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangisapa ang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu’awiyah radhiyallahu’anhu)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya seluruh sifat yang menyebabkan hamba dipuji oleh Allah di dalam al-Qur’an maka itu semua merupakan buah dan hasil dari ilmu. Dan seluruh celaan yang disebutkan oleh-Nya maka itu semua bersumber dari kebodohan dan akibat darinya…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 128). Beliau juga menegaskan, “Tidaklah diragukan bahwa sesungguhnya kebodohan adalah pokok seluruh kerusakan. Semua bahaya yang menimpa manusia di dunia dan di akhirat maka itu adalah akibat dari kebodohan…” (al-’Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 101)
Syaikh Muhammad al-Amin as-Syinqithi mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada mereka. Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol. Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka (yang artinya), “Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.” (QS. al-Baqarah: 90). Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka (yang artinya), “Katakanlah; maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. al-Ma’idah: 60). Begitu pula firman-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. al-A’raaf: 152). Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala (yang artinya), “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Ma’idah: 77)”
Semoga tulisan yang ringkas ini bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.