ASSALAMU ALAIKUM

SELAMAT DATANG DI IQBAL'S BLOG

Rabu, 24 Oktober 2012

ILMU PENDIDIKAN ISLAM: PENGERTIAN, RUANG LINGKUP BAHASAN, DAN URGENSINYA

PENGERTIAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM Sudah selayaknya, sebelum bicara lebih jauh tentang Ilmu Pendidikan Islam, terlebih dahulu perlu dipahami pengertian, ruang lingkup bahasan, tujuan, dan urgensi ilmu ini, khususnya bagi pendidik profesional. Di sini, Anda diminta untuk memahami apa yang dimaksud dengan IPI dalam perkuliahan ini. Lalu, apa persoalan yang dibicarakan di dalamnya? Selanjutnya, untuk apa ilmu ini dibahas serta apa perlunya? Simak uraian berikut! BAB I A. Pendahuluan Kesadaran akan perlunya pembenahan pendidikan umat Islam semakin tumbuh dalam beberapa tahun terakhir ini, khususnya sejak pelaksanaan Konferensi Dunia tentang Pendidikan Islam pada tahun 1977 di Makkah, Arab Saudi. Hal itu terjadi seiring dengan pencanangan abad ke-15 Hijriah sebagai abad kebangkitan umat Islam. Dari forum ini, para ulama dan tokoh pendidikan Islam menyerukan pembenahan secara sungguh-sungguh keadaan umat Islam melalui pendidikan. Dalam beberapa konferensi dan berbagai pertemuan akademik yang dilaksanakan menyusul konperensi tersebut[1], dibicarakan beberapa persoalan pendidikan yang dihadapi umat Islam dewasa ini serta gagasan penyelesaiannya. Seiring dengan itu, berbagai langkah operasional dan upaya konkrit pun telah dirintis. Di Indonesia, misalnya, berbagai upaya dilakukan untuk membenahi pendidikan umat Islam melalui penataan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah serta modernisasi pondok-pondok pesantren. Lembaga-lembaga ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan lulusannya untuk melanjutkan studinya ke tingkat yang lebih tinggi dan dengan program-program spesialisai yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi umat Islam seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi moderen. Para lulusan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah tidak hanya diharapkan untuk menjadi calon mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam yang mengkhususkan diri pada kajian ilmu-ilmu keagamaan Islam, melainkan juga untuk menjadi calon-calon pakar dalam berbagai bidang keahlian, seperti ekonom, dokter, dan insinyur. Madrasah tidak lagi semata-mata sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang menghasilkan ulama dalam pengertian tradisional. Program ini dirancang untuk melahirkan cendekiawan-cendekiawan yang memiliki kepribadian Muslim yang tangguh dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang handal. Di samping itu, upaya pembenahan tersebut juga terlihat pada penataan kelembagaan dan kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam. Sejak beberapa tahun terakhir ini, dibangun jurusan dan program studi seperti Ekonomi Islam, Pemikiran Politik Islam, Pengembangan Masyarakat Islam, Bimbingan dan Penyuluhan Islam, IPA, Matematika, IPS, dan Kependidikan Islam. Melalui lembaga ini, diharapkan terbentuk tenaga-tenaga profesional berkepribadian Muslim yang menguasai dan ahli dalam bidangnya masing-masing. Seiring dengan itu, terlihat pula usaha “Islamisasi” kurikulum, yaitu dengan masuknya mata-mata kuliah yang berlabelkan Islam, seperti mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam[2] atau dengan memberi corak dan warna Islam terhadap bidang-bidang pengetahuan yang selama ini dikenal sebagai ilmu-ilmu umum. Sehubungan dengan ini, dikenal suatu upaya yang lebih populer dengan sebutan Islamisasi Ilmu pengetahuan. Berkenaan dengan Ilmu Pendidikan Islam yang menjadi bahan kajian dalam uraian ini, tampaknya, terdapat pandangan yang beragam tentang pengertian dan ruang lingkup bahasannya sehingga sampai saat ini silabi dari mata-mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam menunjukkan ketidak-jelasan sosoknya Ketidak-jelasan itu semakin terlihat dengan adanya tumpang tindih yang cukup berarti di antara masing-masing mata kuliah yang terkait. Sebagai akibatnya, penyajian mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam dilakukan oleh para pengampunya dengan cara dan tujuan yang mungkin juga tidak sama. Oleh karena itu, penulis melihat bahwa masih diperlukan rumusan yang jelas tentang sosok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam sehingga ia betul-betul fungsional sebagai bagian integral dari kurikulum Fakultas Tarbiyah sebagai lembaga pendidikan tenaga keguruan Islam. Sampai saat ini, belum ada atau mungkin belum tersosialisasikan rumusan yang jelas tentang sosok dan misi dari Ilmu Pendidikan Islam.[3] Menyadari bahwa pengetahuan ini merupakan satu disiplin ilmu yang baru, maka melalui uraian berikut ini, penulis mencoba menelusuri pengertian Ilmu Pendidikan Islam serta urgensinya bagi mahasiswa di lembaga-lembaga pendidikan tenaga keguruan, khususnya Fakultas Tarbiyah atau Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Diharapkan tulisan ini dapat menjadi pengantar diskusi yang komprehensif sebagai upaya untuk menemukan sosok yang jelas dari Ilmu Pendidikan Islam B. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam Dari beberapa literatur yang ada, terlihat bahwa para pemikir Pendidikan Islam punya pandangan yang berbeda tentang pengertian Ilmu Pendidikan Islam. Penggunaan ungkapan Ilmu Pendidikan Islam, setidaknya, dapat menimbulkan dua pengertian, yaitu: 1. Ilmu Pendidikan Islam dengan pengertian ilmu tentang Pendidikan Islam, yaitu pengetahuan tentang bagaimana menjadi guru agama Islam di berbagai lingkungan dan lembaga pendidikan.[4] Yang dituju dengan pengetahuan ini adalah menjadikan seseorang sebagai pewaris dan pelanjut usaha Nabi sebagai utusan Allah. Dalam pengertian ini, fokus kajiannya ialah pendidikan agama Islam yang terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan proses pendidikan tentang keimanan, syariat, dan akhlak. Objek kajiannya ialah teori dan praktik pengajaran Agama Islam, yang biasanya meliputi pengajaran Akidah-Akhlak, Quran-Hadis, Fikih, dan Sejarah Islam. Pengetahuan ini merupakan inti kajian pada program studi/Jurusan Pendidikan Agama Islam di Fakultas Tarbiyah karena jurusan inilah yang bertugas untuk menyiapkan guru-guru bidang studi Pendidikan Agama Islam. 2. Ilmu Pendidikan Islam dengan pengertian ilmu pendidikan yang Islami atau ilmu pendidikan dalam perspektif Islam. Dalam pengertian ini, fokus kajiannya adalah ilmu pendidikan. Pembahasannya bertolak dari kerangka ilmu pendidikan yang disoroti dari sudut pandang ajaran Islam. Masalahnya ialah bagaimana konsepsi Islam tentang berbagai aspek dan komponen pendidikan serta bagaimana teori dan praktik yang dipakai umat Islam dalam menyelenggarakan pendidikan untuk bermacam-macam bidang pengetahuan dan keahlian sepanjang sejarahnya. Yang dibahas di sini tidak hanya hal-hal yang berkaitan dengan teori dan praktik pendidikan agama Islam sebagaimana dikemukakan pada butir satu di atas. Objek kajian Ilmu Pendidikan Islam dalam pengertian ini ialah butir-butir ajaran Islam yang mengatur dan berkaitan dengan aspek-aspek dan komponen-komponen pendidikan serta berbagai persoalan yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di kalangan umat Islam. Ilmu Pendidikan Islam dalam pengertian ini, tentu tidak hanya diperlukan oleh mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam, melainkan juga diperlukan oleh para mahasiswa Fakultas Tarbiyah di berbagai jurusannya. Pengetahuan ini penting bagi orang-orang yang bekerja dan terlibat dalam aktivitas pendidikan. Kedua pengertian Ilmu Pendidikan Islam seperti dikemukakan di atas punya konsekuensi yang berbeda. Tentu saja, silabi dan masalah-masalah yang dibahas pada pengertian yang pertama tidak sama dengan yang ada pada pengertian kedua. Mengingat misi Fakultas Tarbiyah sebagai tempat pembinaan tenaga kependidikan Muslim dalam berbagai bidangnya, penulis berpendapat bahwa Ilmu Pendidikan Islam yang perlu diajarkan kepada seluruh mahasiswa fakultas ini adalah Ilmu Pendidikan Islam dalam pengertian kedua, yaitu Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, bukan ilmu tentang pengajaran Agama Islam karena tidak semua mahasiswa fakultas ini dipersiapkan untuk menjadi guru agama. Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam mempunyai cakupan yang lebih luas dan lebih mendasar dari pada ilmu tentang Pendidikan Agama Islam, yaitu pengajaran bidang studi Pendidikan Agama Islam. Ilmu tentang Pendidikan Agama Islam merupakan bagian dari pengetahuan yang dikembangkan di atas landasan Ilmu Pendidikan dalam perspektif Islam. Untuk memahami pengertian Ilmu Pendidikan Islam dalam pengertian yang dimak-sud, lebih dahulu, ada baiknya dikemukakan pengertian Ilmu Pendidikan secara umum karena ia akan memberikan kerangka acuan dan wawasan untuk mengetahui ruang lingkup kajian Ilmu Pendidikan Islam. H.M. Said, seorang pakar dan guru besar Ilmu Pendidikan di IKIP Negeri Jakarta[5], menyatakan bahwa Ilmu Pendidikan adalah suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, yang mengkaji hakikat, persoalan, bentuk-bentuk, dan syarat-syarat pendidikan.[6] Sementara rumusan lain menyatakan bahwa pedagogik atau ilmu pendidikan merupakan ilmu pengetahuan tentang kompleks perbuatan mendidik oleh orang dewasa terhadap manusia muda atau anak yang belum dewasa, dan bagaimana perbuatan mendidik itu seharusnya dilakukan.[7] Dari kedua definisi ini, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pendidikan adalah suatu disiplin ilmu yang membicarakan secara sistematis hal-hal yang berkaitan dengan berbagai masalah pendidikan. Pembahasan itu dilakukan, baik atas dasar pengkajian terhadap filsafat atau pandangan hidup yang dianut oleh seseorang atau kelompok orang maupun atas dasar pengamatan yang dilakukan terhadap praktik yang terjadi di lapangan. Pembicaraan tentang pendidikan dapat dilakukan dengan membahas konsep-konsep yang dijabarkan dari filsafat atau pandangan hidup, termasuk di dalamnya ajaran agama yang dianut. Di dalam pembicaraan ini, masalah yang muncul misalnya, bagaimana konsepsi ideal suatu aliran filsafat tertentu tentang pendidikan, anak didik, pendidik, dan lain-lainnya. Kajian ini bersifat filosofis-normatif. Hasil dari kajian ini dikenal juga dengan pemikiran pendidikan berprinsip filosofis. Inilah yang menjadi inti kajian Filsafat Pendidikan. Sementara itu, pembicaraan dapat juga didasarkan atas analisis terhadap praktik atau eksperimen yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat dalam melaksanakan pendidikan. Kajian ini bersifat empirik dan historis. Hasilnya menjadi bahan utama dari kajian Sejarah Pendidikan, baik sejarah pemikiran maupun sejarah kelembagaan. Selanjutnya, berkenaan dengan Ilmu Pendidikan Islam, ada beberapa defenisi yang pernah dirumuskan oleh para penulis. Natawidjaja mengemukakan bahwa Ilmu Pendidikan Islam ialah ilmu pendidikan yang berlandaskan, bernafaskan, dan berisikan ajaran agama Islam.[8] Oleh karena itu, lebih jauh, ia mengatakan bahwa ilmu ini lebih tepat disebut Ilmu Pendidikan Islami. Senada dengan itu, Tafsir menegaskan bahwa Ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam, yaitu ilmu pendidikan yang berdasarkan Quran, Hadis, dan akal.[9] Sementara itu, Arifin mendefenisikan Ilmu Pendidikan Islam sebagai studi tentang sistem dan proses kependidikan yang berdasarkan Islam, baik studi secara teoritis maupun praktis.[10] Kendati ketiga rumusan yang dikutip di atas terlihat tidak sama, namun semuanya dapat mengandung pengertian bahwa Ilmu Pendidikan Islam ialah pengetahuan tentang berbagai persoalan pendidikan yang dihasilkan dari kajian terhadap ajaran Islam, yaitu pengetahuan yang didasarkan pada agama Islam (al-Quran dan al-Sunnah) atau pengetahuan mengenai praktik pendidikan yang didasarkan atas ajaran Islam. Bertolak dari pemahaman tersebut dapat disimpulkan bahwa Ilmu Pendidikan Islam ialah suatu disiplin pengetahuan yang membicarakan masalah-masalah pendidikan dalam berbagai aspek dan bidangnya ditinjau dari sudut pandang ajaran Islam, baik pembicaraan itu bersumber dari ajaran Islam dan pemikiran cendekiawan Muslim maupun dari praktik pendidikan yang dilaksanakan oleh para pendidik Muslim. B. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu Pendidikan Islam Berdasarkan uraian di atas, tentunya dapat dipahami bahwa ruang lingkup pembahasan Ilmu Pendidikan Islam mencakup aspek-aspek yang menjadi objek kajian ilmu pendidikan pada umumnya. Pendidikan adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi manusia lain agar ia tumbuh dengan baik dan memiliki kepribadian sebagaimana diinginkan oleh pendidiknya. Pendidikan merupakan suatu sistem yang mempunyai komponen-komponen atau unsur yang saling terkait antara satu dengan lainnya.[11] Komponen utama yang menjadi rukun pendidikan adalah: a. manusia yang akan dididik[12], b. manusia yang akan mendidik, c. tujuan pendidikan, yaitu arah pertumbuhan atau bentuk kepribadian yang diinginkan, d. materi pendidikan, yaitu sesuatu yang diberikan kepada anak didik, e. metode atau cara yang dipakai untuk memberikan materi pendidikan kepada anak didik. Kelima komponen ini merupakan unsur pokok yang menjadi lapangan kajian ilmu pendidikan. Pembicaraan yang utuh dan sistematis tentang pendidikan mesti melibatkan kajian terhadap kelima unsur ini. Akan tetapi, di samping kelima komponen yang merupakan unsur-unsur esensial ini, masih banyak aspek lain yang juga perlu dibahas dalam pembicaraan tentang pendidikan, seperti: penanggung jawab, lingkungan dan lembaga, sistem evaluasi, administrasi dan manajemen, dan lain-lainnya. Komponen-komponen inilah yang menjadi pokok bahasan dalam Ilmu Pendidikan Islam. Bertolak dari pengertian seperti dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar, pokok-pokok bahasan yang akan dibicarakan dalam mata kuliah ini dapat disusun sbb.: 1. Pengertian, ruang lingkup bahasan, dan urgensi Ilmu Pendidikan Islam 2. Pengertian Fitrah dan fitrah manusia dalam perspektif Islam 3. Tujuan pendidikan dalam perspektif Islam 4. Materi Pendidikan dalam persepektif Islam 5. Metode pendidikan dalam perspektif Islam 6. Prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan dalam perspektif Islam 7. Penanggung Jawab pendidikan dalam perspektif Islam 8. Kedudukan dan Fungsi guru dalam perspektif Islam 9. Lembaga pendidikan dalam perspektif Islam 10. Masalah-masalah pendidikan kontemporer ditinjau dari pandangan Islam. D. Urgensi Ilmu Pendidikan Islam Pendidikan telah berlangsung sejak keberadaan manusia di atas dunia ini. Setiap orang terkait dengan tugas-tugas pendidikan dan bertanggung jawab dalam mendidik, khususnya terhadap anggota keluarganya sendiri. Umumnya, manusia melaksanakan tugasnya dalam mendidik berdasarkan atas pengalaman dirinya sendiri atau pengalaman orang lain yang diamatinya. Tanpa bekal pengetahuan yang sistematis pun, manusia tetap akan menunaikan kewajibannya itu. Bahkan, mungkin saja banyak terjadi bahwa orang-orang yang tidak dibekali secar formal dengan pengetahuan sistematis tentang pendidikan justru malah lebih berhasil dalam mendidik dibanding mereka yang mempunyai bekal tersebut. Fungsi utama Ilmu Pendidikan adalah sebagai pembimbing atau pedoman bagi seseorang dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Dengan Ilmu Pendidikan, seorang pendidik akan bertindak dengan perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang efektif. Pengetahuan ini berfungsi sebagai pedoman yang dapat membimbing dan mengarahkan para perencana dan pelaksana pendidikan di berbagai lingkungan dan tingkatnya. Di sisi lain, Islam sebagai pedoman bagi manusia dalam segala tindakannya juga membawa ajaran yang berkaitan dengan pendidikan. Islam merupakan pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupan dalam berbagai aspeknya, termasuk dalam melaksanakan pendidikan. Sehubungan dengan itu, Ilmu Pendidikan Islam akan memberikan rumusan yang jelas tentang teori dan praktik pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam. Ilmu Pendidikan Islam sangat diperlukan sebagai pedoman yang membimbing semua pihak, perorangan ataupun kelompok, dalam melaksanakan tugasnya di bidang pendidikan. Meskipun pendidikan tetap akan terlaksana tanpa membekali diri secara khusus dengan Ilmu Pendidikan Islam, namun akan lebih baik dan lebih tepat bila masing-masing memiliki pengetahuan tersebut. Secara khusus, pengetahuan tentang Ilmu Pendidikan Islam sangat diperlukan oleh mereka yang berprofesi sebagai tenaga kependidikan. Mereka ini dituntut untuk senantiasa menganalisis dan memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapinya. Tenaga kependidikan, baik yang berperan sebagai perencana maupun sebagai pelaksana dan pengawas, hanya mungkin dapat melaksanakan tugasnya secara optimal jika berbekal pengetahuan yang memadai tentang medan tugasnya itu. Dalam konteks inilah, mahasiswa Fakultas Tarbiyah sebagai calon tenaga kependidikan Islam harus dibekali dengan pengetahuan yang memadai tentang ajaran Islam tentang pendidikan. Penetapan Ilmu Pendidikan Islam dalam kurikulum Fakultas Tarbiyah pada berbagai jurusannya di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam dimaksudkan untuk menyiapkan para mahasiswanya menjadi tenaga kependidikan Muslim yang profesional. Dengan penyajian mata kuliah ini, diharapkan mereka memiliki pengetahuan yang baik tentang konsepsi Islam mengenai pendidikan serta keterampilan yang memadai dalam merancang, mengelola, dan mengawasi pelaksanaan pendidikan yang sesuai dengan tuntunan Islam. Para guru yang dihasilkan Fakultas Tarbiyah, apakah guru bidang studi Pendidikan Agama Islam atau guru bidang-bidang studi lainnya diharuskan untuk mengetahui teori-teori pendidikan. Demikian juga para pegawai dan pejabat lembaga-lembaga pendidikan seperti madrasah, pondok pesantren, dan lain-lain atau pegawai dan pejabat Departemen Agama yang ditugaskan di bidang pendidikan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang Ilmu Pendidikan Islam. Islam sangat memperhatikan profesionalitas dalam setiap kegiatan. Nabi pernah mengingatkan bahwa kegagalan, bahkan kehancuran, akan datang jika suatu pekerjaan diserahkan kepada orang-orang yang tidak profesional, yaitu mereka yang tidak memiliki keahlian di bidangnya. Profesionalitas tidak mungkin tumbuh tanpa pembinaan secara baik dalam suatu proses pembelajaran. ________________________________________ [1]Setidaknya, ada empat kali konferensi dunia tentang pendidikan Islam menyusul konferensi yang diselenggarakan di Makkah ini, yaitu di Islamabad, Pakistan (1980), dengan pokok bahasan pola kurikulum, di Dhaka, Bangladesh (1981), dengan pokok bahasan buku teks, di Jakarta, Indonesia (1982), dengan pokok bahasan metodologi, dan di Kairo, Mesir (1987), tentang evaluasi pendidikan. Sedangkan konferensi di Makkah membahas tujuan dan metode pendidikan Islam. [2]Perlu dicatat bahwa sejak awal bedirinya Fakultas Tarbiyah di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam, kajian tentang pendidikan sangat didominasi oleh pemikiran pendidikan yang bersumber dari Eropa dan Amerika. Seolah-olah Islam tidak punya warisan pemikiran tentang pendidikan yang layak dikaji. Mahasiswa sangat kenal dengan Langeveld, Montessory, Dewey, dll. Padahal, di kalangan umat Islam sendiri, sangat banyak tokoh yang memiliki pemikiran dan usaha yang layak dijadikan bahan kajian tentang pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah banyak dilakukan penelitian dan pengkajian terhadap kahzanah intelektual Muslim di bidang pendidikan. [3]Secara teoritis, penempatan suatu mata kuliah di dalam kurikulum harus memperhatikan tujuan institusional dari lembaga pendidikan yang bersangkutan. Tidak ada satu mata kuliah pun yang boleh mubazir karena tidak jelas fungsinya dalam pencapaian tujuan institusional. Sebaliknya, jangan pula sampai ada mata kuliah yang sangat diperlukan malah tertinggal. Untuk itu, kejelasan dari fungsi masing-masing mata kuliah yang disajikan sangat diperlukan. Apalagi, kurikulum Fakultas Tarbiyah sebagai lembaga yang semestinya menjaadi teladan dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pendidikan dan pembelajaran. Sayangnya, kenyataan mengindikasikan bahwa perencanaan dan penyelenggaraan Fakultas Tarbiyah tidak mencerminkan hal itu. Bila masalah ini tidak segera dibenahi, niscaya eksistensi lembaga ini akan dipertanyakan. Mungkin akan ada yang menuntut agar ia dihapuskan. [4]Di lembaga pendidikan sekolah formal, pengajaran Agama Islam ini dikenal dengan bidang studi Pendidikan Agama Islam. Secara teoritis, bidang studi mempunyai misi yang sangat penting dan menentukan. Bidang studi ini diharapkan dapat berperan sebagai media untuk membentuk warga negara Indonesia yang beriman, bertaqwa, serta berakhlak mulia. Karena pentingnya bidang studi ini, ditetapkan bahwa siswa yang mendapatkan nilai kurang (di bawah 6,0) tidak diperkenankan untuk naik kelas/lulus. Akan tetapi, dalam praktiknya, sangat banyak masalah yang menghadang sehingga ia sering hanya berperan sebagai media untuk pengajaran pengetahuan agama Islam. Hal itu terlihat dengan jelas, antara lain, pada pelaksanaan evaluasi serta rumus yang digunakan untuk menentukan nilai siswa. Tidak ada tempat yang jelas untuk penilaian hasil pembinaan akhlak siswa. Begitu pula, ketetapan nilai minimal 6,0 tidak berjalan sesuai dengan harapan yang sesungguhnya. Yang ada hanya evaluasi tentang pengetahuan akhlak siswa bukan tentang akhlak siswa. Di sisi lain, agaknya, memang perlu disadari oleh semua pihak yang terkait bahwa pendidikan agama dalam arti pembentukan sikap mental dan kepribadian siswa tidak dapat diserahkan kepada seorang guru tertentu. Ia mesti merupakan usaha bersama dari semua unsur yang terkait. Penanganan masalah kenakalan remaja/siswa yang saat ini banyak dikeluhkan tidak mungkin diserahkan kepada pihak tertentu saja karena ditinjau dari sudut mana pun ia merupakan tanggung jawab sosial dari seluruh unsur masyarakat. Gagasan untuk mengadakan pendidikan budi pekerti yang belakangan ini muncul dipastikan juga akan gagal bila keseluruhan sistem dan tatanan yang ada tidak dibenahi. [5]Lembaga ini sekarang diubah namanya menjadi Universitas Negeri Jakarta. [6]Prof. Dr. H.M. Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Penerbit Alumni, tahun 1985), hal. 6. [7]Dr. Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis, (Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, tahun 1992), hal. 55. [8]Rochman Natawidjaja, Pemikiran ke Arah Pembentukan Konsorsium Ilmu Pendidikan Islam, Makalah disampaikan dalam Seminar Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, Departemen Agama RI., 6-7 Oktober 1994, hal. 2. [9]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, tahun 1994), Cet. ke-2, hal. 12. Namun, dalam uraiannya, Tafsir terkesan lebih banyak berbicara tentang pendidikan yang berisi ajaran Islam. Ilmu Pendidikan Islam dipandang sebagai kumpulan teori tentang praktik pendidikan yang berisi ajaran Islam. [10]H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, tahun 1991), hal. 11. [11]Lihat Crow and Crow, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Saduran bebas edisi III), (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 1990), hal. 1. [12]Dalam Ilmu Pendidikan, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebutnya, yaitu anak didik, peserta didik, dan pedidik. Istilah terakhir dipakai oleh M. Said yang mengacu pada pemakaian kata petatar bagi peserta penataran. KONSEPSI ISLAM TENTANG ANAK DIDIK Salah satu komponen utama pendidikan adalah komponen anak didik. Berikut ini adalah uraian tentang anak didik dalam perspektif Islam. BAB II FITRAH MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM A. Pendahuluan Manusia, di samping sebagai pelaku atau subjek, juga merupakan objek atau sasaran dari pendidikan. Manusialah yang menjadi bahan baku yang akan dibentuk sesuai dengan keinginan pendidiknya. Para pendidik sebagai subjek yang bertugas mengarahkan dan membimbing anak didiknya dituntut agar memahami dan memiliki konsep yang jelas dan benar tentang hakikat dan karakteristik manusia, baik hakikat dan karakteristik manusia yang akan dididik maupun hakikat dan karakteristik manusia ideal yang dicita-citakan. Hal ini tak ubahnya seperti pandai besi yang harus mengetahui hakikat dan karakteristik besi yang akan ditempa dan dibentuk serta produk yang akan dihasilkannya. Praktek pendidikan akan gagal atau berlangsung tanpa arah yang terkendali bila diselenggarakan tanpa memperhatikan dan berdasarkan konsep yang jelas dan benar mengenai manusia. Pelaksanaan pendidikan sangat ditentukan oleh pandangan pelakunya tentang manusia itu sendiri. Salah satu persoalan pokok yang perlu diketahui tentang manusia sebagai peserta didik ialah sifat-sifat dasar (pembawaan) yang dimiliki manusia ketika ia dilahirkan. Dalam literatur Islam, masalah ini dibahas dengan topik fithrah. Para ahli pendidikan sepakat menyatakan bahwa teori dalam pendidikan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh pandangan tentang fitrah manusia.[1] Pandangan atau konsepsi tentang fitrah manusia ini menjadi pangkal tolak dari teori dan pelaksanaan pendidikan. Ia menentukan apakah pendidikan diperlukan atau tidak, apakah pendidikan berguna atau tidak. Jika diperlukan, aspek apa saja yang perlu ditumbuh-kembangkan dalam pendidikan serta bagaimana melakukannya. Di dalam ilmu pendidikan dikenal beberapa aliran mengenai fitrah manusia, seperti Nativisme, Empirisme, Naturalisme, dan Konvergensi dengan pendapatnya masing-masing. Di dalam beberapa tulisan tentang konsepsi Islam mengenai manusia, dikemukakan bahwa kekhususan dan inti pandangan Islam terletak pada kata fithrah. Pendapat ini seakan-akan menyatakan bahwa kata fitrah sudah cukup jelas untuk menggambarkan hakikat dan karakteristik manusia menurut pandangan Islam. Seiring dengan itu, kata fitrah lalu diberi arti suci, potensi-potensi baik, Islam, dan lain-lain.[2] Boleh jadi, semua kata ini merupakan beberapa aspek penting dari fitrah manusia menurut pandangan Islam. Namun, kajian lebih cermat tentang kata fitrah menunjukkan bahwa pemahaman seperti ini belum memberikan gambaran yang sesungguhnya. Bahkan, pengertian seperti itu dapat berpengaruh kurang baik bagi penyelenggaraan pendidikan, baik pada tataran konsep maupun dalam prakteknya. Di samping itu, secara etimologis, juga tidak ada kaitan langsung antara kata fitrah dengan kata suci, potensi, Islam, dan lain-lain. Bertolak dari kenyataan di atas, tulisan ini disusun untuk menjelaskan makna kata fitrah serta pandangan Islam tentang fitrah manusia dan implikasinya dalam pendidikan. B. Pengertian kata fithrah Secara etimologis, kata fithrah berarti al-khalq atau al-ibda’, penciptaan, yaitu suatu penciptaan yang belum ada contohnya. Kata ini dipakai untuk mengungkapkan penciptaan sesuatu yang sama sekali baru, belum ada contoh dan model yang dijadikan sebagai acuan. Bentuk fithrah merupakan bentuk masdar dari kata fathara yang berarti menciptakan. Di dalam al-Quran, terdapat beberapa ayat yang mema-kai kata fathara atau derivasinya seperti fathir. Di antaranya: إنى وجهت وجهي للذى فطر السموات والأرض حنيفا ... ( الأنعام 79 ) الحمد لله فاطر السموات والأرض جاعل الملائكة رسلا ... ( فاطر 1 ) Kata fathara dan fathir dalam kedua ayat ini, masing-masing berarti menciptakan dan pencipta. Dari kedua ayat ini dapat dipahami bahwa pencipta langit dan bumi adalah Allah. Dialah yang menciptakan langit dan bumi tanpa mencontoh model apapun yang pernah ada sebelumnya. Dalam bahasa Arab, bentuk masdar yang berpola fi`lah mengandung arti keadaan atau jenis perbuatan.[3] Misalnya dalam kalimat seperti: جلست جلسة زيد Kata jilsat dalam ungkapan ini berarti duduk seperti atau bagaikan sehingga kalimat itu selengkapnya berarti “Saya duduk seperti duduk Zaid”. Seiring dengan pengertian itu, Luwais Ma`luf dalam kitabnya al-Munjid mengemukakan bahwa fithrat adalah:[4] الصفة التى يتصف بها كل موجود فىأول زمان خلقته "sifat yang dimiliki oleh setiap mawjud (ciptaan) pada awal penciptaannya”. Jadi, fitrah manusia berarti sifat atau keadaan manusia ketika ia dilahirkan ibunya. Ibn al-Atsir dalam kitab al-Nihayat, seperti dikutip Muthahhari, mengatakan bahwa fitrah adalah keadaan yang dihasilkan dari penciptaan.[5] Muthahhari mengomentari lebih lanjut bahwa fitrah merupakan bawaan alami, yaitu sesuatu yang melekat dalam diri manusia, bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha. Hanya saja, ungkapan fitrah digunakan biasanya khusus untuk manusia.[6] Sesuai dengan pengertian ini, Muhammad bin Asyur, seperti dikutip HM. Quraish Shihab, mendefinisikan fitrah dengan ungkapan[7]: النظام الذى أوجده الله فىكل مخلوق (... tatanan yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk... ). Dari rumusan ini, dapat dipahami bahwa fitrah dari sesuatu adalah tatanan dari seluruh unsur atau komponen yang membentuk suatu wujud tertentu. Berdasar pengertian ini, dapat ditegaskan bahwa pembicaraan tentang fitrah manusia mencakup pembahasan mengenai unsur-unsur yang membentuk wujud manusia beserta sifat dan kondisinya masing-masing. Dengan kata lain, dalam pembicaraan ini perlu diketahui unsur-unsur dan perangkat yang dimiliki manusia serta kondisi dan sifat masing-masing unsur tersebut ketika manusia dilahirkan atau di awal keberadaannya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa fitrah adalah keseluruhan unsur bawaan yang dimiliki manusia dengan segala sifat yang melekat padanya. Ungkapan fitrah belum memberikan gambaran yang definitif tentang keadaan dan sifat manusia ketika ia dilahirkan ibunya. Fitrah bukan kata sifat yang dapat menjelaskan secara langsung hakikat dan karakteristik manusia pada saat ia dilahirkan. Timbulnya pemahaman seolah-olah fitrah merupakan kata sifat yang berarti suci, tampaknya, merupakan akibat dari pemahaman terhadap hadis yang berbunyi: كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أويمجسانه Hadis ini menegaskan bahwa setiap anak manusia terlahir ‘ala al-fithrat. Kedua orang tuanyalah yang akan menentukan apakah ia akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Tidak dapat dielakkan bahwa kesan yang timbul seakan-akan anak tersebut dalam keadaan Islam dan akan tetap dalam keadaan seperti itu bilamana orang tuanya tidak mengubahnya menjadi Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Dalam hadis ini, dinyatakan bahwa perubahan fithrah adalah tanggung jawab orang tuanya dan perubahan itu hanya ke arah Yahudi, Nasrani, dan Majusi, yaitu tiga agama yang menyimpang, yang sesat, yang sudah tidak suci. Hadis ini tidak menyebutkan secara eksplisit, apakah anak itu juga perlu diubah agar menjadi Muslim oleh orang tuanya. Seakan-akan dengan demikian, jika orang tua tidak membawa ke arah yang negatif, niscaya anaknya akan otomatis berada dalam kesucian atau Islam. Masalahnya ialah apakah betul anak tersebut otomatis akan tetap baik atau suci bila orang tuanya tidak membuatnya menjadi jahat. Apakah orang tua tidak harus proaktif untuk membentuknya menjadi baik? Apakah Islam mendukung pendapat J.J. Rousseau yang menganut paham Naturalisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa anak manusia tidak perlu dididik. Malah berbagai pengaruh yang diberikan kepada anak akan menjadikannya jahat. Oleh karena itu, serahkan ia kepada alam dan biarkan ia tumbuh sendiri tanpa pengaruh. Demikian Naturalisme.[8] Ungkapan manusia dilahirkan dalam keadaan suci sebagai terjemahan kata fitrah kurang tepat. Agaknya, ungkapan itu lebih tepat diterjemahkan dengan pernyataan bahwa setiap anak dilahirkan dalam suatu kondisi tertentu sesuai dengan program Allah.[9] Hal itu tak ubahnya seperti kertas yang dibuat sebagai alat tulis. Penggunaan kertas untuk tujuan lain adalah penyimpangan, tidak sesuai dengan tujuan dan rencana pembuatnya. Melalui sabdanya ini, sesungguhnya, Nabi mengingatkan bahwa orang tua mempunyai tanggung jawab bila anak-anak yang mereka lahirkan kemudian menyimpang dari program yang telah dicanangkan Allah. Tentu saja sebaliknya, keberhasilan orang tua untuk membina anaknya sesuai dengan rancangan Allah merupakan amal saleh yang layak mendatangkan pahala bagi mereka. Hal ini erat kaitannya dengan hadis yang menyatakan bahwa anak yang saleh merupakan salah satu investasi orang tua yang keuntungannya masih akan didapatkannya meskipun mereka telah wafat.[10] Pada sisi lain, pemaknaan fitrah dengan Islam sering dirujukkan kepada ayat 30 surah al-Rum.[11] Dalam pengertian ini, dikatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan Islam. Namun, perlu diingat bahwa ayat itu, sesuai dengan konteksnya, tidak berbicara tentang manusia, melainkan tentang Islam sebagai agama yang diturunkan Allah untuk pedoman hidup manusia. Sesungguhnya, misi utama ayat ini ialah menjelaskan bahwa Islam diciptakan oleh Allah sesuai dengan hakikat dan karakteristik manusia yang akan menggunakannya agar manusia betul-betul dapat melaksanakan tugas hidupnya sesuai dengan tujuan penciptaannya. Sesungguhnya, ayat ini mempertanyakan kenapa manusia menolak Islam. Padahal, hanya Islam satu-satunya agama yang sesuai dengan fitrah manusia.[12] Hanya dengan Islam, manusia akan dapat merealisasikan makna eksistensialnya secara benar sesuai dengan kehendak Tuhan yang menciptakannya. Tanpa Islam, mungkin saja manusia bisa hidup. Bahkan, mungkin saja, ia merasa senang. Namun, kehidupannya itu tidak berjalan sesuai dengan kehendak Allah. Tidak ada aturan Islam yang tidak sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia, apalagi, yang mencelakakannya. Sementara itu, ajaran lain yang dianut oleh banyak orang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan fitrahnya.[13] Bila ingin bicara tentang fitrah manusia berdasarkan ayat ini, maka diperlukan pemahaman terhadap keseluruhan sifat dan karakter ajaran Islam. Pemakaian kata fitrah tampaknya lebih tepat bila digunakan dalam ungkapan fitrah manusia menurut ajaran Islam ialah...atau fitrah manusia menurut ajaran Kristen ialah..., dan lain-lain. Sebaliknya, kurang tepat bila dikatakan ”menurut Islam, manusia lahir dalam keadaan fitrah dan menurut Kristen tidak”. Dengan demikian, pembicaraan tentang fitrah manusia dapat disoroti dari berbagai paham agama dan filsafat. Tiap ajaran agama atau filsafat memiliki pandangan tersendiri tentang fitrah manusia. Dalam hal ini, keistimewaan pandangan Islam tidak terletak pada pemakaian kata fitrah itu sendiri, melainkan pada muatan yang terkandung di dalamnya. Islam memberikan gambaran yang tepat dan benar mengenai berbagai sifat yang dimiliki manusia ketika ia hadir di dunia ini. Pembicaraan tentang fitrah manusia melibatkan pembahasan tentang berbagai aspek yang terkait dengan manusia itu sendiri ketika ia diciptakan, baik aspek yang terkait dengan fisik maupun dengan psikisnya. Pembahasan tersebut mencakup keseluruhan hakikat, karakter, dan makna eksistensial manusia. Kesucian boleh jadi merupakan salah satu aspek penting berkenaan dengan konsepsi Islam tentang fitrah manusia. Namun, masih banyak aspek lain yang perlu dijelaskan untuk menggambarkan keadaan manusia ketika diciptakan. C. Fitrah Manusia Dalam Pandangan Islam Berdasarkan pemahaman di atas serta merujuk al-Quran dan al-Hadits, fitrah manusia menurut ajaran Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Manusia adalah makhluk psiko-fisik yang memiliki jiwa dan tubuh. Dari berbagai ayat al-Quran dapat diketahui bahwa jati diri manusia adalah makhluk psiko-fisik, yaitu suatu makhluk yang eksistensinya terdiri atas unsur jiwa (ruh) dan fisik (jasad). Gabungan kedua unsur inilah yang mewujud menjadi manusia. Di antara ayat yang mendukung pernyataan ini ialah: الذي أحسن كل شيئ خلقه وبدأ خلق الإنسان من طين - ثم جعل نسله من سلالة من ماء مهين – ثم سواه ونفخ فيه من روحه وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة قليلا ما تشكرون - (السجدة 7-9 ) Ayat ini menegaskan bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah (thin). Kemudian generasi selanjutnya berkembang biak dengan unsur sulalat min ma` mahin, air mani. Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki unsur fisik. Di samping itu, Allah meniupkan ruh-Nya ke dalam unsur fisik tersebut. Setelah bentuk fisik diisi dengan ruh, terbentuklah suatu jenis makhluk yang khas, yaitu manusia. Keberadaan kedua unsur ini, fisik dan ruh, meniscayakan keberadaan sifat-sifat keduanya pada manusia di samping sifat-sifat yang timbul dari gabungan keduanya. 2. Sifat-sifat jasmani (al-fithrat al-jismiah) Tubuh manusia merupakan alam materi yang memiliki sifat-sifat fisika. Ia tersusun dari 4 unsur yang membentuk alam materi, yaitu tanah, air, udara, dan api. Para filosof Muslim, seperti Ikhwan al-Shafa` mengemukakan bahwa perimbangan komposisi keempat unsur ini ikut mempengaruhi sifat-sifat manusia.[14] Tubuh manusia terdiri atas bagian-bagian dan anggota-anggota yang masing-masing mempunyai tugas dan fungsinya sendiri-sendiri. Penataan masing-masing bagian dan anggota ini sangat proporsional sehingga semuanya dapat memberikan andil yang optimal bagi kesempurnaan fisik manusia serta fungsionalisasi dari masing-masing bagiannya. Kenyataan inilah yang digambarkan al-Quran surah al-Tin ayat 4 yang berbunyi: Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang terbaik (fi ahsani taqwim). Bentuk dan tatanan bagian dan anggota fisik manusia dirancang sedemikian rupa agar manusia dapat melakukan berbagai aktivitas yang dibebankan kepadanya. Hanya saja, ketika manusia diciptakan (dilahirkan), kondisi dari masing-masing bagian ini masih dalam keadaan lemah dan bersifat potensial. Hal ini dapat diketahui dari al-Quran surah al-Rum ayat 54 dan surah al-Nisa` ayat 38.[15] 3. Sifat-sifat Jiwa (al-fithrat al-ruhiyyat) Jiwa merupakan inti hakikat manusia. Unsur inilah yang mendapat tugas sebagai khalifah Allah di bumi. Unsur ini pula yang bertanggung jawab atas segala tingkah laku dan perbuatan manusia. Hanya saja, sangat disayangkan, unsur ini menjadi bagian yang penuh misteri.[16] Di dalam al-Quran dinyatakan bahwa jiwa manusia berasal dari ruh Tuhan (min ruhih)[17] Di samping itu, para ulama juga menyimpulkan bahwa unsur ini pula yang telah melakukan perjanjian dengan sang Pencipta sebelum ia digabungkan dengan tubuh.[18] Berdasar ini semua, tentu saja tidak mungkin manusia diciptakan dalam keadaan sesat dan berdosa seperti dipahami sebagian orang. Itu pula sebabnya sebagian pakar berpendapt bahwa manusia diciptakan dalam keadaan bertauhid, Islam, dan suci. Akan tetapi, pendapat ini hanya benar sepanjang manusia hanya dilihat dari sisi ruh asalnya. Para pemikir Muslim sepakat bahwa makhluk yang bernama manusia tidak hanya terdiri atas ruh semata, melainkan juga ada unsur fisik. Kondisi ruh ketika anak manusia dilahirkan, setelah bergabung dengan tubuh, tidak memiliki kesadaran akan amanah dan janjinya itu. Unifikasinya dengan tubuh material mengakibatkan ruh terhalang untuk mengetahui dan menyadari janjinya dengan Tuhan. Al-Quran menegaskan: والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لاتعلمون شيئا ( النحل 78 ) 4. Sifat-sifat Psiko-Fisik (al-fithrat al-nafsaniyyat) Yang dimaksud dengan nafs (diri) adalah suatu hakikat yang terbentuk setelah unifikasi unsur fisik dan jiwa. Nafs tidak sama dengan ruh yang menjadi rahasia kehidupan dan juga tidak sama dengan jasad (tubuh)material yang bisa diobservasi.[19] Dengan demikian fitrah nafsaniah adalah keadaan dan sifat dari gabungan ruh dan fisik.Ia bukan merupakan keadaan dan sifat unsur ruh semata seperti yang telah dikemukakan di atas, melainkan keadaan dan sifat ruh yang telah menyatu dengan tubuh. Juga bukan keadaan dan sifat unsur fisik semata, tetapi kondisi dan sifat unsur fisik yang telah dimasuki ruh.[20] Di antara gambaran al-Quran tentang fitrah nafsani dapat dikemukakan sbb.: a. Lemah. Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun psikis sebagaimana dinyatakan al-Quran: خلق الإنسان ضعيفا b. Memiliki potensi untuk melakukan berbagai pekerjaan fisik. Meskipun manusia terlahir dalam keadaan lemah, tidak berdaya sama sekali[21], namun ia dapat tumbuh menjadi kuat untuk melakukan bermacam-macam tindakan fisik setelah melalui proses pertumbuhan dan perkembangan. Tuntutan agar manusia mewujudkan kemakmuran di bumi dan tidak melakukan kerusakan menunjukkan bahwa manusia dapat melakukan tindakan-tindakan positif atau negatif. c. Bodoh dalam pengertian tidak memiliki pengetahuan tentang apa pun. Al-Quran menegaskan: والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لاتعلمون شيئا ( النحل 78 ) d. Memiliki potensi untuk berpengetahuan. Seiring dengan pernyataan di atas, manusia diciptakan dalam keadaan berpotensi untuk berpengetahuan. Ada 3 perangkat yang diberikan Allah untuk keperluan itu, yaitu: pendengaran (al-sam’), penglihatan (al-bashar), dan jantung-hati (al-af`idat). e. Memiliki kebebasan dalam bertindak dan bersikap. Manusia lahir dengan potensi yang memungkinkan ia dapat menentukan pilihan terhadap semua tindakan yang akan dilakukannya. Manusia diberi kebebasan untuk memilih apakah ia akan menjadi beriman atau kafir. Perhatikan ayat al-Quran seperti: ... فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر ... ( الكهف 29 ) f. Bersifat netral dalam arti berpotensi untuk menjadi baik dan jahat karena ke dalam diri manusia telah diilhamkan potensi kejahatan (fujur) dan potensi ketakwaan. Dalam hal ini, al-Quran menyatakan: ونفس وما سواها + فألهمهافجورها وتقواها + ( الشمس 7 - 8 ) Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia pasti berpotensi untuk menjadi baik. Akan tetapi, perlu pula diingat bahwa di balik itu, manusia juga berpotensi untuk menjadi jahat. Unsur fisik yang senantiasa berada dalam keadaan al-kawn wa al-fasad berpotensi untuk mendominasi unsur jiwa yang bersifat ilahi. Bila unsur fisik dominan, niscaya kejahatan menjadi aktual. Idealnya, unsur jiwa mesti dominan atas unsur fisik. Seiring dengan keterangan ini, pemaknaan fitrah dengan potensi apalagi potensi baik, lagi-lagi, kurang tepat. Fitrah berarti bersifat potensial, yaitu potensial untuk menjadi baik maupun menjadi tidak baik. D. Implikasi Edukatif Pandangan Islam tentang Fitrah Manusia Bertolak dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa implikasi edukatif dari pandangan Islam tentang fitrah manusia sbb.: 1. Pendidikan merupakan suatu keniscayaan (keharusan)bagi setiap anak manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan mungkin berfungsi sebagaimana yang diharapkan oleh Sang Pencipta. 2. Pendidikan mesti dilaksanakan sejak manusia itu belum lahir karena, baik secara fisik maupun psikis, fitrah manusia sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh berbagai faktor yang muncul jauh sebelum ia dilahirkan. Kelengkapan unsur dan kesempurnaan manusia ketika ia dilahirkan, khususnya dari segi fisik, bergantung pada kondisi sperma dan telur yang dihasilkan kedua orang tuanya, serta situasi dan kondisi ketika proses pembuahan dan kehamilan berlangsung. Justru itu, Islam mengatur beberapa hal yang terkait dengan periode ini. 3. Pendidikan harus diarahkan untuk membentuk manusia yang dapat melaksanakan tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi karena manusia diciptakan untuk tujuan tersebut. 4. Pendidikan, pada hakikatnya, adalah usaha untuk mengaktualisasikan berbagai potensi baik yang dimiliki dan mengendalikan berbagai potensi tidak baik yang ada pada manusia. Pendidikan dilakukan untuk menumbuh-kembangkan unsur-unsur fisik dengan anggota-anggota tubuhnya agar menjadi sehat dan kuat serta memberikan pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan manusia dapat menciptakan karya-karya kreatif untuk mewujudkan kemakmuran di bumi seperti yang diharapkan Allah swt. 5. Seiring dengan itu, pendidikan diharapkan dapat membentuk pribadi yang tahu diri dan mampu mengendalikan berbagai aktivitas dan prilakunya sesuai dengan tujuan penciptaannya. ________________________________________ [1]Abdul-Rahman Saleh Abdullah, Educational Theory; A Quranic Outlook, (Makkah al-Mukarramah: Faculty of Education, Umm al-Qura University, 1402/1982), hal. 60. [2]Lihat misalnya Abdul Mujib, M.Ag., Fitrah dan Kepirbadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta: Penerbit Darul Falah, 1999 M/1420 H), hal. 20 dst. [3]Murtadha Muthahhari, Fitrah, Terj. H. Ahsin Muhammad, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1419 H/1998 M.), hal. 9. [4]Luwais Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughat wa al-Adab wa al-’Ulum, (Beyrut: Matba’at Katholikiyah, t.t.), hal. 588. [5]Murtadha Muthahhari, op. cit., hal. 8. [6]Ibid., hal. 20. [7]HM. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hal. 285. [8]John S. Brubacher, A History of the Problems of Education, (New York: McGraw-Hill Book Company, Inc., 1947), hal. 120 [9]Perlu diingat bahwa kata fithrat dalam hadits ini diucapkan dalam bentuk ma’rifat (definite), bukan dalam bentuk nakirat (indefinite). Bantuk ini mengisyaratkan bahwa manusia diciptakan dalam suatu keadaan tertentu yang sesuai dengan rencana dan program Allah. Untuk mengetahui rencana dan program Allah itu (dalam hal ini fitrah manusia) diperlukan pengkajian yang cermat terhadap ayat-ayat Quraniah dan ayat-ayat Kauniah yang televan. [10]Dalam sebuah hadits, diriwayatkan bahwa Nabi pernah berkata: اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاث .... [11]Perhatikan bunyi ayat berikut: وأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التى فطر الناس عليها ... (الروم 30 ) [12]Sesuai dengan fitrah tidak berarti sesuai dengan selera atau hawa nafsu manusia. [13]Ada agama yang mengajarkan bahwa untuk menjadi hamba Tuhan yang baik, seseorang harus menghindari pernikahan. Di samping itu, ada pula ajaran yang menutup pintu perceraian bagi pasangan suami istri yang telah menikah. Kedua ajaran ini jelas-jelas bertentangan dengan kebutuhan dan sifat-sifat manusia yang sudah menjadi fitrahnya. Apalagi, ada agama yang menyuruh manusia bersujud kepada makhluk yang justru derajatnya berada di bawah manusia, seperti menyembah berhala, hewan, dll. [14]ihat Ikhwan al-Shafa`, Rasail Ikhwan al-Shafa`, (Beirut: Dar Shadir, 1957), Juz II, hal. 259. [15] Surah al-Rum berbunyi: الله الذى خلقكم من ضعف (الروم 54)Sedangkan surah al-Nisa` berbunyi: وخلق الانسان ضعيفا (النساء 38) [16] Al-Quran menegaskan bahwa al-ruh adalah urusan Tuhan. Perhatikan QS.: al-Isra` ayat 85 . [17]Perhatikan QS.: Al-Sajadah, ayat 9, al-Hijr, ayat 29, dan Shad, ayat 72. [18] Pendapat ini didasarkan atas pemahaman terhadap al-Quran surah al-A’raf, ayat 172. [19]Aisyah Bintu Syati`, Manusia Dalam Perspektif al-Quran, Terj. Ali Zawawi, (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 1999), hal 155. [20]Kenyataan bahwa manusia merupakan gabungan dari unsur fisik dan ruh sangat menentukan fitrah nafsaniah dari setiap manusia. Berbagai kemungkinan kombinasi dari kedua unsur ini akan mewujudkan keunikan bagi manusia yang bersangkutan. Ia akan menjadi dasar utama bagi terbentuknya perbedaan individual pada setiap manusia. Abdullah menyatakan bahwa proses unifikasi ruh dengan tubuh dapat disamakan dengan proses (reaksi) kimia dari dua unsur yang bersenyawa. [21]Dibanding hewan, manusia terlahir dalam keadaan yang lebih lemah. Dalam beberapa menit setelah dilahirkan, hewan dapat berjalan atau berlari, manusia tidak. Manusia lahir dalam keadaan “prematur”. Agar ia dapat lahir dalam keadaan yang lebih kuat seperti hewan, manusia memerlukan waktu sekitar 2 tahun di dalam kandungan ibunya. TUJUAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Apakah yang dikatakan tujuan pendidikan? Bagaimana merumuskan tujuan pendidikan? Mungkinkah tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat sama? Bagaimana tujuan pendidikan dalam perspektif Islam? Untuk memahami semua itu, silakan pelajari uraian berikut! BAB III TUJUAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM A. Pendahuluan Pendidikan adalah usaha sadar yang sengaja dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Dilihat dari sisi pelakunya, pendidikan merupakan suatu upaya untuk mengubah manusia dari suatu kondisi tertentu menjadi manusia yang memiliki suatu bentuk kepribadian tertentu. Sementara itu, dilihat dari sisi anak didiknya, pendidikan merupakan suatu usaha untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Perumusan tujuan menjadi salah satu masalah pokok dalam pendidikan. Rumusan tujuan menjadi pembimbing dan pemberi arah bagi aktivitas pendidikan. Tanpa rumusan yang jelas tentang tujuannya, perbuatan mendidik menjadi tidak terarah. Di samping itu, rumusan tujuan tersebut juga akan menjadi tolok ukur dalam mengevaluasi hasil pelaksanaan pendidikan yang telah diselenggarakan. Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh seberapa jauh aspek-aspek dan indikator yang ada dalam rumusan tujuan telah tercapai. Tujuan pendidikan merupakan suatu keadaan ideal (das sollen) yang hendak diwujudkan pada anak didik melalui aktivitas pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan berkaitan langsung dengan masalah norma atau pandangan hidup yang merupakan masalah filsafat, khususnya filsafat tentang manusia.[1] Bentuk kepribadian yang diidealkan tersebut bergantung pada filsafat hidup masyarakat atau pribadi yang bersangkutan. Ia identik dengan tujuan hidup manusia menurut pandangan paham tertentu. Perbedaan pandangan tentang manusia ideal yang dicita-citakan meniscayakan perbedaan rumusan tentang tujuan pendidikan. Masing-masing masyarakat, bahkan masing-masing individu, memiliki pandangan tersendiri tentang manusia ideal yang diinginkannya. Mereka memiliki kriteria yang berbeda tentang manusia yang baik. Mungkin saja, suatu masyarakat memandang bahwa manusia yang baik adalah mereka yang mempunyai fisik yang kuat atau memiliki kemampuan intelektual yang tinggi.[2] Sementara yang lain mungkin ada yang berpendapat bahwa manusia yang baik adalah mereka yang dapat menciptakan lapangan kerja atau menghasilkan uang yang banyak. Dengan demikian, tujuan pendidikan sudah pasti akan berbeda pada setiap kelompok masyarakat sesuai dengan filsafat dan pandangan hidup yang mereka anut. Berkenaan dengan masalah tersebut, menarik untuk diperhatikan bahwa meskipun sumber ajaran Islam hanya satu, namun berbagai literatur mengenai pendidikan Islam mengemukakan bermacam-mcam rumusan tentang tujuan pendidikan dalam perspektif Islam seperti membentuk manusia yang baik, bertakwa, berakhlak mulia, berkepribadian Muslim, insan kamil, dan lain-lain.[3] Jika dicermati lebih jauh, semua ungkapan ini bersifat terlalu umum karena belum menggambarkan indikator dan kriteria yang jelas sehingga tidak mudah untuk dijadikan acuan dalam merencanakan dan melaksanakan pendidikan. Di samping itu, rumusan ini juga dapat disorot dari kerangka berpikir yang dijadikan acuan pengambilannya karena al-Quran dan al-Hadits tidak memuat pernyataan eksplisit mengenai tujuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan didasarkan atas tujuan hidup manusia. Berdasarkan kerangka berpikir seperti dikemukakan di atas, perlu dikaji kembali rumusan yang tepat mengenai tujuan pendidik-an dalam perspekti Islam, yaitu suatu rumusan yang mengacu pada al-Quran dan al-Sunnah. Untuk itu, dalam tulisan ini akan dikemukakan secara berturut-turut uraian tentang konsepsi Islam tentang manusia, tujuan hidup dan makna eksistensial manusia, rumusan tujuan akhir pendidikan, serta spesifikasi dari rumusan tujuan akhir tersebut. B. Konsepsi Islam tentang Manusia 1. Hakikat Manusia Berdasarkan ayat al-Quran, dapat di-ketahui bahwa Islam secara tegas menyata-kan bahwa manusia adalah makhluk atau ciptaan Tuhan. Inilah inti pokok kandungan ayat yang pertama diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.[4] Manusia bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya. Ia diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan yang telah ditentukan sendiri oleh penciptanya itu. Manusia adalah makhluk psiko-fisik, yaitu makhluk yang wujudnya merupakan gabungan unsur jiwa yang bersifat immateri dan tubuh yang bersifat materi.[5] Unsur fisik merupakan alam materi yang padanya berlaku hukum-hukum fisika sebagaimana berlaku pada benda-benda alam lainnya. Ia tersusun dari unsur-unsur api, air, tanah, dan udara, yang senantiasa berada dalam proses tumbuh, berkembang, dan hancur sesuai dengan prinsip-prinsip hukum fisika. Al-Quran menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah (turab, thin, ardh, dst.) atau dari air yang hina (ma` mahin) dan dari segumpal darah (‘alaq). Tubuh manusia terdiri atas bagian-bagian yang memiliki fungsi dan tugas masing-masing.[6] Sementara itu, unsur jiwa bukanlah alam materi. Padanya tidak berlaku hukum-hukum fisika seperti yang berlaku pada unsur fisiknya. Unsur inilah yang membuat badan menjadi hidup, bergerak, dan melakukan berbagai aktivitas. Jiwa manusia tidak akan hancur seperti halnya badan. Unsur jiwa ini pulalah yang akan mempertanggung-jawabkan segala tingkah laku dan perbuatan manusia kelak di akhirat. Kedua unsur, fisik dan jiwa, ini mempunyai peran yang sama-sama penting bagi manusia dalam melaksanakan tugas hidupnya. Tanpa ruh, tubuh manusia hanya tumpukan tulang dan daging yang tidak berarti. Begitu pula, tanpa tubuh, jiwa tidak akan dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Tingkah laku dan perbuatan manusia adalah hasil dari interaksi kedua unsur tersebut. Keduanya merupakan dwi tunggal yang mewujudkan suatu pribadi yang utuh selama manusia menjalani kehidupannya. Keberhasilan manusia dalam menjalankan tugas hidupnya sangat bergantung pada kemampuan kedua unsur ini dalam memainkan peran dan fungsinya. 2. Tujuan Hidup dan Makna Eksistensial Manusia Untuk memahami tujuan hidup dan makna eksistensial manusia, ada beberapa ayat al-Quran yang perlu dicermati. Di antaranya: a. Surah al-Ahzab ayat 72 yang berbunyi: إنا عرضنا الأمانة علي السموات والأرض والجبال فأبين أن يحملنها وأشفقن منها وحملها الإنسان إنه كان ظلوما جهولا ( الأحزاب 72 ) Artinya: Sesungguhnya Kami telah menawar-kan suatu amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Lalu, mereka enggan untuk menerima serta menolaknya. Lantas manusia bersedia memikulnya. Sungguh manusia itu aniaya lagi bodoh. Ayat ini menyatakan bahwa Allah swt. telah membebani manusia dengan suatu amanah yang mesti dipertanggung jawabkan pelaksa-naannya, yaitu suatu amanah yang tidak dapat diemban oleh makhluk lain seperti langit, bumi, dan gunung. b. Surah al-Dzariyat ayat 56 yang berbunyi: وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون ( الذا ريات 56 ) Artinya: Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku. Seiring dengan ayat di atas, ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa tujuan Allah menciptakan dua jenis makhluk-Nya, jin dan manusia, adalah untuk melaksanakan tugas-tugas pengabdian kepada-Nya. Dengan demikian, tujuan hidup manusia adalah mengabdi kepada Allah yang telah menciptakannya. Adalah wajar bila Allah sebagai pencipta menetapkan apa yang diinginkan-Nya dengan penciptaan manusia. Bukanlah hak manusia sebagai makhluk untuk menentukan tujuan hidupnya. c. Surah al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi: وإذ قال ربك للملا ئكة إنى جاعل فى الأرض خليفة ... ( البقرة 30 ) Artinya: Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di bumi”. Dari ayat ini, dapat disimpulkan bahwa kedudukan dan tugas manusia adalah sebagai khalifah atau wakil Allah di bumi. Khalifah berarti berarti pengganti, wakil, atau perpanjangan tangan Allah yang dituntut untuk melaksanakan tugas-tugas ilahiah di bumi.[7] Sebagai khalifah Allah, tentu saja, manusia dituntut agar mengetahui dan memiliki sifat-sifat positif yang dimiliki Allah.[8] Dalam pengertian inilah, Ikhwan al-Shafa`, kelompok pemikir Muslim zaman Klasik, menyatakan bahwa manusia sebagai wakil Allah dituntut untuk mengidentifikasi dirinya dengan Allah (tasyabbuh bil-ilah), yaitu dengan memiliki sifat-sifat mulia yang dipunyai Allah serta melakukan berbagai perbuatan dan pekerjaan ilahiah.[9] Berdasarkan ayat-ayat yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa amanah yang dipikulkan oleh Allah swt. kepada manusia ialah melakukan pengabdian kepada-Nya sebagai khalifah atau wakil-Nya. Tentu saja, akan timbul pertanyaan lebih lanjut tentang bentuk dan tata cara pelaksanaan tugas-tugas kekhalifahan yang dimaksud. Untuk memahami tugas-tugas manusia sebagai khalifah, masing-masing manusia perlu mempelajari dan memahami ajaran agama yang telah diberikan Allah. Di antara pernyataan al-Quran yang pantas disimak berkenaan dengan masalah ini ialah: هوأنشأكم من الأرض واستعمركم فيها .... ) هود 61 ( Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari tanah dan meminta agar kamu menciptakan kemakmuran pada-nya. Ayat ini mengatakan bahwa Allah sebagai pencipta berharap agar manusia dapat mewujudkan dan memelihara kemakmuran di bumi. Tugas utama dari keberadaan manusia adalah bekerja secara sungguh-sungguh dengan memanfaatkan segala pemberian Allah swt. untuk menunaikan amanah yang dibebankan oleh Allah swt. kepadanya, yaitu dengan melakukan berbagai bentuk perbuatan baik (‘amal shalih) yang dapat menciptakan dan memelihara kemakmuran alam semesta selama ia hidup di bumi ini.[10] Inilah makna kehidupan manusia. Justru itu, keberhasilan manusia dalam menjalankan tugasnya bergantung pada sejauh mana ia berhasil menciptakan karya-karya positif (‘amal shalih ). Pelaksanaan tugas inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya serta memberikan tempat yang sangat terhormat di sisi Allah sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran: ولقد كرمنابنى ادم وحملناهم فىالبر والبحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثير ممن خلقنا تفضيلا ) الإسراء 70 ( Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak keturunan Adam (manusia). Kami angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk hidup dan mencari rezki). Kami beri mereka rezki yang baik-baik, dan berikan kedudukan yang lebih utama kepada mereka dibanding makhluk lainnya. C. Tujuan Akhir Pendidikan Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir (ultimate goals, dapat juga disebut tujuan umum) pendidikan menurut pandangan Islam ialah untuk membentuk manusia agar dapat berperan sebagai hamba dan khalifah Allah. Manusia ideal dalam pandangan Islam adalah manusia yang dapat menempatkan dirinya sebagai khalifah atau wakil Allah yang selalu mengabdikan dirinya untuk kepentingan Tuhannya. Manusia seperti itulah yang perlu dibentuk melalui pendidikan. Pembentukan manusia sebagai hamba Allah meniscayakan terwujudnya pribadi-pribadi yang senantiasa mematuhi semua aturan dan ketentuan Allah sebagaimana telah ditetapkan di dalam ajaran agama yang diturunkan-Nya. Dari sisi ini, pendidikan bertugas untuk mengajarkan berbagai ketentuan dan aturan Allah yang berlaku bagi manusia kepada anak dirik serta melatih dan membia-sakannya untuk melaksanakan ketentuan dan aturan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, pendidikan bertugas membentuk sikap mental yang menyadarkan manusia akan kedudukannya sebagai ciptaan Allah yang mesti mengikuti kemauan penciptanya. Bidang ini merupakan tugas pendidikan dasar yang mutlak mesti diberikan kepada setiap anak didik Muslim. Mengetahui dan melaksanakan semua tuntunan ajaran agama adalah kewajiban individual (fardhu ‘ain). Tanggung jawab sebagai hamba Allah dibebankan kepada manusia secara individual atau perorangan. Oleh karena itu, pendidikan dalam bidang ini harus diberikan kepada setiap individu, tanpa kecuali (apa pun profesi dan pekerjaan yang akan digelutinya dalam masyarakat). Pembekalan pengetahuan agama dan pembentukan sikap kebera-gamaan harus dilakukan terhadap setiap individu manusia, bukan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Sedangkan mendidik manusia sebagai khalifah Allah berarti membentuk manusia agar dapat menjadi pemelihara, pengolah, dan pengelola alam sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dalam rangka menciptakan kemakmuran sebagai wujud rahmat Allah bagi semuanya. Tugas pendidikan bagi manusia sebagai khalifah Allah ialah untuk mengajarkan, melatihkan, dan mengembangkan berbagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk menciptakan kemakmuran bagi alam semesta. Dalam pelaksanaan tugas ini perlu diperhatikan kebutuhan sosial dan perbedaan individual pada masing-masing anak didik. Kebutuhan sosial menghendaki pengelolaan berbagai aspek kehidupan se-perti pertanian, pertukangan, perekonomian, pengobatan, dan lain-lain. Sementara itu, perbedaan individual menghendaki pembinaan spesialisasi dalam berbagai lapangan. Tidak semua orang dituntut untuk menguasai semua bidang keahlian dan keterampilan sebab tanggung jawab sebagai khalifah dipikul oleh manusia secara universal, bukan perorangan. Masyarakat manusia tak ubahnya bagaikan sebuah mobil yang memiliki bagian-bagian. Ada bagian yang berukuran besar dan ada pula yang berukuran kecil. Namun, masing-masing memiliki fungsi yang sama pentingnya. Fungsi baut yang kecil tidak kalah pentingnya dari ban yang besar. Begitu pula manusia. Masing-masing orang dituntut untuk mengambil bagian dalam sistem yang ada. Dalam konteks ini, Nabi menyatakan bahwa manusia yang baik adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lain. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan yang dituntut oleh ajaran Islam pada tahap awal ialah penyadaran setiap anak didik akan kedudukannya sebagai hamba Allah, sekali gus, membimbing dan melatih mereka untuk melaksanakan secara patuh dan taat segala aturan dan ketentuan Allah yang tertuang dalam al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Di atas dasar inilah (bukan di samping, apalagi di belakang), kemudian dikembangkan dan dibina berbagai spesialisasi yang diperlukan bagi kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial. Dengan demikian, tidak akan terjadi dikotomi atau pun dualisme dalam pendidikan umat Islam, serta tidak akan muncul sains yang sekuler atau pun agama yang tidak memperhatikan kehidupan dunia. D. Spesifikasi Tujuan Pendidikan Tujuan akhir pendidikan seperti dikemukakan di atas belum bersifat operasional. Ia masih bersifat umum serta tidak mungkin dicapai dengan suatu langkah dan dengan menggarap suatu aspek tertentu. Oleh kare-na itu, dalam pelaksanaannya, diperlukan spesifikasi tujuan akhir tersebut sehingga ia menjadi operasional. Rumusan itu perlu dijabarkan dan dirinci dalam beberapa tahap dan bidang garapan tertentu sehingga tersusun rumusan yang bersifat sementara dan khusus. Sehubungan dengan itu, para perancang dan pengelola pendidikan umat Islam dituntut untuk merumuskan berbagai tujuan sementara dan tujuan khusus dalam pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. Tentu saja, semua rumusan tersebut mesti disusun secara hirarkis, integral, dan berkesinambungan. Di antara tahap dan aspek yang perlu dipertimbangkan misalnya pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, serta aspek jasmani, intelektual, emosional, dan keterampilan dalam bermacam-macam bidangnya. Dengan demikian, berbagai rumusan tujuan pendidikan dapat disusun seperti tujuan institusional (kelembagaan), kurikuler (bidang ilmu tertentu), dan instruksional (pokok-pokok bahasan). Misalnya, untuk mendidik seorang ahli pertanian yang berkepribadian Muslim diperlukan lembaga yang biasa disebut Fakultas Pertanian. Untuk itu diperlukan bermacam-macam bidang studi yang terkait. Masing-masing bidang studi tersebut terdiri atas beberapa pokok bahasan. Hanya saja, perlu diingat bahwa pilihan bidang studi dan pokok bahasan perlu dilakukan dengan memperhitungkan fungsi dan urgensi masing-masing dalam pembentukan ahli pertanian Muslim yang profesional. Begitu pula untuk bidang-bidang keahlian lainnya yang diperlukan manusia dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah. Dalam rangka spesifikasi tujuan pendidikan, perlu diperhatikan bahwa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, seperti yang telah dikemukakan di atas, manusia dibekali oleh Allah dengan berbagai daya (potensi) serta perlengkapan. Daya-daya tersebut terdapat pada unsur jiwa yang memberi kehidupan pada unsur fisik. Sementara itu, perlengkapan yang dimiliki manusia terdiri atas bagian-bagian dan anggota-anggota fisik yang mempunyai fungsi masing-masing. Daya-daya jiwa manusia meliputi daya berpikir dan merasa serta daya untuk berbuat. Daya-daya inilah yang membuat manusia dapat bergerak dan melakukan berbagai jenis perbuatan. Unsur ini pula yang menjadi penentu (decision maker) dari perbuatan dan tindakan manusia, yang pada akhirnya menentukan nilai kemanusiaan pada individu yang bersangkutan. Sementara itu, perlengkapan fisik yang dimiliki manusia meliputi organ-organ tubuh, baik yang berfungsi untuk memelihara kehidupan dirinya sendiri maupun yang berfungsi untuk melahirkan karya-karya lainnya. Organ yang memelihara kehidupan mencakup semua organ fisik yang menjamin terpeliharanya kehidupan. Termasuk ke dalam unsur ini adalah organ-organ yang terlibat dalam sistem pernapasan, peredaran darah, pencernaan makanan, dan lain-lain. Tanpa organ-organ ini, manusia tidak mungkin hidup. Sementara organ fisik yang melahirkan karya-karya nyata meliputi anggota-anggota tubuh yang dapat menghasilkan peradaban dan kebudayaan manusial. Unsur utama di sini adalah mulut, tangan, dan kaki. Organ-organ inilah yang dipakai manusia untuk mengolah alam serta menghasilkan berbagai bentuk karya. Pada saat manusia yang bersangkutan dilahirkan, semua perlengkapan dan daya ini diberikan oleh Allah swt. dalam bentuk potensial, bukan dalam bentuk siap pakai. Manusia diciptakan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun jiwanya,[11] tetapi memiliki potensi untuk menjadi kuat. Manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh, tidak memiliki pengetahuan sama sekali[12], namun berpotensi untuk berpengetahuan. Berbagai daya yang dimiliki ketika ia dilahirkan belum dapat berfungsi sebagaimana diperlukan. Di samping berbagai daya dan potensi yang ada pada dirinya, manusia juga dibekali dengan: 1. Alam semesta dengan segala isinya sebagai sumber kehidupan dan tempat berkarya. Dalam surah al-Baqarah ayat 29, Allah berfirman: هوالذى خلق لكم مافى الأرض جميعا ... ) البقرة 29 ( Artinya: Dia (Allah)-lah yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kamu manusia. 2. Tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi adalah untuk mengolah dan mengelola alam dengan memanfaatkan berbagai fasilitas (sumber daya alam) yang telah disediakan Allah. Justru itu, penguasaan ayat-ayat kauniyah (berba-gai jenis pengetahuan alam) merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan manusia Muslim sebagai khalifah Allah. Penguasaan ilmu-ilmu pengetahuan alam bukanlah sesuatu yang dilarang atau tidak sesuai dengan ajaran Islam, tetapi sesuatu yang diharuskan. Kemunduran umat Islam di zaman pertengahan sampai ke zaman moderen ini tidak dapat dilepaskan dari kesalah pahaman tentang hal. 3. Ajaran agama sebagai petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Sebagai pencipta, Allah mengetahui bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk menemukan jalan hidup yang benar. Untuk itu, Ia mengirim Rasul-Nya guna menyampaikan dan menjelaskan berbagai ketentuan dan petunjuk sebagai panduan bagi manusia dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Manusia tidak mungkin membangun alam ini sesuai dengan kehendak Allah tanpa menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya. Sehubungan dengan itu, pemahan dan penguasaan ajaran agama termasuk sesuatu yang mutlak diperlukan bagi setiap manusia yang telah ditetapkan sebagai khalifah Allah. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap individu Muslim harus memiliki: 1. Fisik dan jiwa yang sehat, kuat, dan fungsional sehingga masing-masing unsur dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Manusia tidak akan dapat berkarya atau beramal saleh tanpa fisik dan jiwa yang sehat. 2. Pengetahuan tentang ajaran agama, khususnya yang berkaitan dengan kehidupannya sebagai hamba Allah, anggota masyarakat, serta profesi yang ditekuninya. Pengajaran dan pendidikan agama harus diberikan dengan cukup kepada setiap individu, bukan hanya kepada orang tertentu. 3. Pengetahuan dan keterampilan profesional yang memungkinkannya mengambil bagian dalam kehidupan sosial dalam masyarakatnya. Masing-masing individu dituntut agar memiliki profesi sendiri. Setiap individu harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat lingkungannya serta alam sekitarnya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut ajaran Islam, pendidikan harus diarahkan kepada pembentukan manusia yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai hamba dan khalifah Allah, yaitu manusia yang sadar sepenuhnya akan kedudukannya sebagai makhluk yang mesti melaksanakan tugas-tugas sebagaimana diinginkan dan diprogram oleh penciptanya. Untuk itu, pendidikan bertugas memberikan pengetahuan dan pengahayatan yang memadai serta berbagai keterampilan yang diperlukan untuk kemakmuran alam semesta. Pencapaian tujuan seperti itu menghendaki pengkajian lebih lanjut tentang tahap-tahap dan bidang-bidang garapan yang spesifik sehingga dengan demikian diperlukan berbagai rumusan tujuan pendidikan yang lebih spesifik sesuai dengan tahap dan bidang yang digarap. Ini merupakan tugas setiap pemikir dan pengelola pendidikan umat Islam. DAFTAR BACAAN Abdullah, Abdul-Rahman Shalih, Educational Theory; A Quranic Outlook, Umm al-Qura University, Makkah al-Mukarramah, tahun 1402/1982 Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, cet. I, tahun 1991 Kartono, Kartini, Quo Vadis Tujuan Pendidikan, Penerbit Mandar Maju, Bandung, tahun 1991 Shafa`, Ikhwan al-, Rasail Ikhwan al-Shafa` wa Khullan al-Wafa`, Dar Shadir, Beirut, tahun 1957 Sindo, Asril Dt. Paduko Sindo, “Konsep Islam tentang Fitrah Manusia dan Implikasinya dalam Pendidikan” dalam Didaktika Islamika, Penerbit IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, vol. 1 No. 3, Agustus 2000 Tafsir, Dr. Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, tahun 1994 ________________________________________ [1]Lihat Kartini Kartono, Quo Vadis Tujuan Pendidikan, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, tahun 1991), hal. 17. [2]Kedua sikap ini dapat dilihat pada masyarakat Sparta dan Athena Kuno. Sesuai dengan pandangan hidup dan budaya mereka, orang-orang Sparta lebih mengutamakan fisik yang sempurna karena mereka lebih mementingkan manusia-manusia yang kuat untuk berperang. Sebaliknya, masyarakat Athena lebih mengutamakan kemampuan intelektual karena, bagi mereka, orang-orang yang cerdas lebih penting. [3]Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 1994), Cet. Ke-2, hal. 46. [4]Rangkaian ayat 1 - 5 surah al-’Alaq dikenal sebagai ayat-ayat al-Quran yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Ayat-ayat ini, di samping mengingatkan akan eksistensi Tuhan, juga menyadarkan manusia akan kedudukannya sebagai makhluk atau ciptaan Tuhan itu. Hal ini erat kaitannya dengan kesombongan sebagian masyarakat Arab ketika itu. [5] Lihat al-Quran, antara lain, surah al-Sajadah ayat 7-9. Di sini ditegaskan bahwa pada mulanya manusia diciptakan dari tanah (thin). Kemudian, generasi berikutnya diciptakan dari air mani (ma` mahin). Dalam proses selanjutnya, dari air mani itu terbentuk unsur fisik manusia. Pada tahap berikutnya, kepada unsur fisik itu, ditiupkan ruh dari Tuhan. Wujud ini, kemudian, diberi alat pendengaran (al-sam`), penglihatan (al-abshar), dan alat berfikir (al-af`idat). [6] Dari berbagai tulisan dapat dipahami bahwa unsur fisik yang membentuk manusia bukanlah benda mati (anorganik) melainkan benda hidup. Ketika ruh belum ditiupkan ke dalam unsur fisik ini di dalam kandungan ibu, ia mengalami proses pertumbuhan. Sejak terjadinya pembuahan, embrio manusia tidak bersifat statis atau mati. Keadaan ini menunjukkan bahwa di dalam unsur fisik tersebut ada unsur kehidupan (al-hayat). Menurut penjelasan sebuah hadis, kondisi demikian berlangsung selama empat bulan. Setelah masa tersebut berlalu, Tuhan meniupkan ruh (unsur jiwa). Justru itu, sering pula dinyatakan bahwa manusia terdiri atas tiga unsur, yaitu unsur fisik, al-hayat, dan ruh. [7] Banyak orang keliru memahami kata khalifah yang terdapat di dalam ayat ini. Sering kata ini diartikan pemimpin. Dalam literatur Islam, kata khalifah digunakan dalam dua pemakaian, yaitu khalifat Allah dan khalifat Rasul Allah. Dalam pengertian pertama, kata ini berarti wakil Allah di bumi, yaitu dalam melaksanakan tugas-tugas pembangunan dan pemeliharaan alam semesta. Yang bertugas sebagai khalifah Allah adalah manusia secara keseluruhan. Sedangkan dalam pemakaian kedua, kata khalifah berarti pengganti Nabi Muhammad saw. sebagai pemimpin umat Islam. Khalifah dalam pengertian ini hanya dipakai untuk orang-orang tertentu yang dipercaya sebagai pemimpin umat atau negara Islam seperti Abu Bakar, Umar, dst. Tampaknya, kekeliruan pengertian kata khalifah timbul karena sebagian orang tidak membedakan kedua pemakaian ini. [8] Upaya manusia untuk memiliki sifat-sifat serta berprilaku dan berbuat seperti perbuatan Allah inilah yang disebut taqarrub ila Allah, mendekatkan kualitas diri dengan sifat-sifat dan kualitas Allah karena wakil (khalifah) Allah yang baik mesti bersikap dan bertindak seperti Tuhan yang diwakilinya. Tentu saja, perlu ditegaskan segera bahwa manusia tidak mungkin menyamai Allah. Bahkan, kedekatannya pun bersifat relatif. [9] Lihat Ikhwan al-Shafa`, Rasail Ikhwan al-Shafa` wa Khullan al-Wafa`, (Beirut: Dar Shadir, 1957), juz I, hal. 427. [10] Di sini perlu ditegaskan bahwa menjadi pekerja yang profesional dalam berbagai bidang adalah perintah Tuhan yang mesti dilaksanakan manusia. Kehidupan di bumi ini tidak akan semarak dan makmur tanpa petani, dokter, teknisi, ekonom, dan lain-lain yang profesional. Kemunduran umat Islam pada periode tertentu dalam sejarahnya berhubungan erat dengan perkembangan pandangan yang mengesampingkan bidang-bidang ini dan tenggelam dalam ibadah yang sempit. Kehidupan dunia bukan sekedar jembatan menuju akhirat, melainkan ladang yang perlu digarap dan diolah dengan baik sehingga dapat memberikan hasil optimal sekarang dan pada masa yang akan datang. [11] Lihat al-Quran surah al-Nisa` ayat 38 dan surah al-Rum ayat 54. [12] Lihat al-Quran surah al-Nahl ayat 78. MATERI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM Untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, anak didik perlu dibekali dengan sesuatu yang memungkinkan ia menjadi pribadi yang ideal, yang diinginkan. Masing-masing masyarakat punya kriteria tersendiri tentang pribadi ideal tersebut sehingga tujuan pendidikan pada setiap masyarakat berbeda. Selanjutnya, hal ini juga membawa perbedaan dalam menentukan materi atau isi pendidikan yang diberikan dan ditanamkan pada anak didik. Uraian berikut berbicara tentang materi pendidikan dalam perspektif Islam. BAB IV MATERI PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM A. Pendahuluan Materi pendidikan biasa juga disebut isi atau kandungan pendidikan dan kurikulum.[1] Materi pendidikan ialah segala sesuatu yang diberikan kepada anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, tujuan pendidikan tidak akan tercapai sebagaimana mestinya tanpa pembekalan anak didik dengan materi pendidikan. Bila rumusan tujuan pendidikan berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, tentu saja, materi yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu juga berbeda. Materi pendidikan dalam masyarakat sekuler mesti berbeda dari materi pendidikan dalam masyarakat yang religius. Begitu pula, materi pendidikan masyarakat industri harus berbeda dari materi pendidikan dalam masyarakat agraris. Pembicaraan tentang materi pendidikan ditempatkan setelah pembahasan mengenai fitrah manusia dan tujuan pendidikan karena pada hakikatnya, materi pendidikan merupakan alat yang akan dipakai untuk mengubah anak dari kondisi awal (fithrah) menjadi manusia ideal yang dicita-citakan. Setelah dipahami kondisi awal serta tujuan akhir yang diharapkan, perlu diketahui dan dipahami lebih lanjut bahan-bahan yang perlu diberikan kepada anak didik untuk membawa perubahan dimaksud. Sehubungan dengan itu, perlu ditegaskan bahwa materi pendidikan bukan hanya pengetahuan atau bidang-bidang ilmu tertentu yang ditransfer kepada anak didik. Di sinilah terletak perbedaan utama antara pendidikan dengan pengajaran. Dalam pengajaran, yang ditransfer kepada anak didik terfokus hanya pada unsur pengetahuan (ranah kognitif) saja. Sedangkan dalam pendidikan, pengetahuan hanya sebagian dari materi yang mesti diberikan kepada anak didik.[2] Menurut Brubacher, kurikulum atau materi pendidikan secara garis besar terdiri atas the true, the good, dan the beautiful.[3] Inilah tiga serangkai materi pen-didikan atau kurikulum menurut Brubacher. Dalam uraian lebih lanjut, dijelaskan bahwa pembicaraan tentang the true menuntut bahasan tentang hakikat pengetahuan. Sementara itu, pembicaraan tentang the good dan the beautiful merupakan kajian mengenai etika dan estetika. Jadi, tiga serangkai materi pendidikan bagi Brubacher adalah pengetahuan, etika, dan estetika. Seiring dengan itu, Langgulung mengemukakan bahwa secara garis besar, ada 3 hal yang menjadi materi atau isi pendidikan, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan nilai-nilai (value)[4]. Kedua pendapat ini tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Pendapat kedua memperkuat dan melengkapi pendapat pertama. Dari kedua pendapat ini, disimpulkan bahwa materi pendidikan terdiri atas tiga unsur, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan nilai. Inilah yang menjadi acuan dalam bahasan berikut. Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, di dalam bahasan berikut ini akan dibicarakan hal-hal yang terkait dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai sebagai materi pendidikan. Masalahnya ialah apa itu pengetahuan, keterampilan, dan nilai serta apa urgensinya masing-masing, lalu pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang bagaimana yang mesti diberikan kepada anak didik menurut ajaran Islam. B. Pengetahuan Sebagai Materi Pendidikan 1. Pengertian Pengetahuan Tampaknya, untuk mendefinisikan pengetahuan termasuk pekerjaan rumit. Banyak rumusan telah dikemukakan oleh para pakar dan penulis sesuai dengan kecenderungannya masing-masing. Bertolak dari kecenderungan para ulama Muslim, Al-Syaibany mengemukakan bahwa pengetahuan manusia adalah maklumat, fikiran-fikiran, pengertian-pengertian, tafsiran-tafsiran yang diyakini, hukum-hukum, tanggapan-tanggapan, gambaran yang pasti yang kita capai tentang sesuatu sebagai akibat kita menggunakan pancaindera, akal, atau kedua-duanya sekaligus, atau sebagai akibat dari suatu yang kita peroleh melalui ilham, atau perasaan, atau penglihatan dengan mata, atau melalui kasyaf, atau melalui ajaran agama dan diturunkan melalui wahyu Ilahi.[5] Pengetahuan dapat juga berarti hubungan fikiran yang jelas yang terbentuk pada manusia di antara akalnya dengan sesuatu di luar dirinya sebagai akibat interaksi sadar yang terjadi antara dia dengan alam luar yang mengelilinginya, atau sebagai akibat berbagai proses akal yang menyertai interaksi ini, atau sebagai akibat dari pengaruh intuisi dari ilham atau diterimanya melalui ajaran agama dan wahyu. Al-Attas mendefinisikan pengetahuan sebagai kedatangan (hushul) makna sesuatu atau suatu objek pengetahuan di dalam jiwa, atau sampainya (wushul) jiwa pada makna sesuatu objek pengetahuan.[6] Dengan kata lain, pengetahuan adalah wujudnya gambaran yang jelas tentang suatu objek yang terbentuk pada jiwa manusia, baik yang diperoleh melalui pancaindera dan proses berfikir maupun diterima melalui wahyu. Berpengetahuan berarti memiliki gambaran tentang suatu wujud tertentu. Mencari pengetahuan berarti berusaha untuk mendapatkan gambaran tentang suatu objek. Gambaran itu boleh jadi sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya atau mungkin juga tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Pengetahuan yang benar, tentu saja, adalah eksistensi gambaran yang benar tentang sesuatu objek di dalam diri manusia. Manusia mempunyai keterbatasan dalam menjangkau dan mendapatkan gambaran tentang hakikat yang sesungguhnya dari semua realitas yang ada. Melalui rahmat-Nya, Allah menolong manusia dengan mengutus para Rasul untuk menjelaskan hal-hal yang sulit dijangkau oleh manusia melalui akal fikirannya semata. 2. Klasifikasi Pengetahuan Pengetahuan manusia dapat dikelompokkan ke dalam berbagai golongan sesuai dengan aspek-aspek yang menjadi dasar pengelompokannya. Secara umum, pengetahuan digolongkan menjadi pengetahuan biasa (ordinary knowledge) dan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan biasa adalah sejumlah pengertian, fikiran, dan gambaran tentang alam luar yang diperoleh manusia dalam hidupnya sehari-hari, yang mencakup wujud-wujud, gerakan-gerakan, dan gejala yang bermacam-macam. Sedangkan, yang dimaksud pengetahuan ilmiah ialah sejumlah pengertian, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang diperoleh para ahli dengan metodologi ilmiah untuk menafsirkan dan menjelaskan berbagai peristiwa di alam.[7] Pengertian ilmiah bersifat empirik karena yang menjadi objeknya adalah segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh pancaindera manusia. Berdasarkan penelitian terhadap ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits, para ulama merumuskan macam-macam pengetahuan yang mungkin dan perlu dimiliki oleh manusia. Klasifikasi pengetahuan yang dirumuskan para pemikir Muslim ternyata berbeda-beda. Perbedaan itu timbul karena perbedaan sudut pandang dan latar belakang tinjauan masing-masing. Tentu saja, sebagai hasil ijtihad, rumusan yang mereka hasilkan tidak selamanya sama. Dilihat dari sumber perolehannya, pengetahuan dapat diklasifikasi ke dalam dua golongan, yaitu pengetahuan naqliyah dan pengetahuan ‘aqliyah. Yang pertama adalah pengetahuan yang berasal dari dzat ghaib (Allah) melalui mekanisme yang disebut wahyu. Yang kedua adalah pengetahuan yang diperoleh melalui usaha dan fungsionalisasi pancaindera dan daya akal manusia. Di sini, pengalaman dan imaginasi manusia menjadi sumber pengetahuan. Dilihat dari urgensinya bagi manusia, pengetahuan dapat dkelompokkan menjadi ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah. Kelompok pertama adalah pengetahuan yang mesti dimiliki oleh setiap individu. Manusia tidak mungkin melaksanakan tugas hidupnya sebagai manusia tanpa memiliki pengetahuan yang masuk kategori ini. Kelompok kedua adalah kelompok pengetahuan yang tidak mesti dimiliki oleh setiap orang. Pengetahuan ini hanya perlu dimiliki oleh sebagian manusia. Tanpa pengetahuan kelompok ini, manusia tidak mungkin menjalani kehidupannya dengan baik sebagai makhluk sosial. Selanjutnya, dilihat dari sisi objek yang menjadi sasaran kajiannya, Abdullah mengelompokkan pengetahuan menjadi pengetahuan esensial Islam (al-‘ulum al-syari’iyyat), pengetahuan kemanusiaan (al-’ulum al-insaniyyat), dan pengetahuan kealaman (al-’ulum al-kawniyyat). Pengetahuan esensial Islam adalah pengetahuan yang timbul dan berkaitan dengan al-Quran dan al-Sunnah. Fokus utama dalam kelompok ini adalah segala aturan dan rambu-rambu kehidupan yang diberikan oleh Allah swt. sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Kelompok ini sering disebut dengan pengetahuan agama, yang secara keliru, biasa diidentikkan dengan fikih.[8] Pengetahuan kelompok kedua (al-’ulum al-insaniyyat) adalah pengetahuan tentang manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Yang masuk ke dalam kelompok ini, di antaranya, ialah psikologi, sosiologi, sejarah, dll. Di sini, perlu ditegaskan bahwa pengetahuan kelompok ini juga bersumber dari al-Quran dan al-Sunnah, di samping dari pengalaman dan imaginasi. Fokus utama pembahasan pengetahuan ini adalah pemahaman ayat-ayat dan Sunnatullah yang berlaku pada diri manusia, baik secara individual maupun sosial. Meskipun al-Quran dan al-Sunnah bukan buku psikologi, sosiologi, sejarah, dan lain-lain, namun, di dalam keduanya banyak terdapat isyarat dan petunjuk untuk memahami dan mengembangkan berbagai pengetahuan tersebut. Pengetahuan kelompok ketiga yang perlu dijadikan objek kajian dalam pendidikan Islam ialah ayat kawniyyat, pengetahuan tentang alam semesta. Fakus kajian ini adalah pembahasan tentang sunnatullah, ketentuan Allah yang berlaku pada bermacam-macam benda alam yang berada di sekitar manusia. Pembahasan objek ini melahirkan berbagai cabang pengetahuan kealaman seperti biologi, fisika, kimia, astronomi, dll. Pengetahuan inilah yang memungkinkan manusia sebagai khalifah Allah menguasai alam sebagaimana dimaksud ayat: وسخر لكم مافىالسموات ومافىالأرض جميعا منه إن فىذلك لآيات لقوم يتفكرون (الجاثية 13 ) Pengetahuan ini merupakan syarat utama bagi manusia untuk mengelola dan memakmurkan alam seperti yang dituntut al-Quran: هوالذى أنشأكم من الأرض واستعمركم فيها (هود 61) 3. Urgensi Pengetahuan Bagi Manusia Pengetahuan merupakan suatu hal yang diperlukan oleh manusia dalam menjalani hidupnya. Tanpa pengetahuan, manusia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menguasai berbagai cabang pengetahuan. Sejarah telah membuktikan bahwa masyarakat yang berperadaban maju adalah mereka yang memiliki dan menguasai pengetahuan yang tinggi. Justru itu, ajaran Islam sangat besar perhatiannya terhadap pengetahuan. Ayat-ayat al-Quran dan al-Hadits, di samping berisi beragam pengetahuan, juga memerintahkan umatnya, baik secara langsung maupun tidak, untuk mencari dan memiliki berbagai pengetahuan yang diperlukan manusia dalam menciptakan hidup yang sejahtera dan bahagia di dunia ini. Dalam ajaran Islam, ditegaskan bahwa orang yang berpengetahuan tidak sama dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan. Tidak boleh seseorang menentukan sikap sebelum ia mengetahui segala sesuatu tentang persoalan yang dihadapinya. Hanya orang yang berpengetahuan yang akan takut kepada Allah swt. karena ia menyadari kedudukannya sebagai makhluk yang harus mengabdi kepada khaliknya. Karena itu, seseorang yang menghadapi suatu persoalan diharuskan untuk bertanya kepada orang-orang yang berpengetahuan agar ia tidak salah dalam bersikap dan bertindak.[9] 4. Pengetahuan yang Menjadi Materi Pendidikan dalam Perspektif Islam Selanjutnya, untuk mengetahui berbagai cabang pengetahuan yang dituntut oleh ajaran Islam agar menjadi materi pendidikan, perlu diingat bahwa tugas hidup manusia adalah mengabdi sebagai khalifah Allah swt. di bumi. Untuk dapat melaksanakan tugas seperti itu, manusia dibekali dengan tiga hal sbb.: 1. Daya-daya psikis dan fisik yang ada pada dirinya masing-masing sehingga ia dapat melakukan berbagai perbuatan dan menghasilkan beragam karya. 2. Alam semesta dengan segala isinya yang perlu dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup bersama. 3. Ajaran agama sebagai pedoman untuk bertindak agar tidak menyimpang dari kehendak dan ketentuan-Nya. Ketiga bekal ini harus difungsikan oleh manusia dalam menjalani kehidupannya secara benar dan optimal. Pemanfaatan ketiganya merupakan bagian dari wujud syukur kepada Allah yang telah memberikannya. Untuk dapat memanfaatkan ketiga pemberian Allah ini, manusia perlu memiliki berbagai macam pengetahuan. Secara garis besar, pegetahuan yang perlu dimiliki manusia mencakup pengetahuan-pengetahuan sosial, alam, dan agama. Dengan pengetahuan sosial, manusia dapat mengembangkan dan membina hidup bermasyarakat secara baik, aman, dan tenteram. Selanjutnya, dengan pengetahuan alam, manusia dapat memanfaatkan alam dengan segala sumber daya yang ada di dalamnya. Tanpa pengetahuan sosial dan alam (ayat-ayat kauniah), manusia tidak mungkin akan mampu mengolah, memelihara, dan memanfaatkan alam untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Berbagai kebutuhan hidup tidak akan terpenuhi dengan baik sebagaimana mestinya. Manusia akan saling memangsa dan hidup dalam keadaan miskin dan menderita. Kebudayaannya tidak akan berkembang. Kemajuan dunia Islam di Masa Klasik serta dunia Barat di Masa Moderen didukung oleh penguasaan pengetahuan kelompok ini. Pada sisi lain, tanpa pengetahuan agama (ayat-ayat Quraniah), manusia tidak akan berhasil menjalani hidupnya sesuai dengan kehendak dan tuntunan Allah yang menciptakannya. Tanpa agama, manusia mungkin dapat hidup dengan baik sesuai dengan selera dan kehendaknya, yang sering tidak sejalan dengan kehendak Allah yang menciptakannya. Akan tetapi, kehidupan demikian akan berjalan di luar jalur yang telah ditetapkan Penciptanya. Justru itu, kesejahteraan dan kebahagiaan tanpa agama yang dirasakan manusia bersifat semu, tidak hakiki. Oleh karena itu, setiap orang harus memiliki pengetahuan agama yang cukup dan fungsional. Masing-masing dari ketiga kelompok pengetahuan ini, ada yang wajib dimiliki oleh setiap individu (kewajiban yang bersifat fardhu ‘ain) dan ada pula yang hanya perlu dimiliki oleh sebagian orang dalam kelompok masyarakat yang bersangkutan (kewajiban yang bersifat fardhu kifayah). Misalnya, pengetahuan tentang shalat, puasa, akhlak yang baik, makanan yang bergizi, sumber-sumber penyakit yang dapat mengancam manusia, merupakan sebagian pengetahuan yang harus dipunyai oleh setiap individu, apa pun jabatan dan profesinya. Sebaliknya, pengetahuan tentang pertanian, kedokteran, dan lain-lain cukup dimiliki oleh beberapa orang anggota masyarakat. C. Keterampilan Sebagai Materi Pendidikan Pendidikan, di samping berfungsi untuk membekali anak didik dengan pengetahuan, juga berfungsi untuk membina berbagai keterampilan pada anak didik. Untuk itu, beriktu ini, akan dikemukakan pengertian dan macam-macam keterampilan serta keterampilan yang perlu dijadikan materi pendidikan menurut ajaran Islam. 1. Pengertian Keterampilan Kata keterampilan berasal dari kata terampil yang berarti cakap dalam menyelesaikan tugas; mampu dan cekatan. Keterampilan berarti kecakapan untuk menyelesaikan tugas.[10] Keterampilan adalah kemampuan teknis untuk melakukan suatu perbuatan. Ia merupakan aplikasi atau penerapan dari pengetahuan teoritis yang dimilik seseorang, seperti keterampilan bercocok tanam bagi petani, mengajar bagi guru, membuat kursi bagi tukang kayu, memotong dan menjahit baju bagi penjahit, dan lain-lain. Dengan keterampilan, seseorang dapat melakukan suatu pekerjaan secara efektif dan efisien. Keterampilan ada yang bersifat fisik seperti membuat sepatu, memasak makanan tertentu, mengetik surat, membangun rumah, dan lain-lain. Selain itu, ada pula keterampilan yang bersifat non fisik seperti mengajar, memimpin rapat, menyusun karya ilmiah, dan lain-lain. Keterampilan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, di samping dipengaruhi oleh bakat juga ditentukan oleh latihan dan pembiasaan. Seseorang akan terampil mengerjakan sesuatu, apakah yang bersifat fisik atau psikis, jika ia terlatih dan terbiasa dalam melakukan pekerjaan itu. Seorang yang terlatih memetik gitar akan terampil dalam bermain gitar atau seorang yang terlatih dan biasa mengendari mobil akan menjadi sopir yang terampil. Demikian pula untuk berbagai macam pekerjaan lain yang dapat dikerjakan oleh manusia. 2. Urgensi Keterampilan Efektifitas dan efisiensi suatu pekerjaan sangat ditentukan oleh tingkat keterampilan yang dimiliki oleh pelakunya. Semakin tinggi tingkat keterampilan, semakin efektif dan efisien pekerjaan tersebut. Bobot dan kualitas hasil suatu pekerjaan banyak bergantung pada kemampuan teknis atau kemahiran pelakunya dalam mengerjakan pekerjaan itu. Begitu pula, penggunaan dana, waktu, dan tenaga untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan juga banyak ditentukan oleh tingkat keterampilan orang yang melakukannya. Dalam sebuah hadis dikemukakan bahwa Nabi pernah menyatakan bahwa bila suatu pekerjaan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, yaitu orang yang tidak terampil dalam bidang pekerjaan itu, niscaya kehancuran akan datang, pekerjaan yang dimaksud tidak akan terlaksana sebagaimana diharapkan. Hadis ini secara tegas menuntut agar setiap pekerjaan atau profesi harus dikerjakan oleh orang-orang yang terampil dalam bidang pekerjaan tersebut. Dengan demikian, Islam sangat menekankan pentingnya penguasaan teknologi dalam berbagai aspek dan bidang kehidupan, yang memungkinkan setiap pekerjaan dilakukan dengan tingkat keterampilan yang tinggi. Semakin maju peradaban manusia semakin tinggi pula tingkat kemahiran atau keterampilan yang dibutuhkan. Dulu, keterampilan membuat pedati dipandang sudah maju dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi, saat ini, kendaraan tersebut sudah menjadi masa lalu yang sudah ketinggalan. 3. Keterampilan Yang Menjadi Materi Pendidikan dalam Islam Di atas, telah dijelaskan bahwa tugas yang dibebankan kepada manusia ialah menciptakan kehidupan yang sejahtera sebagai wujud pengabdian kepada Allah swt. Sebagai makhluk sosial, manusia dituntut untuk membina kehidupan bersama. Begitu pula, manusia dituntut untuk mengolah dan memanfaatkan alam. Dengan begitu, banyak pekerjaan yang dapat dan perlu dilakukan manusia. Masing-masing bidang tugas ini menuntut pembinaan dan pengembangan keterampilan, baik keterampilan fisik maupun yang non fisik. Manusia sebagai makhluk sosial dituntut agar mempunyai keahlian yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain. Manusia hidup bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk menjadi bagian yang berarti dalam sebuah sistem sosial yang terdiri atas banyak orang. Masing-masing orang sebagai warga masyarakat dituntut agar mengambil bagian atau pean sendiri untuk kepentingan bersama. Dalam hal ini, menarik untuk mengamati pernyataan Nabi sebagaimana diungkapkan hadis yang berbunyi: خير الناس أنفعهم للناس Artinya: Manusia terbaik adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Agar dapat bermanfaat bagi manusia lain dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang perlu memiliki keterampilan tertentu, baik keterampilan fisik maupun non fisik. Seseorang perlu memiliki keterampilan profesional seperti petani, dokter, guru, ahli bangunan, dan lain-lain karena semua ini sangat dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Makna kehidupan seseorang ditentukan oleh seberapa besar partisipasinya dalam membina kehidupan masyarakat tempat ia hidup. Seiring dengan itu, di dalam al-Quran dinyatakan: ولقد مكناكم فىالأرض وجعلنالكم فيها معايش قليلا ماتشكرون (الأعراف 10) Artinya: Sesungguhnya, Kami telah menempatkan kalian di bumi, dan telah menentukan berbagai sumber kehidupan untuk kalian di sana. Hanya sedikit di antara kalian yang bersyukur. Ayat ini menegaskan bahwa banyak sumber kehidupan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam melaksanakan tugasnya di bumi. Itu berarti bahwa banyak pula keterampilan yang dibutuhkan untuk mengaktualisasikannya. Manusia perlu menggali dan mengembangkannya secara profesional. Dengan demikian, tuntutan agama Islam agar penganutnya selalu berusaha untuk beramal saleh dalam rangka mewujudkan kemakmuran di bumi berarti tuntutan untuk membina dan mengembangkan berbagai keterampilan yang memungkinkan terciptanya kehidupan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Di antara keterampilan yang diungkap al-Quran, dapat dikemukakan seperti bertani, berdagang, beternak, teknik, pengobatan, administrasi, berdakwah, dan lain-lain. Bentuk keterampilan yang dibutuhkan dalam suatu masyarakat tentu saja selalu akan berkembang sesuai dengan tingkat kemajuan peradaban masyarakat yang bersangkutan. Bertolak dari pemikiran ini, umat Islam seharusnya menjadi pelopor bagi pengembangan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuhan hidup moderen yang semakin maju. Konsep amal saleh menuntut umat Islam untuk menjadi produsen bukan hanya konsumen. Tidaklah tepat bila umat Islam hanya memiliki perhatian pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan ilmu-ilmu keagamaan saja, seperti yang terjadi pada Masa Pertengahan. Kelalaian umat Islam dalam mengembangkan teknologi militer, pertanian, perhubungan, dan lain-lain pada masa ini adalah sebab utama bagi kemunduran umat Islam. Untuk mewujudkan masyarakat utama yang memiliki keunggulan dalam berbagai bidang kehidupan, lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu memberikan perhatian yang cukup untuk pembinaan dan pengembangan berbagai keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan moderen ini. D. Nilai Sebagai Materi Pendidikan Manusia yang ideal adalah pribadi yang setia dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang berlaku. Sebaliknya, manusia yang tidak baik yaitu mereka yang mengingkari nilai-nilai, atau sedikitnya kurang loyal dan kurang aktif dalam melaksanakan yang dikehendaki nilai-nilai.[11] Manusia yang baik tidak akan ragu-ragu untuk mengorbankan waktu, dana, tenaga, bahkan nyawa sekali pun dalam rangka memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai yang diyakininya. Manusia demikian tidak akan ada dengan sendirinya, tetapi melalui proses yang disebut pendidikan. Tugas utama pendidikan adalah membentuk pribadi yang bermoral, yang memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Kemampuan seperti ini ada pada hati nurani. Dengan demikian, pendidikan bertujuan untuk membina hati nurani peserta didik agar mempunyai kepekaan dan penghayatan nilai-nilai yang luhur. Pembinaan hati nurani seperti inilah yang disebut pendidikan nilai atau pendidikan budi pekerti.[12] Al-Attas menegaskan bahwa ungkapan bahasa Arab yang paling tepat untuk merumuskan arti kata pendidikan adalah ta`dib karena yang menjadi pusat masalah pendidikan adalah adab.[13] Untuk membentuk pribadi yang bermoral atau yang beradab, anak didik harus dibantu untuk menghayati dan mengalami nilai-nilai luhur yang diidealkan. Justru itu, nilai menjadi materi pendidikan yang sangat penting. 1. Pengertian Nilai Nilai adalah kualitas atau mutu dari sesuatu. Masing-masing benda atau peristiwa di jagat raya ini mempunyai kualitas tertentu. Segala sesuatu yang ada mengandung nilai-nilai tertentu. Nilai masing-masing benda atau peristiwa itu berbeda-beda antara satu dengan lainnya sehingga setiap sesuatu menempati tingkatan nilai tertentu. Menurut Max Scheler, nilai-nilai yang ada tidaklah sama luhur dan tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya, ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibanding nilai lainnya. Hirarki nilai ini bukan diciptakan oleh dan tidak bergantung pada kemauan manusia. Baik atau tidaknya manusia ditentukan oleh kebenaran prilakunya sesuai dengan hirarki nilai itu sendiri.[14] Seseorang memilih suatu benda atau melakukan suatu tindakan karena benda dan tindakan itu diyakininya punya nilai. Oleh karena itu, ia akan merasa puas dan senang bila memperoleh benda atau dapat melakukan sesuatu yang dianggapnya bernilai. Ada orang yang merasa puas bila memperoleh kedudukan dan peran politik tertentu. Ada pula yang akan senang jika mendapat keuntungan ekonomis tertentu. Masing-masing akan berusaha untuk mendapatkan hal-hal yang diyakininya bernilai. Seiring dengan itu, nilai dipahami sebagai suatu tenaga pendorong bagi seseorang untuk bertindak, sesuatu yang dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, serta membuat orang puas, gembira, dan bersyukur, sesuatu yang menarik, sesuatu yang dicari, sesuatu yang menyenangkan dan yang disukai. Dalam menjalani kehidupannya, manusia selalu dihadapkan pada pilihan yang sangat beragam. Manusia tidak mungkin bersikap apatis. Misalnya, ketika seseorang memiliki sejumlah uang ia akan dihadapkan pada pilihan tentang benda apa yang akan dibelinya dengan uang itu. Begitu pula, ketika ia melihat ada orang yang terjatuh di jalanan, ia juga dituntut untuk memilih apakah akan menolong orang tersebut atau berlalu begitu saja. Demikian seterusnya, seseorang selalu dituntut untuk mengambil sikap terhadap berbagai hal yang dihadapinya. Pilihan tentang benda yang akan dibelinya atau tindakan yang akan dilakukannya ditentukan oleh tingkatan nilai yang diyakininya ada pada pilihan itu. Mungkin ia akan membeli barang-barang antik, buku-buku pengetahuan, baju baru, atau makanan yang enak, bahkan mungkin ia memilih terjun ke dalam kancah peperangan, karena itulah yang bernilai bagi yang bersangkutan. Seseorang akan siap mengorbankan apa pun untuk mencapai sesuatu yang diyakininya bernilai bagi dirinya. Penilaian seseorang terhadap suatu benda atau tindakan mungkin sesuai dengan realitas sesungguhnya, tetapi mungkin juga tidak. Oleh karena itu, suatu benda atau tindakan ada yang bernilai dan ada pula yang diberi nilai. Pendidikan nilai bertujuan untuk membina anak didik agar mampu dan mau memilih suatu benda atau tindakan sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat tempat ia hidup. Dengan kata lain, agar ia dapat bersikap dan berprilaku secara tepat sesuai dengan nilai-nilai luhur masyarakatnya. Nilai merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Untuk mengetahui nilai yang dianut oleh seseorang dapat dilihat dengan memperhatikan usahanya untuk mencapai suatu yang mengandung nilai tertentu. Seberapa besar daya, dana, waktu, dan perhatian yang digunakan dan dikorbankannya untuk itu. Semakin besar daya, dana, waktu, dan perhatian yang dugunakannya berarti semakin tinggi nilai yang ada di balik sesuatu itu baginya. Orang yang meyakini bahwa berhaji itu adalah sesuatu yang bernilai tinggi akan senantiasa berusaha dengan segala cara yang mungkin untuk menunaikannya. 2. Macam-macam Nilai Dalam pembahasan tentang nilai, ada beberapa cara pengelompokan yang biasa dipakai. Di antaranya pengelompokan nilai ke dalam nilai intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik atau nilai objektif yaitu nilai yang terdapat secara objektif pada suatu hal atau objek tertentu. Penetapan bernilai atau tidaknya suatu objek ditentukan oleh kualitas objek itu sendiri, tidak bergantung pada relasinya dengan faktor lain. Dalam literatur Ushul Fikih, nilai intrinsik disebut hasan/qubh lidzatih. Sementara itu, nilai instrumen ialah nilai yang diberikan kepada sesuatu karena fungsi dan hubungannya dengan faktor lain. Nilai instrumental disebut dalam istilah Ushul Fikih hasan/qubh lighairih. Nilai intrinsik ialah nilai yang dianggap baik tidak untuk sesuatu yang lain, melainkan di dalam dan dari dirinya sendiri. Nilai instrumental ialah nilai yang baik karena bernilai untuk sesuatu yang lain. Nilai terletak pada konsekuensi-konsekuensi pelaksanaannya dalam usaha mencapai nilai yang lain.[15] Di kalangan ilmuwan terdapat pandangan bahwa nilai sesuatu tidak berada pada objek itu sendiri, melainkan pada peran dan fungsinya bagi subjek pemberi nilai. Sesuatu dikatakan bernilai bila ia memberi manfaat dan kepuasan bagi orang yang membutuhkannya. Inilah pandangan penganut paham pragmatis yang selalu mengukur sesuatu dari segi kegunaan praktisnya. Di antara tokoh paham ini yang banyak pengaruhnya di dunia pendidikan adalah John Dewey. Dalam pandangan mereka, nilai bersifat relatif dan subjektif, yaitu bergantung pada tempat, waktu, dan manusia. Sementara di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa segala sesuatu memiliki nilai pada dirinya sendiri. Bagi penganut pendapat ini, nilai bersifat normatif, universal, dan objektif. Pandangan seperti ini dianut oleh para penganut paham idealisme. Dari segi fungsinya untuk memenuhi interest manusia, nilai dikelompokkan Edward Spranger menjadi nilai religi, nilai ilmiah, nilai ekonomi, nilai politik (keku-asaan, negara), nilai estetika, dan nilai sosial (nilai kemanusiaan).[16] Pengelompok-an ini menunjukkan penggolongan manusia sesuai dengan interestnya. Pada dasarnya, setiap manusia menghargai keenam nilai ini. Hanya saja, konfigurasinya pada masing-masing orang berbeda. Di antara manusia, ada yang mengutamakan nilai-nilai agama dalam hidupnya, dan ada pula yang mementingkan nilai-nilai ekonomi. Demikian seterusnya. Dilihat dari sumbernya, nilai dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu nilai agama dan nilai budaya. Nilai agama yaitu nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan yang ditetapkan melalui wahyu yang disampaikan melalui para Rasul-Nya. Dalam hal ini, penetapan nilai suatu benda atau perbuatan didasarkan atas ketetapan agama. Di dalam ajaran agama, terdapat norma-norma yang memuat nilai-nilai luhur yang harus ditegakkan oleh penganut agama yang bersangkutan. Bagi penganut agama, nilai ini bersifat mutlak dan tidak mungkin diposisikan di bawah nilai-nilai budaya. Nilai budaya adalah nilai-nilai yang ditetapkan oleh manusia, baik secara perorangan maupun berkelompok. Nilai inilah yang melembaga dalam suatu masyarakat, yang menjadi tradisi yang diwariskan turun temurun. Dalam Islam, nilai-nilai budaya dapat diterima dan dikembangkan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Dalam ajaran Islam yang menjadi tolok ukur nilai adalah kehendak Allah swt., bukan kehendak atau selera manusia. Yang baik dan bernilai dalam pandangan Islam adalah segala yang dinyatakan baik oleh Allah swt. Oleh karena itu, patokan baik-buruk atau bernilai-tidaknya sesuatu adalah ketentuan yang terdapat di dalam al-Quran dan al-Sunnah. 3. Nilai-nilai yang Menjadi Materi Pendidikan dalam Islam Islam adalah agama yang mengajarkan kepada manusia agar menempatkan sesuatu pada tempatnya masing-masing sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Inti dari ajaran tauhid adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya dzat yang berhak dipertuhan. Selain dari Allah tidak ada yang boleh dipandang sebagai Tuhan karena kenyataannya semua itu memang bukan Tuhan, tetapi hanyalah makhluk. Hanya Allah yang menjadi khalik dan penentu segala sesuatu. Oleh karena itu, ketetapan Allah tentang segala hal bersifat mutlak. Pandangan ini merupakan landasan utama dalam sistem nilai Islam. Persoalan nilai dalam Islam dibahas oleh para ulama di bawah judul akhlak. Sehubungan dengan itu, al-Syaibany mengemukakan lima prinsip yang menjadi landasan filsafat Islam, khususnya di bidang akhlak. Kelima prinsip itu adalah: a. Percaya bahwa akhlak termasuk di antara makna yang terpenting dalam hidup ini. Oleh karena itu, terdapat sebanyak 1504 ayat di dalam al-Quran yang berhubungan dengan akhlak, baik dari segi teori maupun praktek. b. Percaya bahwa akhlak itu adalah kebiasaan atau sikap yang mendalam dalam jiwa dari mana timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang. Ia merupakan suatu faktor yang mempengaruhi tingkah laku manusia dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri dengan alam sekitar tempat ia hidup. c. Percaya bahwa akhlak Islam adalah akhlak kemanusiaan yang mulia. Ia sesuai dengan fitrah dan akal yang sehat, dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan perseorangan dan masyarakat dalam segala waktu dan tempat. d. Percaya bahwa tujuan tertinggi agama dan akhlak ialah menciptakan kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, kesempurnaan jiwa bagi individu, serta menciptakan kebahagiaan, kemajuan, kekuatan, dan keteguhan bagi masyarakat. e. Percaya bahwa agama Islam adalah sumber terpenting bagi akhlak Islam. Ia merupakan sumber terpenting dalam menentukan baik-buruk.[17] Bertolak dari pandangan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang mesti menjadi materi pendidikan dalam pandangan Islam adalah nilai-nilai yang bersumber dan berdasarkan al-Quran dan al-Sunnah al-Nabawiyah. Tolok ukur utama dalam penetapan nilai sesuatu adalah kedua sumber ajaran Islam ini. Nilai-nilai budaya dapat diterima selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Agama Islam tidak hanya mengemukakan nilai-nilai yang perlu dipelihara oleh manusia, tetapi juga memberikan panduan tentang langkah-langkah yang perlu untuk mencapainya. Kehadiran Islam bagi manusia adalah sebagai pedoman untuk membenahi akhlak, dalam pengertian untuk memberikan petunjuk serta bimbingan tentang nilai-nilai luhur yang mesti diyakini dan dianut oleh setiap manusia. Sehubungan dengan itu, Nabi pernah menyatakan bahwa beliau diutus oleh Allah swt. sebagai penyempurna akhlak manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam yang termuat di dalam al-Quran dan al-Sunnah itu sarat dengan petunjuk tentang nilai yang mesti diketahui, dihayati dan ditegakkan oleh setiap individu Muslim. Dilihat dari sifatnya, nilai-nilai tersebut ada yang absolut dan ada pula yang relatif. Hal itu dimungkinkan karena Islam adalah agama universal yang berlaku bagi seluruh masyarakat manusia yang sangat beragam. Sedangkan dari sisi kebutuhan manusia, Islam sebagai agama fitrah mengajak manusia untuk memenuhi dan menyalurkan kebutuhan-kebutuhan tersebut secara proporsional. Dengan mengacu kepada pendapat Edward Spranger di atas, Islam mendorong manusia untuk menghargai keenam kategori nilai tersebut secara harmonis. Dalam proses pendidikan yang dilaksanakan atas dasar ajaran Islam, prinsip-prinsip seperti dikemukakan di atas harus ditegakkan. Anak didik harus dibina untuk menerima bahwa mereka adalah manusia makhluk ciptaan Tuhan yang harus tunduk dan patuh kepada segala ketentuan-Nya. Di antara nilai-nilai luhur yang perlu ditumbuh-kembangkan pada anak didik ialah keadilan, disiplin, kejujuran, kesamaan, solidaritas, ekonomis, dan lain-lain. ________________________________________ [1]Pada mulanya, kata kurikulum berarti “jarak tempuh” atau “lintasan” yang mesti dilalui oleh seorang pelari dalam suatu lomba lari. Kemudian, kata ini dipakai untuk sesuatu yang harus didapatkan oleh seorang anak didik dalam proses pendidikan agar tujuan pendidikan tercapai. Dalam pengertian ini, kurikulum berarti bahan atau materi pendidikan. Dalam perkembangan lebih lanjut, kata kurikulum tidak hanya berarti bahan pendidikan, tetapi juga mencakup berbagai hal yang terkait.Hal itu dimungkinkan karena penyusunan bahan pendidikan (baca: pengajaran) selalu disertai dengan rumusan-rumusan yang berkaitan dengan tujuan, strategi, sarana, dan lain-lain. [2]Salah satu problem pendidikan di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah, muncul sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap pembinaan unsur keterampilan dan nilai. Pada umumnya, perhatian hanya tertuju kepada pemupukan pengetahuan. Hal itu terlihat dengan jelas pada evaluasi hasil pendidikan yang hanya didasarkan atas kemampuan akademik semata, termasuk dalam bidang pendidikan agama. Produk dari lembaga-lembaga pendidikan seperti ini adalah manusia-manusia yang pintar, tetapi tidak berakhlak. Bahkan, lembaga-lembaga pendidikan keagamaan juga terjebak pada masalah yang sama. Prilaku-prilaku menyimpang, baik dari norma-norma moral maupun agama, sering pula terjadi di lembaga-lembaga pendidikan agama. Kenyataan ini erat kaitannya dengan praktek di lembaga-lembaga pendidikan yang hanya mementingkan aspek kognitif saja. [3]John S. Brubacher, Modern Philosophies of Education, (New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd., 1978), hal. 155. [4]Hasan Langgulung, Menimbang Konsep al-Ghazali: Sebuah Pengantar dalam Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan al-Ghazali, Terj. Ahmad Hakim dan M.Imam Aziz, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat P3M), 1986), hal. xii. [5]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1979), Cet. I, hal. 268. [6]S.M. al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Dalam Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Penerbit Mizan, 1987), hal. 43. [7]Ibid., hal. 269. [8]Perlu ditegaskan bahwa pengetahuan yang dibawa oleh agama (al-Qurandan al-Sunnah) tidak hanya terbatas pada persoalan halal-haram serta pelaksanaan ibadah mahdhah semata. [9]Lihat al-Quran surah al-Zumar ayat 9, al-Isra` ayat 36, Fathir ayat 28, dan al-Nahl ayat 43. [10]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. Ketiga, hal. 935. [11]Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Penerbit Usaha Nasional, 1986), hal. 129. [12]A. Atmadi dan Y. Setianingsih (ed.), Transformasi Pendidikan Memasuki Millenium Ketiga, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hal. 35. [13]S.M. al-Naquib al-Attas, op. cit., hal. 77. [14]EM. K. Kaswardi (ed.), Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: PT. Grasindo, 1993), hal. 37. [15]Mohammad Noor Syam, op. cit., hal. 137. [16]Ibid., hal. 138. [17]Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, op. cit., 312-355. http://didactica-islamica.blogspot.com/2011/04/pengertian-ilmu-pendidikan-islam.html