A. Biografi K. H. Hasyim Asy’ari.
Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871. Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII). Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri. Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak- kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut. Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim. Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu. K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf,
Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani. Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa. Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI. Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura. K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.
B. Pemkiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan.
Pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal. Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior. Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah. Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai- nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat. Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim. Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”. Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam. Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau. Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis. Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al- Tujjar.
Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.
a. selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.
b. mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.
c. mempunyai sikap tenang dalam segala hal.
d. berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.
e. tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.
f. khusyu dalam segala ibadahnya.
g. selalu berpedoman kepada hukum Allah dalam segala hal.
h. tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.
i. tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.
j. zuhud, dalam segala hal.
k. menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya
l. menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.
m. selalu menghidupkan syiar Islam.
n. menegakkan sunnah Rasul.
o. menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.
p. bergaul dengan sesame manusia secara ramah,
q. menyucikan jiwa.
r. selalu berusaha mempertajam ilmunya.
s. terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.
t. selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.
u. meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.
Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak. Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telah menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.
C. Biografi Ahmad Dahlan.
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir. Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu. Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual. Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.
Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.
D. Pemikiran Ahmad Dahlan tentang Pendidikan.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun ¬tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat ¬laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat te¬robosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per¬kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggo¬ta-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor¬-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berha¬rap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pe¬lajaran dan cara mengajar agama yang di¬berikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ah¬mad Dahlan membuka sendiri sekolah se¬cara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersi¬fat permanen.
Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunyai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis. Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercayaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.
Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.
Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dengan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah. Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani. Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut: Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW.
BAB III
ANALISA
Analisa pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari dan Muhammad Dahlan tentang pendidikan antaralain adalah:
A. Kekuatan.
a. Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. pengalaman dalam bidang pendidikan dengan dibuktikannya Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar.
b. K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat.
B. Kelemahan.
a. KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior
b. Ahmad Dahlan menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
C. Peluang.
a. Hasyim Asy’ari membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa. bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional,
b. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ah¬mad Dahlan membuka sendiri sekolah se¬cara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersi¬fat permanen.
D. Ancaman.
a. Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia
b. Ahmad Dahlan pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dengan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
E. Memakai Kekuatan Untuk Memanfaatkan Peluang.
a. Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan
b. Ahmad Dahlan telah membuat te¬robosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per¬kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
F. Tangulangi Kelemahan Dengan Memanfaatkan Peluang.
a. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama.
b. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam
G. Memakai KekuatanUntuk Menghindari Ancaman.
a. Hasyim Asy’ari bahasa Belanda dan sejarah untuk menghidari kekhawatiran pemerintahan Belanda.
H. Perkecil Kelemahan dan Hindari Ancaman.
a. Menurut Hasyim Asy’ari Calon pendidik maupun yang telah menjadi pendidik untuk memiliki etika agar siswa memiliki etika yang baik pula untuk memperbaiki etika murid.
b. Ahmad Dahlan membentuk organisasi di luar kota dengan diberikan nama yang berbeda-beda yang bertujuan untuk menghindari pemerintahan Hindia belanda pada masa itu yang tidak mengizinkan beliau berdakwah selain di kota Yogyakarta.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kesimpulan Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren). Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader- kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda. Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta. Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui per¬kumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis. pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Saran.
B. saran
Dalam penulisan makalah ini kami pemakalah mengakui dan sadar akan keterbatasan kami dalam menyajikan makalah ini, untuk itu kami mohon bimbingan dari dosen pembimbing untuk meluruskan makalah ini untuk menambah wawasan kami sebagai pemakalah agar dapat memperbaiki diri dalam mengerjakan tugas makalah dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993
Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003
Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005
Mujib, A, dkk. Intelektualisme Pesantren. Diva Pustaka. Jakarta. 2003.
Wikipedia Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. Mizan. Jakarta. 2002.
Ensiklopedi Islam Indonesia. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2000
Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2001
DR.H. Samsul Rizal, M.A.. Filsafat Pendidikan Islam.Ciputat Pers. Jakarta. 2002
Aceh, Abubakar. 1975. Sejarah Hidup KHA Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar. Jakarta: Panitia Buku Peringatan KHA Wahid Hasyim.
Adnan, Abdul Basit. 1982. Kemelut di NU: Antara Kyai dan Politisi. Solo: Mayasari.
http://udhiexz.wordpress.com/2009/05/12/pemikiran-k-h-hasyim-asy%E2%80%99ari/
Http://pesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm
http://habibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html.
http://wapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htmhttphabibah
http://www.slideshare.net/tatangteacher/pemikiran-kh-ahmad-dahlan-ok
http://mpiuika.wordpress.com/2010/07/01/kh-hasyim-asyari-menentang-liberalisasi-agama-dan-pemikiran/
http://misbakhudinmunir.wordpress.com/2010/08/08/pemikiran-pendidikan-islam-menurut-kh-hasyim-asyari-dan-kh-ahmad-dahlan/
sumber :
Nama : Sutrisno
Nimko : 1204.09.3398
Jurusan : PAI (Siang)
Fakultas : Tarbiyah
Semester : IV (Empat)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULUM
(STAI-MU)
T.A 2010/2011
BUATLAH APA YANG BELUM DIFIKIRKAN ORANG LAIN,BERHENTI TIADA TEMPAT BAGIMU, LAMBAT BER ARTI MATI, KARENA ENGKAU AKAN TER INJAK INJAK OLEH MASA
ASSALAMU ALAIKUM
Rabu, 18 Mei 2011
Sabtu, 07 Mei 2011
DIANTARA PEMIKIRAN HARUN NASUTION DENGAN NURKHOLIS MAJID
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran pendidikan Islam selalu menjadi topik perbincangan hangat dari waktu ke waktu. Mulai dari munculnya Islam sebagai agama hingga terelaborasinya Islam menjadi objek studi dalam ranah pemikiran para cendekiawan muslim maupun orientalis. Mulai dari zaman klasik hingga - meminjam istilah Prof. Dr. Nur Cholish Madjid – zaman neo modernis. Pada tataran konsep pemikiran pendidikan, telah banyak dikaji secara parsial maupun komprehensif tentang apa, bagaimana dan kemana arah tujuan pendidikan Islam sesungguhnya, seiring sejalan dengan perkembangan konstruk sosial umat muslim tentunya dan perkembangan ilmu pengetahuan serta tuntutan zaman.
Pada mulanya pendidikan Islam berjalan secara alamiah, apa adanya, dalam arti belum tampak dinamika pemikiran tentang konsep pendidikan Islam. Pada zaman Rasulullah misalnya, sistem pendidikan, kurikulum (materi) maupun tujuan pendidikan menjadi kewenangan beliau. Belum ada seorangpun yang mampu memberikan masukan bahkan menentukan materi-materi pendidikan Islam. Materi pendidikan masih berkisar pada norma-norma ajaran al-Qur’an dan petunjuk al-Hadits mengenai bidang keagamaan, akhlak, kesehatan jasmani, dan pengetahuan kemasyarakatan. Kenyatan tersebut terus berlangsung hingga akhir masa Dinasti Khulafaurrosyidin dan awal masa Dinasti Umayyah. Perhatian para khalifah maupun raja terhadap masalah pendidikan Islam terasa kurang. Para ulama’lah yang terus berjuang menelurkan konsep serta kebijakan pendidikan. Namun begitu, materi pendidikan terus berkembang hingga melahirkan berbagai macam disiplin ilmu keislaman lainnya. Mulai dari ilmu bahasa Arab, tafsir, mustholah hadits, fiqih, kalam, mantiq, falak, tarikh, kedokteran, sastra dan lainnya.
Meski dilihat pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam telah mengalami proses dinamika pemikiran yang sangat luas, unsur pendidikan moral pun tak luput dari kajian pembahasan para pemikir pendidikan Islam. Pendidikan moral sendiri kemudian menjadi semacam unsur permanen dalam sistem pendidikan Islam, setidaknya dalam penetapan kurikulum maupun pemantapan visi dan misi kependidikannya. Harun Nasution berpendapat, pendidikan moral merupakan titik tekan yang sangat signifikan dalam pendidikan Islam, karena ia merupakan salah satu inti dari ajaran agama Islam itu sendiri, selain juga pendidikan ke-teologis-an dan keibadah-an.
Hal terpenting yang menjadi sorotan para pakar pendidikan Islam saat ini adalah tentang fenomena gejala kemerosotan moral masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak pelajar, seperti penyelewengan, penipuan, perampokan penindasan, saling menjegal dan saling merugikan dan masih banyak perbuatan tercela lainnya. Ironinya segala permasalahan tersebut di atas ditumpahkan kepada tanggung jawab para pendidik formal dalam mengatasinya. Meski kemudian para orang tua, ahli agama, ahli sosial dan ahli-ahli lainnya turut berkecimpung membahas akar permasalahan keburukan moral serta mengupayakan pencarian solusinya.
Terkait dengan peranan pendidikan dalam meningkatkan moralitas yang baik ini, banyak persoalan yang mesti dijawab oleh mereka. Diantaranya adalah: “dimanakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? Adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan? Dan bagaimanakah cara memperbaiki kinerja dunia pendidikan dalam mengatasi permasalahan tersebut?”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis angkat pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Siapakah tokoh pendidikan Harun Nasution ?
2. Siapakan tokoh pendidikan Nurcholis Majid ?
3. Apa pemikiran pendidikan moral tokoh pendidikan Harun Nasution ?
4. Apa pemikiran pendidikan moral tokoh pendidikan Nurcholis Majid ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan nilai tugas mandiri pada mata kuliah Perbandingan Pendidikan
2. Untuk memaparkan kembali beberapa konsep pemikiran pendidikan para pakar pendidikan (Harun Nasution dan Nurcholis Majid), yaitu yang terkait dengan permasalahan moral dalam dunia kependidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 23 September 1919. Beliau adalah putera keempat dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama serta pedagang, menjadi qadhi dan penghulu di Pematang Siantar. Ibunya adalah keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar, Holland-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1934, ia melanjutkan studi Islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis, Moderne Islamietiesche Kweekcshool (MIK) di Bukittinggi dan tamat pada tahun 1937. Kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir dan memperoleh Ahliyah, pada tahun 1940 dan Candidat dari Fakultas Ushuluddin pada tahun 1942. Di Mesir ia juga memasuki Universitas Amerika, Kairo dan memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) dalam Studi Sosial pada tahun 1952.
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1953, Harun Nasution bertugas di Departemen Luar Negeri Bagian Timur Tengah. Selama tiga tahun, sejak tahun 1955 bertugas di Kedutaan Republik Indonesia di Brussel dan banyak mewakili berbagai per-temuan, terutama karena kemampuannya berbahasa Belanda, Perancis serta Inggris. Harun Nasution ke Mesir melanjutkan studinya di al- Dirasah al-Islamiyyah namun terhambat biaya, maka studinya tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya ia menerima beasiswa dari Institut of Islamic Studies McGill di Montreal Kanada. Sehingga pada tahun 1962 ia melanjutkan studi di Universitas McGill, Montreal Kanada. Pada tahun 1965, Harun Nasution memperoleh gelar Magister of Art (MA) dalam Studi Islam dengan judul tesisnya The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Move-ment for Its Creation and The Theory of The Masjumi pada tahun 1965. Tiga tahun kemudian, tahun 1968, ia meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang dan almamater yang sama dengan disertasi yang berjudul The Place of Reason in Abduh ’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.
Pada tahun 1969, Harun Nasution kembali ke tanah air serta berkiprah dalam bidang akademis sebagai dosen pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Di samping itu Harun Nasution menjadi dosen luar biasa di IKIP Jakarta (sejak 1970), Universitas Nasional Jakarta (sejak 1970) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta (sejak 1975). Kegiatan akademis ini dirangkapnya dengan jabatan rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11 tahun (1973-1984), menjadi Ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan Agama IKIP Jakarta dan terakhir menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 1982.
Harun Nasution dikenal sebagai seorang intelektual muslim yang banyak memperhatikan pembaruan Islam dalam arti yang seluas-luasnya, tidak hanya terbatas pada bidang pemikiran saja seperti teologi, mistisisme (tasawuf) dan hukum (fiqh), akan tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan kaum muslimin. Harun Nasution berpendapat bahwa keterbelakangan umat Islam tak ter-kecuali di Indonesia adalah disebabkan oleh lambatnya mengambil bagian dalam proses modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional, khususnya teologi Asy ’ariyah. Hal itu menurut- nya harus diubah dengan pandangan rasional, yang sebenarnya telah dikembangkan teologi Mu’tazilah. Karena itu reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus dilakukan, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.
B. Biografi Nurcholis Majid
Nurcholis Majid, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984). Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971. Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978- sekarang; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990.
Beliau banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku- bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung, Mizan, 1988) Sejak 1986, bersama kawan- kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).
C. Pemikiran Pendidikan Moral Harun Nasution
Diakui dalam diskursus wacana cendekiawan muslim bahwa pada ranah pemikiran pendidikan ada hubungan keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan agama dan moral. Pendidikan Islam misalnya tidak terlepas dari upaya penanaman nilai-nilai serta unsur-unsur agama pada jiwa seseorang, yang diantaranya adalah nilai-nilai moral atau yang biasa disebut dengan Akhlaq. Nilai-nilai moral yang dimaksud pun tidak terlepas dari ajaran-ajaran normativitas agama Islam seperti yang telah dicontohkan oleh Rasul. Rasulullahpun bersabda dalam sebuah Hadits bahwa Beliau diutus kepada manusia adalah untuk menyempurnakan akhlaq/moral manusia.
Tentang eratnya hubungan agama dengan moral ini kita dapat menganalisa dari keseluruhan ajaran agama Islam itu sendiri, bahwa akhirnya akan berujung pada pembentukan moral. Perintah mengucapkan dua kalimat syahadat misalnya yang merupakan inti awal masuknya seseorang ke dalam agama Islam, mengandung pesan moral agar segala ucapan dan perbuatannya dimotivasi oleh nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya, mencontoh sifat-sifatnya dan sekaligus diarahkan untuk selalu mendapat keridhaannya. Selanjutnya perintah shalat ditujukan agar terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar. Perintah zakat ditujukan untuk menghilangkan sifat kikir dan menumbuhkan sikap kepedulian. Perintah ibadah haji ditujukan agar menjauhi perbuatan keji, pelanggaran secara sengaja (fasiq), dan bermusuh-musuhan. Kaitannya dengan uraian di atas Harun Nasution kemudian berkesimpulan bahwa sebenarnya ajaran normativitas agama Islam terdiri dari dua dimensi pokok yaitu: masalah-masalah ke-Tuhan-an atau ketauhidan dan masalah-masalah kebaikan serta keburukan atau moral.
Dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ini maka diperlukan seperangkat proses maupun aturan sebagai media transformasi sekaligus internalisasi nilai-nilai ketauhidan dan moral yang dimaksud berupa proses dan perangkat pendidikan Islam. Perangkat pendidikan Islam harus memiliki beragam komponen di antaranya adalah pendidik, orang yang akan dididik, materi, tujuan, metode dan lain sebagainya. Tujuan pendidikan Islam menurut Harun Nasution adalah untuk membentuk manusia yang bertaqwa, yang mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Bertaqwa yang dimaksud adalah seperti apa yang digambarkan dalam al-Qur’an yaitu, mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian rezeki, beriman kepada Al-qur’an dan kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya serta yakin akan adanya hari kiamat.
Dari konsep tersebut akan dapat kita tangkap bahwa tujuan pendidikan Islam mengindikasikan kearah dua kutub yang berbeda namun saling berkaitan yaitu, di samping mengutamakan ketauhidan dengan segala persoalannya (teosentris), tetapi juga mengakomodasi pentingnya peran moral manusia dalam berinteraksi dengan jenisnya (humanis). Tentang dua indikasi ini Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam sebaiknya memiliki bahan/materi pendidikan yang secara umum didasarkan pada tujuan spiritual, moral dan intelektual, yang kemudian oleh pakar pendidikan disebut dengan istilah Kecerdasan Spiritual, Intelektual, dan Emosional.
Meski begitu, Harun Nasution melihat lebih pentingnya penekanan terhadap aspek pendidikan moral. Pendapat tersebut mengisyaratkan beberapa kemungkinan bahwa pendidikan moral akan dengan sendirinya mengarahkan manusia kepada konsep tauhid dalam Islam. Bahwa dengan aturan moral dapat ditarik hikmah akan adanya pencipta yang mengatur segalanya di bawah satu Pengatur yaitu Tuhan. Dan juga bahwa pendidikan moral merupakan bentuk lain dari pendidikan tauhid. Sampai di sini kiranya apa yang ingin ditafsirkan oleh Harun Nasution tentang hadits “Bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq”.
Pendapat ini seperti juga yang disampaikan oleh Ibn Miskawaih bahwa letak keutamaan pentingnya pendidikan moral adalah dalam urgensi nilainya yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian manusia. Bahwa semua krisis yang melanda manusia termasuk di dalamnya krisis spiritual lebih disebabkan oleh hancurnya pendidikan Akhlak. Minusnya moral (akhlaq) ini akan membuat predikat manusia yang mulia – dengan akhlaq dan taqwa – turun menjadi hina. Karena penekanan pendidikan Islam adalah pendidikan moral, maka metode yang dipakai menurut Harun sebaiknya :
a. Pemberian contoh dan teladan
b. Pemberian nasehat
c. Pemberian bimbingan / tuntunan moral dan spiritual
d. Kerjasama antara tiga komponen pendidikan yaitu; sekolah, rumah (keluarga), dan lingkungan (masyarakat)
e. Tanya jawab dan Diskusi
f. Kerjasama dengan pihak lain
Agar metode tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar maka perlu untuk memperhatikan kondisi para pendidiknya. Kualitas pendidik Islam harus mencerminkan pendidik yang bertanggung jawab, penuh wibawa, cerdas, tangkas, beriman dan memiliki wawasan yang luas. Menurut Harun kualitas para pendidik Islam setidaknya memiliki kriteria :
1) Sanggup memberi contoh
2) Menguasai ilmu-ilmu pendidikan
3) Menguasai pengetahuan yang luas tentang agama
4) Menguasai pengetahuan umum
Kemudian apabila melihat kepada anak didik, Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam yang menekankan pentingnya pendidikan moral ini harus dilaksanakan sejak anak masih bersih kalbunya dan belum ternodai oleh kebiasaankebiasaan tidak baik, kerena menurutnya apabila sudah ternoda akan susah untuk menghilangkannya.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ali Asyraf bahwa pendidikan moral harus ditanamkan terhadap seorang anak sejak dari tahap awal sekali walaupun realisasi spiritual yang sebenarnya merupakan pencapaian terakhir. Artinya pendidikan moral diusahakan dilaksanakan semenjak anak masih dini dan belum terlalu mengenal kehidupan lingkungan yang begitu luas. Emile Durkhiem pun berpendapat demikian, bahwa kondisi perkembangan intelektual anak-anak usia dini masih belum sempurna. Begitu juga kehidupan emosinalnya masih terlalu sederhana dan belum berkembang. Nah pada tahap inilah penanaman aspek dasar pendidikan moral sangat dipentingkan untuk dapat diserap oleh mereka. Sebaliknya apabila telah melewati tahap usia dini tetapi belum diletakkan dasar-dasar moral kepada mereka, maka dasar-dasar moral itu tidak akan pernah tertanam dalam diri si anak. Sampai di sini Harun Nasution kemudian menekankan pentingnya penekanan terhadap terminologi pendidikan itu sendiri dari sekedar pengajaran moral Islam. Hal tersebut penting karena di masyarakat telah terjadi salah kaprah tentang pendidikan itu sendiri. Titik tekan pendidikan moral diletakkan pada bagaimana si anak terdidik berpengetahuan moral, bukan bertujuan bagaimana mereka memiliki jiwa yang sangat bermoral secara Islami.
D. Pemikiran Pendidikan Moral Nurcholis Majid
Lain halnya dengan Harun Nasution, Nur Cholish Madjid menyoroti lebih tajam tentang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Ia berpendapat bahwa penekanan pendidikan moral harus lebih diarahkan pada bagaimana membentuk manusia dapat saleh secara maknawi dan bukan hanya saleh lahiri. Kaitannya dengan ini Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak melihat kondisi lahiriah manusia tetapi lebih melihat kondisi batinnya.
Kesalehan maknawi yang dimaksud adalah kemuliaan moral yang tampak sangat melekat pada pribadi seseorang tanpa terjebak maupun dijebak oleh keadaan-keadaan formalitas masyarakat sekelilingnya. Dalam konteks pendidikan Islam kesalehan maknawi ini merupakan wujud dari akhlaqul karimah atau akhlaq mulia. Lebih lanjut akhlaq mulia dalam dimensi yang lebih luas berkaitan dengan prinsip-prinsip inklusivisme keagamaan (wajib beriman), kosmologi (paradigma optimispositif kepada alam, yang juga berkaitan dengan teori ilmu yang benar), antropologi (pandangan manusia sebagai makhluk tertinggi dengan hak-hak asasinya, yang dilahirkan dalam fitrah dan bersifat hanif). Kemudian berkenaan dengan kesalehan maknawi ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana cara membuat para calon terdidik dapat beramal saleh dengan sebanr-benarnya tanpa terjebak ke dalam kehidupan pragmatisme. Seperti yang telah menjadi rahasia umum bahwa dalam kondisi sosial masyarakat yang serba modernis, hedonis, pragmatis seringkali menyebabkan keguncangan jiwa masyarakat itu sendiri, yang akhirnya mengakibatkan tampilnya secara subur simbol-simbol keagamaan formal dan penampilan-penampilan keagamaan lahiriah, sehingga kesalehan lahiripun mengecoh orang banyak. Jawabannya sulit memang tetapi dengan kesungguhan usaha dari para pendidik diharapkan akan mampu diwujudkan para calon terdidik dengan kesalehan yang diharapkan.
Untuk itu, diantara yang perlu dipersiapkan adalah para calon terdidik yang benarbenar excellent dalam pendidikan Islam, yang diantaranya mampu mencerminkan sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah yaitu; shiddiq, amanah, tabligh, fathonah. Dalam hal ini kesulitan yang menghadang adalah bahwa paradigma para calon terdidik telah dikungkung oleh pandangan umum akan rendahnya kualitas studi-studi keagamaan sebagai akibat dari padangan “modern” saat ini, gengsi keagamaan khusus merosot tajam, karena dianggap tidak mampu memberi “janji kerja” (promise job) yang memadai dan lain sebagainya. Di lain hal kebutuhan akan tenaga pengajar yang benar-benar profesional di bidangnya, terutama pendidikan moral ke-Islaman, sangat jarang ditemukan. Yang ada hanyalah tenga pengajar yang terjebak ke dalam mind set nya sendiri akan ajaran-ajaran dogmatis yang kaku dan tidak dapat menarik perhatian.
Melihat kesulitan-kesulitan di atas, ada beberapa solusi pemecahan alternative sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Abuddin Nata yaitu: pertama, pendidikan agama yang dapat menghasilkan perbaikan moral harus dirubah dari model pengajaran agama kepada pendidikan agama. Kedua, pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Ketiga, sejalan dengan cara yang kedua tersebut, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Keempat, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga/rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Kelima,pendidikan moral harus menggunakan berbagai macam kesempatan, berbagai sarana teknologi modern dan lainnya seperti kesempatan berekreasi, berkemah, sarana masjid, surat kabar, radio, televisi dan lain sebagainya.
BAB III
ANALISIS
A. Kekuatan
1. Pendidikan moral berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. (Harun Nasution)
2. Pendidikan moral berlandaskan pada kesalehan yang maknawani seperti sifat Rasulullah SAW. (Nurcholis Majid)
B. Kelemahan
1. Masih adanya para pendidik yang tidak menanamkan pendidikan moral (Harun Nasution)
2. Kurangnya Kesalehan pada para pendidik (Nurcholis Majid)
C. Peluang
1. Penegasan para pendidik untuk dapat memakai metode pendidikan islam pada pendidikan moral (Harun Nasution)
2. Peluang menciptakan calon terdidik yang excellent (Nurcholis Majid)
D. Ancaman
1. Minusnya pendidikan moral akan membuat manusia menjadi keji dan hina (Harun Nasution)
2. Terjebaknya calon terdidik dalam kehidupan yang pragmatisme (Nurcholis Majid)
E. Memakai kekuatan untuk memanfaaatkan peluang
1. Para pendidikan harus memakai metode pendidikan Islam untuk pendidikan mortal yang berlandaskan pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. (Harun Nasution)
2. Dengan pendidikan moral yang berlandaskan pada kesalehan seperti sifat Rasulullah diharapkan mampu menciptakan calon terdidik yang excellent yang mampu mencerminkan sifat Rasulullah. (Nurcholis Majid)
F. Tanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang
1. Perlu adanya sosialisasi tentang metode pendidikan Islam agar tidak ada lagi pendidik yang tidak menanamkam pendidikan moral (Harun Nasution)
2. Perlu adanya peningkatan kesalehan peserta didik agar dapat menciptakan calon terdidik yang excellent (Nurcholis Majid)
G. Pakai kekuatan untuk menghindari ancaman
1. Dengan pendidikan moral yang berlandaskan pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah maka tidak aka nada manusia yang keji dan hina (Harun Nasution)
2. Kehidupan yang pragmatism tidak akan terwujud jika adanya pendidikan moral yang berlandaskan pada kesalehan maknawi seperti sifat Rasulullah. (Nurcholis Majid)
H. Perkecil kelemahan hindari ancaman
1. Pendidik harus ditegaskan untuk menanamkan pendidikan moral agar manusia terhindar dari sifat keji dan hina (Harun Nasution)
2. Para pendidik harus memiliki kesalehan yang baik agar tdak terjebak dalam kehidupan yang pragmatism (Nurcholis Majid).
BAB IV
KESIMPULAN
Sampai pada akhir tulisan ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa para pemikir Islam kontemporer tersebut di atas memiliki kesamaan visi dalam memandang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat bahwa pendidikan agama dan moral sangat memiliki hubungan yang erat. Dan bahwa apapun bentuk interaksi sosial manusia tentu tidak terlepas dari perilaku moral atau etika dan akhlaq.
Berangkat dari kesamaan visi tersebut, maka cita-cita pemikiran pendidikan Islam kontemporer mengedepankan pentingnya mendasari setiap bentuk pendidikan di atas bangunan moral yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Cet. III, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002
A. Kadir, Muslim. Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali Dalam Agama Islam Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Asyraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
Departemen Agama R.I, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: CV Anda Utama, 1993
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, Jakarta: Erlangga, 1999
M. Nurcholish Madjid, at al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani (Cet. I, Jakarta: Media Cita, 2000)
Madjid, Nur Cholish, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Ed) Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Logos, 2002
Madjid, Nurcholish et al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani. (Cet. I, Jakarta: Media Cita, 2000. Mousa, Ibrahim. “Kata Pengantar.” Dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul Gelombang Perubahan Dalam Islam Studi Tentang Fundamentalisme Islam. Cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Mubarok, Achmad. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern Jiwa Dalam Al-Qur’an. Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2000.
Munif Suratmaputra, Ahmad. Filsafat Hukum Islam Al Ghazali Masalah Mursalah & Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam. Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendididkan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1998
Nasution, Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan Cet. V, Jakarta: UI Press, 1986
Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004
SUMBER :
Nama : Mahar Anggoro
NIMKO : 1204.09.3290
Jurusan : PAI (Pendidikan Agama Islam)
Semester : IV (Empat) kelas Siang
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULUM (STAI-MU) TANJUNGPINANG 2010-2011
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran pendidikan Islam selalu menjadi topik perbincangan hangat dari waktu ke waktu. Mulai dari munculnya Islam sebagai agama hingga terelaborasinya Islam menjadi objek studi dalam ranah pemikiran para cendekiawan muslim maupun orientalis. Mulai dari zaman klasik hingga - meminjam istilah Prof. Dr. Nur Cholish Madjid – zaman neo modernis. Pada tataran konsep pemikiran pendidikan, telah banyak dikaji secara parsial maupun komprehensif tentang apa, bagaimana dan kemana arah tujuan pendidikan Islam sesungguhnya, seiring sejalan dengan perkembangan konstruk sosial umat muslim tentunya dan perkembangan ilmu pengetahuan serta tuntutan zaman.
Pada mulanya pendidikan Islam berjalan secara alamiah, apa adanya, dalam arti belum tampak dinamika pemikiran tentang konsep pendidikan Islam. Pada zaman Rasulullah misalnya, sistem pendidikan, kurikulum (materi) maupun tujuan pendidikan menjadi kewenangan beliau. Belum ada seorangpun yang mampu memberikan masukan bahkan menentukan materi-materi pendidikan Islam. Materi pendidikan masih berkisar pada norma-norma ajaran al-Qur’an dan petunjuk al-Hadits mengenai bidang keagamaan, akhlak, kesehatan jasmani, dan pengetahuan kemasyarakatan. Kenyatan tersebut terus berlangsung hingga akhir masa Dinasti Khulafaurrosyidin dan awal masa Dinasti Umayyah. Perhatian para khalifah maupun raja terhadap masalah pendidikan Islam terasa kurang. Para ulama’lah yang terus berjuang menelurkan konsep serta kebijakan pendidikan. Namun begitu, materi pendidikan terus berkembang hingga melahirkan berbagai macam disiplin ilmu keislaman lainnya. Mulai dari ilmu bahasa Arab, tafsir, mustholah hadits, fiqih, kalam, mantiq, falak, tarikh, kedokteran, sastra dan lainnya.
Meski dilihat pada perkembangan selanjutnya pendidikan Islam telah mengalami proses dinamika pemikiran yang sangat luas, unsur pendidikan moral pun tak luput dari kajian pembahasan para pemikir pendidikan Islam. Pendidikan moral sendiri kemudian menjadi semacam unsur permanen dalam sistem pendidikan Islam, setidaknya dalam penetapan kurikulum maupun pemantapan visi dan misi kependidikannya. Harun Nasution berpendapat, pendidikan moral merupakan titik tekan yang sangat signifikan dalam pendidikan Islam, karena ia merupakan salah satu inti dari ajaran agama Islam itu sendiri, selain juga pendidikan ke-teologis-an dan keibadah-an.
Hal terpenting yang menjadi sorotan para pakar pendidikan Islam saat ini adalah tentang fenomena gejala kemerosotan moral masyarakat, baik orang dewasa maupun anak-anak pelajar, seperti penyelewengan, penipuan, perampokan penindasan, saling menjegal dan saling merugikan dan masih banyak perbuatan tercela lainnya. Ironinya segala permasalahan tersebut di atas ditumpahkan kepada tanggung jawab para pendidik formal dalam mengatasinya. Meski kemudian para orang tua, ahli agama, ahli sosial dan ahli-ahli lainnya turut berkecimpung membahas akar permasalahan keburukan moral serta mengupayakan pencarian solusinya.
Terkait dengan peranan pendidikan dalam meningkatkan moralitas yang baik ini, banyak persoalan yang mesti dijawab oleh mereka. Diantaranya adalah: “dimanakah letak fungsi dan peranan pendidikan agama dalam meningkatkan akhlak dan moralitas bangsa? Adakah kesalahan yang telah dilakukan oleh dunia pendidikan? Dan bagaimanakah cara memperbaiki kinerja dunia pendidikan dalam mengatasi permasalahan tersebut?”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis angkat pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Siapakah tokoh pendidikan Harun Nasution ?
2. Siapakan tokoh pendidikan Nurcholis Majid ?
3. Apa pemikiran pendidikan moral tokoh pendidikan Harun Nasution ?
4. Apa pemikiran pendidikan moral tokoh pendidikan Nurcholis Majid ?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendapatkan nilai tugas mandiri pada mata kuliah Perbandingan Pendidikan
2. Untuk memaparkan kembali beberapa konsep pemikiran pendidikan para pakar pendidikan (Harun Nasution dan Nurcholis Majid), yaitu yang terkait dengan permasalahan moral dalam dunia kependidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Harun Nasution
Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 23 September 1919. Beliau adalah putera keempat dari Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama serta pedagang, menjadi qadhi dan penghulu di Pematang Siantar. Ibunya adalah keturunan ulama Mandailing, Tapanuli Selatan. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar, Holland-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1934, ia melanjutkan studi Islam ke tingkat menengah yang bersemangat modernis, Moderne Islamietiesche Kweekcshool (MIK) di Bukittinggi dan tamat pada tahun 1937. Kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir dan memperoleh Ahliyah, pada tahun 1940 dan Candidat dari Fakultas Ushuluddin pada tahun 1942. Di Mesir ia juga memasuki Universitas Amerika, Kairo dan memperoleh gelar Bachelor of Art (BA) dalam Studi Sosial pada tahun 1952.
Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1953, Harun Nasution bertugas di Departemen Luar Negeri Bagian Timur Tengah. Selama tiga tahun, sejak tahun 1955 bertugas di Kedutaan Republik Indonesia di Brussel dan banyak mewakili berbagai per-temuan, terutama karena kemampuannya berbahasa Belanda, Perancis serta Inggris. Harun Nasution ke Mesir melanjutkan studinya di al- Dirasah al-Islamiyyah namun terhambat biaya, maka studinya tidak dapat dilanjutkan. Akhirnya ia menerima beasiswa dari Institut of Islamic Studies McGill di Montreal Kanada. Sehingga pada tahun 1962 ia melanjutkan studi di Universitas McGill, Montreal Kanada. Pada tahun 1965, Harun Nasution memperoleh gelar Magister of Art (MA) dalam Studi Islam dengan judul tesisnya The Islamic State in Indonesia: The Rise of The Ideology, The Move-ment for Its Creation and The Theory of The Masjumi pada tahun 1965. Tiga tahun kemudian, tahun 1968, ia meraih gelar Doktor (Ph.D) dalam bidang dan almamater yang sama dengan disertasi yang berjudul The Place of Reason in Abduh ’s Theology: Its Impact on His Theological System and Views.
Pada tahun 1969, Harun Nasution kembali ke tanah air serta berkiprah dalam bidang akademis sebagai dosen pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Di samping itu Harun Nasution menjadi dosen luar biasa di IKIP Jakarta (sejak 1970), Universitas Nasional Jakarta (sejak 1970) dan Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta (sejak 1975). Kegiatan akademis ini dirangkapnya dengan jabatan rektor pada IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama 11 tahun (1973-1984), menjadi Ketua Lembaga Pembinaan Pendidikan Agama IKIP Jakarta dan terakhir menjadi Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 1982.
Harun Nasution dikenal sebagai seorang intelektual muslim yang banyak memperhatikan pembaruan Islam dalam arti yang seluas-luasnya, tidak hanya terbatas pada bidang pemikiran saja seperti teologi, mistisisme (tasawuf) dan hukum (fiqh), akan tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan kaum muslimin. Harun Nasution berpendapat bahwa keterbelakangan umat Islam tak ter-kecuali di Indonesia adalah disebabkan oleh lambatnya mengambil bagian dalam proses modernisasi dan dominannya pandangan hidup tradisional, khususnya teologi Asy ’ariyah. Hal itu menurut- nya harus diubah dengan pandangan rasional, yang sebenarnya telah dikembangkan teologi Mu’tazilah. Karena itu reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus dilakukan, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.
B. Biografi Nurcholis Majid
Nurcholis Majid, lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984). Aktif dalam gerakan kemahasiswaan. Ketua Umum PB HMI, 1966-1969 dan 1969-1971; Presiden (pertama) PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara), 1967-1969; Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Students Organizations), 1969-1971. Mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, 1972-1976; dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1985-sekarang; peneliti pada LIPI, 1978- sekarang; guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada, 1991-1992. Fellow dalam Eisenhower Fellowship, bersama isteri, 1990.
Beliau banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan, beberapa diantaranya berbahasa Inggris. Buku- bukunya yang telah terbit ialah Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang/Obor, 1984) dan Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, suntingan Agus Edy Santoso (Bandung, Mizan, 1988) Sejak 1986, bersama kawan- kawan di ibukota, mendirikan dan memimpin Yayasan Wakaf Paramadina, dengan kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada gerakan intelektual Islam di Indonesia. Buku ini adalah salah satu hasil kegiatan itu. Dan sejak 1991 menjabat Wakil Ketua Dewan pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI).
C. Pemikiran Pendidikan Moral Harun Nasution
Diakui dalam diskursus wacana cendekiawan muslim bahwa pada ranah pemikiran pendidikan ada hubungan keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan agama dan moral. Pendidikan Islam misalnya tidak terlepas dari upaya penanaman nilai-nilai serta unsur-unsur agama pada jiwa seseorang, yang diantaranya adalah nilai-nilai moral atau yang biasa disebut dengan Akhlaq. Nilai-nilai moral yang dimaksud pun tidak terlepas dari ajaran-ajaran normativitas agama Islam seperti yang telah dicontohkan oleh Rasul. Rasulullahpun bersabda dalam sebuah Hadits bahwa Beliau diutus kepada manusia adalah untuk menyempurnakan akhlaq/moral manusia.
Tentang eratnya hubungan agama dengan moral ini kita dapat menganalisa dari keseluruhan ajaran agama Islam itu sendiri, bahwa akhirnya akan berujung pada pembentukan moral. Perintah mengucapkan dua kalimat syahadat misalnya yang merupakan inti awal masuknya seseorang ke dalam agama Islam, mengandung pesan moral agar segala ucapan dan perbuatannya dimotivasi oleh nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan Rasul-Nya, mencontoh sifat-sifatnya dan sekaligus diarahkan untuk selalu mendapat keridhaannya. Selanjutnya perintah shalat ditujukan agar terhindar dari perbuatan yang keji dan mungkar. Perintah zakat ditujukan untuk menghilangkan sifat kikir dan menumbuhkan sikap kepedulian. Perintah ibadah haji ditujukan agar menjauhi perbuatan keji, pelanggaran secara sengaja (fasiq), dan bermusuh-musuhan. Kaitannya dengan uraian di atas Harun Nasution kemudian berkesimpulan bahwa sebenarnya ajaran normativitas agama Islam terdiri dari dua dimensi pokok yaitu: masalah-masalah ke-Tuhan-an atau ketauhidan dan masalah-masalah kebaikan serta keburukan atau moral.
Dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam ini maka diperlukan seperangkat proses maupun aturan sebagai media transformasi sekaligus internalisasi nilai-nilai ketauhidan dan moral yang dimaksud berupa proses dan perangkat pendidikan Islam. Perangkat pendidikan Islam harus memiliki beragam komponen di antaranya adalah pendidik, orang yang akan dididik, materi, tujuan, metode dan lain sebagainya. Tujuan pendidikan Islam menurut Harun Nasution adalah untuk membentuk manusia yang bertaqwa, yang mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Bertaqwa yang dimaksud adalah seperti apa yang digambarkan dalam al-Qur’an yaitu, mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, menginfakkan sebagian rezeki, beriman kepada Al-qur’an dan kitab-kitab yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya serta yakin akan adanya hari kiamat.
Dari konsep tersebut akan dapat kita tangkap bahwa tujuan pendidikan Islam mengindikasikan kearah dua kutub yang berbeda namun saling berkaitan yaitu, di samping mengutamakan ketauhidan dengan segala persoalannya (teosentris), tetapi juga mengakomodasi pentingnya peran moral manusia dalam berinteraksi dengan jenisnya (humanis). Tentang dua indikasi ini Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam sebaiknya memiliki bahan/materi pendidikan yang secara umum didasarkan pada tujuan spiritual, moral dan intelektual, yang kemudian oleh pakar pendidikan disebut dengan istilah Kecerdasan Spiritual, Intelektual, dan Emosional.
Meski begitu, Harun Nasution melihat lebih pentingnya penekanan terhadap aspek pendidikan moral. Pendapat tersebut mengisyaratkan beberapa kemungkinan bahwa pendidikan moral akan dengan sendirinya mengarahkan manusia kepada konsep tauhid dalam Islam. Bahwa dengan aturan moral dapat ditarik hikmah akan adanya pencipta yang mengatur segalanya di bawah satu Pengatur yaitu Tuhan. Dan juga bahwa pendidikan moral merupakan bentuk lain dari pendidikan tauhid. Sampai di sini kiranya apa yang ingin ditafsirkan oleh Harun Nasution tentang hadits “Bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq”.
Pendapat ini seperti juga yang disampaikan oleh Ibn Miskawaih bahwa letak keutamaan pentingnya pendidikan moral adalah dalam urgensi nilainya yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian manusia. Bahwa semua krisis yang melanda manusia termasuk di dalamnya krisis spiritual lebih disebabkan oleh hancurnya pendidikan Akhlak. Minusnya moral (akhlaq) ini akan membuat predikat manusia yang mulia – dengan akhlaq dan taqwa – turun menjadi hina. Karena penekanan pendidikan Islam adalah pendidikan moral, maka metode yang dipakai menurut Harun sebaiknya :
a. Pemberian contoh dan teladan
b. Pemberian nasehat
c. Pemberian bimbingan / tuntunan moral dan spiritual
d. Kerjasama antara tiga komponen pendidikan yaitu; sekolah, rumah (keluarga), dan lingkungan (masyarakat)
e. Tanya jawab dan Diskusi
f. Kerjasama dengan pihak lain
Agar metode tersebut dapat berjalan dengan baik dan benar maka perlu untuk memperhatikan kondisi para pendidiknya. Kualitas pendidik Islam harus mencerminkan pendidik yang bertanggung jawab, penuh wibawa, cerdas, tangkas, beriman dan memiliki wawasan yang luas. Menurut Harun kualitas para pendidik Islam setidaknya memiliki kriteria :
1) Sanggup memberi contoh
2) Menguasai ilmu-ilmu pendidikan
3) Menguasai pengetahuan yang luas tentang agama
4) Menguasai pengetahuan umum
Kemudian apabila melihat kepada anak didik, Harun Nasution berpendapat bahwa pendidikan Islam yang menekankan pentingnya pendidikan moral ini harus dilaksanakan sejak anak masih bersih kalbunya dan belum ternodai oleh kebiasaankebiasaan tidak baik, kerena menurutnya apabila sudah ternoda akan susah untuk menghilangkannya.
Pendapat tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ali Asyraf bahwa pendidikan moral harus ditanamkan terhadap seorang anak sejak dari tahap awal sekali walaupun realisasi spiritual yang sebenarnya merupakan pencapaian terakhir. Artinya pendidikan moral diusahakan dilaksanakan semenjak anak masih dini dan belum terlalu mengenal kehidupan lingkungan yang begitu luas. Emile Durkhiem pun berpendapat demikian, bahwa kondisi perkembangan intelektual anak-anak usia dini masih belum sempurna. Begitu juga kehidupan emosinalnya masih terlalu sederhana dan belum berkembang. Nah pada tahap inilah penanaman aspek dasar pendidikan moral sangat dipentingkan untuk dapat diserap oleh mereka. Sebaliknya apabila telah melewati tahap usia dini tetapi belum diletakkan dasar-dasar moral kepada mereka, maka dasar-dasar moral itu tidak akan pernah tertanam dalam diri si anak. Sampai di sini Harun Nasution kemudian menekankan pentingnya penekanan terhadap terminologi pendidikan itu sendiri dari sekedar pengajaran moral Islam. Hal tersebut penting karena di masyarakat telah terjadi salah kaprah tentang pendidikan itu sendiri. Titik tekan pendidikan moral diletakkan pada bagaimana si anak terdidik berpengetahuan moral, bukan bertujuan bagaimana mereka memiliki jiwa yang sangat bermoral secara Islami.
D. Pemikiran Pendidikan Moral Nurcholis Majid
Lain halnya dengan Harun Nasution, Nur Cholish Madjid menyoroti lebih tajam tentang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Ia berpendapat bahwa penekanan pendidikan moral harus lebih diarahkan pada bagaimana membentuk manusia dapat saleh secara maknawi dan bukan hanya saleh lahiri. Kaitannya dengan ini Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah tidak melihat kondisi lahiriah manusia tetapi lebih melihat kondisi batinnya.
Kesalehan maknawi yang dimaksud adalah kemuliaan moral yang tampak sangat melekat pada pribadi seseorang tanpa terjebak maupun dijebak oleh keadaan-keadaan formalitas masyarakat sekelilingnya. Dalam konteks pendidikan Islam kesalehan maknawi ini merupakan wujud dari akhlaqul karimah atau akhlaq mulia. Lebih lanjut akhlaq mulia dalam dimensi yang lebih luas berkaitan dengan prinsip-prinsip inklusivisme keagamaan (wajib beriman), kosmologi (paradigma optimispositif kepada alam, yang juga berkaitan dengan teori ilmu yang benar), antropologi (pandangan manusia sebagai makhluk tertinggi dengan hak-hak asasinya, yang dilahirkan dalam fitrah dan bersifat hanif). Kemudian berkenaan dengan kesalehan maknawi ini, pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana cara membuat para calon terdidik dapat beramal saleh dengan sebanr-benarnya tanpa terjebak ke dalam kehidupan pragmatisme. Seperti yang telah menjadi rahasia umum bahwa dalam kondisi sosial masyarakat yang serba modernis, hedonis, pragmatis seringkali menyebabkan keguncangan jiwa masyarakat itu sendiri, yang akhirnya mengakibatkan tampilnya secara subur simbol-simbol keagamaan formal dan penampilan-penampilan keagamaan lahiriah, sehingga kesalehan lahiripun mengecoh orang banyak. Jawabannya sulit memang tetapi dengan kesungguhan usaha dari para pendidik diharapkan akan mampu diwujudkan para calon terdidik dengan kesalehan yang diharapkan.
Untuk itu, diantara yang perlu dipersiapkan adalah para calon terdidik yang benarbenar excellent dalam pendidikan Islam, yang diantaranya mampu mencerminkan sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah yaitu; shiddiq, amanah, tabligh, fathonah. Dalam hal ini kesulitan yang menghadang adalah bahwa paradigma para calon terdidik telah dikungkung oleh pandangan umum akan rendahnya kualitas studi-studi keagamaan sebagai akibat dari padangan “modern” saat ini, gengsi keagamaan khusus merosot tajam, karena dianggap tidak mampu memberi “janji kerja” (promise job) yang memadai dan lain sebagainya. Di lain hal kebutuhan akan tenaga pengajar yang benar-benar profesional di bidangnya, terutama pendidikan moral ke-Islaman, sangat jarang ditemukan. Yang ada hanyalah tenga pengajar yang terjebak ke dalam mind set nya sendiri akan ajaran-ajaran dogmatis yang kaku dan tidak dapat menarik perhatian.
Melihat kesulitan-kesulitan di atas, ada beberapa solusi pemecahan alternative sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Abuddin Nata yaitu: pertama, pendidikan agama yang dapat menghasilkan perbaikan moral harus dirubah dari model pengajaran agama kepada pendidikan agama. Kedua, pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Ketiga, sejalan dengan cara yang kedua tersebut, pendidikan moral harus melibatkan seluruh guru. Keempat, pendidikan moral harus didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari keluarga/rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Kelima,pendidikan moral harus menggunakan berbagai macam kesempatan, berbagai sarana teknologi modern dan lainnya seperti kesempatan berekreasi, berkemah, sarana masjid, surat kabar, radio, televisi dan lain sebagainya.
BAB III
ANALISIS
A. Kekuatan
1. Pendidikan moral berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. (Harun Nasution)
2. Pendidikan moral berlandaskan pada kesalehan yang maknawani seperti sifat Rasulullah SAW. (Nurcholis Majid)
B. Kelemahan
1. Masih adanya para pendidik yang tidak menanamkan pendidikan moral (Harun Nasution)
2. Kurangnya Kesalehan pada para pendidik (Nurcholis Majid)
C. Peluang
1. Penegasan para pendidik untuk dapat memakai metode pendidikan islam pada pendidikan moral (Harun Nasution)
2. Peluang menciptakan calon terdidik yang excellent (Nurcholis Majid)
D. Ancaman
1. Minusnya pendidikan moral akan membuat manusia menjadi keji dan hina (Harun Nasution)
2. Terjebaknya calon terdidik dalam kehidupan yang pragmatisme (Nurcholis Majid)
E. Memakai kekuatan untuk memanfaaatkan peluang
1. Para pendidikan harus memakai metode pendidikan Islam untuk pendidikan mortal yang berlandaskan pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. (Harun Nasution)
2. Dengan pendidikan moral yang berlandaskan pada kesalehan seperti sifat Rasulullah diharapkan mampu menciptakan calon terdidik yang excellent yang mampu mencerminkan sifat Rasulullah. (Nurcholis Majid)
F. Tanggulangi kelemahan dengan memanfaatkan peluang
1. Perlu adanya sosialisasi tentang metode pendidikan Islam agar tidak ada lagi pendidik yang tidak menanamkam pendidikan moral (Harun Nasution)
2. Perlu adanya peningkatan kesalehan peserta didik agar dapat menciptakan calon terdidik yang excellent (Nurcholis Majid)
G. Pakai kekuatan untuk menghindari ancaman
1. Dengan pendidikan moral yang berlandaskan pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah maka tidak aka nada manusia yang keji dan hina (Harun Nasution)
2. Kehidupan yang pragmatism tidak akan terwujud jika adanya pendidikan moral yang berlandaskan pada kesalehan maknawi seperti sifat Rasulullah. (Nurcholis Majid)
H. Perkecil kelemahan hindari ancaman
1. Pendidik harus ditegaskan untuk menanamkan pendidikan moral agar manusia terhindar dari sifat keji dan hina (Harun Nasution)
2. Para pendidik harus memiliki kesalehan yang baik agar tdak terjebak dalam kehidupan yang pragmatism (Nurcholis Majid).
BAB IV
KESIMPULAN
Sampai pada akhir tulisan ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa para pemikir Islam kontemporer tersebut di atas memiliki kesamaan visi dalam memandang pendidikan moral dalam perspektif pendidikan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat bahwa pendidikan agama dan moral sangat memiliki hubungan yang erat. Dan bahwa apapun bentuk interaksi sosial manusia tentu tidak terlepas dari perilaku moral atau etika dan akhlaq.
Berangkat dari kesamaan visi tersebut, maka cita-cita pemikiran pendidikan Islam kontemporer mengedepankan pentingnya mendasari setiap bentuk pendidikan di atas bangunan moral yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya
Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas? Cet. III, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002
A. Kadir, Muslim. Ilmu Islam Terapan Menggagas Paradigma Amali Dalam Agama Islam Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Asyraf, Ali, Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989
Departemen Agama R.I, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta: CV Anda Utama, 1993
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, Jakarta: Erlangga, 1999
M. Nurcholish Madjid, at al., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani (Cet. I, Jakarta: Media Cita, 2000)
Madjid, Nur Cholish, Masalah Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, dalam Fuaduddin & Cik Hasan Bisri (Ed) Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Logos, 2002
Madjid, Nurcholish et al. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani. (Cet. I, Jakarta: Media Cita, 2000. Mousa, Ibrahim. “Kata Pengantar.” Dalam Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul Gelombang Perubahan Dalam Islam Studi Tentang Fundamentalisme Islam. Cet. II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Mubarok, Achmad. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern Jiwa Dalam Al-Qur’an. Cet. I, Jakarta: Paramadina, 2000.
Munif Suratmaputra, Ahmad. Filsafat Hukum Islam Al Ghazali Masalah Mursalah & Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Islam. Cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendididkan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2003
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1998
Nasution, Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan Cet. V, Jakarta: UI Press, 1986
Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004
SUMBER :
Nama : Mahar Anggoro
NIMKO : 1204.09.3290
Jurusan : PAI (Pendidikan Agama Islam)
Semester : IV (Empat) kelas Siang
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULUM (STAI-MU) TANJUNGPINANG 2010-2011
Langganan:
Postingan (Atom)