BUATLAH APA YANG BELUM DIFIKIRKAN ORANG LAIN,BERHENTI TIADA TEMPAT BAGIMU, LAMBAT BER ARTI MATI, KARENA ENGKAU AKAN TER INJAK INJAK OLEH MASA
ASSALAMU ALAIKUM
Jumat, 17 April 2015
MENYIAPKAN PENDIDIKAN BERKUALITAS MENGHADAPI AFTA 2015
A.PENDAHULUAN
Konsep utama dari ASEAN Economic Community adalah menciptakan ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan kesatuan basis produksi dimana terjadi free flow atas barang, jasa, faktor produksi, investasi dan modal serta penghapusan tarif bagi perdagangan antar negara ASEAN yang kemudian diharapkan dapat mengurangi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi diantara negara-negara anggotanya melalui sejumlah kerjasama yang saling menguntungkan.
Kehadiran ASEAN Economic Community bisa membantu ketidak berdayaan negara-negara ASEAN dalam persaingan global ekonomi dunia yaitu dengan membentuk pasar tunggal yang berbasis di kawasan Asia Tenggara. Liberalisasi di bidang jasa yang menyangkut sumber daya manusia mungkin akan tampak terlihat jelas karena menyangkut tentang penempatan tenaga terampil dan tenaga tidak terampil dalam mendukung perekonomian negara. Namun, yang paling banyak berpengaruh dan sangat ditekan dalam ASEAN Economic Community adalah tenaga kerja terampil
Munculnya model pasar ini bisa ditebak adalah dampak dari globalisasi, dimana dengan adanya gelombang globalisasi akan terjadi perdagangan bebas dan terbentuknya penguatan masing-masing kawasan untuk bersama-sama menghadapi situasi yang serba kompleks di dunia internasional dalam bentuk regionalisme. Regionalisme adalah paham atau kecenderungan untuk mengadakan kerjasama yang erat antarnegara di satu kawasan. ASEAN adalah suatu bentuk regionalisme yang mulai diperhitungkan di percaturan politik internasional (Depdiknas: 2000, 940).
Regionalisme memiliki banyak tujuan, salah satunya terbentuknya single market dalam kawasan regional tersebut. Pasar tunggal merupakan pasar bersama dalam suatu kawasan yang mana aturan dan kebijakannya dibentuk bersama, ekspor impor pun dilakukan bersama-sama. Meski sebenarnya sejauh pelacakan yang penulis lakukan, tidak ditemukan istilah “pasar tunggal”, yang ada adalah pasar; amal, apung, atom, bebas, bebas terbuka, derma, induk, gelap, jengek, kaget, konvensi, lesu, malam, modal, modern, penjual, swalayan, tahunan, dan uang (Depdiknas: 2000, 833). Selain itu yang ada adalah pasar; monopoli, monopolistik, oligopoli, perdana, perdana internasional, persaingan sempurna, dan sekunder (Achmad Fanani: 2009, 313), sehingga pasar tunggal ini bisa dibilang adalah istilah baru dalam nomenklatur perekonomian.
Dalam pasar tunggal ini semua arus barang, manusia, jasa, investasi dan modal bebas bergerak di kawasan ini tanpa ada protect. Namun, untuk mencapai tahapan ini tidak mudah, suatu regionalism harus sudah benar-benar kokoh dan kuat serta masing-masing negara rela mengorbankan sedikit kedaulatannya dan kompak dalam menjalankannya.
Pasar tunggal Asean direncanakan akan terbentuk pada tahun 2015, namun masih muncul pro dan kontra dalam isu ini (ninafadilla.blogspot.com: 2010). Bagi yang pro, sedikitnya ada empat alasan yang mendasarinya. Pertama, dengan adanya pasar tunggal Asean, perusahaan dalam negeri dan masyarakat regional akan lebih mampu berkompetisi dengan pasar internasional. Dengan begitu, tingkat kesejahteraan penduduk diprediksi akan meningkat karena persaingan dalam perekonomian dengan terpacunya setiap individu yang ingin memperoleh kehidupan yang layak. Kedua, terbukanya lapangan pekerjaaan yang berarti mengurangi penggangguran negara. Banyaknya perdagangan dan perusahaan internasional yang masuk maka akan sangat membutuhkan tenaga kerja.
Ketiga, setiap individu dan barang-barang yang masuk dan keluar akan lebih mudah dan bebas hambatan untuk mengembangkan pasar internasional di negara lain.
Keempat, ada suatu kebijakan dalam sistem ini yang mana semua keunggulan dari barang-barang perdagangan setiap negara di kawasan ditampung dalam suatu wadah pasar tunggal. Sehingga, disini akan menguntungkan masing-masing Negara karena bergabung menjadi satu dan sesama anggota Asean tidak bersaing dalam ekspor impor barang yang sama. Bilapun sama maka akan dapat bekerjasama. Sedangkan bagi masyarakat yang kontra, setidaknya ada tiga alasan yang melatarinya.
Pertama, belum siapnya beberapa negara Asean untuk mengadakan infrasrtuktur dengan segala kebijakannya yang akan berdampak pada keterpurukan rakyat miskin dan tidak berpendidikan.
Kedua, dengan semakin bebasnya sistem ini, maka pengusaha kecil dan pengusaha tradisional yang belum kuat akan dengan mudah tergusur dan gulung tikar akibat persaingan dari pengusaha kelas kakap negara luar.
Ketiga, masing-masing negara anggota Asean tidak mustahil bersaing tidak sehat sehingga sulit untuk menyatukan prinsip dan pemikiran.
Hal ini juga disebabkan karena masih banyak ketimpangan dan kesenjangan ekonomi antar negara-negara Asia Tenggara. Namun demikian, paham tidak paham, sepakat tidak sepakat, gong pasar tunggal ini telah ditabuh dan pementasannya akan dimulai pada tahun 2015.
B.PENDIDIKAN
Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia seutuhnya yang telah melembaga dalam konteks budaya. Dalam konteks ini, pendidikan adalah gua garba yang melahirkan subyek sosial yang memiliki mandat memimpin dan mengelola sumber daya alam semesta menjadi bermanfaat bagi kemanusiaan. Untuk itu, manusia sudah semestinya melakukan integrasi dengan lingkungan dimana dia berada. Integrasi dengan lingkungan berbeda dengan adaptasi adalah ciri khas aktifitas manusia. Integrasi muncul dari kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan realitas, ditambah kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubahnya (Paulo Freire, terj. Martin Eran: 2003, 3). Manusia sempurna adalah manusia sebagai subyek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai obyek.
Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena dia tidak mampu mengubah realitas. Konsep manusia sebagai subyek adalah manusia yang “hidup” dan “ada”. Istilah “hidup” (to live) dan “ada” (to exist) mengandung makna berbeda. Di sini, to exist lebih dari sekedar to live, “mengada” atau “bereksistensi” lebih dari sekedar “hidup” melainkan juga “bersama dengan dunia”. Manusia sebagai eksistensi mampu berkomunikasi dengan dunia obyektif sehingga memiliki kemampuan kritis. Kemampuan kritis tidak dimiliki bila hanya sekedar hidup (Paulo Freire, terj: 2003, 77).
Dalam konteks budaya pula, sudah semestinya pendidikan adalah praktik yang mencerdaskan, mencerahkan dan membebaskan. Cerdas, cerah, dan bebas dari penindasan, pembodohan, dan pemiskinan. Seorang cendekiawan muslim, Nurcholis Madjid, mengatakan bahwa “Allah menciptakan manusia dengan suatu fitrah (nature); bebas untuk memilih, menyatakan pendapat, dan melakukan sesuatu berdasarkan pilihan dan pendapatnya itu” (Nurcholis Madjid: 1992, 560).
Ini berarti, bebas dari ketertindasan, kebodohan dan kemiskinan adalah hak asasi manusia yang bersifat given, manusia yang lain tidak bisa merampasnya. Sama artinya bahwa pemerataan kecerdasan, peningkatan kesejahteraan hidup dan pengakuan eksistensi diri adalah mutlak milik setiap orang, setiap warga negara. Untuk itu, agar memiliki kecerdasan yang berefek pada peningkatan kesejahteraan hidup dan pengakuan eksistensi diri, setiap warga negara harus dididik. Manusia terdidik pada akhirnya mewujud menjadi manusia yang berpartisipasi aktif dan siap menghadapi realitas secara kritis.
Kecakapan dan kompetensi yang dimiliki akan menjadi pisau analisis sekaligus jalan keluar terhadap problematika yang dihadapi. Manusia terdidik adalah problem solver, bukan problem maker.
C.FAKTA LAPANGAN
Melihat realitas, sumber daya manusia kita belum mampu bersaing secara optimal di pasar. Ini bisa dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibandingkan dengan Negara anggota Asean lainnya. Dalam indeks pembangunan manusia tahun 2010, Indonesia menempati urutan keenam di antara 10 negara anggota Asean dan urutan ke-111 dari 182 negara di dunia. Sementara itu, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan dasar Indonesia berada di urutan keenam di Asean dan ke-69 di dunia. Hal ini menunjukkan masih rendahnya partisipasi pendidikan dan tingkat kesesuaian pendidikan dengan kebutuhan pasarkerja. Dari total angkatan kerja sebesar 116,53 juta jiwa,\ sekitar 50,38% maksimal hanya berpendidikan sekolah dasar. Fakta ini menunjukkan rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia. Rendahnya pendidikan juga menyebabkan banyak lowongan kerja yang tak terisi. Tahun lalu, sedikitnya terdapat 2,38 juta lowongan kerja, namun hanya terisi 1,62 juta orang. Artinya, ada 32% lowongan kerja yang tidak dapat terisi. Umumnya, ketidakterisian itu akibat rendahnya tingkat pendidikan dan tidak sesuainya keahlian pencari kerja.Mobilitas tenaga kerja terampil takkan terbendung pada 2015, saat komunitas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) berlaku efektif.
Indonesia tidak bisa lagi menutup pasar tenaga kerja bagi negara Asean lainnya. Tanpa akselerasi dalam peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan serta kesungguhan dalam menjalankan konsep link and match antara dunia pendidikan dan dunia usaha, bukan mustahil, pasar tenaga kerja di sektor usaha yang menjanjikan pendapatan tinggi diisi oleh pekerja asing.
Tenaga kerja Indonesia bisa jadi bakal terpinggirkan dan hanya akan menjadi pesuruh bangsa lain.Sejatinya Indonesia menjadi pasar tenaga kerja potensial melihat jumlah penduduk yang sangat melimpah. Sayangnya tidak dibarengi dengan keterampilan yang memadai.
Salah satu sebabnya adalah produk pendidikan Indonesia saat ini kurang relevan dengan kebutuhan pasar kerja di masa depan.
Pendidikan Indonesia lebih mengarah kepada pendidikan akademis daripada pendidikan vokasional yang menghasilkan tenaga kerja terampil. Kondisi ini kontras dengan negara maju seperti Jepang, Australia, dimana pendidikan vokasional jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan akademik.
Inilah yang mengakibatkan banyak sarjana Perguruan Tinggi (PT) kita tidak menguasai aspek keahlian yang diharapkan oleh lapangan kerja. Selain itu program keahlian selalu dianggap program sekunder dari program akademik, sehingga kualitas peserta didik seringkali tidak memenuhi persyaratan minimal yang diperlukan bagi pendidikan keahliannya. Agar semakin tak tertindas persaingan, perlu rekonstruksi terhadap dunia pendidikan kita agar misi mencetak manusia Indonesia yang kompetitif di era globalisasi bisa tercapai. Pemerintah mesti terus menambah porsi pendidikan kejuruan yang fokus pada pelatihan kerja atau pengalaman kerja. Pengakuan terhadap lulusan pendidikan kejuruan juga perlu didorong kepada perusahaan, bahkan pemerintah ketika berlangsung proses rekrutmen tenaga kerja/PNS. Saat ini proses rekrutmen tenaga kerja masih banyak berdasarkan ijazah yang dimiliki dan bukan kompetensi. Hingga kini, dunia pendidikan Indonesia memiliki kendala yang sangat serius pada keterbatasan akses, jumlah guru yang belum merata, serta kualitas guru itu sendiri yang masih kurang.
Untuk menghadapi AFTA, pemerintah mesti meningkatkan pemerataan dan kualitas pendidikan. Akses pendidikan harus dibuka seluas-luasnya untuk seluruh masyarakat. Pendidikan Indonesia harus bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, bahkan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Pemerintah juga mesti mendistribusikan guru-guru kompeten di daerah-daerah supaya merata.
Caranya mungkin bekerja sama dengan pemerintah daerah. Kemudian dalam hal meningkatkan kualifikasi guru, Kemendikbud mesti terus memberikan fasilitas beasiswa. Guru yang sesuai dengan kualifikasi saat ini masih belum merata. Banyak sekolah dasar dan menengah di daerah kekurangan tenaga guru. Menurut data Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, jumlahnya diperkirakan 112 ribu guru.
Di Pendidikan Tinggi juga sangat jomplang. Saat ini terdapat 3.500 PT di seluruh Indonesia, namun lebih separuh berada di pulau Jawa. Di luar pulau Jawa, banyak PT berjalan tidak sehat. Dalam mengatasi ini, pemerintah mesti melakukan redistribusi pendidikan secepatnya, sehingga orang-orang tak perlu urbanisasi ke kota besar demi mendapatkan pendidikan yang layak
D.Dunia Pendidikan Menghadapi Pasar Tunggal Asean 2015
Ketika pendidikan terlibat menyambut datangnya pasar tunggal Asean 2015, sejatinya adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang terampil, peka dan kritis. Terampil bekerja, peka permasalahan dan kritis dalam berperan.Ketiga kecakapan ini mutlak hadir dalam pasar tunggal Asean. Pasar tunggal tidak bisa dipahami dari aspek ekonomi saja, melainkan juga dari aspek non-ekonomi yaitu ideologi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Pemahaman ini perlu dibangun dan diinternalisasikan agar Indonesia menjadi Negara yang mandiri dan bermartabat. Mandiri berarti bebas dari intervensi bangsa lain dalam menentukan arah kebijakannya, termasuk kebijakan mencerdaskan dan menyejahterakan rakyatnya.
Bermartabat berarti bekerjasama dengan bangsa lain tanpa harus kehilangan (karena menjual) harga diri. Tampaknya dari ilustrasi di atas, konsep pendidikan link and match, yang digagas oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, mantan Mendiknas tahun 1993-1998, telah menemukan momentumnya.
Wardiman mengatakan bahwa “era globalisasi menuntut sumber daya manusia tangguh. Pendidikan yang berorientasi aspek kompetensi menjadi kuncinya. Mengingat pentingnya aspek kompetensi, prinsip linkage and matching harus dikembangkan. Paradigma pendidikan harus mulai berubah dari supply minded (orientasi jumlah) menjadi demand minded (orientasi kebutuhan) ke dunia kerja”(archive.web.dikti.go.id: 11 Juli 2011). Namun konsep pendidikan ini bukan tanpa tantangan, bahkan tentangan.
Konsep link and match memang bisa menjawab tantangan pasar tunggal, demi mengatasi persoalan pengangguran terdidik di ranah ekonomi. Akan tetapi, tentangan terhadap konsep ini juga tidak perlu buru-buru ditolak. Bagi yang pro, ada dua alasan yang mendasarinya.
Pertama, pendidikan link and match bisa menjadi jalan keluar bagi para lulusan sekolah memasuki pasar kerja.
Kedua, dengan para lulusan sekolah bisa memasuki pasar kerja, berarti beban pemerintah tentang pengangguran bisa teratasi. Sedangkan yang kontra, sedikitnya ada tiga alasan yang melatarinya.
Pertama, jika pendidikan link and match mengajarkan keterampilan fisik saja, itu berarti pendidikan tidak lebih dari proses pembuatan robot-robot yang siap dipabrikasi, dan ini berarti pendidikan adalah proses dehumanisasi, dan dehumanisasi adalah pelanggaran hak asasi manusia. Kedua, pendidikan nampak sebagai alat melahirkan pekerja-pekerja pabrik dan manusia menjadi komoditi.
Ketiga, tidak mungkin lulusan sekolah siap 100% kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan (ririsatria40.wordpress.com: 11 Juli 2011). Alasannya, setiap perusahaan itu unik dan tidak ada yang persis sama mulai dari aspek strategi bisnisnya, struktur organisasinya, sistem dan prosedur kerjanya, budaya organisasinya, bahkan sampai sistem nilai perusahaannya. Pro kontra ini semestinya tidak ditempatkan secara berhadap-hadapan, melainkan sinergis untuk menemukan model pendidikan yang baik; pendidikan yang berefek pada pembangunan warga Negara yang berkarakter dan menjamin tercapainya peningkatan taraf hidup, sekaligus berkontribusi pada kemajuan bangsa. Suatu negara akan menjadi maju, tidak ditentukan oleh lama dan luas wilayahnya, tetapi lebih ditentukan oleh sumber daya manusia yang ada didalamnya.
Dengan asumsi ini, problem-posing education (pendidikan hadap-masalah) bisa menjadi salah satu pilihan. Pendidikan hadap-masalah adalah sebentuk pendidikan yang kritis dalam keaksaraan fungsional, dalam melihat realitas. Pendidikan ini mengkaitkan teks dan konteks secara kritis. Belajar adalah bersikap pada dunia. Pendidikan adalah pembebasan; bebas dari penindasan, pembodohan dan pemiskinan (Paulo Freire, terj: 2000, 31). Proses problematisasi pada dasarnya adalah refleksi atas isi problem yang muncul dari suatu tindakan, atau refleksi atas tindakan itu sendiri untuk dapat bertindak lebih baik lagi. Jadi, pada dasarnya pendidikan adalah “keberlangsungan” dalam ketegangan antara permanensi dan perubahan.
Di sinilah alasan mengapa pendidikan harus selalu diposisikan sebagai “proses menjadi” bukan sesuatu yang selesai. Adapun ciri pendidikan hadap-masalah adalah:
1) memilih tugas berdasarkan realitas,
2) dialog sebagai prasyarat sebagai laku pemahaman untuk menguak realitas,
3) murid diarahkan sebagai pemikir yang kritis,
4) mendasari atas kreatifitas, sehingga mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas,
5) manusia menjadi makhluq yang berada dan selalu dalam pembelajaran.
Pasar tunggal ASEAN sebagai realitas sudah semestinya diterima dan dihadapi secara kritis, bukan nrimo ing pandum. Artinya, Indonesia ikut aturan main pasar kawasan regional tersebut, tetapi Indonesia tidak boleh dipermainkan negara-negara lainnya, lebih-lebih jika mengorbankan rakyatnya sebagai komoditas.
E.KESIMPULAN
1. Pendidikan memiliki peran penting, dan tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menyiapkan manusia Indonesia yang kualified dan marketable, sehingga tidak terpinggirkan dalam arus pasar tunggal.
2. Dalam menghadapi pasar tunggal, pendidikan bisa menjalankan konsep link and match, yaitu mengkaitkan lulusan sekolah dengan kebutuhan pasar kerja.
3. Agar pendidikan tidak terjebak praktek dehumanisasi dan robotisasi, maka bisa diatasi dengan menerapkan konsep problem posing education, yaitu mendasarkan teks (teori) pada konteks dengan mengangkat problem yang ada.
4. Pendidikan harus diintegrasikan dengan lingkungan, bukan hanya beradaptasi. Integrasi berbeda dengan adaptasi. Integrasi muncul dari kemampuan menyesuaikan diri dengan realitas, ditambah kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubahnya.
5. Harus dipahami bahwa mendidik rakyat menjadi cerdas dan kritis, merupakan sebuah investasi dan esensi yang sesungguhnya dari konsep human capital.
DAFTAR PUSTAKA
Adiministrator, 2008. Wardiman Kembali Ingatkan Link and Match., http://archive.web.dikti.go.id(11 Juli 2011)
Althaf, 2010. IPM Indonesia Jauh Di Bawah Malaysia. http://arrahmah.com (14 Juli 2011)
Depdiknas, 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi III. Balai Pustaka. Jakarta.
Fadilla. Nina, 2010. Pasar Tunggal ASEAN 2015. http://ninafadilla.blogspot.com (7 Juli 2011)
Fanani. Achmad, 2009. Kamus Istilah Populer. Cetakan I. Mitra Pelajar. Jogjakarta.
Freire. Paulo, 2001. Pendidikan Yang Membebaskan. Cet.akanI. Terjemahan Martin Eran.: MediaLintas Batas. Jakarta.
Freire. Paulo, 2000. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan. Cetakan I.Terjemahan Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. ReaD. Yogyakarta.
Madjid. Nurcholis, 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan. Cetakan II. Yayasan Wakaf Paramadina. Jakarta.
Yafie. Ali dkk, 2003. Fiqih Perdagangan Bebas. Cetakan I. Teraju. Jakarta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah