PARADIGMA PEMIKIRAN ISLAM
KUNTOWIJOYO
Abstract
Kuntowijoyo mengalami kegelisahan intelektual melihat fenomena keberagamaan umat Islam di Indonesia yang masih di belenggu oleh berbagai mitos sebagai akibat dari proses agrarisasi masuknya Islam ke Indonesia. Selain itu, dibukanya kran industrialisasi-informasi, semakin mengarah pada sekularisasi agama. Untuk itulah kemudian Kunto melontarkan gagasannya mengenai Paradigma Islam. Sebuah tawaran konsep mendekati dan memahami agama Islam dengan menggunakan pendekatan historis-sosiologis yang darinya akan melahirkan lima program re-interpretasi. Kelima program dimaksud adalah pengembangan penafsiran dari individual menjadi sosial struktural, mengubah Islam normatif menjadi teoritis, mengubah pemahaman a historis menjadi historis, reorientasi berfikir dari subjektif ke arah objektif, dan mereformulasi wahyu yang bersifat umum menjadi khusus.
A. Iftitah
Sejarah pertumbuhan gerakan pembaruan Islam di Indonesia sudah berjalan hampir satu abad. Selama rentang waktu itu banyak terjadi perubahan, baik yang bersifat sosial, politik, ekonomi maupun perubahan sikap dan pandangan hidup umat Islam yang disebabkan oleh adanya perubahan-perubahan masa dan situasi politik yang penuh gejolak dan pergolakan.
Pola, sasaran dan unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan ini. Semangat dan kecenderungannya pun menjadi berbeda dilihat dari tingkat pemahaman terhadap corak perubahan yang terjadi, ruang lingkup dan batas-batas yang memungkinkan ditolelirnya perubahan dan pembaharuan. Karena itu, dalam makalah ini penulis mencoba membahas unsur-unsur gerakan pembaruan tersebut, lewat pemikiran Kuntowijoyo yang tertuang dalam beberapa karya dan tulisannya di berbagai tempat, terutama yang berkaitan dengan gagasan paradigma Islam dan transformasi sosialnya.
B. Setting Sosial Pemikiran Kuntowijoyo
Kuntowijoyo (selanjutnya disebut Kunto), pemikir yang dikenal sangat optimis akan masa depan Islam, dan sosok yang oleh Fakhri Ali dan Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono ini, lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Pemikiran keislamannya ditempa dalam berbagai aktivitas sosial dan budaya. Ia pernah aktif di PII dan kelompok diskusi Limited Group. Selama menjadi mahasiswa dia banyak aktif dalam bidang kesenian dan kebudayaan sehingga dia lebih dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karya sastranya banyak yang diterbitkan dan mendapat penghargaan. Interesnya yang sangat besar terhadap masalah sosial umat Islam juga dilatarbelakangi oleh bidang keilmuan yang ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Dia menyelesaikan sarjananya di fakultas sastra jurusan sejarah UGM pada 1969. Gelar MA-nya diperoleh dari University of Connecticut, USA, sedang Ph.D dalam studi sejarah dari University of Columbia pada 1980 dengan disertasi berjudul: Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940.
Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatar belakangi pemikirannya terutama dalam merumuskan gagasan-gagasannya tentang Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu mitos-mitos dan kemudian berkembang hanya sampai pada tingkat ideologi. Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata-rantai penting peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya lokal.
Untuk itu dia melakukan analisis-analisis historis dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam di Indonesia. Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui re-interpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris.
Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan menekankan sekularisasi sebagai keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan. Ini mendorongnya melontarkan gagasannya tentang paradigma Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori ilmu-ilmu sosial Islam.
C. Al-Qur’an Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi
Uraian-uraian tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kunto lewat pendekatan historis-sosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini, dari al-Qur’an dapat diharapkan suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami realitas sebagaimana al-Quir’an memahaminya. Demikian lebih lanjut, Kunto menjelaskan:
Paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.
Sebagai contoh, kata Kunto, statemen-statemen yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits adalah nilai-nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu niali-nilai praktis yang dapat diaktualkan dalam perilaku sehari-hari dan nilai-nilai yang harus diterjemahkan dulu dalam bentuk teori sebelum diterapkan dalam perilaku. Nilai-nilai pertama menurutnya telah dikembangkan dalam bentuk ilmu fiqh, sedang yang kedua perlu ditransformasikan dalam bentuk ilmu-ilmu sosial Islam. Cara yang kedua ini lebih relevan pada saat ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri. Sampai sekarang ini menurut Konto, kita kekurang ini. Kita memang sudah didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya ilmu-ilmu sosial Islam.
Tampaknya pemikiran Kunto tentang paradigma al-Qur’an ini dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja metodologis penafsiran Rahman yang berusaha memehami al-Qur’an, aktivitas Nabi dan latar sosio-historisnya diarahkan pada perumusan kembali suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini. untuk itu menurut Rahman perlu lebih dahulu perumusan pandangan dunia al-Qur’an.
Sehubungan dengan perumusan worldview al-Qur’an ini, Rahman mengemukakan bahwa prinsip penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak diterapkan dengan cara yang sama dengan perumusan etika al-Qur’an, atau oleh Kunto disebut nilai normatif praktis. Menurut Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya wahyu tidak dibutuhkan. Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia al-Qur’an tersebut, Rahman tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis.
Menurut Kunto, salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type.
Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.
Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kunto, diperlukan adanya lima program reinterpretasi, yaitu:
1. Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.
3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
4. Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agamayang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sisal.
Dari uraian tentang paradigma al-Qur’an dan program reinterpretasi, bisa dilihat bahwa Kunto ingin merintis metode baru penafsiran al-Qur’an. Metode tafsir yang ditawarkan adalah memandang al-Qur’an sebagai akumulasi konsep-konsep normatif. Nilai-nilai yang ada di dalamnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya. Tampaknya di sini, dia berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus as-sabab.
Dari konsep-konsep al-Qur’an, menurutnya dapat diciptakan teori-teori “ilmu sosial profetik” yang pada dasarnya bersifat transformatif. Yang dimaksud transformatif di sini oleh Kunto adalah perubahan sosial, baik cara berpikir, sikap dan perilaku secara individual maupun sosial.
Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para perencana program yang menaruh perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.
Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun subyektif.
Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini,dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.
Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu menekankan hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model ideal –suatu upaya untuk menghidupkan teks dalam realitas empiris dan mengubah keadaan masyarakat ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT. Pengembangan teologi transformatif menurutnya merupakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.
Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kunto pada mulanya lebih bersifat tawaran alternatif, karena dia kurang sependapat dengan istilah teologi transformatifnya Muslim. Dia mengatakan bahwa dilingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memehami teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebgaian besar mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologi sudah selesai dan tidak perlu dirombak.
Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi sebagai usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi mengubah interpretasi terhadapnya, agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas. Istilah “teologi” menurut Kunto sebaiknya diganti dengan “ilmu sosial” yaitu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.
Optimisme Kunto untuk membangun paradigma baru ilmu sosial ini didasari oleh keyakinan bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun “paradigmatik”, Marx, bersifat ideologis dan Wittgenstain, bersifat cagar bahasa. Dalam pandangan Kunto, ilmu-ilmu sosial sekarang mengalami kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial disamping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transendental.
D. Ikhtitam
Gagasan-gagasan Kuntowijoyo tentang Islam di Indonesia merupakan salah satu fenomena yang unik, menarik dan sangat mengesankan untuk ukuran intelektual yang dibesarkan bukan dari latar belakang taradisi keagamaan santri, meminjam klasifikasi Gertz. Meskipun pengetahuan keagamaannya lebih banyak diperoleh lewat studi-studi non-formal, namun kecintaannya terhadap Islam dan kuatnya basic keilmuan sejarah dan sosial, telah mendorongnya untuk merumuskan sebuah alternatif keberagamaan yang bersifat profetik dan transformatif.
Al-Qur’an, yang oleh Kunto dijadikan sebagai paradigma ilmu-ilmu sosial, tidaklah semata-mata dipahami dari sisi normativitas kewahyuan Islam, yaitu dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan ritual-ubudiyah keagamaan saja, tapi juga dan bahkan ini yang terpenting adalah memanifestasikan nilai-nilai historisitas al-Qur’an, dengan cara mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.
Dari pemahaman seperti ini, meskipun tawaran teori-teori sosial Qur’ani ini tidak mudah untuk direalisasikan dalam realitas empiris, namun Kunto –dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya--paling tidak telah membuka dan merintis sebuah pendekatan baru dalam studi-studi keislaman, lewat kajian-kajian saintis, yang oleh Arkoun dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk umat Islam kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Muslim, Teologi Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995)
Ali, Fakhri dan Efendy, Bachtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Oerde Baru, (Bandung: Mizan, 1986)
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1993)
Bagader, Abubaker A., Islamisasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam , Perspektif Sosiologi Agama, Terj. Mahnun Husain, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996)
Bahasoan, Awad, “Gerakan Pembaharuan Islam; Interpretasi dan Kritik”, Prisma, No. Ekstra, 1984
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994)
----------------, “Tjokro, Natsir dan Habibie”, dalam Ummat, No. 9 tahun 1995
----------------, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)
----------------, “Islam Sebagai Ide”, Prisma, No. Ekstra, 1984
Raharjo, M. Dawam , “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat”, dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1991)
Rahman, Fazlur , Islamic Studies and the Future of Islam, (Malibu, California: 1980)
----------------, Islam, (New York: Anchor Book, 1968)
----------------, Islam and Modernity, (Chicago: The University of Chicago, 1980)
----------------, Major Themes of the Qur’an, (Chicago: Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980)
Rahman, Budi Munawar, “Dari Tahap Moral ke Periode Sejarah: Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia” dalam Ulumul Qur’an, No. 3 Vol. VI, 1995
sumber: Shofiyullah Mz., M. Ag
BUATLAH APA YANG BELUM DIFIKIRKAN ORANG LAIN,BERHENTI TIADA TEMPAT BAGIMU, LAMBAT BER ARTI MATI, KARENA ENGKAU AKAN TER INJAK INJAK OLEH MASA
ASSALAMU ALAIKUM
Senin, 29 November 2010
bag lll
V. Re-mooring of Tradition for the Uncertain Future
Accompanying the progress of science and technology, humankind has been, as Delors’ Report(J. Delors, 1996:43)maintains, brought into the age of universal communication. Human societies will have nothing in common with any model from the past because the interactive media technology available to anyone, anywhere in the world. It is thus possible for anyone to engage in dialogue, discussion and transmission of information unconstrained by distance or operating time. As the transmission of tradition becomes dependent on the media technology, tradition become gradually de-ritualized, de-personalized and de-localized(J. B. Thompson, 1996:97-99).
Uprooting of the tradition thus occurs, as the whole world is proceeding towards becoming a global village. The bond that tied traditions to specific locales of face-to-face interaction has been gradually weakened. With such a development of the world, there is a gradual decline in the traditional grounding of action and in the role of traditional authority.
However, dangers are also engendered by the globalization process. A very large underprivileged population remains excluded from the development of modern technology. Disparities between the developed and underdeveloped countries are getting worse with the rapid progress of technology.
Education reform strategies based on the research of western rationalistic science and technology have been imposed upon those non-industrialized countries. The uprooting of indigenous tradition becomes even worse in the underdeveloped countries receiving international aid. The blatant in equalities and gulf between the developed and the underdeveloped countries are the major dangers that entail of a setback to democracy and prosperity of all the humanity.
A comparative education worthy of its name, as A. Welch(1998:13)argues, must support the claims for social justice(in education)of disposed and marginal groups in society. Varieties of voices should, as V. Rust(1991:619)remarks, be listened to carefully with understanding and appreciation. In comparative education, the uprooted traditions should be refashioned in ways that enabled them to be re-embedded in a multiplicity of locales and re-connected to territorial units that exceed the limits of face-to face interaction. Through such a re-mooring of tradition, the research of comparative education make it easier to “make individuals aware of their roots so as to give them points of reference that enable them to determine their place in the world.”(J. Delors, 1996:49). Only through their clear self- identity, people can respect the “other”. It is thus imperative for comparative educationaists to engage themselves in formulating multiple re-embedded traditions to facilitate both the self-respect and the acceptance of spiritual and cultural difference. Facing the coming century, education comparativists should take the solemn responsibility to come to terms with varieties of values from different cultures and to take account of the future and prosperity common to all humanity into their serious consideration in their research activities.
Reference
Adorno, T.W.(1982), Negative Dialektik, 3. Aufl., Frankfurt am M.:Suhrkamp, (1. Auf., 1966).
Altbach, P. G. (1977) “Servitude of the Mind? Education, Dependency, and Neocolonialism” Teachers College Record, 79, (2), 187- 204.
Anweiler, O. (1967) “Konzeptionen der Vergleichenden Pädagogik” Zeitschrift für Pädagogik, Bd. 13.
Anweiler, O. (1977) “Comparative Education and the Internationalization of Education” Comparative Education, 13, (2), 109- 114.
Arnove, R. F. (1980,Feb.) “Comparative Education and World- Systems Analysis” Comparative Education Review, 48- 62.
Barber, Benjamin R. (1972) “Science, Salience and Comparative education: Some Reflections on Social Scientific Inquiry” Comparative Education Review, vol. 16.
Confucius, Analects.
Bereday, G. Z. F. (1964) Comparative Method in Education, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Carr, David(1998) “Traditionalism and Progressivism: Problematic of Educational Theory and a Perennial Policy”, Westminster Studies in Education, Vol.21, 47-55
Coulby, D. & Jones, C. (1996) “Post- modernity, Education and European Identities” Comparative Education, 32, (2), 171- 184.
Crossley, M.(1998) “The Place of Research & Evaluation in Educational Transformation: Cross-Cultural Issues and Research Capacity Building in Belize, Central America.” 10th World Congress of Comparative Education Societies(WCCES), Cape Town, South Africa, July 12-17
Delors, J. (1996) Learning: The Treasure Within, UNESCO.
Frankel, C.(1958) “The Philosophy of the Enlightenment” in V. Ferm(ed.) A History of Philosophical Systems, Ames, Iowa: Littlefeild, Adams & Co.
Fraser, S. (1963) Jullien’s Plan for Comparative Education 1816- 1817, Teachers College, Columbia University.
Gadamer, H. –G.(1986), Wahrheit und Methode, 5. Aufl., Tübingen:J.C.B. Mohr, (1. Aufl., 1960).
Geertz, Clifford (1983) ,Local Knowledge, New York: Basic Books.
Greene, M,(1994) “Epistemology and Educational Research: The Influence of Recent Approaches to Knowledge,”Review of Research in Education, 20:423-464
Habermas, J.(1970), “Summation and Response” in Continuum, vol. 8:123-133.
Halls,W. D. (1973) “Culture and Education: The Culturalist Approach to Comparative Studies”, in Edwards, R., Holmes. B. & Van de Graaff (eds.) Relevant Methods in Comparative Education, Hamburg :UNESCO Institute for Education: 119-136.
Hans, N. (1964) “Functionalism in Comparative Education” International Review of Education, 10, (1), 94- 105.
Hans, N. (1967) Comparative Education, London: R.K.P.
Harvey, D.(1990). The Condition of Postmodernity, Oxford:Blackwell.
Heelas, P., Lash, S. & Morris, P.(eds.)(1996)Detraditionalization, Oxford:Blackwell.
Heelas, P.(1996), “Introduction:Detraditionalization and its Rivals” in P. Heelas, S. Lash & P. Morris(eds.)Detraditionalization, Oxford:Blackwell.
Heyman, R. (1979) “Comparative Education from an Ethnomedothdogical Perspective”, Comparative Education, 15:241-249.
Hollinger, R. (1994) Postmodernism and the Social Sciences, Thousand Oaks: SAGE.
Holmes, B. (1981) Comparative Education: Some Considerations of Method, London: George Allen & Unwin Ltd.
Horkheimer, M. (1972) Critical Theory, New York: Continuum.
Hsün Tzu, The Works of Hsün Tzu.
Jones, Ph. E. (1969) Comparative Education: Purpose and Method, St. Lucia: University of Queensland Press.
Kandel, I.L.(1933)Studies in Comparative Education, George G. Harrap & Co. Ltd.
Kazamias, A. M. & Schwartz, K. (1977) “Intellectual and Ideological Perspectives in Comparative Education: An Interpretation” Comparative Education Review, 21, (2-3), 153- 176.
Kern, P. (1973) Einführung in die Vergleichende Pädagogik, Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft.
Mallinson, V.(1966) An Introduction to the Study of Comparative Education, London:Heinemann Education Books Ltd.
Masemann, V. (1976,Oct.) “Anthropological Approaches to Comparative Education” Comparative Education Review, 369- 380.
Masemann, V. (1978) “Critical Ethnography in the Study of Comparative Education” in Altbach, P. G. & Kelly, G. P. (eds.) New Approaches to Comparative Education, 11-25, Chicago: The University of Chicago Press.
Masemann, V. (1990) “Ways of Knowing: Implication for Comparative Education” Comparative Education Review, 34, (4), 465- 473.
Masemann, V. (1990a) “Educational Reform: Impact of Indigenous Forms of Knowledge” in Husen , Torsten & Postlethwaite, T. Neville (eds.) International Encyclopedia of Education, vol. 4, 2ed., 1848- 1857.
Noah, H. J. & Eckstein, M. A. (1969) Toward a Science of Comparative Education, London: Collier- Macmillan.
Noah, H. J. (1973) “Defining Comparative Education: Conceptions” in Edwards, R.,
Holmes. B. & Van de Graaff, J. (eds.) Relevant Methods in Comparative Education, Hamburg :UNESCO Institute for Education: 109-118.
Paulston, R. G. (1997) “Mapping Visual Culture in Comparative Education Discourse” Compare, 27, (2), 117-152.
Paulston, R. G. (ed.) (1996) Social Cartography, New York & London: Garland publishing, Inc.
Peters, M. (1995) Education and the Postmodern Condition, London: Bergin & Garvey.
Przeworski, A. & Teune, H. (1970) The Logic of Comparative Social Inquiry, Malabar Florida: Robert E. Krieger publishing Company.
Psacharopoulos, G. (1990) “Comparative Education: From Theory to Practice, or Are You A:\Neo.* or B:\*.st?” Comparative Education Review, 34, (3).
Renkema, W. J. (1996) “Knowledge of the Traveller: Case Study Research and the Problem of Generalisability” paper submitted to the Commission on Theories and Theory Shifts, 9th World Congress on Comparative Education, Sydney, Australia, July 1996.
Röhrs, H. (1995). Die Vergleichende und Internationale Erziehungswissenschft, Weinheim:Deutscher Studien Verlag
Rust, V. (1991) “Postmodernism and its Comparative Education Implications” Comparative Education Review, 35, (4), 610- 626.
Rust, V. (1996) “From Modern to Postmodern Ways of Seeing Social and Educational Change” in Paulston, R. G. (ed.) Social Cartography, New York & London: Garland Publishing, Inc.
Schneider, F.(1959)Europäische Erziehung:Pédagogie Européenne European Education, Basel: Herder
Schneider, F.(1949)Triebkräfte der Pädagogik Der Völker, Salzburg: Otto Muller Verlag,
Scherffler, Israel (1973), Reason and Teaching, Indianapolis: Bobbs-Merrill.
Schriewer, J. (1978) “Unterwegs zu einem neuen Selbstverständnis?” Z.f.Päd., 30.Jg. Nr.3, 323-342.
Schriewer, J. (1984) “Vergleichend- historische Bildungsforschung: Gesamttableau order Forschungsansatz” Z.f.Päd., 24.Jg. Nr.1, 117-139.
Schriewer, J.(1988). The method of comparison and the need for externalization:Methodological criteria and sociological concepts. In J. Schriewer and B. Holmes(eds.), Theories and Methods in Comparative Education., Frankfurt am M: Peter Land
Schweizer, T. (1978) Methodenprobleme des Interkulturellen Vergleichs, Köln, Wien: Böhlau Verlag. siehe S.7
Shils, E.(1981), Tradition, London:Farber & Farber.
Vallier, I(1973)Comparative Methods in Sociology: Essays on Trends and Applications, Berkeley and Los Angles, California: University of California Press.
Wallerstien, I.(1995)Unthinking Social Science: The Limits of Nineteenth Century Paradigms, Cambridge: Polity Press.
Watson, S.T.(1997), Tradition(s), Bloomington: Indiana University Press.
Weiller, H. N. (1983) “Legalization, Expertise, and Participation: Strategies of Compensatory Legitimation in Educational Policy” Comparative Education Review, 27, (2), 259- 277.
Welch, A. (1985) “The Functionalist Tradition and Comparative Education” Comparative Education, 21, (1), 5- 19.
Welch, A. (1991) “Knowledge and Legitimation in Comparative Education” Comparative Education Review, 35, (3), 508- 531.
Zimmer, J.(1990), “Tradition”, in H.J. Sandkühler(hrsg.)Europäische Enzyklopädie zu Philosophie und Wissenschaft, Hamburg: Felix Meiner Verlag. 602-609
sumber : Shen-Keng Yang, Ph.D.
Professor
Graduate Institute of Education
National Taiwan Normal University
162 Sec. 1, East Ho-ping Road
Taipei, Taiwan, 106, R.O.C.
Email:t04010@cc.ntnu.edu.tw
Fax:886-2-23410882
bag lll
V. Re-mooring of Tradition for the Uncertain Future
Accompanying the progress of science and technology, humankind has been, as Delors’ Report(J. Delors, 1996:43)maintains, brought into the age of universal communication. Human societies will have nothing in common with any model from the past because the interactive media technology available to anyone, anywhere in the world. It is thus possible for anyone to engage in dialogue, discussion and transmission of information unconstrained by distance or operating time. As the transmission of tradition becomes dependent on the media technology, tradition become gradually de-ritualized, de-personalized and de-localized(J. B. Thompson, 1996:97-99).
Uprooting of the tradition thus occurs, as the whole world is proceeding towards becoming a global village. The bond that tied traditions to specific locales of face-to-face interaction has been gradually weakened. With such a development of the world, there is a gradual decline in the traditional grounding of action and in the role of traditional authority.
However, dangers are also engendered by the globalization process. A very large underprivileged population remains excluded from the development of modern technology. Disparities between the developed and underdeveloped countries are getting worse with the rapid progress of technology.
Education reform strategies based on the research of western rationalistic science and technology have been imposed upon those non-industrialized countries. The uprooting of indigenous tradition becomes even worse in the underdeveloped countries receiving international aid. The blatant in equalities and gulf between the developed and the underdeveloped countries are the major dangers that entail of a setback to democracy and prosperity of all the humanity.
A comparative education worthy of its name, as A. Welch(1998:13)argues, must support the claims for social justice(in education)of disposed and marginal groups in society. Varieties of voices should, as V. Rust(1991:619)remarks, be listened to carefully with understanding and appreciation. In comparative education, the uprooted traditions should be refashioned in ways that enabled them to be re-embedded in a multiplicity of locales and re-connected to territorial units that exceed the limits of face-to face interaction. Through such a re-mooring of tradition, the research of comparative education make it easier to “make individuals aware of their roots so as to give them points of reference that enable them to determine their place in the world.”(J. Delors, 1996:49). Only through their clear self- identity, people can respect the “other”. It is thus imperative for comparative educationaists to engage themselves in formulating multiple re-embedded traditions to facilitate both the self-respect and the acceptance of spiritual and cultural difference. Facing the coming century, education comparativists should take the solemn responsibility to come to terms with varieties of values from different cultures and to take account of the future and prosperity common to all humanity into their serious consideration in their research activities.
Reference
Adorno, T.W.(1982), Negative Dialektik, 3. Aufl., Frankfurt am M.:Suhrkamp, (1. Auf., 1966).
Altbach, P. G. (1977) “Servitude of the Mind? Education, Dependency, and Neocolonialism” Teachers College Record, 79, (2), 187- 204.
Anweiler, O. (1967) “Konzeptionen der Vergleichenden Pädagogik” Zeitschrift für Pädagogik, Bd. 13.
Anweiler, O. (1977) “Comparative Education and the Internationalization of Education” Comparative Education, 13, (2), 109- 114.
Arnove, R. F. (1980,Feb.) “Comparative Education and World- Systems Analysis” Comparative Education Review, 48- 62.
Barber, Benjamin R. (1972) “Science, Salience and Comparative education: Some Reflections on Social Scientific Inquiry” Comparative Education Review, vol. 16.
Confucius, Analects.
Bereday, G. Z. F. (1964) Comparative Method in Education, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Carr, David(1998) “Traditionalism and Progressivism: Problematic of Educational Theory and a Perennial Policy”, Westminster Studies in Education, Vol.21, 47-55
Coulby, D. & Jones, C. (1996) “Post- modernity, Education and European Identities” Comparative Education, 32, (2), 171- 184.
Crossley, M.(1998) “The Place of Research & Evaluation in Educational Transformation: Cross-Cultural Issues and Research Capacity Building in Belize, Central America.” 10th World Congress of Comparative Education Societies(WCCES), Cape Town, South Africa, July 12-17
Delors, J. (1996) Learning: The Treasure Within, UNESCO.
Frankel, C.(1958) “The Philosophy of the Enlightenment” in V. Ferm(ed.) A History of Philosophical Systems, Ames, Iowa: Littlefeild, Adams & Co.
Fraser, S. (1963) Jullien’s Plan for Comparative Education 1816- 1817, Teachers College, Columbia University.
Gadamer, H. –G.(1986), Wahrheit und Methode, 5. Aufl., Tübingen:J.C.B. Mohr, (1. Aufl., 1960).
Geertz, Clifford (1983) ,Local Knowledge, New York: Basic Books.
Greene, M,(1994) “Epistemology and Educational Research: The Influence of Recent Approaches to Knowledge,”Review of Research in Education, 20:423-464
Habermas, J.(1970), “Summation and Response” in Continuum, vol. 8:123-133.
Halls,W. D. (1973) “Culture and Education: The Culturalist Approach to Comparative Studies”, in Edwards, R., Holmes. B. & Van de Graaff (eds.) Relevant Methods in Comparative Education, Hamburg :UNESCO Institute for Education: 119-136.
Hans, N. (1964) “Functionalism in Comparative Education” International Review of Education, 10, (1), 94- 105.
Hans, N. (1967) Comparative Education, London: R.K.P.
Harvey, D.(1990). The Condition of Postmodernity, Oxford:Blackwell.
Heelas, P., Lash, S. & Morris, P.(eds.)(1996)Detraditionalization, Oxford:Blackwell.
Heelas, P.(1996), “Introduction:Detraditionalization and its Rivals” in P. Heelas, S. Lash & P. Morris(eds.)Detraditionalization, Oxford:Blackwell.
Heyman, R. (1979) “Comparative Education from an Ethnomedothdogical Perspective”, Comparative Education, 15:241-249.
Hollinger, R. (1994) Postmodernism and the Social Sciences, Thousand Oaks: SAGE.
Holmes, B. (1981) Comparative Education: Some Considerations of Method, London: George Allen & Unwin Ltd.
Horkheimer, M. (1972) Critical Theory, New York: Continuum.
Hsün Tzu, The Works of Hsün Tzu.
Jones, Ph. E. (1969) Comparative Education: Purpose and Method, St. Lucia: University of Queensland Press.
Kandel, I.L.(1933)Studies in Comparative Education, George G. Harrap & Co. Ltd.
Kazamias, A. M. & Schwartz, K. (1977) “Intellectual and Ideological Perspectives in Comparative Education: An Interpretation” Comparative Education Review, 21, (2-3), 153- 176.
Kern, P. (1973) Einführung in die Vergleichende Pädagogik, Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft.
Mallinson, V.(1966) An Introduction to the Study of Comparative Education, London:Heinemann Education Books Ltd.
Masemann, V. (1976,Oct.) “Anthropological Approaches to Comparative Education” Comparative Education Review, 369- 380.
Masemann, V. (1978) “Critical Ethnography in the Study of Comparative Education” in Altbach, P. G. & Kelly, G. P. (eds.) New Approaches to Comparative Education, 11-25, Chicago: The University of Chicago Press.
Masemann, V. (1990) “Ways of Knowing: Implication for Comparative Education” Comparative Education Review, 34, (4), 465- 473.
Masemann, V. (1990a) “Educational Reform: Impact of Indigenous Forms of Knowledge” in Husen , Torsten & Postlethwaite, T. Neville (eds.) International Encyclopedia of Education, vol. 4, 2ed., 1848- 1857.
Noah, H. J. & Eckstein, M. A. (1969) Toward a Science of Comparative Education, London: Collier- Macmillan.
Noah, H. J. (1973) “Defining Comparative Education: Conceptions” in Edwards, R.,
Holmes. B. & Van de Graaff, J. (eds.) Relevant Methods in Comparative Education, Hamburg :UNESCO Institute for Education: 109-118.
Paulston, R. G. (1997) “Mapping Visual Culture in Comparative Education Discourse” Compare, 27, (2), 117-152.
Paulston, R. G. (ed.) (1996) Social Cartography, New York & London: Garland publishing, Inc.
Peters, M. (1995) Education and the Postmodern Condition, London: Bergin & Garvey.
Przeworski, A. & Teune, H. (1970) The Logic of Comparative Social Inquiry, Malabar Florida: Robert E. Krieger publishing Company.
Psacharopoulos, G. (1990) “Comparative Education: From Theory to Practice, or Are You A:\Neo.* or B:\*.st?” Comparative Education Review, 34, (3).
Renkema, W. J. (1996) “Knowledge of the Traveller: Case Study Research and the Problem of Generalisability” paper submitted to the Commission on Theories and Theory Shifts, 9th World Congress on Comparative Education, Sydney, Australia, July 1996.
Röhrs, H. (1995). Die Vergleichende und Internationale Erziehungswissenschft, Weinheim:Deutscher Studien Verlag
Rust, V. (1991) “Postmodernism and its Comparative Education Implications” Comparative Education Review, 35, (4), 610- 626.
Rust, V. (1996) “From Modern to Postmodern Ways of Seeing Social and Educational Change” in Paulston, R. G. (ed.) Social Cartography, New York & London: Garland Publishing, Inc.
Schneider, F.(1959)Europäische Erziehung:Pédagogie Européenne European Education, Basel: Herder
Schneider, F.(1949)Triebkräfte der Pädagogik Der Völker, Salzburg: Otto Muller Verlag,
Scherffler, Israel (1973), Reason and Teaching, Indianapolis: Bobbs-Merrill.
Schriewer, J. (1978) “Unterwegs zu einem neuen Selbstverständnis?” Z.f.Päd., 30.Jg. Nr.3, 323-342.
Schriewer, J. (1984) “Vergleichend- historische Bildungsforschung: Gesamttableau order Forschungsansatz” Z.f.Päd., 24.Jg. Nr.1, 117-139.
Schriewer, J.(1988). The method of comparison and the need for externalization:Methodological criteria and sociological concepts. In J. Schriewer and B. Holmes(eds.), Theories and Methods in Comparative Education., Frankfurt am M: Peter Land
Schweizer, T. (1978) Methodenprobleme des Interkulturellen Vergleichs, Köln, Wien: Böhlau Verlag. siehe S.7
Shils, E.(1981), Tradition, London:Farber & Farber.
Vallier, I(1973)Comparative Methods in Sociology: Essays on Trends and Applications, Berkeley and Los Angles, California: University of California Press.
Wallerstien, I.(1995)Unthinking Social Science: The Limits of Nineteenth Century Paradigms, Cambridge: Polity Press.
Watson, S.T.(1997), Tradition(s), Bloomington: Indiana University Press.
Weiller, H. N. (1983) “Legalization, Expertise, and Participation: Strategies of Compensatory Legitimation in Educational Policy” Comparative Education Review, 27, (2), 259- 277.
Welch, A. (1985) “The Functionalist Tradition and Comparative Education” Comparative Education, 21, (1), 5- 19.
Welch, A. (1991) “Knowledge and Legitimation in Comparative Education” Comparative Education Review, 35, (3), 508- 531.
Zimmer, J.(1990), “Tradition”, in H.J. Sandkühler(hrsg.)Europäische Enzyklopädie zu Philosophie und Wissenschaft, Hamburg: Felix Meiner Verlag. 602-609
sumber : Shen-Keng Yang, Ph.D.
Professor
Graduate Institute of Education
National Taiwan Normal University
162 Sec. 1, East Ho-ping Road
Taipei, Taiwan, 106, R.O.C.
Email:t04010@cc.ntnu.edu.tw
Fax:886-2-23410882
Accompanying the progress of science and technology, humankind has been, as Delors’ Report(J. Delors, 1996:43)maintains, brought into the age of universal communication. Human societies will have nothing in common with any model from the past because the interactive media technology available to anyone, anywhere in the world. It is thus possible for anyone to engage in dialogue, discussion and transmission of information unconstrained by distance or operating time. As the transmission of tradition becomes dependent on the media technology, tradition become gradually de-ritualized, de-personalized and de-localized(J. B. Thompson, 1996:97-99).
Uprooting of the tradition thus occurs, as the whole world is proceeding towards becoming a global village. The bond that tied traditions to specific locales of face-to-face interaction has been gradually weakened. With such a development of the world, there is a gradual decline in the traditional grounding of action and in the role of traditional authority.
However, dangers are also engendered by the globalization process. A very large underprivileged population remains excluded from the development of modern technology. Disparities between the developed and underdeveloped countries are getting worse with the rapid progress of technology.
Education reform strategies based on the research of western rationalistic science and technology have been imposed upon those non-industrialized countries. The uprooting of indigenous tradition becomes even worse in the underdeveloped countries receiving international aid. The blatant in equalities and gulf between the developed and the underdeveloped countries are the major dangers that entail of a setback to democracy and prosperity of all the humanity.
A comparative education worthy of its name, as A. Welch(1998:13)argues, must support the claims for social justice(in education)of disposed and marginal groups in society. Varieties of voices should, as V. Rust(1991:619)remarks, be listened to carefully with understanding and appreciation. In comparative education, the uprooted traditions should be refashioned in ways that enabled them to be re-embedded in a multiplicity of locales and re-connected to territorial units that exceed the limits of face-to face interaction. Through such a re-mooring of tradition, the research of comparative education make it easier to “make individuals aware of their roots so as to give them points of reference that enable them to determine their place in the world.”(J. Delors, 1996:49). Only through their clear self- identity, people can respect the “other”. It is thus imperative for comparative educationaists to engage themselves in formulating multiple re-embedded traditions to facilitate both the self-respect and the acceptance of spiritual and cultural difference. Facing the coming century, education comparativists should take the solemn responsibility to come to terms with varieties of values from different cultures and to take account of the future and prosperity common to all humanity into their serious consideration in their research activities.
Reference
Adorno, T.W.(1982), Negative Dialektik, 3. Aufl., Frankfurt am M.:Suhrkamp, (1. Auf., 1966).
Altbach, P. G. (1977) “Servitude of the Mind? Education, Dependency, and Neocolonialism” Teachers College Record, 79, (2), 187- 204.
Anweiler, O. (1967) “Konzeptionen der Vergleichenden Pädagogik” Zeitschrift für Pädagogik, Bd. 13.
Anweiler, O. (1977) “Comparative Education and the Internationalization of Education” Comparative Education, 13, (2), 109- 114.
Arnove, R. F. (1980,Feb.) “Comparative Education and World- Systems Analysis” Comparative Education Review, 48- 62.
Barber, Benjamin R. (1972) “Science, Salience and Comparative education: Some Reflections on Social Scientific Inquiry” Comparative Education Review, vol. 16.
Confucius, Analects.
Bereday, G. Z. F. (1964) Comparative Method in Education, New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Carr, David(1998) “Traditionalism and Progressivism: Problematic of Educational Theory and a Perennial Policy”, Westminster Studies in Education, Vol.21, 47-55
Coulby, D. & Jones, C. (1996) “Post- modernity, Education and European Identities” Comparative Education, 32, (2), 171- 184.
Crossley, M.(1998) “The Place of Research & Evaluation in Educational Transformation: Cross-Cultural Issues and Research Capacity Building in Belize, Central America.” 10th World Congress of Comparative Education Societies(WCCES), Cape Town, South Africa, July 12-17
Delors, J. (1996) Learning: The Treasure Within, UNESCO.
Frankel, C.(1958) “The Philosophy of the Enlightenment” in V. Ferm(ed.) A History of Philosophical Systems, Ames, Iowa: Littlefeild, Adams & Co.
Fraser, S. (1963) Jullien’s Plan for Comparative Education 1816- 1817, Teachers College, Columbia University.
Gadamer, H. –G.(1986), Wahrheit und Methode, 5. Aufl., Tübingen:J.C.B. Mohr, (1. Aufl., 1960).
Geertz, Clifford (1983) ,Local Knowledge, New York: Basic Books.
Greene, M,(1994) “Epistemology and Educational Research: The Influence of Recent Approaches to Knowledge,”Review of Research in Education, 20:423-464
Habermas, J.(1970), “Summation and Response” in Continuum, vol. 8:123-133.
Halls,W. D. (1973) “Culture and Education: The Culturalist Approach to Comparative Studies”, in Edwards, R., Holmes. B. & Van de Graaff (eds.) Relevant Methods in Comparative Education, Hamburg :UNESCO Institute for Education: 119-136.
Hans, N. (1964) “Functionalism in Comparative Education” International Review of Education, 10, (1), 94- 105.
Hans, N. (1967) Comparative Education, London: R.K.P.
Harvey, D.(1990). The Condition of Postmodernity, Oxford:Blackwell.
Heelas, P., Lash, S. & Morris, P.(eds.)(1996)Detraditionalization, Oxford:Blackwell.
Heelas, P.(1996), “Introduction:Detraditionalization and its Rivals” in P. Heelas, S. Lash & P. Morris(eds.)Detraditionalization, Oxford:Blackwell.
Heyman, R. (1979) “Comparative Education from an Ethnomedothdogical Perspective”, Comparative Education, 15:241-249.
Hollinger, R. (1994) Postmodernism and the Social Sciences, Thousand Oaks: SAGE.
Holmes, B. (1981) Comparative Education: Some Considerations of Method, London: George Allen & Unwin Ltd.
Horkheimer, M. (1972) Critical Theory, New York: Continuum.
Hsün Tzu, The Works of Hsün Tzu.
Jones, Ph. E. (1969) Comparative Education: Purpose and Method, St. Lucia: University of Queensland Press.
Kandel, I.L.(1933)Studies in Comparative Education, George G. Harrap & Co. Ltd.
Kazamias, A. M. & Schwartz, K. (1977) “Intellectual and Ideological Perspectives in Comparative Education: An Interpretation” Comparative Education Review, 21, (2-3), 153- 176.
Kern, P. (1973) Einführung in die Vergleichende Pädagogik, Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft.
Mallinson, V.(1966) An Introduction to the Study of Comparative Education, London:Heinemann Education Books Ltd.
Masemann, V. (1976,Oct.) “Anthropological Approaches to Comparative Education” Comparative Education Review, 369- 380.
Masemann, V. (1978) “Critical Ethnography in the Study of Comparative Education” in Altbach, P. G. & Kelly, G. P. (eds.) New Approaches to Comparative Education, 11-25, Chicago: The University of Chicago Press.
Masemann, V. (1990) “Ways of Knowing: Implication for Comparative Education” Comparative Education Review, 34, (4), 465- 473.
Masemann, V. (1990a) “Educational Reform: Impact of Indigenous Forms of Knowledge” in Husen , Torsten & Postlethwaite, T. Neville (eds.) International Encyclopedia of Education, vol. 4, 2ed., 1848- 1857.
Noah, H. J. & Eckstein, M. A. (1969) Toward a Science of Comparative Education, London: Collier- Macmillan.
Noah, H. J. (1973) “Defining Comparative Education: Conceptions” in Edwards, R.,
Holmes. B. & Van de Graaff, J. (eds.) Relevant Methods in Comparative Education, Hamburg :UNESCO Institute for Education: 109-118.
Paulston, R. G. (1997) “Mapping Visual Culture in Comparative Education Discourse” Compare, 27, (2), 117-152.
Paulston, R. G. (ed.) (1996) Social Cartography, New York & London: Garland publishing, Inc.
Peters, M. (1995) Education and the Postmodern Condition, London: Bergin & Garvey.
Przeworski, A. & Teune, H. (1970) The Logic of Comparative Social Inquiry, Malabar Florida: Robert E. Krieger publishing Company.
Psacharopoulos, G. (1990) “Comparative Education: From Theory to Practice, or Are You A:\Neo.* or B:\*.st?” Comparative Education Review, 34, (3).
Renkema, W. J. (1996) “Knowledge of the Traveller: Case Study Research and the Problem of Generalisability” paper submitted to the Commission on Theories and Theory Shifts, 9th World Congress on Comparative Education, Sydney, Australia, July 1996.
Röhrs, H. (1995). Die Vergleichende und Internationale Erziehungswissenschft, Weinheim:Deutscher Studien Verlag
Rust, V. (1991) “Postmodernism and its Comparative Education Implications” Comparative Education Review, 35, (4), 610- 626.
Rust, V. (1996) “From Modern to Postmodern Ways of Seeing Social and Educational Change” in Paulston, R. G. (ed.) Social Cartography, New York & London: Garland Publishing, Inc.
Schneider, F.(1959)Europäische Erziehung:Pédagogie Européenne European Education, Basel: Herder
Schneider, F.(1949)Triebkräfte der Pädagogik Der Völker, Salzburg: Otto Muller Verlag,
Scherffler, Israel (1973), Reason and Teaching, Indianapolis: Bobbs-Merrill.
Schriewer, J. (1978) “Unterwegs zu einem neuen Selbstverständnis?” Z.f.Päd., 30.Jg. Nr.3, 323-342.
Schriewer, J. (1984) “Vergleichend- historische Bildungsforschung: Gesamttableau order Forschungsansatz” Z.f.Päd., 24.Jg. Nr.1, 117-139.
Schriewer, J.(1988). The method of comparison and the need for externalization:Methodological criteria and sociological concepts. In J. Schriewer and B. Holmes(eds.), Theories and Methods in Comparative Education., Frankfurt am M: Peter Land
Schweizer, T. (1978) Methodenprobleme des Interkulturellen Vergleichs, Köln, Wien: Böhlau Verlag. siehe S.7
Shils, E.(1981), Tradition, London:Farber & Farber.
Vallier, I(1973)Comparative Methods in Sociology: Essays on Trends and Applications, Berkeley and Los Angles, California: University of California Press.
Wallerstien, I.(1995)Unthinking Social Science: The Limits of Nineteenth Century Paradigms, Cambridge: Polity Press.
Watson, S.T.(1997), Tradition(s), Bloomington: Indiana University Press.
Weiller, H. N. (1983) “Legalization, Expertise, and Participation: Strategies of Compensatory Legitimation in Educational Policy” Comparative Education Review, 27, (2), 259- 277.
Welch, A. (1985) “The Functionalist Tradition and Comparative Education” Comparative Education, 21, (1), 5- 19.
Welch, A. (1991) “Knowledge and Legitimation in Comparative Education” Comparative Education Review, 35, (3), 508- 531.
Zimmer, J.(1990), “Tradition”, in H.J. Sandkühler(hrsg.)Europäische Enzyklopädie zu Philosophie und Wissenschaft, Hamburg: Felix Meiner Verlag. 602-609
sumber : Shen-Keng Yang, Ph.D.
Professor
Graduate Institute of Education
National Taiwan Normal University
162 Sec. 1, East Ho-ping Road
Taipei, Taiwan, 106, R.O.C.
Email:t04010@cc.ntnu.edu.tw
Fax:886-2-23410882
bagian ll
III. Detradtitionlization in Positivism
Heir to the Enlightenment optimism, positivism and functionalism dominated in comparative education in 1950s and 1960s confidently claimed to be progressing and toward the development of law-like statement and generalizations to explain and predict educational trends. The culminating point of comparative education is, according to G.Z.F. Bereday(1964:25), to be concerned with the over-all impact of education upon society in a world perspective. The final stage of this discipline is thus concerned with the formulation of “laws” or “typologies” that permit an international understanding and a definition of the complex interrelation of the schools and people they serve.
Underscoring the formulation of scientific law in comparative education, B. Holmes(1965:373)claimed that “sociological laws…bear to man’s social environment the relationship that natural laws’ of science have to his physical or natural environment. For those who wish to study the mechanics of curriculum development, the importance of studying modern opinions on the main characteristic of scientific laws is thus obvious. Models of investigation for comparative education must be identical with, and derived from used in the studies of physical sciences. Drawing heavily upon Karl Popper’s hypothetical-deductive approach, Holmes’ explicitly deductivist problem solving framework shows itself evidently technicianism-oriented and decontexualized similarly in the explanation of natural science.
Equally technicianism-oriented, while more inductivistic, the comparative education model in H.J. Noah and M,A. Eckstein’s Toward a Science of Comparative Education (1969)deems quantification and hypothesis testing paramount important in construction of rigorous science of comparative education. When closely examined, based largely on the psychometric principles, Noah (1973:114)proposed further: “A comparative study is essentially on attempt as far as possible to replace the names of systems(countries)by names of concepts(variables)” Describing scientific approach of Noah and Eckstein as methodologism, B. R. Barber(1972:424-436)comments: “it presumes that reliability, precision and certitude can be attained by the dutiful application of specific methods and techniques-irrespective of the nature of the subject under study.”
Rigorous quantitative hypothesis testing is also emphasized by G. Psacharopoulos(1990)in his study of the relationship of comparative education and educational planning. Unsatisfied with the long nonquantitative accounts of the educational system of a single country, Psacharopoulos (1990:380)advocates that the goal of linking comparative education research with educational policy and planning can only be achieved through “conceptualization, methodological design, statistical sampling, rigorous data analysis, and hypothesis testing.”
The monolithic claims of scientific reason of the foregoing recapitulated comparative education positivism tend to, in T. W. Adorno’s(1982:33)phrase, “eliminate qualities and to transform them into measurable definition.” Increasingly, rationality itself since Decartes is equated more mathematio with the faculty of quantification. The pure, perfectly sublimated subjects themselves are called upon to exercise scientific authority in formulating educational “laws” or “typologies.” The notions of tradition and culture are dismissed from process of scientific study in comparative education. Detraditionalization thus involves the radical turn from tradition intrinsic to positivistic reflection in comparative education research.
IV. Rehabilitation or Critique of Tradition
Detradtitionalization, as P. Heelas(1996:4)argues, “cannot occur when people think of themselves as belonging to the whole.” For the decline of the belief in tradition entails that people have acquired the opportunity to stand back from, critically reflect upon, and lose their faith in what the traditional has to offer. They have to arrive at a position where they can have their own say.
Similar argumentation is also offered in H.-G. Gadamer’s(1956:287)Wahrheit und Methode. For Gadamer, there is no such unconditional antithesis between tradition and reason. Tradition needs to be affirmed, embraced, cultivated. It is, essentially, preservation, such as is active in all historical change. But preservation is an act of reason, though as inconspicuous one.
The preservation and cultivation of tradition, as act of reason, constitute educational process. To become rational is, according to Israel Scheffler(1973:2), to enter into traditions, to inherit them and to learn to participate in the never-ending work of testing, expanding, and altering them for the better. Fundamental to educational process is thus the active rational participation into traditions and the renewal of them. This process presupposes, however, that “ we stand always within tradition, and this is no objectifying process, i.e. we do not conceive of what tradition says as something other, something alien”(H.-G. Gadamer, 1986:287).
Since tradition are always open to human agency. The effect of a living tradition and the effect of historical study must constitute a unity, the analysis of which would, according to H.-G. Gadamer(ibid:288), reveal only a texture of reciprocal relationship. The distinguishing mark of human sciences is thus that its constitution entails an element of tradition active inside it. Being aware of the tradition-embeddedness of human science, many educational comparativists begin to challenge the 1950-1960 positivism and functionalism. In his “Comparative Education from an Ethnomethodological Perspective”, R. Heyman criticizes the supposed objectivity of various categories of measurement used previously in macrocosmic comparative educational research and the use of large-scale questionnaire surveys, since their use is decontextualized without talking any account of subjective engagement in the research. Attention should be drawn to the lived world wherein the educational process occurs.
Culturalist approach advocated by W. D. Halls(1973)tries to formulate educational typology through study of cultural typology. Referring to Bourdieu and Passeron’s definition of culture as “standardized patterns of activity and belief that are learned and manifested by people in their collective life”, Halls maintains that cultural and educational features are linked, and act reciprocally upon each other. Cultural traditions that embed the studied education systems should be carefully investigated for the purpose of setting up educational typologies in comparison.
All the afore mentioned efforts left the tradition unproblematized. The culture was still perceived, as A. Welch(1998:11)argues, in terms of the received view, (the official version of culture, or the culture of the nation state). Little attention was drawn to the possible distortion implicit in the education process and comparative education.
In educational experience, traditions are continued, according to Shaun Gallagher(1992:99), not as are produced past, but as transformed past, insofar as they are challenged and questioned, and insofar as they take on new meaning in our present interpretations. Critical reflection is thus essential to make transparent the possible bias of process of tradition and cultural domination. The purpose of critical reflection is to assist in the achievement of emancipation from the constraints of tradition and ideology. Critical reflection makes, as J. Habermas(1970:129)maintains, “our own individual or collective life-history transparent to ourselves at any given time, in that we, as our own products, learn to penetrate what first confront us as something objective from the outside.”
In attempt to understand impartially culture and symbolic life of the actors, V. Masemann(1986)proposes to integrate critical theory with ethnography in comparative education. Through the lens of critical theory, all forms of penetration of dominant ideology or imported innovative “ rationality” could be studied in a comparative sense. Furthermore in her presidential address to the 1990 Comparative and International Education Society annual meeting, V. Masemann(1991)argues that a more grounded, realistic methodology is needed in comparative education. Knowledge form other than western rationalistic tradition-bonded should be carefully taken into account in the comparative education.
Heir to the Enlightenment optimism, positivism and functionalism dominated in comparative education in 1950s and 1960s confidently claimed to be progressing and toward the development of law-like statement and generalizations to explain and predict educational trends. The culminating point of comparative education is, according to G.Z.F. Bereday(1964:25), to be concerned with the over-all impact of education upon society in a world perspective. The final stage of this discipline is thus concerned with the formulation of “laws” or “typologies” that permit an international understanding and a definition of the complex interrelation of the schools and people they serve.
Underscoring the formulation of scientific law in comparative education, B. Holmes(1965:373)claimed that “sociological laws…bear to man’s social environment the relationship that natural laws’ of science have to his physical or natural environment. For those who wish to study the mechanics of curriculum development, the importance of studying modern opinions on the main characteristic of scientific laws is thus obvious. Models of investigation for comparative education must be identical with, and derived from used in the studies of physical sciences. Drawing heavily upon Karl Popper’s hypothetical-deductive approach, Holmes’ explicitly deductivist problem solving framework shows itself evidently technicianism-oriented and decontexualized similarly in the explanation of natural science.
Equally technicianism-oriented, while more inductivistic, the comparative education model in H.J. Noah and M,A. Eckstein’s Toward a Science of Comparative Education (1969)deems quantification and hypothesis testing paramount important in construction of rigorous science of comparative education. When closely examined, based largely on the psychometric principles, Noah (1973:114)proposed further: “A comparative study is essentially on attempt as far as possible to replace the names of systems(countries)by names of concepts(variables)” Describing scientific approach of Noah and Eckstein as methodologism, B. R. Barber(1972:424-436)comments: “it presumes that reliability, precision and certitude can be attained by the dutiful application of specific methods and techniques-irrespective of the nature of the subject under study.”
Rigorous quantitative hypothesis testing is also emphasized by G. Psacharopoulos(1990)in his study of the relationship of comparative education and educational planning. Unsatisfied with the long nonquantitative accounts of the educational system of a single country, Psacharopoulos (1990:380)advocates that the goal of linking comparative education research with educational policy and planning can only be achieved through “conceptualization, methodological design, statistical sampling, rigorous data analysis, and hypothesis testing.”
The monolithic claims of scientific reason of the foregoing recapitulated comparative education positivism tend to, in T. W. Adorno’s(1982:33)phrase, “eliminate qualities and to transform them into measurable definition.” Increasingly, rationality itself since Decartes is equated more mathematio with the faculty of quantification. The pure, perfectly sublimated subjects themselves are called upon to exercise scientific authority in formulating educational “laws” or “typologies.” The notions of tradition and culture are dismissed from process of scientific study in comparative education. Detraditionalization thus involves the radical turn from tradition intrinsic to positivistic reflection in comparative education research.
IV. Rehabilitation or Critique of Tradition
Detradtitionalization, as P. Heelas(1996:4)argues, “cannot occur when people think of themselves as belonging to the whole.” For the decline of the belief in tradition entails that people have acquired the opportunity to stand back from, critically reflect upon, and lose their faith in what the traditional has to offer. They have to arrive at a position where they can have their own say.
Similar argumentation is also offered in H.-G. Gadamer’s(1956:287)Wahrheit und Methode. For Gadamer, there is no such unconditional antithesis between tradition and reason. Tradition needs to be affirmed, embraced, cultivated. It is, essentially, preservation, such as is active in all historical change. But preservation is an act of reason, though as inconspicuous one.
The preservation and cultivation of tradition, as act of reason, constitute educational process. To become rational is, according to Israel Scheffler(1973:2), to enter into traditions, to inherit them and to learn to participate in the never-ending work of testing, expanding, and altering them for the better. Fundamental to educational process is thus the active rational participation into traditions and the renewal of them. This process presupposes, however, that “ we stand always within tradition, and this is no objectifying process, i.e. we do not conceive of what tradition says as something other, something alien”(H.-G. Gadamer, 1986:287).
Since tradition are always open to human agency. The effect of a living tradition and the effect of historical study must constitute a unity, the analysis of which would, according to H.-G. Gadamer(ibid:288), reveal only a texture of reciprocal relationship. The distinguishing mark of human sciences is thus that its constitution entails an element of tradition active inside it. Being aware of the tradition-embeddedness of human science, many educational comparativists begin to challenge the 1950-1960 positivism and functionalism. In his “Comparative Education from an Ethnomethodological Perspective”, R. Heyman criticizes the supposed objectivity of various categories of measurement used previously in macrocosmic comparative educational research and the use of large-scale questionnaire surveys, since their use is decontextualized without talking any account of subjective engagement in the research. Attention should be drawn to the lived world wherein the educational process occurs.
Culturalist approach advocated by W. D. Halls(1973)tries to formulate educational typology through study of cultural typology. Referring to Bourdieu and Passeron’s definition of culture as “standardized patterns of activity and belief that are learned and manifested by people in their collective life”, Halls maintains that cultural and educational features are linked, and act reciprocally upon each other. Cultural traditions that embed the studied education systems should be carefully investigated for the purpose of setting up educational typologies in comparison.
All the afore mentioned efforts left the tradition unproblematized. The culture was still perceived, as A. Welch(1998:11)argues, in terms of the received view, (the official version of culture, or the culture of the nation state). Little attention was drawn to the possible distortion implicit in the education process and comparative education.
In educational experience, traditions are continued, according to Shaun Gallagher(1992:99), not as are produced past, but as transformed past, insofar as they are challenged and questioned, and insofar as they take on new meaning in our present interpretations. Critical reflection is thus essential to make transparent the possible bias of process of tradition and cultural domination. The purpose of critical reflection is to assist in the achievement of emancipation from the constraints of tradition and ideology. Critical reflection makes, as J. Habermas(1970:129)maintains, “our own individual or collective life-history transparent to ourselves at any given time, in that we, as our own products, learn to penetrate what first confront us as something objective from the outside.”
In attempt to understand impartially culture and symbolic life of the actors, V. Masemann(1986)proposes to integrate critical theory with ethnography in comparative education. Through the lens of critical theory, all forms of penetration of dominant ideology or imported innovative “ rationality” could be studied in a comparative sense. Furthermore in her presidential address to the 1990 Comparative and International Education Society annual meeting, V. Masemann(1991)argues that a more grounded, realistic methodology is needed in comparative education. Knowledge form other than western rationalistic tradition-bonded should be carefully taken into account in the comparative education.
Peranan Pendidikan Perbandingan dalam Menghadapi Era Baru
bag l
I. Introduction
In response to the query whether the state of things ten generations hence could be foretold, Confucius said: “Yin succeeded to the Hsia rites, and it can be known what changes were made. Chou succeeded to Yin, and it can be known what changes were made. If there are any successors to the Chou, even one hundred generations hence, it is possible by analogy to know their characteristics.” (Confucius, Analects, II-23). It seems to Confucius that the main task of historical comparison is to deduce the underlying principle of social and cultural development. The essence of this underlying principle has never ceased to exist. When the principle properly understood, one can know how to respond to the historical changes, as Hsün Tzu, (Ca. 325-238 B.C.)would say.(Hsün Tzu, The Works of Hsün Tzu, Chap.I)That what is transmitted or handed down from the past is called tradition(E. Shils, 1981:12). It determines, according to H.-G. Gadamer (1986:265), our institutions and attitudes to a great extent. Thus research in human sciences cannot regard itself as detached from tradition(H.-G. Gadamer, 1986:287).
However, the hitherto dominant philosophy of the modern age wants, as T.W. Adorno(1982:63)maintains, to eliminate the traditional moments of thinking. The historical dimensions of thought would be stripped off and the fictious, one-dimensional Now became the cognitive ground of all inner meaning. What is historic in thought, instead of heeding the timelessness of an objectified logic, was equated with superstition. Since the Enlightenment endeavors have been made to overcome the superstition and to develop objective science, universal morality and law and autonomous art according to their inner logic. One of these efforts was Marc-Antoine Jullien’s(1816-1817, trans. By Fraser, 1963)attempt to establish comparative education as positive science. Succeeding the Enlightenment legacy many modern positivists in comparative education have been trying to formulate general laws to explain educational operation independent of national and cultural tradition.
Our age has, as P. Heelas(1996:1)puts it, moved beyond tradition and entered a post-traditional or post-modern period. Such is the momentum of change on the threshold of the new millenium that the increasing rationality since the Enlightenment is conductive to the promotion of the order and control and the achievement of enhanced interconnectedness of the world in a unified system. Modern science and technology, specifically cyber-technology, have brought humankind to an institutionalized universal quasi world polity, wherein interdependence and globalization are the main forces in forming individual and collective identities. Rapid changes witnessed in human societies as Delors’ Report(1996:45)indicated, operate at two levels: there is growing internationalization but at the same time a search in many quarters for specific roots. “Education should therefore seek to make individuals aware of their roots so as to give them points of reference that enable them to determine their place in the world, but it should also teach them respect for other cultures(ibid:49). To help actualizing that end, comparative education should take tradition into serious considerations in its scientific study on the internationally valid law of educational development.
II. “Tradition” in the Earlier Comparative Education
As Edward Shils(1981:12)notes, tradition in its most general sense means a traditum, -that is, anything which is transmitted handed down from the past. That what is transmitted from generation to generation constitutes, according to J. Zimmer(1990:609), the mediation of the origin and present time and stands in such a way for the contituity of cultural preservation. The tradition with its canonical authority from the cultural origin makes the social solidarity possible. Thus tradition is, as H. –G. Gadamer(1986:287)maintains, always part of us, “a model or exemplar, a recognition of ourselves which our later historical judgement would hardly see as a kind of knowledge, but as the simplest preservation of tradition.”
Traditional authority and superstitions were severely criticized by the Enlightenment philosophers in the 18th century. New ideas and new outlook on life were introduced for the emancipation of humanity. To that end, scientific study based on reason and experiment was emphasized in contrast to the obedience to the traditional order. The Enlightenment is, according to C. Frankel(1958:266), mainly responsible for the contemporary ideal of an objective, co-operative social science. Nurtured in the liberal and scientific spiritual climate of the Enlightenment, Marc-Antoine Jullien de Paris(1775-1848), generally considered Father of Comparative Education, attempted to develop the idea of comparative education as an almost positive science.(M.-A. Jullien de Paris, 1816-1817, S. Fraser, trans. 1963:41-42). By the application of comparative method, a method thought particularly by the Enlightenment philosophers as means to accelerate progress, Jullien intended to establish the positive principles of educational development with a view to throwing more light on the possible transference from one system to another with certain modifications. Once the principles of educational development are well-established, transposition of education from one country to another for purpose of improvement is possible. As a matter of fact, many educational comparativists in the 19th century, e.g. V. Cousin, Horace Mann, Matthew Arnold, had the common conviction that the transplantation and domestication of educational system with little modification was the suitable way to improve one’s own education, for general principles of education might be common to all nations and general laws of education must be made applicable to different countries(M. Noah & M. A. Eckstein, 1969:14-23). Canonical authority of tradition and cultural continuity were relatively neglected.
Michael Sadler was the first educational comparativist who firmly repudiated the idea of direct cultural and institutional borrowing from other countries. In his famous Guildford Lecture, Sadler uttered his famous dictum that the “ things outside the schools matters even more the things inside the schools, and govern and interpret the things inside”(cit. in P.E. Jones, 1969:50).Sadler’s major theoretical contribution to comparative education is, as H. J. Noah and M. A. Eckstein(1969:46)observe, “the axiom that schools of a society would be studied in the context of society.” The research in comparative education can not accordingly be detached from the tradition where the studied education system is embedded in .
Under the influence of Sadler, most of the comparative education works in the first half of 20th century were, as G.Z.F. Bereday(1964:25)observes, “concerned with social causes behind pedagogical scene.” Referring to Sadler’s early rationale for studying comparative education, N. Hans(1949)sought to identify the traditions that underlay national educational system. I. L. Kandel(1933)took national character and nationalism as key components in comparative education analysis. F.Schneider(1947:144-163)intended to analyze the underlying culture types of the studied education systems. They represented, as Noah and Eckstein(1969:56-57)maintain, forces and factors approach of the variations in education from country to country. Moreover, they proceeded, as Hans(1949:5)would say, “to discover the underlying principles which govern the development of all national systems of education.” They tried to describe and scrutinize the embedded traditions of the education system concerned. However, they left the traditions unchallenged. As A. R. Welch(1998:3)comments, the elucidated traditions in the comparative education works that time, though pretended to be universal, represented, however, the tradition of the élite. Insufficient attention was usually drawn to the traditions of the underprevididged, e.g. of the working class or of racial and ethnic minorities.
I. Introduction
In response to the query whether the state of things ten generations hence could be foretold, Confucius said: “Yin succeeded to the Hsia rites, and it can be known what changes were made. Chou succeeded to Yin, and it can be known what changes were made. If there are any successors to the Chou, even one hundred generations hence, it is possible by analogy to know their characteristics.” (Confucius, Analects, II-23). It seems to Confucius that the main task of historical comparison is to deduce the underlying principle of social and cultural development. The essence of this underlying principle has never ceased to exist. When the principle properly understood, one can know how to respond to the historical changes, as Hsün Tzu, (Ca. 325-238 B.C.)would say.(Hsün Tzu, The Works of Hsün Tzu, Chap.I)That what is transmitted or handed down from the past is called tradition(E. Shils, 1981:12). It determines, according to H.-G. Gadamer (1986:265), our institutions and attitudes to a great extent. Thus research in human sciences cannot regard itself as detached from tradition(H.-G. Gadamer, 1986:287).
However, the hitherto dominant philosophy of the modern age wants, as T.W. Adorno(1982:63)maintains, to eliminate the traditional moments of thinking. The historical dimensions of thought would be stripped off and the fictious, one-dimensional Now became the cognitive ground of all inner meaning. What is historic in thought, instead of heeding the timelessness of an objectified logic, was equated with superstition. Since the Enlightenment endeavors have been made to overcome the superstition and to develop objective science, universal morality and law and autonomous art according to their inner logic. One of these efforts was Marc-Antoine Jullien’s(1816-1817, trans. By Fraser, 1963)attempt to establish comparative education as positive science. Succeeding the Enlightenment legacy many modern positivists in comparative education have been trying to formulate general laws to explain educational operation independent of national and cultural tradition.
Our age has, as P. Heelas(1996:1)puts it, moved beyond tradition and entered a post-traditional or post-modern period. Such is the momentum of change on the threshold of the new millenium that the increasing rationality since the Enlightenment is conductive to the promotion of the order and control and the achievement of enhanced interconnectedness of the world in a unified system. Modern science and technology, specifically cyber-technology, have brought humankind to an institutionalized universal quasi world polity, wherein interdependence and globalization are the main forces in forming individual and collective identities. Rapid changes witnessed in human societies as Delors’ Report(1996:45)indicated, operate at two levels: there is growing internationalization but at the same time a search in many quarters for specific roots. “Education should therefore seek to make individuals aware of their roots so as to give them points of reference that enable them to determine their place in the world, but it should also teach them respect for other cultures(ibid:49). To help actualizing that end, comparative education should take tradition into serious considerations in its scientific study on the internationally valid law of educational development.
II. “Tradition” in the Earlier Comparative Education
As Edward Shils(1981:12)notes, tradition in its most general sense means a traditum, -that is, anything which is transmitted handed down from the past. That what is transmitted from generation to generation constitutes, according to J. Zimmer(1990:609), the mediation of the origin and present time and stands in such a way for the contituity of cultural preservation. The tradition with its canonical authority from the cultural origin makes the social solidarity possible. Thus tradition is, as H. –G. Gadamer(1986:287)maintains, always part of us, “a model or exemplar, a recognition of ourselves which our later historical judgement would hardly see as a kind of knowledge, but as the simplest preservation of tradition.”
Traditional authority and superstitions were severely criticized by the Enlightenment philosophers in the 18th century. New ideas and new outlook on life were introduced for the emancipation of humanity. To that end, scientific study based on reason and experiment was emphasized in contrast to the obedience to the traditional order. The Enlightenment is, according to C. Frankel(1958:266), mainly responsible for the contemporary ideal of an objective, co-operative social science. Nurtured in the liberal and scientific spiritual climate of the Enlightenment, Marc-Antoine Jullien de Paris(1775-1848), generally considered Father of Comparative Education, attempted to develop the idea of comparative education as an almost positive science.(M.-A. Jullien de Paris, 1816-1817, S. Fraser, trans. 1963:41-42). By the application of comparative method, a method thought particularly by the Enlightenment philosophers as means to accelerate progress, Jullien intended to establish the positive principles of educational development with a view to throwing more light on the possible transference from one system to another with certain modifications. Once the principles of educational development are well-established, transposition of education from one country to another for purpose of improvement is possible. As a matter of fact, many educational comparativists in the 19th century, e.g. V. Cousin, Horace Mann, Matthew Arnold, had the common conviction that the transplantation and domestication of educational system with little modification was the suitable way to improve one’s own education, for general principles of education might be common to all nations and general laws of education must be made applicable to different countries(M. Noah & M. A. Eckstein, 1969:14-23). Canonical authority of tradition and cultural continuity were relatively neglected.
Michael Sadler was the first educational comparativist who firmly repudiated the idea of direct cultural and institutional borrowing from other countries. In his famous Guildford Lecture, Sadler uttered his famous dictum that the “ things outside the schools matters even more the things inside the schools, and govern and interpret the things inside”(cit. in P.E. Jones, 1969:50).Sadler’s major theoretical contribution to comparative education is, as H. J. Noah and M. A. Eckstein(1969:46)observe, “the axiom that schools of a society would be studied in the context of society.” The research in comparative education can not accordingly be detached from the tradition where the studied education system is embedded in .
Under the influence of Sadler, most of the comparative education works in the first half of 20th century were, as G.Z.F. Bereday(1964:25)observes, “concerned with social causes behind pedagogical scene.” Referring to Sadler’s early rationale for studying comparative education, N. Hans(1949)sought to identify the traditions that underlay national educational system. I. L. Kandel(1933)took national character and nationalism as key components in comparative education analysis. F.Schneider(1947:144-163)intended to analyze the underlying culture types of the studied education systems. They represented, as Noah and Eckstein(1969:56-57)maintain, forces and factors approach of the variations in education from country to country. Moreover, they proceeded, as Hans(1949:5)would say, “to discover the underlying principles which govern the development of all national systems of education.” They tried to describe and scrutinize the embedded traditions of the education system concerned. However, they left the traditions unchallenged. As A. R. Welch(1998:3)comments, the elucidated traditions in the comparative education works that time, though pretended to be universal, represented, however, the tradition of the élite. Insufficient attention was usually drawn to the traditions of the underprevididged, e.g. of the working class or of racial and ethnic minorities.
Sabtu, 13 November 2010
Selasa, 09 November 2010
Al-Qur’an Berbicara Tentang UFO
Di dunia masa kini, ada dua macam kendaraan yang pada umumnya dipakai manusia dalam sejarah hidupnya, yaitu yang memakai tenaga tolak untuk maju contohnya hewan, mobil, kapal laut atau kapal udara. Yang lainnya memakai gaya centrifugal (melanting [dari titik tolak] ) seperti pesawat UFO yang populer disebut “piring terbang”. Kedua macam kendaraan ini oleh Al-Quran surat An-Nahl ayat 8 disebutkan sebagai benda terapung dan ternak. Yang dimaksud dengan ternak yaitu kuda, unta, keledai, dls. Dan benda terapung maksudnya yaitu segala macam kendaraan yang diwujudkan oleh teknologi manusia termasuk di dalamnya “piring terbang”.
Khusus mengenai “piring terbang”, oleh surat An-Nahl ayat 8 adalah kendaraan yang tidak diketahui manusia dalam waktu ribuan tahun dan oleh surat Az-Zukhruf ayat 12 menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan semua yang berpasangan-pasangan. Maksudnya, ada bagian positif dan bagian negatif dari “piring terbang” itu (positif dan negatif=pasangan). Karena surat Az-Zukhruf ayat 12 ini membicarakan tentang alat transportasi maka tentunya istilah “berpasangan-pasangan” itu adalah kendaraan. Dan kendaraan itu tak lain mungkin adalah “piring terbang” yang memiliki bagian positif dan bagian negatifnya.
Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal* dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
(Surat An-Nahl ayat 8 )
* Bagal adalah peranakan kuda dengan keledai.
Ayat ini menerangkan soal kendaraan yang biasa dan bisa dipakai oleh manusia. Manusia biasa menggunakan kendaraan ternak. Kuda dan keledai merupakan tenaga pembawa dan penarik maka keadaannya sama dengan mobil dan kapal terbang selaku pembawa dan penarik. Penggalan kata “bisa” pada paragraf ini, merupakan sesuatu yang belum diketahui manusia tentang kendaraan.
Baik kuda dan keledai maupun mobil dan kapal terbang sama-sama menggunakan tenaga tolak ke belakang untuk maju ke depan, pada dasarnya kedua macam kendaraan itu memiliki prinsip yang sama. Lalu kendaraan apa yang belum diketahui manusia seperti yang disebutkan pada surat An-Nahl ayat 8 itu?
Hal ini mungkin dijawab sendiri oleh Al-Quran :
Dan yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.
Supaya kamu duduk di atas punggungnya, kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan agar kamu mengucapkan: “Maha Suci Tuhan yang Telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya”.
Dan Sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.
(Surat Az-Zukhruf ayat 12 – 14)
Kalau anda membaca susunan ayat Al-Quran ini sepintas mungkin anda tidak merasa mendapatkan sesuatu yang aneh dan baru. Akan tetapi, patut diketahui bahwa tidak ada satu pun ayat suci Al-Quran yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya yang percuma atau tidak memiliki makna. Kalau anda teliti dan merenungkannya dalam-dalam, semua ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran itu selalu memiliki unsur-unsur keterkaitan antar ayatnya, baik kaitan ayat yang ada di dalam surat itu sendiri atau kaitan ayat pada surat-surat Al-Quran yang lain. Sederhananya, keterkaitan satu ayat dengan ayat yang lainnya seperti dunia internet yang sedang anda jelajahi ini. Suatu halaman web yang berisi informasi selalu memiliki kaitan atau link, baik link yang menuju ke halaman web itu sendiri ataupun link yang menuju ke halaman web yang lainnya.
Nah, semua unsur-unsur yang saling berkaitan itu tak jarang selalu menghasilkan pemahaman ilmiah yang dapat diterima oleh akal sehat. Dengan begitu, memahami susunan ayat-ayat di atas ini maka “benda terapung” ini adalah suatu kendaraan yang belum diketahui oleh manusia. Seperti yang disebutkan pada surat An-Nahl ayat 8.
Susunan ayat-ayat diatas nantilah kita analisis belakangan.
Sekarang kita masuki persoalan yang nantinya jadi bahan dalam penganalisaan itu.
Al-Quran sering sekali menjelaskan persoalan rotasi dan orbit benda-benda angkasa. Hal itu merupakan gambaran bagi setiap orang agar selalu memperhatikan kenapa Bumi ini berputar pada porosnya, kenapa planet ini bersama planet-planet yang lainnya beredar mengelilingi matahari yang juga berputar di porosnya. Semua planet itu tidak bertiang, tidak bertali dan juga tidak memiliki tempat bergantung. Semuanya bergerak dalam keadaan bebas terapung. Hanya Rawasialah yang memutar planet itu di sumbunya sambil berputar-putar mengelilingi matahari. Sungguh Rawasia itu adalah wujud penting dari sesuatu yang harus diteliti lebih dalam lagi oleh para astronom. Dengan mengetahui keadaan Rawasia setiap planet, maka tabir misteri alam semesta yang tak terbatas itu akan terkuak.
Bumi yang beratnya sekitar 700 triliun ton tidak jatuh pada matahari karena gaya lantingnya (centrifugal) dalam keadaan mengorbit, sebaliknya Bumi juga tidak terlanting jauh keluar dari garis orbitnya sebab ditahan oleh gaya gravitasi pada matahari sebagai pusat orbit. Kekuatan gaya lanting Bumi dan gaya gravitasi adalah sama besarnya, orang ahli menyebutnya dengan Equilibrium. Oleh karena itulah sampai hari ini Bumi yang kita diami terus menerus berputar dan beredar mengelilingi matahari.
Andaikan kalau Bumi hanya memakai gaya lantingnya saja tanpa menggunakan gaya gravitasi. Maka, bisa dipastikan Bumi akan melayang jauh meninggalkan matahari. Dengan begitu, tenaga centrifugal seperti yang dimiliki Bumi dapat diadopsi oleh “piring terbang” untuk terbang jauh jika tenaga gravitasinya dihilangkan.
Nah, akhirnya kita pun sampai pada pertanyaan ini, bagaimana cara menghilangkan gaya gravitasi itu?
Salah satu caranya adalah dengan memutar bagian pesawat secara horisontal. Apabila putaran itu semakin cepat maka semakin besar pula gaya centrifugal yang dihasilkan dan semakin kecillah gaya gravitasinya, sampai akhirnya gaya gravitasi ini akan hilang sama sekali dan mulailah pesawat dapat terangkat dengan mudah tanpa terpengaruh oleh gravitasi Bumi.
Mungkin anda akan bertanya, bagaimana bisa pesawat dapat berputar terus menerus tanpa tumpuan? Dari situlah kita namakan pesawat ini dengan Shuttling System, yaitu pesawat berbentuk piring dempet yang ditengah-tengahnya adalah tempat penumpang.
Anda bisa simak gambar ilustrasi struktur “piring terbang” dibawah ini.
A. Bagian Atas, kita namakan Positif, berputar ke kanan, semakin ke pinggir massanya semakin tebal dan berat.
B. Bagian Bawah, kita namakan Negatif, berputar ke kiri, semakin ke pinggir massanya semakin tebal dan berat.
C. Bagian Tengah, kita namakan Netral, disinilah tempat awak pesawat serta perlengkapan dan mesin yang memutar Positif dan Negatif sekaligus dalam satu kendali.
Praktis pesawat pun akan terangkat dibantu dengan ledakan seperlunya untuk tenaga pembelok dan untuk penambahan kecepatan sewaktu berada di angkasa tanpa bobot.
Bagaimanapun nantinya wujud konstruksi pesawat itu, kita serahkan saja kepada para profesor dan kita yakin nantinya di masa depan akan terwujud sebagai pesawat kebal peluru dan tak memerlukan landasan tertentu karena dia dapat berdiri statis di angkasa dan yang lebih hebat lagi adalah bahwa pesawat itu tentunya water-proof alias anti-air yang kalau pada saat diperlukan dia dapat langsung masuk ke dalam lautan dan keluar lagi sesuai kehendaknya.
Kita boleh mengatakan bahwa kendaraan manusia kini sudah kolot, kuno atau usang karena sistem yang dipakainya sudah berlaku selama ribuan tahun, yang semuanya itu memakai prinsip menolak ke belakang untuk maju ke depan dan menolak ke bawah untuk naik ke atas. Setelah manusia sanggup memakai gaya centrifugal berbentuk “piring terbang” barulah manusia akan memulai kendaraan modern.
Jadi, masa terwujudnya “piring terbang” adalah batas antara ke-kuno-an dan kemodernan peradaban manusia. Batas ini disebut oleh Al-Quran dalam surat Az-Zukhruf ayat 13 diatas dengan bahasa kiasan, bahwa profesor yang mulai menggunakan “piring terbang” mengatakan; Waktu itu manusia baru memulai hidup dalam generasi lain yaitu generasi pesawat itu tidaklah segenerasi dengan modern.
Dalam peradaban modern dimana manusia umumnya memakai piring terbang sebagai kendaraan, akan banyak sekali perubahan dalam kehidupan baik di bidang jasmaniah maupun di bidang rohaniah. Di bidang jasmaniah akan berlaku perubahan dalam kehidupan seperti, orang-orang tak lagi membutuhkan jalan raya dan rel kereta api yang pembangunannya sangat banyak menghabiskan tenaga, tempat, benda dan waktu. Orang-orang akan memanfaatkan daerah itu untuk tempat tinggal atau untuk kebutuhan lainnya. Orang-orang akan memindahkan perhatiannya terhadap lautan sebagai sumber makanan karena lautan itu memang sangat luas yang mengandung berbagai bahan untuk keperluan hidup, dan daratan sebagian besar akan dijadikan orang untuk tempat bermukim. Orang-orang nantinya akan melakukan penerbangan antar planet secara lazim dimana planet Jupiter, Venus, Saturnus dan planet yang lebih besar lainnya akan menjadi sasaran dalam perekonomian dan politik.
Di bidang rohaniah akan berlaku perubahan dalam kehidupan seperti, orang-orang akan menyadari bahwa alam semesta ini memang diciptakan untuk kebutuhan hidup manusia oleh Allah Yang Maha Esa. Orang-orang akan menyadari bahwa manusia di planet Bumi dalam tata surya ini berasal dari satu diri, satu spesies, atau serumpun. Bukan dari hasil evolusi monyet, seperti teori Darwin yang dikalahkan logika. Orang-orang akan menyadari bahwa agama yang diturunkan oleh Allah SWT itu hanyalah agama Tauhid yang sama sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Imran ayat 83. Orang-orang akan menyadari bahwa agama Tauhid yang diturunkan Sang Khaliq itu mengandung hukum yang sesuai dengan kejadian dan naluri yang terdapat di alam semesta raya dan pada diri manusia sendiri, dan bahwa menolak agama itu berarti merugikan diri sendiri.
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
(Surat Al-Fushshilat ayat 53)
Maka apakah mereka mencari agama yang lain selain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di planet-planet dan di bumi ini, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka akan kembali.
(Surat Al-Imran ayat 83)
sumber .http://awan965.wordpress.com/2008/10/05/al-quran-menjelaskan-tentang-ufo/
Khusus mengenai “piring terbang”, oleh surat An-Nahl ayat 8 adalah kendaraan yang tidak diketahui manusia dalam waktu ribuan tahun dan oleh surat Az-Zukhruf ayat 12 menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan semua yang berpasangan-pasangan. Maksudnya, ada bagian positif dan bagian negatif dari “piring terbang” itu (positif dan negatif=pasangan). Karena surat Az-Zukhruf ayat 12 ini membicarakan tentang alat transportasi maka tentunya istilah “berpasangan-pasangan” itu adalah kendaraan. Dan kendaraan itu tak lain mungkin adalah “piring terbang” yang memiliki bagian positif dan bagian negatifnya.
Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal* dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
(Surat An-Nahl ayat 8 )
* Bagal adalah peranakan kuda dengan keledai.
Ayat ini menerangkan soal kendaraan yang biasa dan bisa dipakai oleh manusia. Manusia biasa menggunakan kendaraan ternak. Kuda dan keledai merupakan tenaga pembawa dan penarik maka keadaannya sama dengan mobil dan kapal terbang selaku pembawa dan penarik. Penggalan kata “bisa” pada paragraf ini, merupakan sesuatu yang belum diketahui manusia tentang kendaraan.
Baik kuda dan keledai maupun mobil dan kapal terbang sama-sama menggunakan tenaga tolak ke belakang untuk maju ke depan, pada dasarnya kedua macam kendaraan itu memiliki prinsip yang sama. Lalu kendaraan apa yang belum diketahui manusia seperti yang disebutkan pada surat An-Nahl ayat 8 itu?
Hal ini mungkin dijawab sendiri oleh Al-Quran :
Dan yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.
Supaya kamu duduk di atas punggungnya, kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan agar kamu mengucapkan: “Maha Suci Tuhan yang Telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya”.
Dan Sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.
(Surat Az-Zukhruf ayat 12 – 14)
Kalau anda membaca susunan ayat Al-Quran ini sepintas mungkin anda tidak merasa mendapatkan sesuatu yang aneh dan baru. Akan tetapi, patut diketahui bahwa tidak ada satu pun ayat suci Al-Quran yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya yang percuma atau tidak memiliki makna. Kalau anda teliti dan merenungkannya dalam-dalam, semua ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Quran itu selalu memiliki unsur-unsur keterkaitan antar ayatnya, baik kaitan ayat yang ada di dalam surat itu sendiri atau kaitan ayat pada surat-surat Al-Quran yang lain. Sederhananya, keterkaitan satu ayat dengan ayat yang lainnya seperti dunia internet yang sedang anda jelajahi ini. Suatu halaman web yang berisi informasi selalu memiliki kaitan atau link, baik link yang menuju ke halaman web itu sendiri ataupun link yang menuju ke halaman web yang lainnya.
Nah, semua unsur-unsur yang saling berkaitan itu tak jarang selalu menghasilkan pemahaman ilmiah yang dapat diterima oleh akal sehat. Dengan begitu, memahami susunan ayat-ayat di atas ini maka “benda terapung” ini adalah suatu kendaraan yang belum diketahui oleh manusia. Seperti yang disebutkan pada surat An-Nahl ayat 8.
Susunan ayat-ayat diatas nantilah kita analisis belakangan.
Sekarang kita masuki persoalan yang nantinya jadi bahan dalam penganalisaan itu.
Al-Quran sering sekali menjelaskan persoalan rotasi dan orbit benda-benda angkasa. Hal itu merupakan gambaran bagi setiap orang agar selalu memperhatikan kenapa Bumi ini berputar pada porosnya, kenapa planet ini bersama planet-planet yang lainnya beredar mengelilingi matahari yang juga berputar di porosnya. Semua planet itu tidak bertiang, tidak bertali dan juga tidak memiliki tempat bergantung. Semuanya bergerak dalam keadaan bebas terapung. Hanya Rawasialah yang memutar planet itu di sumbunya sambil berputar-putar mengelilingi matahari. Sungguh Rawasia itu adalah wujud penting dari sesuatu yang harus diteliti lebih dalam lagi oleh para astronom. Dengan mengetahui keadaan Rawasia setiap planet, maka tabir misteri alam semesta yang tak terbatas itu akan terkuak.
Bumi yang beratnya sekitar 700 triliun ton tidak jatuh pada matahari karena gaya lantingnya (centrifugal) dalam keadaan mengorbit, sebaliknya Bumi juga tidak terlanting jauh keluar dari garis orbitnya sebab ditahan oleh gaya gravitasi pada matahari sebagai pusat orbit. Kekuatan gaya lanting Bumi dan gaya gravitasi adalah sama besarnya, orang ahli menyebutnya dengan Equilibrium. Oleh karena itulah sampai hari ini Bumi yang kita diami terus menerus berputar dan beredar mengelilingi matahari.
Andaikan kalau Bumi hanya memakai gaya lantingnya saja tanpa menggunakan gaya gravitasi. Maka, bisa dipastikan Bumi akan melayang jauh meninggalkan matahari. Dengan begitu, tenaga centrifugal seperti yang dimiliki Bumi dapat diadopsi oleh “piring terbang” untuk terbang jauh jika tenaga gravitasinya dihilangkan.
Nah, akhirnya kita pun sampai pada pertanyaan ini, bagaimana cara menghilangkan gaya gravitasi itu?
Salah satu caranya adalah dengan memutar bagian pesawat secara horisontal. Apabila putaran itu semakin cepat maka semakin besar pula gaya centrifugal yang dihasilkan dan semakin kecillah gaya gravitasinya, sampai akhirnya gaya gravitasi ini akan hilang sama sekali dan mulailah pesawat dapat terangkat dengan mudah tanpa terpengaruh oleh gravitasi Bumi.
Mungkin anda akan bertanya, bagaimana bisa pesawat dapat berputar terus menerus tanpa tumpuan? Dari situlah kita namakan pesawat ini dengan Shuttling System, yaitu pesawat berbentuk piring dempet yang ditengah-tengahnya adalah tempat penumpang.
Anda bisa simak gambar ilustrasi struktur “piring terbang” dibawah ini.
A. Bagian Atas, kita namakan Positif, berputar ke kanan, semakin ke pinggir massanya semakin tebal dan berat.
B. Bagian Bawah, kita namakan Negatif, berputar ke kiri, semakin ke pinggir massanya semakin tebal dan berat.
C. Bagian Tengah, kita namakan Netral, disinilah tempat awak pesawat serta perlengkapan dan mesin yang memutar Positif dan Negatif sekaligus dalam satu kendali.
Praktis pesawat pun akan terangkat dibantu dengan ledakan seperlunya untuk tenaga pembelok dan untuk penambahan kecepatan sewaktu berada di angkasa tanpa bobot.
Bagaimanapun nantinya wujud konstruksi pesawat itu, kita serahkan saja kepada para profesor dan kita yakin nantinya di masa depan akan terwujud sebagai pesawat kebal peluru dan tak memerlukan landasan tertentu karena dia dapat berdiri statis di angkasa dan yang lebih hebat lagi adalah bahwa pesawat itu tentunya water-proof alias anti-air yang kalau pada saat diperlukan dia dapat langsung masuk ke dalam lautan dan keluar lagi sesuai kehendaknya.
Kita boleh mengatakan bahwa kendaraan manusia kini sudah kolot, kuno atau usang karena sistem yang dipakainya sudah berlaku selama ribuan tahun, yang semuanya itu memakai prinsip menolak ke belakang untuk maju ke depan dan menolak ke bawah untuk naik ke atas. Setelah manusia sanggup memakai gaya centrifugal berbentuk “piring terbang” barulah manusia akan memulai kendaraan modern.
Jadi, masa terwujudnya “piring terbang” adalah batas antara ke-kuno-an dan kemodernan peradaban manusia. Batas ini disebut oleh Al-Quran dalam surat Az-Zukhruf ayat 13 diatas dengan bahasa kiasan, bahwa profesor yang mulai menggunakan “piring terbang” mengatakan; Waktu itu manusia baru memulai hidup dalam generasi lain yaitu generasi pesawat itu tidaklah segenerasi dengan modern.
Dalam peradaban modern dimana manusia umumnya memakai piring terbang sebagai kendaraan, akan banyak sekali perubahan dalam kehidupan baik di bidang jasmaniah maupun di bidang rohaniah. Di bidang jasmaniah akan berlaku perubahan dalam kehidupan seperti, orang-orang tak lagi membutuhkan jalan raya dan rel kereta api yang pembangunannya sangat banyak menghabiskan tenaga, tempat, benda dan waktu. Orang-orang akan memanfaatkan daerah itu untuk tempat tinggal atau untuk kebutuhan lainnya. Orang-orang akan memindahkan perhatiannya terhadap lautan sebagai sumber makanan karena lautan itu memang sangat luas yang mengandung berbagai bahan untuk keperluan hidup, dan daratan sebagian besar akan dijadikan orang untuk tempat bermukim. Orang-orang nantinya akan melakukan penerbangan antar planet secara lazim dimana planet Jupiter, Venus, Saturnus dan planet yang lebih besar lainnya akan menjadi sasaran dalam perekonomian dan politik.
Di bidang rohaniah akan berlaku perubahan dalam kehidupan seperti, orang-orang akan menyadari bahwa alam semesta ini memang diciptakan untuk kebutuhan hidup manusia oleh Allah Yang Maha Esa. Orang-orang akan menyadari bahwa manusia di planet Bumi dalam tata surya ini berasal dari satu diri, satu spesies, atau serumpun. Bukan dari hasil evolusi monyet, seperti teori Darwin yang dikalahkan logika. Orang-orang akan menyadari bahwa agama yang diturunkan oleh Allah SWT itu hanyalah agama Tauhid yang sama sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Imran ayat 83. Orang-orang akan menyadari bahwa agama Tauhid yang diturunkan Sang Khaliq itu mengandung hukum yang sesuai dengan kejadian dan naluri yang terdapat di alam semesta raya dan pada diri manusia sendiri, dan bahwa menolak agama itu berarti merugikan diri sendiri.
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
(Surat Al-Fushshilat ayat 53)
Maka apakah mereka mencari agama yang lain selain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di planet-planet dan di bumi ini, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka akan kembali.
(Surat Al-Imran ayat 83)
sumber .http://awan965.wordpress.com/2008/10/05/al-quran-menjelaskan-tentang-ufo/
Sabtu, 06 November 2010
ALIRAN PEMIKIRAN MODERN DAN PENGARUHNYA TERHADAP STUDI ISLAM
Oleh: Cecep Taufikurrohman
Pendahuluan
Bagi masyarakat Eropa, abad ke 15 Masehi adalah titik kulminasi yang menghantarkan mereka kepada kemajuan serta berlepas diri dari abad kegelapan (the dark age). Sebelum memasuki abad 15, masyarakat Eropa mengalami berbagai guncangan sejarah, dimana peradaban mereka sangat tertinggal dari anak benua lain, terutama jika dibandingkan dengan peradaban Islam yang saat itu sedang berada di titik kejayaannya.
Perubahan nasib masyarakat Eropa tersebut dimulai dengan terjadinya revolusi industri di Inggris dan Parncis, dimana geliat ilmu pengetahuan semakin mulai terlihat, yang ditandai dengan ditemukannya berbagai teknologi terapan yang menjadi cikal bakal kemajuan Eropa dan masyarakat dunia pada umumnya. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak yang menghitung perubahan di Eropa tersebut sebagai titik mula dimulainya abad modern.
Setahap demi setahap, kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa tidak dapat dibendung dan sangat deras, karena selain memanfaatkan warisan keilmuan tradisi Yunani, Eropa juga belajar banyak dari peradaban Islam yang baru saja runtuh dan telah banyak menymbangkan perkembangan luar biasa dalam ilmu-ilmu eksakta.
Kemajuan di Eropa tersebut diiringi dengan semakin maraknya gerakan anti-agama (baca: Gereja). Setidaknya ada dua faktor yang telah menyebabkan masyarakat Eropa menjauhi agama: pertama, akibat trauma kemunduran yang sebelumnya dialami masyarakat Eropa, dimana gereja sangat mendominasi seluruh sisi kehidupan masyarakat. Kedua, perkembangan ilmu-ilmu empiris yang sangat pesat, telah banyak mementahkan doktrin-doktrin gereja yang banyak mengandung unsur irasionalitas.
Satu hal yang harus diingat, bahwa masa peralihan yang dialami masyarakat Eropa dari the dark age menuju kepada peradaban modern, ditopang oleh berbagai pemikiran yang berkembang saat itu, terutama filsafat dan ilmu-ilmu eksakta, seperti terjadinya Aufklarung di Jerman. Minimal ada empat faktor yang telah mengantarkan Eropa mencapai renaissance:
1. Penerjemahan buku-buku hasil karya kaum Muslimin ke dalam bahasa Latin. Hal ini berlangsung antara abad 13 dan 14 Masehi. Pengaruh pemikiran Arab inilah yang telah memberi amunisi besar bagi masyarakat Barat untuk melanjutkan berbagai inovasi dan penemuan ilmiah ilmuwan Arab-Muslim.
2. Ketika Turki berhasil menaklukkan Konsatntinovel pada tahun 1452 M, banyak ilmuwan Yunani yang hijrah ke Italia dan bekerjasama dengan komunitas yang sudah lama berusaha menghidupkan tradisi filsafat Platonis.
3. Mulai banyak berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu pengetahuan secara independen dan jauh dari tekanan gereja.
Selain itu, kebangkitan Eropa tersebut mulai dirintis semenjak 12 Masehi dan berlanjut hingga abad 15 sampai 16 Masehi yang ditandai dengan:
1. Kebangkitan dalam dunia sastra. Kebangkitan ini telah dirintis di Itali yang tercermin dalam tokoh-tokoh satra Itali yang di antaranya adalah Dante (1265-1321).
2. Studi dalam bidang-bidang humaniora yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Eropa. Saat itulah, kebangkitan Eropa mulai merembes hingga masuk ke sebelah utara yang meliputi Jerman, Pancis dan Belanda.
3. Gerakan reformasi agama yang dipimpin oleh Martin Luter, seorang pendeta di Jerman. Reformasi ini merembes ke wilayah-wilayah lain di Eropa, dan berhasil menanamkan sikap kritis terhadap gereja.
4. Berkembangnya ilmu-ilmu alam melalui eksperimen yang di antaranya dilakukan oleh Copernicus (1473-15-43).
Inilah awal mula kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa yang mengantarkan mereka ke gerbang kemajuan.
Perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan serta filsafat di Eropa, mengikuti perkembangan gaya hidup dan ideologi masyarakatnya. Dari sinilah kita akan menemukan lahirnya berbagai aliran pemikiran (baca: filsafat), yang pada beberapa abad kemudian banyak mepengaruhi masyarakat Timur; dan di antaranya adalah umat Islam.
Peta Aliran Pemikiarn Modern
Pada dasarnya kita tidak dapat menggeneralisir peta pemikiaran yang berkembang di era modern, maka—minimal—kita hanya dapat melakukan pemetaan terhadap perkembangan pemikiran tersebut. Oleh sebab itu, secara garis besar, peta pemikiran Barat Modern dapat diklasifikasi ke dalam beberapa kategori: filsafat; agama, politik, ekonomi dan ilmu sosial.
Agar pembahasan tidak terlalu melebar, disini penulis hanya akan mencoba memetakan pemikiran modern yang sangat berpengaruh dan sering bersentuhan dengan pemikiran keagamaan dalam Islam.
Dengan tidak bermaksud menyederhanakan perkembangan pemikiran filsafat modern, pada dasarnya perkembangan pemikiran politik, ekonomi dan ilmu sosial di Barat, sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat. Filsafatlah yang melahirkan berbagai metode ilmu pengetahuan, hingga ia melahirkan teori-teori terapan dalam ilmu-ilmu eksakta yang saat ini berkembang pesat di Barat.
a. Sejarah Pemikiran Filsafat Barat Modern
Menurut para penulis sejarah filsafat, sejarah filsafat dapat dibagi kepada tiga fase: zaman klasik, zaman pertengahan dan zaman modern. Hanya saja, kita tidak akan menemukan kata sepakat untuk membatasi tiap fase. Untuk sekedar memberikan gambaran perkembangan filsafat pada tiga fase tersebut, tidak ada salahnya jika di sini penulis menggunakan kaca mata sebagian penulis sejarah filsafat yang mengatakan bahwa sejarah zaman modern filsafat Barat dimulai semenjak Renaissane pada akhir abad 15 atau awal abad 16 M sampai hari ini. Adapun zaman pertengahan adalah semenjak runtuhnya kekuasaan Romawi Barat pada tahun 476 M hingga datangnya masa kebangkitan dan terjadinya Renaissance. Adapun zaman klasik terjadi sebelum itu, termasuk era Yunani.
Idealnya, untuk dapat memahami peta pemikiran modern tersebut, kita harus memulainya dari tiga fase sejarah pemikiran filsafat yang telah membentuk sejarah peradaban dan kemajuan Barat. Hanya saja karena beberapa keterbatasan, penulis tidak akan mengemukakannya terlalu jauh.
Secara umum, kelahiran filsafat Barat modern dimulai oleh Roger Bacon dan Rene Descartes yang terkenal dengan Cogito ergu Sum-nya. Kemunculan Descartes menandai berakhirnya hegemoni filsafat Skolastik yang sangat kuat dipengaruhi gereja.
Setelah kemunculan Descartes, pada awal abad 17 Masehi, muncul para filosof rasionalis yang banyak mengambil teori “pengetahuan fitri’ dari Descartes. Di antara mereka adalah: Spinoza, Leibniz dan Wolf. Tidak jauh dari kemunculan mereka, pada abad yang sama muncullah kaum empiris yang dikomandani oleh John Lock, George Barkeley dan David Hume. Saat itu juga, lahir para filosof materialis yang untuk pertama kalinya disempurnakan oleh Thomas Hobes. Beberapa tahun kemudian diikuti oleh kemunculan Immanuel Kant yang mencoba melakukan kritik ulang terhadap ilmu dan filsafat yang mulai berkembang pesat di zamannya. Setelah itu, pada abad 18 dan 19 M, di Barat banyak bermunculan aliran-aliran filsafat lainnya, terutama di Inggris, Parncis dan jerman, seperti idealisme, positivisme, empirisisme, materialisme dan lain sebagainya.
b. Pemikiran Barat Kontemporer dan Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
Menurut hemat penulis, dari sekian banyak aliran pemikiran filsafat modern di Barat, di antaranya ada yang berkaitan secara langsung dengan pemikiran dan studi keislaman. Selain itu, di antara persoalan besar yang dihadapi masyarakat Barat adalah “pertikaian” antara filsafat dengan agama. Dalam konteks ini, kita akan menemukan dua arus besar yang menjadi main stream pemikiran sejarah filsafat Barat modern. Hanya saja dua arus besar tersebut antara satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Dua arus tersebut adalah arus yang senantiasa menjauhkan filsafat dari doktrin-doktrin agama, terutama masalah metafisika. Arus ini di antaranya dipimpin oleh Hobes dan Hume serta para filosof alam lainnya. Arus lainnya adalah mereka yang senantiasa berupaya memadukan doktrin agama dengan filsafat, bahkan mereka mencoba mencapai kebenaran agama melalui pintu metafisika. Arus ini di antaranya dipimpin oleh Leibniz, Barkeley, Ficthe dan Hegel dll.
Arus pertama yang senantiasa berupaya menjauhkan agama dari filsafat, melahirkan berbagai aliran pemikiran yang pada akhirnya membesarkan paradigma materialistik dan atheistik. Adapun yang kedua, mereka inilah yang mempertahankan eksistensi agama dalam pemikiran filsafat Barat.
Oleh sebab itu, berbagai aliran pemikiran yang saat ini dihadapi oleh kaum Muslimin (terutama di Timur), banyak dimunculkan dari aliran-aliran filsafat Barat. Di antara aliran tersebut adalah: Empirisisme, positivisme dan materialisme yang banyak melahirkan pemikiran atheis.
Pada awalnya, pemikiran dalam filsafat Barat—sebagaimana filsafat pada umumnya—berangkat dari upaya mencari hakikat kebenaran yang sejati. Ia mulai mempertanyakan realitas dunia dan segala fenomena yang ada di dalamnya. Ia juga mulai mempertanyakan makna “tahu” dan “pengetahuan” bagi manusia. Dari manakah manusia dapat mengetahui? Apa saja yang dapat diketahui?; dan bagaimanakah cara mengetahui? Inilah wilayah epistemologis yang sering diperdebatkan oleh para filosof. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, menentukan paradigma berfikir serta bentuk aliran filsafat. Ia bisa dinilai empirisis, positivis, materialis, atheis ataupun theis.
Saat ini, hasil kreativitas masyarakat Barat dalam mengembangkan filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagian di antaranya menjadi persoalan bagi masyarakat dunia, terutama kaum beragama (baca: Islam). Hal ini disebabkan bahwa liberalisasi pemikiran yang dilahirkan di Barat, telah menjadikan segala sesuatu sebagai hal yang “boleh”, selama ia dapat diverifikasi dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Persoalannya muncul ketika ia merembet masuk ke dalam wilayah metafisika. Karena segala sesuatu yang bersifat metafisik tidak diverifikasi oleh indra, maka sebagian pemikir Barat menegasikan keberadaan Tuhan dan hal-hal gaib lainnya. Selain itu, kita juga sering menemukan pengembangan ilmu pengetahuan tanpa batasan etika, sehingga ketika teknologi kloning ditemukan, maka ia menjadi persoalan tersendiri bagi kaum Muslimin.
Selain itu, kelahiran berbagai pemikiran filsafat di Barat, sangat dilatarbelakangi oleh kondisi sosial politik masyarakat yang dihadapinya. Oleh sebab itu, penolakan sebagian besar ilmuwan dan filosof Barat kepada hal-hal yang berbau agama, bukan berarti mereka menolak kehadiran seluruh agama. Saat itu, agama yang mereka tolak adalah agama yang tidak memberikan kesempatan untuk ilmu; dan agama yang ajarannya selalu bertentangan dengan penemuan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, penolakan Karl Marx terhadap agama (baca: Kristen) adalah karena ia sangat kecewa dengan gereja yang saat itu memberikan lahan subur untuk tumbuhnya kapitalisme di Eropa. Saat itu agama hanya dijadikan sebagai alat penghibur masyarakat dan tidak memberikan solusi yang adil bagi kaum ploretar.
Saat ini, metode-metode filsafat bukan hanya digunakan untuk pengembangan ilmu-ilmu eksakta, tetapi ia juga digunakan sebagai pisau analisis untuk mengkaji berbagai cabang keilmuan lainnya, termasuk berbagai studi tentang agama. Inilah yang dilakukan oleh para orientalis dalam setiap kajian mereka tentang masyarakat timur, baik yang berkenaan dengan budaya maupun agama. Satu hal yang cukup berbahaya serta menodai objektivitas ilmu adalah ketika studi yang dikembangkan ini tidak hanya bertujuan untuk berkhidmah pada ilmu, tetapi telah disusupi kepentingan politik seperti imperialisme dan kolonialisme. Oleh sebab itu, seluruh cabang ilmu pengetahua yang berhasil mereka kembangkan, digunakan untuk mempelajari masyarakat Timur, tetapi bukan untuk mensejahterakan mereka. Ia digunakan untuk mencaplok mereka, baik dengan kekuatan militer maupun ideologi.
Akibat dari upaya-paya tersebut, masyarakat Barat bukan hanya menjual produk-produk iptek, tetapi juga mereka “mendakwahkan” kultur (bahkan agama) yang mereka peluk. Akibatnya, masyarakat Timur bukan hanya mengkonsumsi produk teknologi, tetapi juga harus menelan pil pait kultur Barat yang bertentangan dnegan kultur Timur, bahkan merasa bangga mengikuti Barat secara membabi buta.
Di antara pemikiran Barat yang saat ini dicangkokkan ke dalam pemikiran keagamaan (baca: Islam) adalah liberalisasi pemikiran, teologi inklusivisme, pluralisme, sekularisme, materialisme, Marxisme, kapitalisme dan lain sebagainya.
Pada dasarnya, ketika buah pemikiran Barat modern tersebut dibawa ke dalam Islam, ia dapat menjadi unsur positif yang sangat bermanfaat untuk pengembangan studi Islam, tetapi pada waktu yang bersamaan ia juga dapat menjadi penyakit berbahaya. Terdapat banyak hal positif yang dapat kita ambil dari metode pemikiran Barat modern, tetapi juga terdapat duri yang—jika kita ingin—selamat, maka duri tersebut harus kita singkirkan dan setelah durinya tersingkir, kita bisa menikmati dagingnya tanpa was-was tertusuk duri.
Dengan kata lain, mengingat metode-metode tersebut lahir di Barat yang memiliki kultur dan pandangan hidup yang berbeda dengan Islam, maka Islam harus dijadikan sebagai “sabun” pembersih duri agar produk pemikiran Barat tersebut steril. Yang jadi persoalan kita adalah ketika produk Barat kita ekspor dan kita telan mentah-mentah tanpa melihat kondisi kita sebagai masyarakat Timur Muslim, padahal saat masyarakat Eropa mengambil metode pengembangan ilmu dari Islam, mereka juga tidak menelannya mentah-mentah.
Oleh sebab itu, jika kita sudah mensterilkan metode Barat dari warna Barat, maka hasil studi mereka tentang agama dan masyarakat dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya khazanah Islam. Hal seperti inilah yang telah dilakukan oleh beberapa orientalis yang objektif ketika mereka mengkaji Islam. Mereka dapat menghasilkan karya tentang Islam, padahal umat Islam sendiri belum mencapai kesana. Selain itu, tidak akan ada pertentangan lagi antara studi Islam hasil kajian orientalis dengan hasil umat Islam. Yang akan bermasalah adalah ketika hasil kajian orientalis didompleng oleh kepentingan Kristenisasi atau kolonialiasi. Oleh sebab itu, ketika di Barat berbicara tentang kebebasan, maka kita dapat menerapkan kebebasan Barat dengan ukuran al-Quran. Demikian pula ketika kita melihat isu-isu HAM, demokratisasi, pluralisasi dan lain sebagainya.
Jika hal ini berhasil kita lakukan, maka suatu saat kita tidak akan curiga dengan hasil kajian orientalis tentang Islam. Demikian pula para pendakwah pemikiran Barat tidak akan direpotkan oleh resistensi masyarakat Islam.
Wallahu ‘Alam
PERKEMBANGAN MODEREN DI DUNIA ISLAM (PMDI)
Fakultas Ushuluddin
IAIN Imam Bonjol Padang
Jurusan TH Smt VI, 26 Maret 07
I . TUJUAN Mahasiswa dapat mengetahui perkembangan modern di dunia Islam dalam upaya mereka menguasai dan memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan keilmuan untuk menjawab tantantangan dan tuntutan zaman.
II. TOPIK INTI
A.INTRODUKSI :
1. lahirnya peradaban modern; latar belakang munculnya perkembangan modern; beberapa terminologi yang berkaitan dengan perkembangan modern: tradisionalisme, pemurnian, pembaharuan, reformisme, tajdid, ishlah, modernisme, westernisme, sekularislme dll.
B. REVIVALISME DAN MODERN ISME
2. Muhammad ibn Abdul Wahab dan Gerakan al-Muwahhidun : pemurnian ajaran Islam
3. Jamaluddin al-Afghani : Pan Islamisme.
4. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha: Akal, Wahyu serta pembaharuan pendidikan Islam.
5.Tiga Aliran pembaharuan di Turki: Islam, Barat dan Nasionalisme .
6.Mustafa Kamal: Sekularisme di Turki.
7.Pemikiran Moderen Islam di India-Pakistan :Gerakan Mujahiddin dan Sekolah Deoband; Sayid Ahmad Khan dan Gerakan Aligarch. Pemikiran Iqbal dan Ali Jinnah (Hubungannya dengan kemerdekaan Pakistan;
C. ISLAM, POLITIK DAN MASALAH KENEGARANAN
8. Abul A'la Al-Maududi
9. Fazlur Rahman
10MNatsir, Nurcholish Madjid, Amien Rais, Abdul Rahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif.
D. EMANSIPASI, WANITA DAN WACANA GENEDER
11. Qasim Amin dan Riffat Hassan
12. Ali Asghar Enggineer, Fatima Mernisi, Amina Wadud Muhsin, dan Leila Ahmed.
E. ISLAM, PERADABAN MODERN DAN POSMODERNISME
13. Mohammad Arkoun
14. Hassan Hanafi
15. Malek bin Nabi
16. Samuel P. Hunttington
17. Islam dan Postmodernisme
III. REFERENSI
•Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi ‘ashr al-hadist
•Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey
•Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam
•----------------------, Islam Ditinjau dari Berbabagai Aspek
•----------------------, Islam Rasional
•Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India-Pakistan
•----------------, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah
•Adam, C, Islam and Modernism in Egypt
•Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age
•Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
•Dan sumber-sumber lain yang relevan
Prev: JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Next: Muhammadiyah di Tengah Lautan Parpol
Pendahuluan
Bagi masyarakat Eropa, abad ke 15 Masehi adalah titik kulminasi yang menghantarkan mereka kepada kemajuan serta berlepas diri dari abad kegelapan (the dark age). Sebelum memasuki abad 15, masyarakat Eropa mengalami berbagai guncangan sejarah, dimana peradaban mereka sangat tertinggal dari anak benua lain, terutama jika dibandingkan dengan peradaban Islam yang saat itu sedang berada di titik kejayaannya.
Perubahan nasib masyarakat Eropa tersebut dimulai dengan terjadinya revolusi industri di Inggris dan Parncis, dimana geliat ilmu pengetahuan semakin mulai terlihat, yang ditandai dengan ditemukannya berbagai teknologi terapan yang menjadi cikal bakal kemajuan Eropa dan masyarakat dunia pada umumnya. Oleh sebab itu, tidak heran jika banyak yang menghitung perubahan di Eropa tersebut sebagai titik mula dimulainya abad modern.
Setahap demi setahap, kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa tidak dapat dibendung dan sangat deras, karena selain memanfaatkan warisan keilmuan tradisi Yunani, Eropa juga belajar banyak dari peradaban Islam yang baru saja runtuh dan telah banyak menymbangkan perkembangan luar biasa dalam ilmu-ilmu eksakta.
Kemajuan di Eropa tersebut diiringi dengan semakin maraknya gerakan anti-agama (baca: Gereja). Setidaknya ada dua faktor yang telah menyebabkan masyarakat Eropa menjauhi agama: pertama, akibat trauma kemunduran yang sebelumnya dialami masyarakat Eropa, dimana gereja sangat mendominasi seluruh sisi kehidupan masyarakat. Kedua, perkembangan ilmu-ilmu empiris yang sangat pesat, telah banyak mementahkan doktrin-doktrin gereja yang banyak mengandung unsur irasionalitas.
Satu hal yang harus diingat, bahwa masa peralihan yang dialami masyarakat Eropa dari the dark age menuju kepada peradaban modern, ditopang oleh berbagai pemikiran yang berkembang saat itu, terutama filsafat dan ilmu-ilmu eksakta, seperti terjadinya Aufklarung di Jerman. Minimal ada empat faktor yang telah mengantarkan Eropa mencapai renaissance:
1. Penerjemahan buku-buku hasil karya kaum Muslimin ke dalam bahasa Latin. Hal ini berlangsung antara abad 13 dan 14 Masehi. Pengaruh pemikiran Arab inilah yang telah memberi amunisi besar bagi masyarakat Barat untuk melanjutkan berbagai inovasi dan penemuan ilmiah ilmuwan Arab-Muslim.
2. Ketika Turki berhasil menaklukkan Konsatntinovel pada tahun 1452 M, banyak ilmuwan Yunani yang hijrah ke Italia dan bekerjasama dengan komunitas yang sudah lama berusaha menghidupkan tradisi filsafat Platonis.
3. Mulai banyak berdirinya lembaga-lembaga pendidikan yang mempelajari ilmu pengetahuan secara independen dan jauh dari tekanan gereja.
Selain itu, kebangkitan Eropa tersebut mulai dirintis semenjak 12 Masehi dan berlanjut hingga abad 15 sampai 16 Masehi yang ditandai dengan:
1. Kebangkitan dalam dunia sastra. Kebangkitan ini telah dirintis di Itali yang tercermin dalam tokoh-tokoh satra Itali yang di antaranya adalah Dante (1265-1321).
2. Studi dalam bidang-bidang humaniora yang dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan Eropa. Saat itulah, kebangkitan Eropa mulai merembes hingga masuk ke sebelah utara yang meliputi Jerman, Pancis dan Belanda.
3. Gerakan reformasi agama yang dipimpin oleh Martin Luter, seorang pendeta di Jerman. Reformasi ini merembes ke wilayah-wilayah lain di Eropa, dan berhasil menanamkan sikap kritis terhadap gereja.
4. Berkembangnya ilmu-ilmu alam melalui eksperimen yang di antaranya dilakukan oleh Copernicus (1473-15-43).
Inilah awal mula kebangkitan ilmu pengetahuan di Eropa yang mengantarkan mereka ke gerbang kemajuan.
Perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan serta filsafat di Eropa, mengikuti perkembangan gaya hidup dan ideologi masyarakatnya. Dari sinilah kita akan menemukan lahirnya berbagai aliran pemikiran (baca: filsafat), yang pada beberapa abad kemudian banyak mepengaruhi masyarakat Timur; dan di antaranya adalah umat Islam.
Peta Aliran Pemikiarn Modern
Pada dasarnya kita tidak dapat menggeneralisir peta pemikiaran yang berkembang di era modern, maka—minimal—kita hanya dapat melakukan pemetaan terhadap perkembangan pemikiran tersebut. Oleh sebab itu, secara garis besar, peta pemikiran Barat Modern dapat diklasifikasi ke dalam beberapa kategori: filsafat; agama, politik, ekonomi dan ilmu sosial.
Agar pembahasan tidak terlalu melebar, disini penulis hanya akan mencoba memetakan pemikiran modern yang sangat berpengaruh dan sering bersentuhan dengan pemikiran keagamaan dalam Islam.
Dengan tidak bermaksud menyederhanakan perkembangan pemikiran filsafat modern, pada dasarnya perkembangan pemikiran politik, ekonomi dan ilmu sosial di Barat, sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat. Filsafatlah yang melahirkan berbagai metode ilmu pengetahuan, hingga ia melahirkan teori-teori terapan dalam ilmu-ilmu eksakta yang saat ini berkembang pesat di Barat.
a. Sejarah Pemikiran Filsafat Barat Modern
Menurut para penulis sejarah filsafat, sejarah filsafat dapat dibagi kepada tiga fase: zaman klasik, zaman pertengahan dan zaman modern. Hanya saja, kita tidak akan menemukan kata sepakat untuk membatasi tiap fase. Untuk sekedar memberikan gambaran perkembangan filsafat pada tiga fase tersebut, tidak ada salahnya jika di sini penulis menggunakan kaca mata sebagian penulis sejarah filsafat yang mengatakan bahwa sejarah zaman modern filsafat Barat dimulai semenjak Renaissane pada akhir abad 15 atau awal abad 16 M sampai hari ini. Adapun zaman pertengahan adalah semenjak runtuhnya kekuasaan Romawi Barat pada tahun 476 M hingga datangnya masa kebangkitan dan terjadinya Renaissance. Adapun zaman klasik terjadi sebelum itu, termasuk era Yunani.
Idealnya, untuk dapat memahami peta pemikiran modern tersebut, kita harus memulainya dari tiga fase sejarah pemikiran filsafat yang telah membentuk sejarah peradaban dan kemajuan Barat. Hanya saja karena beberapa keterbatasan, penulis tidak akan mengemukakannya terlalu jauh.
Secara umum, kelahiran filsafat Barat modern dimulai oleh Roger Bacon dan Rene Descartes yang terkenal dengan Cogito ergu Sum-nya. Kemunculan Descartes menandai berakhirnya hegemoni filsafat Skolastik yang sangat kuat dipengaruhi gereja.
Setelah kemunculan Descartes, pada awal abad 17 Masehi, muncul para filosof rasionalis yang banyak mengambil teori “pengetahuan fitri’ dari Descartes. Di antara mereka adalah: Spinoza, Leibniz dan Wolf. Tidak jauh dari kemunculan mereka, pada abad yang sama muncullah kaum empiris yang dikomandani oleh John Lock, George Barkeley dan David Hume. Saat itu juga, lahir para filosof materialis yang untuk pertama kalinya disempurnakan oleh Thomas Hobes. Beberapa tahun kemudian diikuti oleh kemunculan Immanuel Kant yang mencoba melakukan kritik ulang terhadap ilmu dan filsafat yang mulai berkembang pesat di zamannya. Setelah itu, pada abad 18 dan 19 M, di Barat banyak bermunculan aliran-aliran filsafat lainnya, terutama di Inggris, Parncis dan jerman, seperti idealisme, positivisme, empirisisme, materialisme dan lain sebagainya.
b. Pemikiran Barat Kontemporer dan Pengaruhnya Terhadap Studi Islam
Menurut hemat penulis, dari sekian banyak aliran pemikiran filsafat modern di Barat, di antaranya ada yang berkaitan secara langsung dengan pemikiran dan studi keislaman. Selain itu, di antara persoalan besar yang dihadapi masyarakat Barat adalah “pertikaian” antara filsafat dengan agama. Dalam konteks ini, kita akan menemukan dua arus besar yang menjadi main stream pemikiran sejarah filsafat Barat modern. Hanya saja dua arus besar tersebut antara satu dengan yang lainnya saling bertentangan. Dua arus tersebut adalah arus yang senantiasa menjauhkan filsafat dari doktrin-doktrin agama, terutama masalah metafisika. Arus ini di antaranya dipimpin oleh Hobes dan Hume serta para filosof alam lainnya. Arus lainnya adalah mereka yang senantiasa berupaya memadukan doktrin agama dengan filsafat, bahkan mereka mencoba mencapai kebenaran agama melalui pintu metafisika. Arus ini di antaranya dipimpin oleh Leibniz, Barkeley, Ficthe dan Hegel dll.
Arus pertama yang senantiasa berupaya menjauhkan agama dari filsafat, melahirkan berbagai aliran pemikiran yang pada akhirnya membesarkan paradigma materialistik dan atheistik. Adapun yang kedua, mereka inilah yang mempertahankan eksistensi agama dalam pemikiran filsafat Barat.
Oleh sebab itu, berbagai aliran pemikiran yang saat ini dihadapi oleh kaum Muslimin (terutama di Timur), banyak dimunculkan dari aliran-aliran filsafat Barat. Di antara aliran tersebut adalah: Empirisisme, positivisme dan materialisme yang banyak melahirkan pemikiran atheis.
Pada awalnya, pemikiran dalam filsafat Barat—sebagaimana filsafat pada umumnya—berangkat dari upaya mencari hakikat kebenaran yang sejati. Ia mulai mempertanyakan realitas dunia dan segala fenomena yang ada di dalamnya. Ia juga mulai mempertanyakan makna “tahu” dan “pengetahuan” bagi manusia. Dari manakah manusia dapat mengetahui? Apa saja yang dapat diketahui?; dan bagaimanakah cara mengetahui? Inilah wilayah epistemologis yang sering diperdebatkan oleh para filosof. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, menentukan paradigma berfikir serta bentuk aliran filsafat. Ia bisa dinilai empirisis, positivis, materialis, atheis ataupun theis.
Saat ini, hasil kreativitas masyarakat Barat dalam mengembangkan filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagian di antaranya menjadi persoalan bagi masyarakat dunia, terutama kaum beragama (baca: Islam). Hal ini disebabkan bahwa liberalisasi pemikiran yang dilahirkan di Barat, telah menjadikan segala sesuatu sebagai hal yang “boleh”, selama ia dapat diverifikasi dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Persoalannya muncul ketika ia merembet masuk ke dalam wilayah metafisika. Karena segala sesuatu yang bersifat metafisik tidak diverifikasi oleh indra, maka sebagian pemikir Barat menegasikan keberadaan Tuhan dan hal-hal gaib lainnya. Selain itu, kita juga sering menemukan pengembangan ilmu pengetahuan tanpa batasan etika, sehingga ketika teknologi kloning ditemukan, maka ia menjadi persoalan tersendiri bagi kaum Muslimin.
Selain itu, kelahiran berbagai pemikiran filsafat di Barat, sangat dilatarbelakangi oleh kondisi sosial politik masyarakat yang dihadapinya. Oleh sebab itu, penolakan sebagian besar ilmuwan dan filosof Barat kepada hal-hal yang berbau agama, bukan berarti mereka menolak kehadiran seluruh agama. Saat itu, agama yang mereka tolak adalah agama yang tidak memberikan kesempatan untuk ilmu; dan agama yang ajarannya selalu bertentangan dengan penemuan ilmu pengetahuan. Sebagai contoh, penolakan Karl Marx terhadap agama (baca: Kristen) adalah karena ia sangat kecewa dengan gereja yang saat itu memberikan lahan subur untuk tumbuhnya kapitalisme di Eropa. Saat itu agama hanya dijadikan sebagai alat penghibur masyarakat dan tidak memberikan solusi yang adil bagi kaum ploretar.
Saat ini, metode-metode filsafat bukan hanya digunakan untuk pengembangan ilmu-ilmu eksakta, tetapi ia juga digunakan sebagai pisau analisis untuk mengkaji berbagai cabang keilmuan lainnya, termasuk berbagai studi tentang agama. Inilah yang dilakukan oleh para orientalis dalam setiap kajian mereka tentang masyarakat timur, baik yang berkenaan dengan budaya maupun agama. Satu hal yang cukup berbahaya serta menodai objektivitas ilmu adalah ketika studi yang dikembangkan ini tidak hanya bertujuan untuk berkhidmah pada ilmu, tetapi telah disusupi kepentingan politik seperti imperialisme dan kolonialisme. Oleh sebab itu, seluruh cabang ilmu pengetahua yang berhasil mereka kembangkan, digunakan untuk mempelajari masyarakat Timur, tetapi bukan untuk mensejahterakan mereka. Ia digunakan untuk mencaplok mereka, baik dengan kekuatan militer maupun ideologi.
Akibat dari upaya-paya tersebut, masyarakat Barat bukan hanya menjual produk-produk iptek, tetapi juga mereka “mendakwahkan” kultur (bahkan agama) yang mereka peluk. Akibatnya, masyarakat Timur bukan hanya mengkonsumsi produk teknologi, tetapi juga harus menelan pil pait kultur Barat yang bertentangan dnegan kultur Timur, bahkan merasa bangga mengikuti Barat secara membabi buta.
Di antara pemikiran Barat yang saat ini dicangkokkan ke dalam pemikiran keagamaan (baca: Islam) adalah liberalisasi pemikiran, teologi inklusivisme, pluralisme, sekularisme, materialisme, Marxisme, kapitalisme dan lain sebagainya.
Pada dasarnya, ketika buah pemikiran Barat modern tersebut dibawa ke dalam Islam, ia dapat menjadi unsur positif yang sangat bermanfaat untuk pengembangan studi Islam, tetapi pada waktu yang bersamaan ia juga dapat menjadi penyakit berbahaya. Terdapat banyak hal positif yang dapat kita ambil dari metode pemikiran Barat modern, tetapi juga terdapat duri yang—jika kita ingin—selamat, maka duri tersebut harus kita singkirkan dan setelah durinya tersingkir, kita bisa menikmati dagingnya tanpa was-was tertusuk duri.
Dengan kata lain, mengingat metode-metode tersebut lahir di Barat yang memiliki kultur dan pandangan hidup yang berbeda dengan Islam, maka Islam harus dijadikan sebagai “sabun” pembersih duri agar produk pemikiran Barat tersebut steril. Yang jadi persoalan kita adalah ketika produk Barat kita ekspor dan kita telan mentah-mentah tanpa melihat kondisi kita sebagai masyarakat Timur Muslim, padahal saat masyarakat Eropa mengambil metode pengembangan ilmu dari Islam, mereka juga tidak menelannya mentah-mentah.
Oleh sebab itu, jika kita sudah mensterilkan metode Barat dari warna Barat, maka hasil studi mereka tentang agama dan masyarakat dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya khazanah Islam. Hal seperti inilah yang telah dilakukan oleh beberapa orientalis yang objektif ketika mereka mengkaji Islam. Mereka dapat menghasilkan karya tentang Islam, padahal umat Islam sendiri belum mencapai kesana. Selain itu, tidak akan ada pertentangan lagi antara studi Islam hasil kajian orientalis dengan hasil umat Islam. Yang akan bermasalah adalah ketika hasil kajian orientalis didompleng oleh kepentingan Kristenisasi atau kolonialiasi. Oleh sebab itu, ketika di Barat berbicara tentang kebebasan, maka kita dapat menerapkan kebebasan Barat dengan ukuran al-Quran. Demikian pula ketika kita melihat isu-isu HAM, demokratisasi, pluralisasi dan lain sebagainya.
Jika hal ini berhasil kita lakukan, maka suatu saat kita tidak akan curiga dengan hasil kajian orientalis tentang Islam. Demikian pula para pendakwah pemikiran Barat tidak akan direpotkan oleh resistensi masyarakat Islam.
Wallahu ‘Alam
PERKEMBANGAN MODEREN DI DUNIA ISLAM (PMDI)
Fakultas Ushuluddin
IAIN Imam Bonjol Padang
Jurusan TH Smt VI, 26 Maret 07
I . TUJUAN Mahasiswa dapat mengetahui perkembangan modern di dunia Islam dalam upaya mereka menguasai dan memperdalam ilmu pengetahuan dan wawasan keilmuan untuk menjawab tantantangan dan tuntutan zaman.
II. TOPIK INTI
A.INTRODUKSI :
1. lahirnya peradaban modern; latar belakang munculnya perkembangan modern; beberapa terminologi yang berkaitan dengan perkembangan modern: tradisionalisme, pemurnian, pembaharuan, reformisme, tajdid, ishlah, modernisme, westernisme, sekularislme dll.
B. REVIVALISME DAN MODERN ISME
2. Muhammad ibn Abdul Wahab dan Gerakan al-Muwahhidun : pemurnian ajaran Islam
3. Jamaluddin al-Afghani : Pan Islamisme.
4. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha: Akal, Wahyu serta pembaharuan pendidikan Islam.
5.Tiga Aliran pembaharuan di Turki: Islam, Barat dan Nasionalisme .
6.Mustafa Kamal: Sekularisme di Turki.
7.Pemikiran Moderen Islam di India-Pakistan :Gerakan Mujahiddin dan Sekolah Deoband; Sayid Ahmad Khan dan Gerakan Aligarch. Pemikiran Iqbal dan Ali Jinnah (Hubungannya dengan kemerdekaan Pakistan;
C. ISLAM, POLITIK DAN MASALAH KENEGARANAN
8. Abul A'la Al-Maududi
9. Fazlur Rahman
10MNatsir, Nurcholish Madjid, Amien Rais, Abdul Rahman Wahid dan Ahmad Syafii Maarif.
D. EMANSIPASI, WANITA DAN WACANA GENEDER
11. Qasim Amin dan Riffat Hassan
12. Ali Asghar Enggineer, Fatima Mernisi, Amina Wadud Muhsin, dan Leila Ahmed.
E. ISLAM, PERADABAN MODERN DAN POSMODERNISME
13. Mohammad Arkoun
14. Hassan Hanafi
15. Malek bin Nabi
16. Samuel P. Hunttington
17. Islam dan Postmodernisme
III. REFERENSI
•Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi ‘ashr al-hadist
•Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey
•Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam
•----------------------, Islam Ditinjau dari Berbabagai Aspek
•----------------------, Islam Rasional
•Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India-Pakistan
•----------------, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah
•Adam, C, Islam and Modernism in Egypt
•Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age
•Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam
•Dan sumber-sumber lain yang relevan
Prev: JAMALUDDIN AL-AFGHANI
Next: Muhammadiyah di Tengah Lautan Parpol
Sejarah Empat Mazhab Fiqih
A. PENDAHULUAN
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui.
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y. Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadis :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية(
Yang maksudnya : “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
Ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, bilkhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.
B. POKOK PERMASALAHAN
Sebelum sampai kepada pembahasan, terlebih dahulu penulis tentukan pokok permasalahan sebagai tolak ukur agar pembahasan tidak melabar dan menyimpang. Sebagai pokok permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimanakah latar belakang dan sejarah munculnya empat mazhab fiqih? Selain itu adalah apakah dasar-dasar hukum empat mazhab?, karena bagaimanapun juga setiap imam mazhab pasti memiliki pendapat masing dalam hal pengambilan dan menetapkan pijakan dasar sebuah hukum.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mazhab
Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).
Secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam .
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci .
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395) .
2. Biografi Empat Imam Mazhab Fiqih
Mengingat betapa masyhurnya nama keempat imam mazhab ini, berikut akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana pribadi dan pemikiran mereka.
a. Imam Hanafi (Tahun 80 – 150 H.)
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’.
Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama .
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya .
Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan palsu pada Al-Manshur, sehingga Al-Manshur melakukan pembunuhan itu, dan ada sebuah riwayat shahih mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud .
Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
b. Imam Maliki (Tahun 93 – 179 H.)
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah .
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta’ yang berarti ‘kemudahan’ atau ‘kesederhanaan’. Keistimewaan Al-Muwatta’ adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar.
c. Imam Syafi’i (Tahun 150 – 204 H.)
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi .
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah .
Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafal Al-Qur’an, selain itu ia juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa , fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungan dalam mazhab Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama) dan qaul jadid (mazhab baru).
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak pada tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran Syafi’i.
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .
d. Imam Hambali ( Tahun 164 – 241 H.)
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria).
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah: Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad, Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
3. Sejarah Empat Mazhab Fiqih
Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in yaitu sekitar abad kedua Hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syariah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan.
Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka.
Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jâmi' al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak Penghasilan). Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim) oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara Abu Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki .
Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang 'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah. Pada umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i (150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. Karena jasanya membela hadis, maka ia dijuluki sebagai "nâshir al-sunnah" (pembela Sunnah).
Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
1. Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Empat Mazhab Fiqih
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW .
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. dan dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) .
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih .
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
4. Dasar-Dasar Fiqih Empat Mazhab
a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Qur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut “diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum disebut “melalui qiyas”.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat, hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya .
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah, membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
b. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki
Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-Qurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio) .
c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafi’i
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an, merinci yang global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafi’ie adalah pernyataannya, “Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Qur’an.” Untuk membuktikan hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara Al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum. Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Qur’an dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan : (4:80)
Yang maksudnya : “Barang siapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah.”
Dengan demikian, suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur’an, karena Al-Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi menjauhi yang di larang .
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al-Qur’an dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis, dalam Al-Qur’an di sebutkan dalan 4:59
d. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para ulama Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd al-dara-i’, (8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah.
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas.
D. KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat penulis mengambil beberapa poin kesimpulan di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
E. PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi pembaca, khususnya bagi penulis sendiri.
Saran-saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini dan untuk kemajuan ilmu pengetahuan kedepan.
F. DAFTAR PUSTAKA
عبد الغنى الدقر, الامام الشافعى (فقيه السنة الاكبر),دار القلم,دمشق
Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad, Islam Tidak Bermazhab, Cet. 2, Gema Insani Press: Jakarta, 1995
Mustofa Al Maraghi, Abdullah, Pakar Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Cet. 1, LKPSM: Yogyakarta, 2001
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet.2, Risalah Gusti: Surabaya, 1996
http://diaz2000.multiply.com/journal/item/20/Sejarah_Singkat_Munculnya_Mazhab-Mazhab_dalam_Islam
http://apat-kedahi.blogspot.com/2009/04/mazhab-mazhab-fiqih-dan-pengertiannya.html
http://www.hupelita.com/baca.php?id=495
http://www.cybermq.com/pustaka/detail//100/sejarah-perkembangan-fiqh
http://neobyadver.blog.plasa.com/2009/05/26/sejarah-singkat-munculnya-mazhab-mazhab-dalam-islam/
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hanifah
http://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
http://www.mail-archive.com/sarikata@yahoogroups.com/msg08055.html
http://www.hayatulislam.net/persoalan-seputar-mazhab.html
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara amat dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
Jika kita telusuri sejak saat kehidupan Nabi Muhammad saw, para sejarahwan sering membaginya dalam dua priode yakni periode Mekkah dan periode Madinah. Pada periode pertama risalah kenabian berisi ajaran-ajaran akidah dan akhlaq, sedangkan pada periode kedua risalah kenabian lebih banyak berisi hukum-hukum. Dalam mengambil keputusan masalah amaliyah sehari-hari para sahabat tidak perlu melakukan ijtihad sendiri, karena mereka dapat langsung bertanya kepada Nabi jika mereka mendapati suatu masalah yang belum mereka ketahui.
Sampai dengan masa empat khalifah pertama hukum-hukum syariah itu belum dibukukan, dan belum juga diformulasikan sebagai sebuah ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa-masa awal periode tabi'in (masa Dinasti Umayyah) muncul aliran-aliran dalam memahami hukum-hukum syariah serta dalam merespon persoalan-persoalan baru yang muncul sebagai akibat semakin luasnya wilayah Islam, yakni ahl al-hadis dan ahl al-ra'y. Aliran pertama, yang berpusat di Hijaz (Mekkah-Madinah), banyak menggunakan hadis dan pendapat-pendapat sahabat, serta memahaminya secara harfiah. Sedangkan aliran kedua, yang berpusat di Irak, banyak menggunakan rasio dalam merespons persoalan baru yang muncul.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum tersebut merupakan sebuah hasil penelitian (ijtihad), hal ini tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, akan tetapi sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi pada sebuah hadis :
اختلاف امتى رحمة (رواه البيهقى فى الرسالة الاشعرية(
Yang maksudnya : “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
Ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
Pada pembahasan selanjutnya akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, bilkhusus pada empat mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali serta beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut.
B. POKOK PERMASALAHAN
Sebelum sampai kepada pembahasan, terlebih dahulu penulis tentukan pokok permasalahan sebagai tolak ukur agar pembahasan tidak melabar dan menyimpang. Sebagai pokok permasalahan dalam makalah ini adalah Bagaimanakah latar belakang dan sejarah munculnya empat mazhab fiqih? Selain itu adalah apakah dasar-dasar hukum empat mazhab?, karena bagaimanapun juga setiap imam mazhab pasti memiliki pendapat masing dalam hal pengambilan dan menetapkan pijakan dasar sebuah hukum.
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Mazhab
Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah ath-Thalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq) (Abdullah, 1995: 197; Nahrawi, 1994: 208).
Secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam .
Sedangkan menurut istilah ushul fiqih, mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) dan landasan (ushûl) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197). Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197), istilah mazhab mencakup dua hal: (1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fikih yang menjadi jalan (tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci .
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab ini dengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) dan pendapat tertentu dalam hukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395) .
2. Biografi Empat Imam Mazhab Fiqih
Mengingat betapa masyhurnya nama keempat imam mazhab ini, berikut akan dijelaskan lebih lanjut bagaimana pribadi dan pemikiran mereka.
a. Imam Hanafi (Tahun 80 – 150 H.)
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang ‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’.
Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama .
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya .
Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab Al-Baar Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman beracun kepada imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan palsu pada Al-Manshur, sehingga Al-Manshur melakukan pembunuhan itu, dan ada sebuah riwayat shahih mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud hingga beliau meninggal dalam keadaan bersujud .
Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
b. Imam Maliki (Tahun 93 – 179 H.)
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah .
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu banyak, di antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta’ yang berarti ‘kemudahan’ atau ‘kesederhanaan’. Keistimewaan Al-Muwatta’ adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai persoalan kaidah-kaidah fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar.
c. Imam Syafi’i (Tahun 150 – 204 H.)
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan kakek dari kakek Nabi .
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah .
Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafal Al-Qur’an, selain itu ia juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa , fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar terbukti dengan munculnya dua kecendrungan dalam mazhab Syafi’i yang dikenal dengan qaul qadim (mazhab lama) dan qaul jadid (mazhab baru).
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak pada tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran Syafi’i.
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .
d. Imam Hambali ( Tahun 164 – 241 H.)
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun, beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula. Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah pindah atau merantau ke Syam (Syiria).
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah, Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah: Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami, Imam Asy-Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah, Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad, Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat perempuan.
3. Sejarah Empat Mazhab Fiqih
Ilmu fiqih baru muncul pada periode tabi' al-tabi'in yaitu sekitar abad kedua Hijriyah, dengan munculnya para mujtahid di berbagai kota, serta terbukanya pembahasan dan perdebatan tentang hukum-hukum syariah. Pada masa-masa itulah di Irak muncul seorang mujtahid besar bernama Abu Hanifah al-Nu'man ibn Tsabit (80-150 H atau 700-767 M) yang merupakan orang pertama yang memformulasikan ilmu fiqih, tetapi ilmu ini belum dibukukan.
Sementara itu, di Madinah muncul juga seorang mujtahid besar bernama Malik ibn Anas (93-178 H atau 713-795 M) yang memformulasikan ilmu fiqih dan membukukan kumpulan hadis berjudul al-Muwaththa', yang terutama berisi hukum-hukum syariah. Pembukuan kitab ini dilakukan atas permintaan khalifah Abu Ja'far al-Manshur (137-159 H atau 754-775 M), dengan maksud sebagai pedoman bagi kaum Muslimin dalam mengarungi kehidupan mereka.
Kitab ini kemudian menjadi dasar bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Hijaz (aliran ahl-hadis). Sedangkan yang menjadi pedoman bagi faham fiqih di kalangan umat Islam di Irak (aliran ahl al-ra'y) adalah buku-buku yang ditulis oleh murid-murid Abu Hanifah, terutama Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (102-189 H) dengan bukunya antara lain al-Jâmi' al-Kabîr dan al-Jâmi' al-Shaghîr dan Abu Yusuf (112-183 H) dengan bukunya berjudul Kitab al-Kharâj (Kitab tentang Pajak Penghasilan). Abu Hanifah sendiri pernah diminta menjadi qâdhî (hakim) oleh seorang khalifah Dinasti Abbasiyyah, tetapi permintaan ini ditolak, sementara Abu Yusuf pernah menjadi qâdhî pada masa khalifah Harun al-Rasyid. Baik Abu Hanifah maupun Malik ibn Anas kemudian oleh para pengikutnya masing-masing dijadikan sebagai pendiri mazhab Hanafi dan Maliki .
Sejak periode tabi'in sering terjadi perdebatan antara kedua aliran tersebut. Sementara kalangan ahl al-hadis mencela kelompok ahl al-ra'y dengan tuduhan bahwa ahl al-ra'y meninggalkan sebagian hadis, maka ahl al-ra'y pun menjawab dengan mengemukakan argumentasi tentang 'illah-'illah hukum (legal reasons) dan maksud-maksud syariah. Pada umumnya ahl al-ra'y dengan kemampuan debatnya dapat mengalahkan argumentasi ahl al-hadîts, sebagaimana contoh di atas. Maka munculnya Muhammad ibn Idris al-Syafi'i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i (150-204 H atau 767-820 M), yang di satu segi menguasai banyak hadis dan di lain segi memiliki kemampuan dalam menggali dasar-dasar dan tujuan-tujuan hukum, dapat menghilangkan supremasi ahl al-ra'y terhadap ahl al-hadis dalam perdebatan. Karena jasanya membela hadis, maka ia dijuluki sebagai "nâshir al-sunnah" (pembela Sunnah).
Keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) inilah yang sampai kini dianggap sebagai mazhab fiqih yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
1. Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Empat Mazhab Fiqih
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni :
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW .
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. dan dari sini pula kita dapat merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad (wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.), dan Imam Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) .
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih, Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir adalah periode kemunduran fiqih .
1. Periode risalah. Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun. Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan. Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh. Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq.
6. Periode kemunduran fiqh. Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
4. Dasar-Dasar Fiqih Empat Mazhab
a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib (semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Qur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut “diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi menunjukkan secara tidak langsung atau hanya memberikan kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum disebut “melalui qiyas”.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka illat, hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya .
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah, membenarkan bahwa dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
b. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki
Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u man qablana. Al-Qurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab maliki sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas, qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi, seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio) .
c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafi’i
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an, merinci yang global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada di dalam Al-Qur’an.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafi’ie adalah pernyataannya, “Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Qur’an.” Untuk membuktikan hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara Al-Qur’an dalam menerangkan suatu hukum. Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Qur’an dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Di dalam Al-Qur’an disebutkan : (4:80)
Yang maksudnya : “Barang siapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah.”
Dengan demikian, suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur’an, karena Al-Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi menjauhi yang di larang .
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al-Qur’an dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis, dalam Al-Qur’an di sebutkan dalan 4:59
d. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para ulama Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab Hambali aitu adalah : (1) Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, (2) fatwa-fatwa sahabat, (3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan sikapnya secara khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd al-dara-i’, (8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah.
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih mendahulukan penggunaan qiyas.
D. KESIMPULAN
Dari paparan di atas, dapat penulis mengambil beberapa poin kesimpulan di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
E. PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun, dengan harapan semoga ada manfaatnya bagi pembaca, khususnya bagi penulis sendiri.
Saran-saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini dan untuk kemajuan ilmu pengetahuan kedepan.
F. DAFTAR PUSTAKA
عبد الغنى الدقر, الامام الشافعى (فقيه السنة الاكبر),دار القلم,دمشق
Asy Syak’ah, Mustofa Muhammad, Islam Tidak Bermazhab, Cet. 2, Gema Insani Press: Jakarta, 1995
Mustofa Al Maraghi, Abdullah, Pakar Pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Cet. 1, LKPSM: Yogyakarta, 2001
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, Cet.2, Risalah Gusti: Surabaya, 1996
http://diaz2000.multiply.com/journal/item/20/Sejarah_Singkat_Munculnya_Mazhab-Mazhab_dalam_Islam
http://apat-kedahi.blogspot.com/2009/04/mazhab-mazhab-fiqih-dan-pengertiannya.html
http://www.hupelita.com/baca.php?id=495
http://www.cybermq.com/pustaka/detail//100/sejarah-perkembangan-fiqh
http://neobyadver.blog.plasa.com/2009/05/26/sejarah-singkat-munculnya-mazhab-mazhab-dalam-islam/
http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Hanifah
http://id.wikipedia.org/wiki/Malik_bin_Anas
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_bin_Hanbal
http://www.mail-archive.com/sarikata@yahoogroups.com/msg08055.html
http://www.hayatulislam.net/persoalan-seputar-mazhab.html
Langganan:
Postingan (Atom)