BUATLAH APA YANG BELUM DIFIKIRKAN ORANG LAIN,BERHENTI TIADA TEMPAT BAGIMU, LAMBAT BER ARTI MATI, KARENA ENGKAU AKAN TER INJAK INJAK OLEH MASA
ASSALAMU ALAIKUM
Selasa, 11 September 2012
PEMIKIRAN TASAWUF MURTADHA MUTHAHHARI
I. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang paling mulia dan sekaligus paling unik, jika dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya. Karena keunikannya inilah, manusia selalu menarik untuk diteliti dan dibicarakan. Pembicaraan mengenai manusia dan hakekatnya seolah-olah tidak pernah mengenal kata "tuntas", walaupun telah menggunakan perspektif yang bermacam-macam. Keunikan dan kedalaman hakekat kemanusiaan inilah yang menyebabkan lahirnya berbagai cabang ilmu yang membahas manusia dari berbagai macam perspektif yang berbeda-beda.
Dalam perspektif filsafat, disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir (al- insan al hayawanu al-nathiq), karena manusia memiliki nalar intelektual (akal). Dengan nalar intelektual inilah manusia berpikir, menganalisis, memperkirakan, membandingkan, menyimpulkan, dan beragam aktivitas intelektual lainnya. Nalar intelektual inilah yang membuat manusia dapat membedakan anatara yang baik dan yang buruk (etika), serta antara yang benar dan salah (ilmu). Adapun dalam perspektif tasawuf atau spiritualitas Islam,[1] disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang secara fitrahnya dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan jiwanya, ketika jiwanya suci maka akan tampil prilaku suci dan terpuji, sebaliknya jika jiwanya tidak suci maka akan tampil prilaku yang tak suci atau tercela.[2]
Karena keistimewaan dan keunikan manusia dibandingkan makhluk Allah lainnya, nalar dan jiwa manusia sering "digelisahkan" oleh berbagai persoalan mengenai kehidupannya. Salah satu persoalan utama yang senantiasa menghantui pikiran dan perasaan manusia adalah mengenai tujuan penciptaan alam semesta, termasuk adalah tujuan penciptaan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam raya.[3] Dari sudut pandang spiritualitas atau mistisisme secara umum (tak terkecuali tasawuf dalam Islam) Secara fitrawi manusia pada umumnya memiliki gejala konstan akan kerinduan nurani (jiwa) unruk mencapai kemanunggalan dengan Tuhan.[4] Kemanunggalan dengan Tuhan tersebut merupakan ultimate goal (tujuan utama) dari penciptaan manusia, dan oleh karena itu setiap gerak langkah manusia dalam hidup dan kehidupannya mestilah didasari atas upaya mencapai kemanunggalan yang abadi dengan Tuhan sebagai modus existence.
Posisi Tuhan sebagai modus existence didasarkan pada pandangan kaum sufi yang menyatakan potensialitas diri yang hakiki manusia pada sesuatu yang tak terhingga dan tak terbatas kepada diri yang bersifat material (jasmaniyah) semata. Potensialitas hakiki manusia yang tak terhingga tersebut merentang dari titik awal penciptaan yang tak diketahui (azal) hingga titik keabadian yang tak diketahui pula (abad).[5] Potensialitas hakiki tersebut adalah ruh Ilahiyah yang merupakan awal dan akhir kehidupan manusia, yang jika diwujudkan dalam ranah praksis kehidupan menjadi spirit sekaligus orientasi gerak kehidupan. Hal ini secara implisit tergambar dalam firman Allah Innalillahi wa inna ilaihi raji'un (Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya).
Tasawuf merupakan bidang ilmu yang berkaitan dengan ruh, hati (qalb), dan jiwa (nafs). Jika hati telah mendapatkan pancaran (emanasi), maka ia dapat merasakan eksistensiNya, merasakan keagunganNya, dan menikmati pesonaNya yang Tak Terbatas dan Abadi.[6] Dalam perspektif para sufi, tasawuf merupakan puncak dari realisasi (tahaqquq) dan penghayatan terhadap terhadap kehambaan manusia kepada Allah sebagai Sang Modus Existence. Dalam mencapai puncak kehambaan ini, sebagian sufi (seperti al-Ghazali) menekankan ketakutan, sedangkan sebagian sufi yang lain (seperti Jalal al-Din al-Rumi) menekankan kecintaan. Penekanan ini lagi-lagi sangat terkait dengan tingkat pemahaman dan pengalaman kita menuju kepada Allah. Oleh sebab itu, tasawuf dalam Islam mengajarkan kepasrahan (islam) kepada Allah, dan dalam keadaan pasrah inilah hamba akan merasa damai (sulam) ketika menemukan sisi menakutkan dan sisi yang melahirkan cinta kepada Allah.[7]
Seorang manusia yang berbekal hati yang bersih dan jiwa yang stabil, memahami ibadah yang tidak lagi bersifat kewajiban yang mengesankan keterpaksaan, namun sebagai momen perjumpan dengan kekasih, sebagai kata sandi untuk membuka khazanah misteriusNya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "ada hamba yang beribadah kepada Allah swt karena ingin mendapatkan imbalan, itulah ibadah tingkat pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan itulah ibadah tingkat budak. Adapula hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah swt, itulah ibadahnya orang mukmin."[8] Ibadah karena cinta tanpa mengharapkan imbalan pahala dan takut akan siksaNya merupakan esensi dari ibadah yang dilakukan oleh para sufi.
Konsepsi ketuhanan (teosofi) dan epistemologi ketuhanan (manhaj kalam) yang dipakai menjadi landasan utama dari para sufi untuk merumuskan secara teoritis pandangan tasawufnya serta menjadi pedoman praksis untuk menempuh jalan kesufian (suluk). Selain itu, hal tersebut akan membawa pada efek praksis yang dirasakan baik secara individual oleh para sufi, berupa hal dan maqam yang dilalui dalam perjalanan spiritual dan efek sosiologis, tentang sejauh mana sufisme (tasawuf) memberikan konstribusi bagi masyarakat dan perkembangan peradaban Islam.
Secara umum kelompok tasawuf dalam Islam berdasarkan konsep teosofi dan manhajnya terbagi kedalam dua kelompok (mazhab), yaitu tasawuf monistik dan tasawuf dualistik. Tasawuf monistik mendasarkan konsep teosofinya pada konsep wahdah al-wujud, al-ittihad, atau hulul, kelompok ini kemudian dikenal dengan istilah tasawuf falsafi. Kelompok ini berpandangan bahwa hakekat realitas antara hamba dan Tuhannya merupakan kesatuan wujud yang tak terpisahkan (wahdah al-wujud).[9] Dalam pandangan epistemologisnya kelompok ini memadukan pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.[10] Atau degan kata lain, kelompok ini memadukan dua alat epistemologis manusia, yaitu akal dan hati serta memfungsikan keduanya secara sinergis dan simultan dalam menempuh perjalanan menuju Tuhan. Berkebalikan dengan kelompok tasawuf monistik, kelompok tasawuf dualistik menolak dengan keras pandangan wahdah al-wujud kelompok monistik, bahkan mengkafirkannya. Tasawuf dalam kelompok ini telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi Asy'ariyah. Kelak kelompok ini diidentifikasi sebagai kelompok tasawuf Sunni.[11] Kelompok tasawuf ini lebih mementingkan praktik-praktik syariat dalam tasawufnya dan cenderung mengabaikan penalaran rasional-filosofis sebagai basis tasawuf. Atau dengan kata lain kelompok ini hanya menggunakan satu alat epistemologi saja dalam mencapai kesempurnaan perjalanan manusia, yaitu intuisi (hati) dan menafikan kerja akal.
Dalam makalah singkat ini, penulis akan berusaha memaparkan pemikiran-pemikiran tasawuf dari seorang tokoh penganut tasawuf falsafi, yaitu Ayatullah Murtadha Muthahhari. Makalah ini secara umum dibagi ke dalam dua bagian utama, yaitu :
1. Biografi Murtadha Muthahhari
2. Pemikiran Tasawuf Murtadha Muthahhari
II. Pembahasan
A. Biografi Murtadha Muthahhari
Syahid Murtadha Mutahari, seorang filosof, ulama, sufi Syiah kontenporer, serta salah seorang ideolog revolusi Islam Iran. Lahir pada tanggal 2 februari 1920 M yang bertepatan dengan tahun 1338 Hijriyah di desa Fariman, dekat kota Masyhad, Iran. Masyhad merupakan salah satu kota yang dianggap suci oleh pengikut Syiah Imamiyah. Ayahnya adalah Muhammad Husein Muthahhari adalah ulama yang cukup terkemuka di kalangan muslim Syiah Iran.[12]
Beliau adalah murid terdekat dari dua tokoh besar Syiah, yaitu Allamah Thabaththba"i dan Ayatullah Khomaeni. guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri. Pada usia 12 tahun Murtadha Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di hawzah (pesantren) ilmiah di Masyhad. Ia menunjukkan minat yang cukup besar pada filsafat, khazanah ilmu-ilmu rasional serta irfan. Pertama kali beliau belajar filsafat dan khazanah ilmu-ilmu rasional yang lainnya pada Mirza Mehdi Syahidi Razawi. Setelah guru pembimbimnya wafat, beliau meninggalkan kota suci Masyhad untuk hijrah ke kota suci Qum untuk melanjutkan istudi agamanya di hawzah ilmiah di kota suci tersebut.[13]
Pada usianya yang mashi relatif muda, Muthahhari telah mengajar mata kuliah logika, filsafat, fiqih, dan teologi (kalam) di fakultas teologi universitas Teheran. Bahkan ia juga sempat menjabat sebagai ketua jurusan filsafat di universitas tersebut.[14] Muthahhari saagat menaruh minat yang cukup besar kepada filsafat dan bidan-bidang ilmu rasional. Bagi Muthahhari, filsafat tidak hanya sekedar untuk Polemik atau disiplin intelektual belaka. filsafat merupakan suatu pola tertentu dari religiusitas dansuatu jalan untuk memahami dan merumuskan Islam yang sesungguhnya.[15]
Selain menyibukkan diri pada aktivitas keilmuan, Murtadha Muthahhari juga menyibukkan diri pada kegiatan-kegiatan politik melwan rezim diktator Syah Pahlevi. Bahkan beliau termasuk sebagai salah seorang ideolog dan propagandis Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini pada tahun 1979. Murtadha Muthahhari mengawali konfrontasi politiknya yang pertama pada tanggal 6 Juni 1963. Ia menunjukkan secara serius dan terbuka sebagai salah seorang pengikut Imam Khomeini (pemimpin spiritual Syiah), baik secara politis dan intelektual. Beliau tampil di masyarakat Iran dengan membagi-bagikan seruan-seruan politik Imam Khomeini dan mendesak masyarakat iran untuk mendukungnya dalam setiap khutbah yang beliau sampaikan.[16]
Dalam pergerakan politiknya beliau aktif di berbagai organisasi politik, diantaranya adalah Persatuan Ulama Militan, sebuah organisasi yang menghimpun ulama-ulama Syiah Iran yang bertujuan untuk mendukung seruan revolusi Islam Imam Khomeini dan menggulingkan Syah Reza Pahlevi. Sedemikian banyaknya peran yang beliau lakukan dalam mendukung gerakan revolusi Islam, membuat beliau akhirnya sangat dekat dekat tokoh Imam Khomeini. Pada tanggal 12 Januari 1979, satu bulan menjelang terjadinya revolusi Islam Iran, Muthahhari ditunjuk sebagai ketua dewan revolusi bersama dengan beberapa ulama Syiah yang lain, seperti Ayatullah Javad Bahonar dan Ayatullah Husein Behesyti.[17]
Akhirnya, aktivitas politik beliau dalam mendukung cita-cita revolusi Islam mengantarkan beliau pada kesyahidan yang terjadi pada tanggal 1 mei 1979 (tiga bulan setelah revolusi Islam) oleh kelompok furqani (kelompok Syiah garis keras). Beliau syahid setelah memimpin rapat dewan revolusi di rumah Dr. Tadullah Shahabi. Sebutir peluru bersarang tepat dikepalanya dan menembus kelopak matanya.[18] Imam Khomeini, selaku pemimpin tertinggi revolusi tak kuasa menahan tangis dan kesedihannya ketika beliau syahid, bahkan kesedihan beliau sangat mendalam dibandingkan ketika anak kandungnya sendiri Sayyid Mustafa Khomeini Syahid di tangan rezim Syah Pahlevi. Meskipun ketika syahid sebagai beliau duduk sebagai ketua dewan revolusi, namun beliau tak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran Islam. Hasil-hasil pemikirannya hampir mencakup seluruh bidang keilmuan yang relevan dengan kebutuhan umat Islam dan demi kemajuan peradaban Islam di dunia.
Karya-kartya Murtadha Muthahhari yang telah diterbitkan, baik dari hasil ceramah-ceramahnya maupun tulisan beliau cukup banyak. mencakup lebih dari 200 judul dari berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, kalam, sejarah, sosiologi, antropologi, etika, ushul fiqh dan fiqh, hukum Islam, akhlak, irfan (tasawuf), sejarah, politik, serta ekonomi.[19]
B. Pemikiran Tasawuf Murtadha Muthahhari
1. Konsep Irfan (Tasawuf Falsafi)
Dalam pandangan mashab Syiah, istilah tasawuf diganti dengan istilah irfan yang berarti pengenalan atau pengetahuan. Dalam literatur Barat, kata irfan sering diartikan dengan kata gnosis atau pengetahuan yang telah melampaui konwoledge dan science. Irfan dalam Syiah adalah kecenderungan menguak rahasia mengenai pengetahuan-pengetahuan batiniah.[20] Berdasarkan pengertian tersebut, irfan merupakan dimensi spiritualisme Islam yang tidak memisahkan pengetahuan dengan spiritualitas, akal dengan hati, serta mensinergiskan antara pencapaian pencerahan mistikal dengan pemahaman rasional-filosofis mengenai pengalaman-pengalaman spiritualitas atau batiniah tersebut. Atau dengan kata lain irfan dalam Syiah merupakan nama lain dari tasawuf falsafi.
Menurut Murtadha Muthahhari, irfan sebagai sebuah disiplin ilmu terbagi ke dalam dua cabang, yaitu irfan ilmi atau irfan teoritis dan irfan amali atau irfan praktis.[21] Sebetulnya pembagian kedua jenis irfan diatas hanyalah untuk sekedar memudahkan saja. Sebenarnya jika seseorang ingin menggeluti dunia irfan sebagai jalan menuju pendekatan diri kepada Allah, mesti menggabungkan kedua jenis irfan tadi. Antara irfan ilmi dan irfan amali keduanya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan.[22]
Aspek praktis Irfan adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Irfan amali memiliki kemiripan dengan konsep akhlak dalam Islam, namun, dalam irfan amali aturan-aturan akhlak yang mesti ditaati sangat ketat. Dengan kata lain, itfan amali adalah akhlak yang secara khusus bersifat keagamaan (spiritual) dan membuat serta mengelola hubungan dengan prinsip keberadaan (Modus Existence atau Prime Causa) dalam urutan teratas.[23] Dengan demikian tingkatan akhlak yang ditempuh oleh seorang yang menempuh jalan irfan (salik) jauh berbeda dengan kategori akhlak bagi kalangan awwam. Bagi seorang salik kategorisasi akhlak yang mesti dilaksanakan adalah kategori akhlak yang sangat khusus (akhlak al-khas al-khas).[24]
Praktek dari pengamalan irfan amali disebut dengan sayr wa suluk (perjalanan ruhani).[25] Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang yang menempuh jalan ruhani (salik) yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni Tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqamat) perjalanannya secara berurutan, dan keadaan jiwa yang dialaminya (hal) sepanjang ia melakukan perjalanan tersebut. Untuk tujuan perjalanan ini sangatlah penting perjalanan ini dilakukan di bawah bimbingan seorang pembimbing spiritual yang benar-benar telah mengalami sendiri perjalanan ini dan sangat mengetahui prosedur yang dilalui pada setiap tahapan. Tanpa adanya bimbingan dari pembimbing spritual (mursyid) yang berpengalaman, sang salik bisa saja tersesat dalam perjalanannya.[26]
Perbedaan mendasar antara safar (suluk) yang dilakukan oleh penempuh jalan tasawuf dan irfan, menurut Muthahhari, amaliah tasawuf bersifat statis, tasawuf hanya berusaha untuk menghiasi jiwa kita yang kosong dengan men-tajalli atau men-tahalli-kan asma-asma Allah. Sementara irfan lebih mneekankan pada upaya mengajak jiwa manusia untuk melakukan safar yang sangat panjang. Oleh karena itu, guru irfan biasa juga disebut dengan al-thayr al-qudsi (burung suci) yang mengajak jiwa manusia (salik) untuk mengembara melintasi alam-alam ruhani.[27]
Irfan ilmi memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah wujud (ontologi), mendiskusikan Tuhan, manusia, serta alam semesta, dengan demikian irfan ilmi mirip dengan pandangan teosofi. Berbeda dengan filsafat yang hanya mendasarkan pemikirannya pada prinsip-prinsip argumenatsi rasional (dalil burhani), sedangkan irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. Atau lebih jelasnya, kaum arif (ahli irfan) ingin menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata kalbu dan segenap eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional.[28] Untuk mampu menjelaskan pengalaman intuitif tersebut ke dalam bahasa rasional, tentu saja sangat dibutuhkan pahaman tentang logika dan filsafat sebagai acuan untuk menjelaskan pengalaman intuitif tersebut. Hal ini meniscayakan seorang arif terlebih dahulu mesti menguasai logika dan filsafat, sebelum menuangkan pengalaman spiritualnya ke dalam kerangka teoritis yang rasional.
Dengan ketersibakan kalbu terhadap realitas ruhani yanng didapatkan selama melakukan pengembaraan spritual, maka pengetahuan esoteris dan wawasan emanatif tersingkapkan bagi kalbu pengikut jalan spiritual, sebagai buah dari perbaikan, pendidikan, dan penempaan diri. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh imam Ali bin Abi Thalib "Hakekat pengetahuan menghunjam dalam lubuk kesadaran nurani mereka, sehingga tindakan mereka didasarkan pada ruh keyakinan…"[29]
Dengan perbedaan mendasar pada epistemologi antara filsafat yang menggunakan burhani dengan irfan yang mengandalkan pencerahan intuitif, maka konsep-konsep teoritik dari keduanya pun berbeda. Dalam beberapa hal pandangan irfan sangat berebda dengan pandangan filsafat. Dalam filsafat, baik Tuhan maupun segala sesuatu selainNya sama-sama memiliki wujud. Namun hanya saja, sementara Tuhan merupakan Wujud Niscaya (Wajib al-Wujud) dan meng-ada dengan sendirinya dan wujud segala sesuatu selainNya bersifat mungkin dan me-wujud semata-mata karena bantuan selain diriNya (Tuhan). Sementara itu dalam irfan tidak ada segala sesuatu selain Allah, sekalipun mereka merupakan akibat dari pengaruh-pengaruhnya. Wujud Tuhan melingkupi dan meliputi segala sesuatu. Atau dengan kata lain, segala sesuatu tak lebih dari sekedar nama, sifat dan wujudnya, bukan “ada di sisiNya”.[30]
Tujuan seorang filosof juga berbeda dengan tujuan seorang arif. Sang filosof ingin memahami alam semesta. Dengan kata lain, ia ingin memiliki gambaran yang utuh tentang alam semesta yang ada di benaknya. Di mata seorang filosof, capaian tertinggi manusia terletak pada kemampuan rasionya untuk menangkap gambaran utuh tentang wujud sedemikian rupa, sehingga alam semesta (makro kosmos) menemukan cermin dirinya di dalam pikirannya. Sehingga ia akhirnya menjadi "cermin alam" (mikrokosmos. Bagi seorang arif kesempurnaan manusoia tidaklah terletak pada gambaran mental yang utuh tentang alam semesta. Kesempurnaan manusia terletak pada kemampuannya untuk "kembali" melakukan perjalanan ruhani menuju sumber segala sesuatu, kemampuannnya untuk mengatasi "jarak" antara dirinya dengan Tuhan, dan sampai dalam "dekapanNya" untuk meleburkan diri hingga ia menjadi “abadi (baqa’) dalam ketakterhingganNya”.[31]
Sekalipun antara filsafat dan irfan memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Namun, dalam Syiah antara irfan dan filsafat memiliki hubungan yang sangat erat.[32] Keduanya bagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi, irfan adalah kelanjutan perjalanan epistemologis, ontologis, dan aksiologis manusia setelah akalnya memahami konsepsi-konsepsi teoritik tentang wujud Tuhan, alam, dan manusia. Irfan memperjelas dan menyempurnakan pengetahuan esoterik manusia dengan menggunakan kalbu (intuisi) sebagai alat epistemologi dengan melakukan riyadhah dan tazkiyah sebagai metodologinya.
2. Ma'rifat, Syari'at, Tareqat, dan Haqeqat
Salah satu Perbedaan mendasar antara irfan dengan tasawuf (di dunia Sunni) adalah dalam tasawuf Sunni, posisi ma'rifat (pengenalan) tentang Allah sebagai realitas yang disembah diletakkan pada posisi puncak perjalanan. Sedangkan dalam irfan, justru ma'rifat diposisikan sebagai permulaan dari perjalanan keberagamaan seseorang. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dalam sebuah khutbahnya, "Adapun pokok pangkal agama adalah ma'rifah (mengenal) tentang Dia".[33] Ma'rifat yang dimaksud disini adalah pengenalan secara rasional dari seorang hamba tentang Tuhannya. Dengan kata lain, sekalipun irfan pada praksisnya lebih bercorak intuitif ketimbang rasional, namun, untuk menempuh jalan irfan basis ma'rifat burhani (filosofis) tentang Tuhan harus dituntaskan.
Setelah menyelesaikan ma'rifatullah sebagai pangkal agama, maka langkah selanjutnya adalah dengan melaksanakan ibadah dengan penuh kesungguhnan sebagai implikasi logis ma'rifatullah. Ibadah adalah penghambaan secara totalitas kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penolakan terhadap segala sesuatu yang lain sebagai objek sesembahan atau pemujaan.[34] Prinsip dasar dari ibadah kepadaNya adalah tulus dan Ikhlas dalam menyembahNya.[35] Dalam pandangan irfan melihat ibadah seorang manusia dalam tiga tingkatan, yaitu syari'at, tariqat, dan haqeqat. Meskipun ketiga pandangan tersebut memiliki kesamaaan dengan yang ada pada tasawuf Sunni, namun, irfan memiliki pandangan yang berbeda mengenai ketiga konsep tersebut.
Menurut Murtadha Muthahhari, syari'at adalah sebagai batang tubuh hukum Islam megandung tujuan yang baik dan kebenaran. Kaum arif meyakini bahwa semua jalan akhirnya akan berujung kepada Allah sebagai tujuan terakhir dan paripurna dari perjalanan manusia. Semua kebenaran dan tujuan-tujuan yang baik hanyalah sarana, penyebab, atau perantara yang mengantarkan manusia sampai kepadaNya. Para ulama fiqih, pada umumnya berpandangan bahwa syari'at mengandung tujuan yang baik, dan tujuan-tujuan yang baik inilah yang menjadi spirit (atau menjadi sebab) adanya syari'at. Mereka juga berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik itu adalah dengan bertindak sesuai engan syari'at itu sendiri. Tetapi, kaumj arif memiliki pandangan lebih dari itu, mereka mengatakan bahwa berbagai tujuan baik itu merupakan tahapan-tahapan perjalanan menuju Allah dan proses-proses meraih kebenaran.[36] Syari'at adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh kaum mukminin, yang dengan itu kita mencapai kebanaran sesuai dengan kualitas ketaatan dan ibadah kita.[37]
Kaum arif meyakini, bahwa syariat memiliki sisi batiniah yang disebut dengan tariqat,yakni suatu jalan menuju kebenaran sejati (haqiqah) atau pencapaian keesaan Allah yang sesungguhnya (Tauhid).[38] Dalam bahasa Fritjouf Schoun (Muhammad Isa Nur al-Din), tareqat sebagaimana yang disinggung dalam sebuah hadis adalah ihsan, yaitu tindakan kebajikan yang memberikan kepercayaan dan melaksanakan nilai-nilai yang menyempurnakan. Dengan kata lain, ihsan adalah mengintensifkan dan memperdalam iman dan amal. Ihsan atau tareqat secara ringkas adalah ketulusan dari kehendak dan intelegensia, ia adalah keterikatan total kta kepada hukum Allah.[39]
Menempuh jalan tareqat tidaklah terpisahkan dari ketaatan pada syari'at. Dalam pandangan kaum arif, tidak ada jalan lain dalam menempuh jalan tareqat, kecuali dengan melalui penyelenggaraan ibadah-ibadah syar'i secara intensif. Atau dengan kata lain, tingkat kearifan seseorang dalam irfan sangat ditentukan oleh tingkat intensitas ibadah yang dilakukannya.[40] Jika kaum awwam menganggap ibadah kepada Allah semata-mata hanya aturan khusus yang diwajibkan, sedangkan kaum arif menganggap ibadah kepadaNya sebagai pelekat (tali kasih) yang menghubungkan antara pecinta (isyq) dan yang dicintai (ma'syuq).[41] Ibadah yang dipahami sebagai refleksi cinta seperti inilah yang akan mengantarkan seorang arif pada bangkitnya kesadaran spiritualnya,[42] untuk melakukan perjalanan demi perjumpaan dengan Sang Kekasih.
Penempuhan jalan tareqat selain dilakukan dengan mengintensifkan ibadah kepadaNya, juga mesti dilakukan dengan mengikhlaskan hati secara paripurna, yang hanya bisa dilakukan dengan "melenyapkan" ego sang arif. [43] Seorang arif menggambarkan intisari penempuhan jalan tareqat adalah dengan untaian kalimat berikut. "Tahap pertama dari zikir adalah melupakan diri dan pada tahap terakhir adalah hilangnya sang hamba ke dalam gerak ibadah kepadaNya".[44] Dengan lenyapnya ego sang arif dalam gerak ibadahnya, maka itulah tujuan akhir dari proses menempuh jalan suluk, yaitu ketika tercapainya kebersatuan atau kemanunggalan degan Allah (manunggaling kawula lan gusti). Kebersatuan dengan Sang khalik tersebut adalah haqeqat dari ibadah dalam pandangan kaum arif.
Kaum arif mempercayai ketiga hal, yaitu syari'at, tareqat, dan haqeqat adalah tiga hal yang saling berangkai dan terkait. Syari'at adalah sarana untuk mencapai tareqat, dan tareqat adalah sarana untuk mencapai haqeqat. Syari'at adalah kulit dari tareqat, dan tareqat adalah kulit dari haqeqat.[45] Ketiga cabang tersebut dianalogikan dengan manusia yang terdiri dari tiga bagian, yaitu, tubuh, jiwa, dan ruh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan bahkan membentuk satu kesatuan utuh antara aspek-aspek lahir dan batin. Syari'at adalah kulit luar, tareqat adalah biji dalam, sedangkan haqeqat adalah bijinya biji. Namun demikian, kaum arif juga percaya bahwa eksistensi manusia bisa memiliki lebih dari tiga tahapan. Yakni mereka percaya bahwa adanya satu tahap yang diluar jangkauan intelek (akal) manusia.[46]
3. Maqam dan Hal
Dalam menempuh perjalanan suluk, seorang salik (arif) pasti akan mengalami maqam dan hal.[47] Maqam dan hal dipahami secara berbeda-beda oleh para sufi. Meskipun demikian, para sufi (arif) sepakat bahwa maqamat (jamak dari maqam) adalah kedudukan seorang pejalan sprititual (salik) dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras ibadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), melakukan latihan-latihan keruhanian (riyadhah), sehingga ia mencapai keluhuran budi pekerti (adab) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya untuk melakukan berbagai kewajiban (dengan sebaik-baiknya) untuk mencapai kesempurnaan. Sedangkan hal (jamak ahwal) adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu yang diciptakan oleh Allah dalam hati manusia, tanpa sang sufi mampu menolak jika ia datang, dan tanpa mampu ia mempertahankan apabila pergi.[48]
Konsep maqamat dan ahwal diperkenalkan sebagai bagian dari pemahaman tasawuf sebagai suatu perjalanan spiritual (suluk). Maqamat adalah terminal-terminal (station-station) yang mesti dilewati seorang salik sebelum ia mencapai ujung perjalanan spiritual. Sedangkan hal adalah keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para pejalan spiritual di tengah-tengah perjalanan ini.[49] Menurut Murtadha Muthahhari, maqamat adalah apa yang dicapai oleh seorang arif melalui upayanya, Sedangkan hal adalah apa yang menghinggapi kalbu seorang arif tanpa diinginkannya. Hal bersifat sementara sedangkan maqam bersifat permanen. Konon, hal dalam pandangan kaum arif seperti kilatan cahaya yang cepat berlalu. Kaum arif menyebut kilatan-kilatan cahaya itu dengan istilah lawaih, lawamih, dan tawalih. Istilah-istilah tersebut dipakai untuk menandakan perbedaan tingkat intensitas dalam lamanya berbagai kilatan cahaya yang dirasakan.[50]
Jika ditelaah lebih mendalam keberadaan maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf, tidak lain adalah dalam rangka lebih mempertegas komitmen seorang muslim dalam syahadah (persaksian) Tauhid. Dengan persaksiannya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Atau dengan kata lain, maqamat merupakan penjabaran dari syahadah Tauhid. Sedangkan hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah[51] Dengan kata lain antara maqam dan hal adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam rangkaian perjalanan suluk. Tercapainya satu jenjang maqam yang diperoleh oleh seorang salik meniscayakan hal sebagai konsekuensi yang ia dapatkan dari rangkaian perjalanan spiritualnya.
Perbedaan mendasar antara konsep maqam dan hal antara tasawuf dualistik (tasawuf Sunni) dan tasawuf monistik (tasawuf falsafi atau irfan) terletak pada struktur maqam yang dilalui dan hal yang didapatkannya berdasarkan jenjang maqam tersebut. Dalam tasawuf Sunni, jenjang maqam yang dilalui bersifat statis, karena jiwa tidak melakukan pengembaraan spiritual menembus lintasan-lintasan alam. Maqamat yang dipahami dalam tasawuf Sunni hanyalah keadaan jiwa yang telah dihiasi dengan ter-tajalli dan ter-tahalli-kannya asma-asma Allah. Dengan kata lain, maqamat sebenarnya hanyalah upaya penyempurnaan kualitas jiwa dalam beribadah kepada Allah. Jenjang-jenjang maqamat dalam taswuf Sunni misalnya taubah, wara, zuhud, faqir, Shabr, dan ridha.[52]
Jenjang maqamat dalam irfan didasarkan pada pandangan filsofis tentang jiwa manusia yang merupakan mikro dan sekaligus makrokosmos, dengan demikian jiwa manusia dapat melakukan gerak secara dinamis menembus tingkatan alam-alam makro. Menurut Muthahhari, jiwa manusia bagaikan organisme yang dinamis. Manusia dalam melakukan perjalanan menuju Allah mestilah melewati safar demi safar (perjalanan demi perjalanan) ruhaniah. Manusia harus melewati perjalanan atau safar yang cukup jauh, yang di dalamnya ia harus singgah dari satu terminal ke terminal lainnya. Oleh karena itu, dalam pandangan irfan seorang salik akan melalui maqam-maqam berupa tingkatan-tingkatn alam, dari satu alam yang lebih rendah ke alam yang lebih tinggi. [53]
Jiwa manusia yang merupakan organisme yang dinamis, oleh karena itu, menurut Muthahhari, kalau manusia ingin mencapai satu tujuan yang sangat tinggi, maka ia harus mengikuti dan melewati sistematika yang sudah ditentukan dalam alam ruhaniah tersebut.[54] Hal ini dilakukan dengan melakukan ibadah, mujahadah, dan riyadhah yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dengan melalukan persepsi intuitif terhadap dua kalimat syahadat yang dengannnya seseorang menyatakan diri sebagai seorang muslim.[55] Dengan bangkitnya kesadaran dan persepsi intuitif tersebut maka seorang arif akan mampu melakukan perjalanan menuju jenjang maqam dalam tingkatan alam semesta.
Dalam pandangan Muthahhari, ada enam jenjang maqam yang mesti dilalui oleh seorang salik untuk mencapai al-Haqq. Keenam jenjang maqam tersebut secara umum dibagi ke dalam dua klasifikasi utama safar. Yang pertama adalah maqam nafs, yaitu upaya langkah awal yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk membebaskan jiwanya dari kecenderungan-kecenderungan material. Setelah itu perjalanan selanjutnya adalah mencapai maqam qalb. Yaitu, alam ruhani pertama yang mesti dilalui manusia, di satu sisi alam qalb merupakan maqam, namun di sisi lain alam qalb merupakan hijab bagi seorang salik. Jika alam nafs memberikan hijab berupa kenikmatan materi, sedangkan alam qalb memberikan cahaya yang bisa menjadi anugerah tapi sekaligus bisa menjadi hijab jika seorang salik terpukau padanya. Selanjutnya adalah mencapai maqam alam ruh. Setelah seorang salik mampu mengalahkan keterpukauan terhadap cahaya-cahaya qalb (hal yang didapat dalam maqam qalb), maka jiwa manusia akan melintas maqam menuju maqam ruh. Di maqam ruh inilah akhir dari safar pertama manusia, yang dalam bahasa Shadra, perjalanan dari makhluk menuju Tuhan.[56]
Setelah melewati tiga maqam dalam safar pertama, seorang salik akan memasuki safar kedua di alam lahut. Safar dalam alam ini terbagi atas tiga jenjang maqam. Yang pertama, maqam sirr, yaitu merupakan maqam fana fi al al-Dzat. Pada maqam ini para arif sering mengalami ekstase atau syatahat (kemabukan) bersama dengan Sang Kekasih. Yang kedua adalah maqam khafy yaitu maqam fana' dalam Sifat Allah. Dan yang ketiga adalah maqam akhfa, yaitu maqam fana' pada Zat dan Sifat Allah sekaligus.[57] Safar kedua ini seperti safar kedua dalam al-asfar al-arba'ah Mulla Shadra, yaitu perjalanan di dalam Tuhan bersama Tuhan.
Keterlenaan pada hal yang didapatkan pada setiap jenjang maqam tersebut akan mengakibatkan stagnasi spiritual yang dialami oleh sang arif hingga ia tak mampu melanjutkan perjalanan hingga ke jenjang maqam berikutnya. Kebanyakan para sufi atau kaum arif mengalami keterlenaan pada kilatan-kilatan pesona cahaya qalb dan ruh, serta mengalami syatahat (ekstase) pada maqam fana fi al-Dzat (maqam sirr) sebagaimana yang dialami oleh Mansur al-Hallaj.
4. Tasawuf dan konsep Imamah
Dalam menempuh perjalanan suluk pada umumnya kaum sufi sepakat akan perlunya seorang pembimbing spiritual yang benar-benar telah mengalami sendiri perjalanan itu dan sangat mengetahui prosedur pada setiap tahap. Muthahhari, menganggap adanya seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagai sebuah kemestian dalam menempuh jalan suluk. Tanpa bimbingan seorang mursyid (syeikhi) yang berpengalaman, maka seorang salik kemungkinan besar akan tersesat dan gagal dalam menempuh perjalanan suluknya.[58]
Dalam mazhab Syiah Imamiyah, keyakinan akan imam sebagai pengganti Nabi Muhammad saww,[59] yang tidak hanya berfungsi sebagai penjaga risalah nabi, melainkan juga menjadi pemimpin spiritual umat manusia. Dalam pandangan Syiah, imam merupakan penjaga dan pemelihara ilmu Rasul. Imam adalah individu yang paling sempurna dan manusia teladan dari segi agama. Imam adalah pemimpin manusia dan telah melewati jalan kesempurnaan dan kebahagiaan dan memberi bimbingan serta petunjuk kepada orang lain untuk menapak di jalan yang lurus.[60] Dengan demikian, menilik integritas dan kualitas individu sang imam, maka dengan sendirinya seorang imam adalah mursyid tertinggi dalam perjalanan ruhani kaum mukminin.
Dalam perspektif Syiah, imam memiliki kedudukan wilayah atas kaum muslimin. Walayah secara harfiah berarti pertolongan, pemimpin, dan penanggung jawab. Kemudian secara praksis, peran walayah imam memiliki beberapa bagian penting, yaitu wala' al-mahabbah (kecintaan), wala' imamah (kepemimpinan), wala' zi'amah (penanggungjawab), dan wala' al-tasarruf (penguasaan), dan wala' batiniyah.[61] Kelima posisi dan peran imam tersebut meniscayakan posisi imam sebagai pemilik otoritas tertinggi atas seluruh manusia, khususnya dalam wilayah spiritualitas manusia. Berkenaan dengan wilayah irfan seorang imam memiliki peran walayah batiniyah yang meniscayakan kedudukan dan ooritas dia sebagai pemimpin spiritual manusia atau mursyid bagi seluruh umat manusia.[62] Pribadi seorang imam digambarkan oleh Muthahhari, sebagai pribadi yang memiliki daya tarik yang begitu kuat secara spiritualitas dan moral kepada mereka yang mengikuti jalannya dan memiliki gaya tolak yang kuat pula kepada mereka yang mengingkari kebenaran.[63]
Tahapan wilayah tertinggi menurut Muthahhari adalah walayah yang mencakup dimensi batiniah manusia. Wilayah batiniyah yang dimaksud disini, disatu sisi berhubungan dengan kekuatan manusia yang tersembunyi untuk mencapai kesempurnaan dan sisi lain berhubungan dengan ikatan yang ada antara seorang manusia dengan Allah. Walayah batiniah yang diyakini oleh kaum Syiah merupakan otoritas para imam dari kalangan ahlul bait Nabi saw, didasarkan pada integritas dan kualitas intelektual, moral, sosial, dan spiritual yang mereka miliki. Sehingga Allah menetapkan sebuah ketentuan Walayah gaib yang diberikan oleh Allah swt memiliki makna kedudukan beliau yang begitu tinggi, hingga ia menjadi pemimpin kafilah spiritualitas manusia, pemimpin hati nurani manusia, saksi atas perbuatan-perbuatan mereka, dan penguasa tertinggi pada zamannya. Dunia tidak akan pernah kosong dari pemimpin spiritual yang demikian. Dengan kata lain dunia tak pernah ada tanpa seorang manusia yang sempurna.[64]
Kemestian akan senantiasa adanya sosok manusia sempurna yang tampil menjadi pemimpih kafilah ruhani manusia, didasarkan pada asumsi akan fundamennya kebutuhan manusia akan pencapaian spiritualitas. Oleh karena dalam melakukan perjalanan spiritual seorang manusia tak mungkin berjalan sendiri tanpa pembimbing spiritual yang telah mencapai taraf kesempurnaan sejati. Maka hadirnya seorang manusia sempurna sebagai pemimpin spiritual merupakan sebuah kemestian dan perwujudan keadilan Tuhan kepada manusia.
Imam adalah seseorang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi pemimpin jalan wilayah. Dialah yang memegang kendali wilayah esoteris di tangannya. Dia adalah pusat “sinar-sinar wilayah” yang memantau hati manusia.[65] Dengan pengakuan terhadap otoritas imam sebagai pemimpin dan pembimbing spiritualitas manusia yang tertinggi, tidak meniscayakan hilangnya peran seorang arif tertentu sebagai mursyid individuaL yang membimbingnya secara khusus murid-muridnya. Hanya saja otoritas seorang arif yang menjadi mursyid tersebut berada dalam otoritas wilayah imam sebagai mursyid tertinggi
5. Tasawuf dan Akhlak
Dalam pandangan Muthahhari, antara tasawuf (irfan) dengan akhlak (etika) merupakan dua hal yang memiliki keeratan dan persamaan. Yaitu keduanya sama-sama membicarakan ihwal mengenai "apa yang seharusnya dilakukan".[66] Meskipun demikian, akhlak dalam tinjauan tasawuf memiliki perbedaan yang mendasar dengan akhlak (etika) dalam defenisi yang umum. Menurut Muthahhari, keduanya memiliki beberapa perbedaan mendasar. Yaitu, akhlak dalam irfan membicarakan hubungan manusia dengan dirinya, dengan dunia, dan dengan Tuhan, dan perhatian utamanya adalah hubungan manusia dengan Tuhan sebagai fondasi akhlak. Sedangkan akhlak pada umumnya tidak terlalu membahas hubungan manusia dengan Tuhan. Yang kedua, akhlak dalam irfan bersifat dinamis, sedangkan akhlak bersifat statis. Yakni, irfan membicarakan tahap awal dan akhir perjalanan serta urutan tahap yang mesti ditempuh dari akhlak yang dilakukan. Dan yang ketiga, unsur-unsur spiritual dalam etika hanya terbatas pada konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang dipahami kebanyakan orang. Sementara itu, unsur-unsur spiritual dalam irfan jauh lebih mendalam dan luas. Yakni, dalam perjalanan ruhani irfan misalnya, banyak dibicarakan tentang hati dan keadaan-keadaan yang akan dialaminya sepanjang perjalanannya tanpa sepengetahuan orang-orang di sekitar.[67]
Dalam melaksanakan irfan amali, seorang salik mesti mengikuti aturan-aturan akhlak yang sangat ketat, dibandingkan pelaksanaan akhlak bagi manusia pada umumnya. Akhlak bagi seorang arif merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam menempuh perjalanan suluknya dermi mencapai jenjang maqam tertinggi. Sedangkan akhlak pada hal-hal tertentu bagi orang kebanyakan terkadang bukan sebagai kewajiban yang mesti dilaksanakan, melainkan hanya pilihan yang dilaksanakan untuk mencapai fadhilah.
Menurut Murtadha Muthahhari, basis perbuatan akhlak didasarkan pada asumsi rasional-filsoofis mengenai fitrah manusia, meskipun demikian nilai dan manfaat yang didapat dari perbuatan akhlak terkadang tidak bisa dicerap oleh akal manusia.[68] Menurut Muthahhari, kecenderungan manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan akhlaki bersifat fitrah,[69] sebagaimana fitrah manusia yang lain seperti fitrah bertuhan dan beragama. Perbuatan akhlaki merupakan perbuatan luar biasa yang dilakukan oleh seorang manusia, karena untuk melaksanakan perbuatan tersebut memestikan upaya dan ikhtiyar yang sungguh-sungguh dan ikhlas untuk mengalahkan egoisme dan hawa nafsu yang membelenggu. Muthahhari menyebutkan perbuatan akhlak sebagai perbuatan ksatria yang memiliki nilai lebih tinggi dari perbuatan biasa.[70]
Perbuatan akhlaki selain perbuatan yang didasarkan pada asumsi rasionalitas, juga didasarkan pada kesadaran intuitif (spiritual). Mengutip Immanuel Kant, Muthahhari menyebutkan perbuatan akhlaki merupakan perbuatan yang mendapatkan sinaran cahaya Ilahi. Dan hal tersebut tak mungkin terrealisasi tanpa didasari oleh keimanan yang paripurna kepada Allah swt.[71]
Dari pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan antara irfan dan akhlak merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan menempuh jalan suluk, maka seorang arif akan semakin tertempa kesadaran jiwanya untuk semakin merealisasikan perbuatan akhlak secara praksis. Karena perbuatan akhlak merupakan syarat mesti untuk mencapai kesempurnaan jalan suluk. Dengan mencapai kematangan intelektualitas pemahaman akan hakekat diri, manusia, dan dunia secara filosofis. Yang kemudian dilanjutkan dengan penajaman intuitif dengan melakukan pengelanaan jiwa menempuh jalan suluk (spiritualitas). Maka buah yang dihasilkan secara praksis dalam sikap hidup seorang arif adalah perbuatan akhlaki yang berefek positif bukan hanya bagi sang arif tersebut melainkan dirasakan efeknya bagi manusia yang ada disekitaranya.
III. Penutup
Di penutup makalah ini, penulis akan memberikan beberapa entry point sebagai kesimpulan akhir dari makalah ini :
1. Murtadha Muthahhari menganut pandangan tasawuf falsafi atau irfan yakni pandangan tasawuf yang didasarkan pada asumsi-asumsi rasional filosofis dalam memahami realitas alam batin (ruhani) atau irfan ilmi (teoritis) dan pada praktek-praktek penajaman intuitif dengan menempuh jalan suluk atau irfan amali (praktis).
2. Ma'rifat filosofis terhadap realitas Ilahiyah (Tuhan) merupakan pangkal dari agama dan perjalanan suluk, yang kemudian dipraksiskan dalam pengamalan syari'at, untuk mencapai jalan tareqat sebagai perjalanan menuju kebenaran sejati (haqeqat), dan ketiganya adalah kesatuan yang tak terpisahkan.
3. Maqamat adalah apa yang dicapai oleh seorang arif melalui upayanya, Sedangkan hal adalah apa yang menghinggapi kalbu seorang arif. Dalam irfan ada enam maqam yang dilalui, yaitu maqam nafs, maqam qalb, maqam, ruh, maqam sirr, maqam khafy, dan maqam akhfa.
4. Dalam irfan meniscayakan keberadaan seorang imam yang memiliki peran walayah batiniyah yang meniscayakan kedudukan dan ooritas dia sebagai pemimpin spiritual manusia atau mursyid bagi seluruh umat manusia.
5. Antara irfan dan akhlak merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan menempuh jalan suluk, maka seorang arif akan semakin tertempa kesadaran jiwanya untuk semakin merealisasikan perbuatan akhlak secara praksis.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Syarh Nahj al-Balaghah. Diterjemahkan oleh Muhammad Bagir dengan Judul Mutiara Nahj al-Balaghah : Wacana dan Surat-surat Imam Ali. Bandung : Mizan. 2003.
Amini, Ibrahim. Hamed Bayad Bedonand. Diterjemahkan oleh Faruq Dhiya dengan Judul Semua Perlu tahu : Buku Pintar Ushuluddin. Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2006.
Arasateh, A. Reza. Growth to Selfhood the Sufi Contribution. diterjemahkan oleh Ilzamuddin Ma'mur dengan Judul Sufisme dan Penyempurnan Diri. Jakarta : Srigunting Press, 2002.
Arbery, A. J. Sufism and Account of the Mistics of Islam. Diterjemahkan oleh Bambang Herawan dengan Judul Tasawuf Versus Syari'at. Bandung : Hikmah, 2000.
Bagir, Haedar. Buku Saku Tasawuf. Bandung : Arasy, 2006.
Bahtiar, Laleh. Sufi : Exspression of the Mystic Quest. Diterjemahkan oleh Purwanto dengan Judul Perjalanan Menuju Tuhan. Bandung : Nuansa, 2001.
Haeri, Fadhullah. The Elements of Sufism. Diterjemahkan oleh Muhammad Hasyim Assegaf dengan Judul Belajar Mudah Tasawuf. Jakarta : Lentera Basritama, 2002.
Ilahi, Ibrahim Ghazur. The Scret of ana al-Haqq. Diterjemahkan oleh Bandaharo dan Joebaar Ajoeb dengan Judul Menyingkap Misteri Sufi Besar "Mansur al-Hallaj". Jakarta : Srigunting Press, 2002.
Kazhim, Musa. Belajar Menjadi Sufi. Jakarta : Lentera Basritama, 2002.
Labib, Muhsin. Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan. Jakarta : Lentera Basritama, 2004.
_______, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Shadra. Jakarta ; al-Huda Islamic Centre, 2005.
Muhammad, Hasyim. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002.
Muthahhari, Murtadha. Filsafah al-Hikmah. Diterjemahkan oleh Tim Penerbit Mizan dengan Judul Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra. Bandung : Mizan, 2002.
_______, Falsafa-ye Akhlake. Diterjemahkan oleh Muhammad Babul Ulum dan Eddy Hendri dengan Judul Filsafat Moral Islam. Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2004.
_______, al-Fitrah. Diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan Judul Fitrah. Jakarta : Lentera Basritama. 1999.
_______, Glimpses of the Nahj al-Balaghah. Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dengan Judul Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah. Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2002.
_______, Introduction to Irfan. Diterjemahkan oleh Ramli Bihar Anwar dengan Judul Mengenal Irfan. Jakarta : Hikmah. 2002.
_______, Introduction to Kalam, diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Mengenal Ilmu kalam. Jakarta Pustaka Zahra. 2002.
_______, Man and Universe. Diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Manusia dan Alam Semesta. Jakarta : Lentera Basritama. 2002.
_______, Master and Mastership. Diterjemahkan oleh Yudhi Nur Rahman dengan Judul Kepemimpinan Islam. Banda Aceh : Gua Hira. 1991.
_______, Polarization Around the Character of Ali bin Abi Thalib. Diterjemahkan oleh Muhammad Hashem dengan Judul Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Jakarta : Pustaka Zahra. 2002.
_______, Syesy Makoleh. Diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih dengan Judul Kumpulan Artikel Pilihan. Jakarta : Lentera Basritama. 2003.
_______, Tarbiyatul Islam. Diterjemahkan oleh Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam. Depok : Iqra Kurnia Gumilang, 2005.
_______, The Causes Responsible For Materialist Tendencies in the West, Doterjemahkan oleh Akmal Kamil dengan Judul Kritik Islam Terhadap Materialisme. Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2001.
Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. Diterjemahkan oleh Nashir Budiman dengan Judul Aspek Ruhaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah. Jakarta : Srigunting Press. 1997.
Fritjouf Schoun. Sufisme : Veil and Quintesence. Diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budhi Santoso dengan Judul Proses Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti. Jakarta : Srigunting Press. 2000.
Solihin, Mukhtar dan Rosihan Anwar. Hakekat Manusia : Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam. Bandung : Pustaka Setia. 2005.
Sukardi (ed). Kuliah-kuliah Tasawuf. Bandung : Pustaka Hidayah. 2000.
________________________________________
[1] Kata tasawuf berasal dari bahasa Arab yairu Shafa atau shafih yang berarti kesucian, ada juga yang berpendapat berasal dari kata shafwah yang berarti orang yang terpilih. Sebagian lain berpendapat tasawuf berasal dari kata shaf yang berarti baris yang berarti kaum muslimin yang berada di baris pertama dalam shalat atau perang suci. Sebagian ahli juga berpendapat kata ini berasal dari kata shuffah yakni serambi rendah yang terbuat dari tanah liat di mesjid Nabi di Madinah tempat orang-orang miskin yang baik hati dan mengikuti beliu berkumpul. Ada juga yang berpendapat kalau kata tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba, yaitu bahan jubah yang sering dipakai oleh para sufi. Namun ada juga yang berpendapat tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu sophia yang berarti hikmah atau kebijaksanaan. Lihat Fadhullah Haeri, The Elements of Sufism, Diterjemahkan oleh Muhammad Hasyim Assegaf dengan Judul Belajar Mudah Tasawuf, (Cet. IV ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 1.
[2] Mukhtar Solihin dan Rosihan Anwar, Hakekat Manusia : Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Setia, 2005), h. 1-2.
[3] Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, (Cet. I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 9.
[4] A. J. Arbery, Sufism and Account of the Mistics of Islam, diterjemahkan oleh Bambang Herawan dengan Judul Tasawuf Versus Syari'at, (Cet. I ; Bandung : Hikmah, 2000), h. 1.
[5] A. Reza Arasateh, Growth to Selfhood the Sufi Contribution, diterjemahkan oleh Ilzamuddin Ma'mur dengan Judul Sufisme dan Penyempurnan Diri, (Cet. II ; Jakarta : Srigunting Press, 2002), h. 1
[6] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, (Cet, I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2004), h. 25.
[7] Musa Kazhim, op, cit., h. 15.
[8] Muhsin Labib, loc, cit.
[9] Bid., h. 52.
[10] Haedar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II ; Bandung : Arasy, 2006), h. 101.
[11] Muhsin Labib, op, cit., h. 53.
[12] Murtadha Muthahhari, The Causes Responsible For Materialist Tendencies in the West, Doterjemahkan oleh Akmal kamil dengan Judul Kritik Islam Terhadap Materialisme, (Cet, I ; Jakarta : al-Huda islamic centre, 2001), h. 9.
[13] Muhsin labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Shadra, (Cet, I ; Jakarta ; al-Huda Islamic Centre, 2005), h. 278.
[14] Murtadha Muthahhari, Introduction to Kalam, diterjemahkan oleh Muhammad ilyas Hasan dengan Judul Mengenal Ilmu kalam, {Cet, I ; Jakarta Pustaka Zahra, 2002), h. 7.
[15] Hamid Algar, "Hidup dan karya Murtadha Muthahhari", dalam Pendahuluan buku Murtadha Muthahhari, Filsafah al-Hikmah, Diterjemahkan oleh Tim Penerbit Mizan dengan Judul Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra, (Cet. I ; Bandung : Mizan, 2002), h. 30.
[16] Murtadha Muthahhari, The Cause, op, cit.,h. 10.
[17] Ibid., h. 10-11.
[18] Ibid.
[19] Muhsin Labib, Para Filosof, op, cit., h. 280.
[20] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, opm cit., h. 31.
[21] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, Diterjemahkan oleh Ramli Bihar Anwar dengan Judul Mengenal Irfan, (Cet, I ; Jakarta : hikmah, 2002), h. 3.
[22] Agus Effendi, "Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Ahlul Bait", dalam Sukardi (ed), Kuliah-kuliah Tasawuf, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), h. 83.
[23] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, op cit., h. 77.
[24] Ibid., h. 83.
[25] Kata sayr wa suluk secara etimologis berasal dari dua kata yang sinonim, yaitu sayr yang berarti berjalan dan suluk yang juga artinya berjalan.
[26] Murtadha Muthahhari, Introductioin to Irfan, loc, cit.
[27] Agus Effendi, op, cit., h. 83-84.
[28] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan op, cit.,, h. 7
[29] Murtadha Muthahhari, Glimpses of the Nahj al-Balaghah, diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dengan Judul Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah, (Cet. I ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2002), h. 92.
[30] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit.
[31] Ibid., h. 8-9.
[32] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, op, cit., h. 76.
[33] Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah, Diterjemahkan oleh Muhammad Bagir dengan Judul Mutiara Nahj al-Balaghah : Wacana dan Surat-surat Imam Ali, (Cet, III ; Bandung : Mizan, 2003), h. 22.
[34] Murtadha Muthhahhari, Glimpses, op, cit., h. 81.
[35] Murtadha Muthahhari, Man and Universe, Diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Manusia dan Alam Semesta, (Cet. II ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 74.
[36] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 12-13.
[37] Fritjouf Schoun, Sufisme : Veil and Quintesence, Diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budhj Santoso dengan Judul Proses Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, (Cet. I ; Jakarta : Srigunting Press, 2000), h. 151.
[38] M urtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 13.
[39] Fritjouf Schoun, loc, cit.
[40] Haedar Bagir, op, cit., h. 139-140.
[41] Ibrahim Ghazur Ilahi, The Scret of ana al-Haqq, Diterjemahkan oleh Bandaharo dan Joebaar Ajoeb dengan Judul Menyingkap Misteri Sufi Besar "Mansur al-Hallaj", (Cet, IV ; Jakarta : Srigunting Press, 2002), h. 89.
[42] Muhktar Solihin dan Rosihan Anwar, op, cit., h. 48.
[43] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit.
[44] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam, Diterjemahkan oleh Nashir Budiman dengan Judul Aspek Ruhaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah, (Cet, II ; Jakarta : Srigunting Press, 1997), h. 45.
[45] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit.
[46] Ibid., h. 15
[47] Maqamat dan ahwal dalam bentuk jamak.
[48] Haedar Bagir, op, cit., h. 131-132.
[49] Ibid., h. 132.
[50] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 100-101.
[51] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Cet, I ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 27.
[52] Untuk lebih jelasnya mengenai maqamat dalam tasawuf Sunni, lihat ibid., h. 26-47.
[53] Agus Effendi, op, cit., h. 83.
[54] Ibid., h. 90.
[55] Laleh Bahtiar, Sufi : Exspression of the Mystic Quest, Diterjemahkan oleh Purwanto dengan Judul Perjalanan Menuju Tuhan, (Cet, I ; Bandung : Nuansa, 2001), h. 63.
[56] Ibid., h. 88-89.
[57] Ibid., h. 89.
[58] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 3.
[59] Dalam keyakinan Syiah Imamiyah ada dua belas imam pengganti Nabi Muhammad saw, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan bin Ali, Imam Husein bin Ali, Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ja'far al-Shadiq, Imam Musa al-Kazhim, Imam Ali al-Ridha, Imam Muhammad al-Jawad, Imam Ali al-Hadi, Imam Hasan al-Askari, dan Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar.
[60] Ibrahim Amini, Hamed Bayad Bedonand, Diterjemahkan oleh Faruq Dhiya dengan Judul Semua Perlu tahu : Buku Pintar Ushuluddin, (Cet, i ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2006), h. 34.
[61] Murtadha Muthahhari, Syesy Makoleh, Diterjemahkan oleh Muhammad jawad Bafaqih dengan Judul Kumpulan Artikel pilihan, (Cet. I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2003), h. 120-121.
[62] Lihat Murtadha Muthahhari, Master and Mastership, Diterjemahkan oleh Yudhi Nur Rahman dengan Judul Kepemimpinan Islam, (Cet, I ; Banda Aceh : Gua Hira, 1991), h. 30.
[63] Lihat Murtadha Muthahhari, Polarization Around the Character of Ali bin Abi Thalib, Diterjemahkan oleh Muhammad hashem dengan Judul Karakter Agung Ali bin Abi Thalib, (Cet, I ; Jakarta : Pustaka Zahra, 2002), h. 31-34.
[64] Murtadha Muthahhari, Master and, op, cit., h. 26.
[65] Ibid., h. 134.
[66] Murtadha muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 5.
[67] Ibid., h. 6
[68] Murtadha Muthahhari, Falsafa-ye Akhlake, Diterjemahkan oleh Muhammad Babul Ulum dan Eddy Hendri dengan Judul Filsafat Moral Islam, (Cet, I ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2004), h. 21.
[69] Lihat Murtadha Muthahhari, al-Fitrah, Diterjemahkan oleh Afif muhammad dengan Judul Fitrah, (Cet, II ; Jakarta : Lentera Basritama, 1999), h. 55.
[70] Murtadha Muthahhari, iFalsafaye Akhlake, op, cit., h. 23.
[71] Murtadha Muthahhari, Tarbiyatul Islam, Diterjemahkan oleh Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam, (Cet, I ; Depok : Iqra Kurnia Gumilang, 2005), h. 117.
Sumber: http://addhymanipi.blogspot.com/2011/12/pemikiran-tasawuf-murtadha-muthahhari.html
PEMIKIRAN TASAWUF MURTADHA MUTHAHHARI
I. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang paling mulia dan sekaligus paling unik, jika dibandingkan dengan makhluk Allah lainnya. Karena keunikannya inilah, manusia selalu menarik untuk diteliti dan dibicarakan. Pembicaraan mengenai manusia dan hakekatnya seolah-olah tidak pernah mengenal kata "tuntas", walaupun telah menggunakan perspektif yang bermacam-macam. Keunikan dan kedalaman hakekat kemanusiaan inilah yang menyebabkan lahirnya berbagai cabang ilmu yang membahas manusia dari berbagai macam perspektif yang berbeda-beda.
Dalam perspektif filsafat, disimpulkan bahwa manusia merupakan hewan yang berpikir (al- insan al hayawanu al-nathiq), karena manusia memiliki nalar intelektual (akal). Dengan nalar intelektual inilah manusia berpikir, menganalisis, memperkirakan, membandingkan, menyimpulkan, dan beragam aktivitas intelektual lainnya. Nalar intelektual inilah yang membuat manusia dapat membedakan anatara yang baik dan yang buruk (etika), serta antara yang benar dan salah (ilmu). Adapun dalam perspektif tasawuf atau spiritualitas Islam,[1] disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang secara fitrahnya dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan jiwanya, ketika jiwanya suci maka akan tampil prilaku suci dan terpuji, sebaliknya jika jiwanya tidak suci maka akan tampil prilaku yang tak suci atau tercela.[2]
Karena keistimewaan dan keunikan manusia dibandingkan makhluk Allah lainnya, nalar dan jiwa manusia sering "digelisahkan" oleh berbagai persoalan mengenai kehidupannya. Salah satu persoalan utama yang senantiasa menghantui pikiran dan perasaan manusia adalah mengenai tujuan penciptaan alam semesta, termasuk adalah tujuan penciptaan dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam raya.[3] Dari sudut pandang spiritualitas atau mistisisme secara umum (tak terkecuali tasawuf dalam Islam) Secara fitrawi manusia pada umumnya memiliki gejala konstan akan kerinduan nurani (jiwa) unruk mencapai kemanunggalan dengan Tuhan.[4] Kemanunggalan dengan Tuhan tersebut merupakan ultimate goal (tujuan utama) dari penciptaan manusia, dan oleh karena itu setiap gerak langkah manusia dalam hidup dan kehidupannya mestilah didasari atas upaya mencapai kemanunggalan yang abadi dengan Tuhan sebagai modus existence.
Posisi Tuhan sebagai modus existence didasarkan pada pandangan kaum sufi yang menyatakan potensialitas diri yang hakiki manusia pada sesuatu yang tak terhingga dan tak terbatas kepada diri yang bersifat material (jasmaniyah) semata. Potensialitas hakiki manusia yang tak terhingga tersebut merentang dari titik awal penciptaan yang tak diketahui (azal) hingga titik keabadian yang tak diketahui pula (abad).[5] Potensialitas hakiki tersebut adalah ruh Ilahiyah yang merupakan awal dan akhir kehidupan manusia, yang jika diwujudkan dalam ranah praksis kehidupan menjadi spirit sekaligus orientasi gerak kehidupan. Hal ini secara implisit tergambar dalam firman Allah Innalillahi wa inna ilaihi raji'un (Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya).
Tasawuf merupakan bidang ilmu yang berkaitan dengan ruh, hati (qalb), dan jiwa (nafs). Jika hati telah mendapatkan pancaran (emanasi), maka ia dapat merasakan eksistensiNya, merasakan keagunganNya, dan menikmati pesonaNya yang Tak Terbatas dan Abadi.[6] Dalam perspektif para sufi, tasawuf merupakan puncak dari realisasi (tahaqquq) dan penghayatan terhadap terhadap kehambaan manusia kepada Allah sebagai Sang Modus Existence. Dalam mencapai puncak kehambaan ini, sebagian sufi (seperti al-Ghazali) menekankan ketakutan, sedangkan sebagian sufi yang lain (seperti Jalal al-Din al-Rumi) menekankan kecintaan. Penekanan ini lagi-lagi sangat terkait dengan tingkat pemahaman dan pengalaman kita menuju kepada Allah. Oleh sebab itu, tasawuf dalam Islam mengajarkan kepasrahan (islam) kepada Allah, dan dalam keadaan pasrah inilah hamba akan merasa damai (sulam) ketika menemukan sisi menakutkan dan sisi yang melahirkan cinta kepada Allah.[7]
Seorang manusia yang berbekal hati yang bersih dan jiwa yang stabil, memahami ibadah yang tidak lagi bersifat kewajiban yang mengesankan keterpaksaan, namun sebagai momen perjumpan dengan kekasih, sebagai kata sandi untuk membuka khazanah misteriusNya. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, "ada hamba yang beribadah kepada Allah swt karena ingin mendapatkan imbalan, itulah ibadah tingkat pedagang. Ada hamba yang beribadah karena takut siksaan itulah ibadah tingkat budak. Adapula hamba yang beribadah karena cinta kepada Allah swt, itulah ibadahnya orang mukmin."[8] Ibadah karena cinta tanpa mengharapkan imbalan pahala dan takut akan siksaNya merupakan esensi dari ibadah yang dilakukan oleh para sufi.
Konsepsi ketuhanan (teosofi) dan epistemologi ketuhanan (manhaj kalam) yang dipakai menjadi landasan utama dari para sufi untuk merumuskan secara teoritis pandangan tasawufnya serta menjadi pedoman praksis untuk menempuh jalan kesufian (suluk). Selain itu, hal tersebut akan membawa pada efek praksis yang dirasakan baik secara individual oleh para sufi, berupa hal dan maqam yang dilalui dalam perjalanan spiritual dan efek sosiologis, tentang sejauh mana sufisme (tasawuf) memberikan konstribusi bagi masyarakat dan perkembangan peradaban Islam.
Secara umum kelompok tasawuf dalam Islam berdasarkan konsep teosofi dan manhajnya terbagi kedalam dua kelompok (mazhab), yaitu tasawuf monistik dan tasawuf dualistik. Tasawuf monistik mendasarkan konsep teosofinya pada konsep wahdah al-wujud, al-ittihad, atau hulul, kelompok ini kemudian dikenal dengan istilah tasawuf falsafi. Kelompok ini berpandangan bahwa hakekat realitas antara hamba dan Tuhannya merupakan kesatuan wujud yang tak terpisahkan (wahdah al-wujud).[9] Dalam pandangan epistemologisnya kelompok ini memadukan pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis.[10] Atau degan kata lain, kelompok ini memadukan dua alat epistemologis manusia, yaitu akal dan hati serta memfungsikan keduanya secara sinergis dan simultan dalam menempuh perjalanan menuju Tuhan. Berkebalikan dengan kelompok tasawuf monistik, kelompok tasawuf dualistik menolak dengan keras pandangan wahdah al-wujud kelompok monistik, bahkan mengkafirkannya. Tasawuf dalam kelompok ini telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan teologi Asy'ariyah. Kelak kelompok ini diidentifikasi sebagai kelompok tasawuf Sunni.[11] Kelompok tasawuf ini lebih mementingkan praktik-praktik syariat dalam tasawufnya dan cenderung mengabaikan penalaran rasional-filosofis sebagai basis tasawuf. Atau dengan kata lain kelompok ini hanya menggunakan satu alat epistemologi saja dalam mencapai kesempurnaan perjalanan manusia, yaitu intuisi (hati) dan menafikan kerja akal.
Dalam makalah singkat ini, penulis akan berusaha memaparkan pemikiran-pemikiran tasawuf dari seorang tokoh penganut tasawuf falsafi, yaitu Ayatullah Murtadha Muthahhari. Makalah ini secara umum dibagi ke dalam dua bagian utama, yaitu :
1. Biografi Murtadha Muthahhari
2. Pemikiran Tasawuf Murtadha Muthahhari
II. Pembahasan
A. Biografi Murtadha Muthahhari
Syahid Murtadha Mutahari, seorang filosof, ulama, sufi Syiah kontenporer, serta salah seorang ideolog revolusi Islam Iran. Lahir pada tanggal 2 februari 1920 M yang bertepatan dengan tahun 1338 Hijriyah di desa Fariman, dekat kota Masyhad, Iran. Masyhad merupakan salah satu kota yang dianggap suci oleh pengikut Syiah Imamiyah. Ayahnya adalah Muhammad Husein Muthahhari adalah ulama yang cukup terkemuka di kalangan muslim Syiah Iran.[12]
Beliau adalah murid terdekat dari dua tokoh besar Syiah, yaitu Allamah Thabaththba"i dan Ayatullah Khomaeni. guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri. Pada usia 12 tahun Murtadha Muthahhari mulai belajar ilmu-ilmu agama di hawzah (pesantren) ilmiah di Masyhad. Ia menunjukkan minat yang cukup besar pada filsafat, khazanah ilmu-ilmu rasional serta irfan. Pertama kali beliau belajar filsafat dan khazanah ilmu-ilmu rasional yang lainnya pada Mirza Mehdi Syahidi Razawi. Setelah guru pembimbimnya wafat, beliau meninggalkan kota suci Masyhad untuk hijrah ke kota suci Qum untuk melanjutkan istudi agamanya di hawzah ilmiah di kota suci tersebut.[13]
Pada usianya yang mashi relatif muda, Muthahhari telah mengajar mata kuliah logika, filsafat, fiqih, dan teologi (kalam) di fakultas teologi universitas Teheran. Bahkan ia juga sempat menjabat sebagai ketua jurusan filsafat di universitas tersebut.[14] Muthahhari saagat menaruh minat yang cukup besar kepada filsafat dan bidan-bidang ilmu rasional. Bagi Muthahhari, filsafat tidak hanya sekedar untuk Polemik atau disiplin intelektual belaka. filsafat merupakan suatu pola tertentu dari religiusitas dansuatu jalan untuk memahami dan merumuskan Islam yang sesungguhnya.[15]
Selain menyibukkan diri pada aktivitas keilmuan, Murtadha Muthahhari juga menyibukkan diri pada kegiatan-kegiatan politik melwan rezim diktator Syah Pahlevi. Bahkan beliau termasuk sebagai salah seorang ideolog dan propagandis Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini pada tahun 1979. Murtadha Muthahhari mengawali konfrontasi politiknya yang pertama pada tanggal 6 Juni 1963. Ia menunjukkan secara serius dan terbuka sebagai salah seorang pengikut Imam Khomeini (pemimpin spiritual Syiah), baik secara politis dan intelektual. Beliau tampil di masyarakat Iran dengan membagi-bagikan seruan-seruan politik Imam Khomeini dan mendesak masyarakat iran untuk mendukungnya dalam setiap khutbah yang beliau sampaikan.[16]
Dalam pergerakan politiknya beliau aktif di berbagai organisasi politik, diantaranya adalah Persatuan Ulama Militan, sebuah organisasi yang menghimpun ulama-ulama Syiah Iran yang bertujuan untuk mendukung seruan revolusi Islam Imam Khomeini dan menggulingkan Syah Reza Pahlevi. Sedemikian banyaknya peran yang beliau lakukan dalam mendukung gerakan revolusi Islam, membuat beliau akhirnya sangat dekat dekat tokoh Imam Khomeini. Pada tanggal 12 Januari 1979, satu bulan menjelang terjadinya revolusi Islam Iran, Muthahhari ditunjuk sebagai ketua dewan revolusi bersama dengan beberapa ulama Syiah yang lain, seperti Ayatullah Javad Bahonar dan Ayatullah Husein Behesyti.[17]
Akhirnya, aktivitas politik beliau dalam mendukung cita-cita revolusi Islam mengantarkan beliau pada kesyahidan yang terjadi pada tanggal 1 mei 1979 (tiga bulan setelah revolusi Islam) oleh kelompok furqani (kelompok Syiah garis keras). Beliau syahid setelah memimpin rapat dewan revolusi di rumah Dr. Tadullah Shahabi. Sebutir peluru bersarang tepat dikepalanya dan menembus kelopak matanya.[18] Imam Khomeini, selaku pemimpin tertinggi revolusi tak kuasa menahan tangis dan kesedihannya ketika beliau syahid, bahkan kesedihan beliau sangat mendalam dibandingkan ketika anak kandungnya sendiri Sayyid Mustafa Khomeini Syahid di tangan rezim Syah Pahlevi. Meskipun ketika syahid sebagai beliau duduk sebagai ketua dewan revolusi, namun beliau tak dapat dipisahkan dari dunia pemikiran Islam. Hasil-hasil pemikirannya hampir mencakup seluruh bidang keilmuan yang relevan dengan kebutuhan umat Islam dan demi kemajuan peradaban Islam di dunia.
Karya-kartya Murtadha Muthahhari yang telah diterbitkan, baik dari hasil ceramah-ceramahnya maupun tulisan beliau cukup banyak. mencakup lebih dari 200 judul dari berbagai bidang ilmu, seperti filsafat, kalam, sejarah, sosiologi, antropologi, etika, ushul fiqh dan fiqh, hukum Islam, akhlak, irfan (tasawuf), sejarah, politik, serta ekonomi.[19]
B. Pemikiran Tasawuf Murtadha Muthahhari
1. Konsep Irfan (Tasawuf Falsafi)
Dalam pandangan mashab Syiah, istilah tasawuf diganti dengan istilah irfan yang berarti pengenalan atau pengetahuan. Dalam literatur Barat, kata irfan sering diartikan dengan kata gnosis atau pengetahuan yang telah melampaui konwoledge dan science. Irfan dalam Syiah adalah kecenderungan menguak rahasia mengenai pengetahuan-pengetahuan batiniah.[20] Berdasarkan pengertian tersebut, irfan merupakan dimensi spiritualisme Islam yang tidak memisahkan pengetahuan dengan spiritualitas, akal dengan hati, serta mensinergiskan antara pencapaian pencerahan mistikal dengan pemahaman rasional-filosofis mengenai pengalaman-pengalaman spiritualitas atau batiniah tersebut. Atau dengan kata lain irfan dalam Syiah merupakan nama lain dari tasawuf falsafi.
Menurut Murtadha Muthahhari, irfan sebagai sebuah disiplin ilmu terbagi ke dalam dua cabang, yaitu irfan ilmi atau irfan teoritis dan irfan amali atau irfan praktis.[21] Sebetulnya pembagian kedua jenis irfan diatas hanyalah untuk sekedar memudahkan saja. Sebenarnya jika seseorang ingin menggeluti dunia irfan sebagai jalan menuju pendekatan diri kepada Allah, mesti menggabungkan kedua jenis irfan tadi. Antara irfan ilmi dan irfan amali keduanya merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan.[22]
Aspek praktis Irfan adalah bagian yang menjelaskan hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya, dunia, dan Tuhan. Irfan amali memiliki kemiripan dengan konsep akhlak dalam Islam, namun, dalam irfan amali aturan-aturan akhlak yang mesti ditaati sangat ketat. Dengan kata lain, itfan amali adalah akhlak yang secara khusus bersifat keagamaan (spiritual) dan membuat serta mengelola hubungan dengan prinsip keberadaan (Modus Existence atau Prime Causa) dalam urutan teratas.[23] Dengan demikian tingkatan akhlak yang ditempuh oleh seorang yang menempuh jalan irfan (salik) jauh berbeda dengan kategori akhlak bagi kalangan awwam. Bagi seorang salik kategorisasi akhlak yang mesti dilaksanakan adalah kategori akhlak yang sangat khusus (akhlak al-khas al-khas).[24]
Praktek dari pengamalan irfan amali disebut dengan sayr wa suluk (perjalanan ruhani).[25] Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang yang menempuh jalan ruhani (salik) yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni Tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqamat) perjalanannya secara berurutan, dan keadaan jiwa yang dialaminya (hal) sepanjang ia melakukan perjalanan tersebut. Untuk tujuan perjalanan ini sangatlah penting perjalanan ini dilakukan di bawah bimbingan seorang pembimbing spiritual yang benar-benar telah mengalami sendiri perjalanan ini dan sangat mengetahui prosedur yang dilalui pada setiap tahapan. Tanpa adanya bimbingan dari pembimbing spritual (mursyid) yang berpengalaman, sang salik bisa saja tersesat dalam perjalanannya.[26]
Perbedaan mendasar antara safar (suluk) yang dilakukan oleh penempuh jalan tasawuf dan irfan, menurut Muthahhari, amaliah tasawuf bersifat statis, tasawuf hanya berusaha untuk menghiasi jiwa kita yang kosong dengan men-tajalli atau men-tahalli-kan asma-asma Allah. Sementara irfan lebih mneekankan pada upaya mengajak jiwa manusia untuk melakukan safar yang sangat panjang. Oleh karena itu, guru irfan biasa juga disebut dengan al-thayr al-qudsi (burung suci) yang mengajak jiwa manusia (salik) untuk mengembara melintasi alam-alam ruhani.[27]
Irfan ilmi memfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah wujud (ontologi), mendiskusikan Tuhan, manusia, serta alam semesta, dengan demikian irfan ilmi mirip dengan pandangan teosofi. Berbeda dengan filsafat yang hanya mendasarkan pemikirannya pada prinsip-prinsip argumenatsi rasional (dalil burhani), sedangkan irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya. Atau lebih jelasnya, kaum arif (ahli irfan) ingin menjelaskan apa yang telah mereka lihat dengan mata kalbu dan segenap eksistensi mereka dengan menggunakan bahasa rasional.[28] Untuk mampu menjelaskan pengalaman intuitif tersebut ke dalam bahasa rasional, tentu saja sangat dibutuhkan pahaman tentang logika dan filsafat sebagai acuan untuk menjelaskan pengalaman intuitif tersebut. Hal ini meniscayakan seorang arif terlebih dahulu mesti menguasai logika dan filsafat, sebelum menuangkan pengalaman spiritualnya ke dalam kerangka teoritis yang rasional.
Dengan ketersibakan kalbu terhadap realitas ruhani yanng didapatkan selama melakukan pengembaraan spritual, maka pengetahuan esoteris dan wawasan emanatif tersingkapkan bagi kalbu pengikut jalan spiritual, sebagai buah dari perbaikan, pendidikan, dan penempaan diri. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh imam Ali bin Abi Thalib "Hakekat pengetahuan menghunjam dalam lubuk kesadaran nurani mereka, sehingga tindakan mereka didasarkan pada ruh keyakinan…"[29]
Dengan perbedaan mendasar pada epistemologi antara filsafat yang menggunakan burhani dengan irfan yang mengandalkan pencerahan intuitif, maka konsep-konsep teoritik dari keduanya pun berbeda. Dalam beberapa hal pandangan irfan sangat berebda dengan pandangan filsafat. Dalam filsafat, baik Tuhan maupun segala sesuatu selainNya sama-sama memiliki wujud. Namun hanya saja, sementara Tuhan merupakan Wujud Niscaya (Wajib al-Wujud) dan meng-ada dengan sendirinya dan wujud segala sesuatu selainNya bersifat mungkin dan me-wujud semata-mata karena bantuan selain diriNya (Tuhan). Sementara itu dalam irfan tidak ada segala sesuatu selain Allah, sekalipun mereka merupakan akibat dari pengaruh-pengaruhnya. Wujud Tuhan melingkupi dan meliputi segala sesuatu. Atau dengan kata lain, segala sesuatu tak lebih dari sekedar nama, sifat dan wujudnya, bukan “ada di sisiNya”.[30]
Tujuan seorang filosof juga berbeda dengan tujuan seorang arif. Sang filosof ingin memahami alam semesta. Dengan kata lain, ia ingin memiliki gambaran yang utuh tentang alam semesta yang ada di benaknya. Di mata seorang filosof, capaian tertinggi manusia terletak pada kemampuan rasionya untuk menangkap gambaran utuh tentang wujud sedemikian rupa, sehingga alam semesta (makro kosmos) menemukan cermin dirinya di dalam pikirannya. Sehingga ia akhirnya menjadi "cermin alam" (mikrokosmos. Bagi seorang arif kesempurnaan manusoia tidaklah terletak pada gambaran mental yang utuh tentang alam semesta. Kesempurnaan manusia terletak pada kemampuannya untuk "kembali" melakukan perjalanan ruhani menuju sumber segala sesuatu, kemampuannnya untuk mengatasi "jarak" antara dirinya dengan Tuhan, dan sampai dalam "dekapanNya" untuk meleburkan diri hingga ia menjadi “abadi (baqa’) dalam ketakterhingganNya”.[31]
Sekalipun antara filsafat dan irfan memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Namun, dalam Syiah antara irfan dan filsafat memiliki hubungan yang sangat erat.[32] Keduanya bagai dua sisi mata uang yang saling melengkapi, irfan adalah kelanjutan perjalanan epistemologis, ontologis, dan aksiologis manusia setelah akalnya memahami konsepsi-konsepsi teoritik tentang wujud Tuhan, alam, dan manusia. Irfan memperjelas dan menyempurnakan pengetahuan esoterik manusia dengan menggunakan kalbu (intuisi) sebagai alat epistemologi dengan melakukan riyadhah dan tazkiyah sebagai metodologinya.
2. Ma'rifat, Syari'at, Tareqat, dan Haqeqat
Salah satu Perbedaan mendasar antara irfan dengan tasawuf (di dunia Sunni) adalah dalam tasawuf Sunni, posisi ma'rifat (pengenalan) tentang Allah sebagai realitas yang disembah diletakkan pada posisi puncak perjalanan. Sedangkan dalam irfan, justru ma'rifat diposisikan sebagai permulaan dari perjalanan keberagamaan seseorang. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib dalam sebuah khutbahnya, "Adapun pokok pangkal agama adalah ma'rifah (mengenal) tentang Dia".[33] Ma'rifat yang dimaksud disini adalah pengenalan secara rasional dari seorang hamba tentang Tuhannya. Dengan kata lain, sekalipun irfan pada praksisnya lebih bercorak intuitif ketimbang rasional, namun, untuk menempuh jalan irfan basis ma'rifat burhani (filosofis) tentang Tuhan harus dituntaskan.
Setelah menyelesaikan ma'rifatullah sebagai pangkal agama, maka langkah selanjutnya adalah dengan melaksanakan ibadah dengan penuh kesungguhnan sebagai implikasi logis ma'rifatullah. Ibadah adalah penghambaan secara totalitas kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penolakan terhadap segala sesuatu yang lain sebagai objek sesembahan atau pemujaan.[34] Prinsip dasar dari ibadah kepadaNya adalah tulus dan Ikhlas dalam menyembahNya.[35] Dalam pandangan irfan melihat ibadah seorang manusia dalam tiga tingkatan, yaitu syari'at, tariqat, dan haqeqat. Meskipun ketiga pandangan tersebut memiliki kesamaaan dengan yang ada pada tasawuf Sunni, namun, irfan memiliki pandangan yang berbeda mengenai ketiga konsep tersebut.
Menurut Murtadha Muthahhari, syari'at adalah sebagai batang tubuh hukum Islam megandung tujuan yang baik dan kebenaran. Kaum arif meyakini bahwa semua jalan akhirnya akan berujung kepada Allah sebagai tujuan terakhir dan paripurna dari perjalanan manusia. Semua kebenaran dan tujuan-tujuan yang baik hanyalah sarana, penyebab, atau perantara yang mengantarkan manusia sampai kepadaNya. Para ulama fiqih, pada umumnya berpandangan bahwa syari'at mengandung tujuan yang baik, dan tujuan-tujuan yang baik inilah yang menjadi spirit (atau menjadi sebab) adanya syari'at. Mereka juga berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan-tujuan yang baik itu adalah dengan bertindak sesuai engan syari'at itu sendiri. Tetapi, kaumj arif memiliki pandangan lebih dari itu, mereka mengatakan bahwa berbagai tujuan baik itu merupakan tahapan-tahapan perjalanan menuju Allah dan proses-proses meraih kebenaran.[36] Syari'at adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh kaum mukminin, yang dengan itu kita mencapai kebanaran sesuai dengan kualitas ketaatan dan ibadah kita.[37]
Kaum arif meyakini, bahwa syariat memiliki sisi batiniah yang disebut dengan tariqat,yakni suatu jalan menuju kebenaran sejati (haqiqah) atau pencapaian keesaan Allah yang sesungguhnya (Tauhid).[38] Dalam bahasa Fritjouf Schoun (Muhammad Isa Nur al-Din), tareqat sebagaimana yang disinggung dalam sebuah hadis adalah ihsan, yaitu tindakan kebajikan yang memberikan kepercayaan dan melaksanakan nilai-nilai yang menyempurnakan. Dengan kata lain, ihsan adalah mengintensifkan dan memperdalam iman dan amal. Ihsan atau tareqat secara ringkas adalah ketulusan dari kehendak dan intelegensia, ia adalah keterikatan total kta kepada hukum Allah.[39]
Menempuh jalan tareqat tidaklah terpisahkan dari ketaatan pada syari'at. Dalam pandangan kaum arif, tidak ada jalan lain dalam menempuh jalan tareqat, kecuali dengan melalui penyelenggaraan ibadah-ibadah syar'i secara intensif. Atau dengan kata lain, tingkat kearifan seseorang dalam irfan sangat ditentukan oleh tingkat intensitas ibadah yang dilakukannya.[40] Jika kaum awwam menganggap ibadah kepada Allah semata-mata hanya aturan khusus yang diwajibkan, sedangkan kaum arif menganggap ibadah kepadaNya sebagai pelekat (tali kasih) yang menghubungkan antara pecinta (isyq) dan yang dicintai (ma'syuq).[41] Ibadah yang dipahami sebagai refleksi cinta seperti inilah yang akan mengantarkan seorang arif pada bangkitnya kesadaran spiritualnya,[42] untuk melakukan perjalanan demi perjumpaan dengan Sang Kekasih.
Penempuhan jalan tareqat selain dilakukan dengan mengintensifkan ibadah kepadaNya, juga mesti dilakukan dengan mengikhlaskan hati secara paripurna, yang hanya bisa dilakukan dengan "melenyapkan" ego sang arif. [43] Seorang arif menggambarkan intisari penempuhan jalan tareqat adalah dengan untaian kalimat berikut. "Tahap pertama dari zikir adalah melupakan diri dan pada tahap terakhir adalah hilangnya sang hamba ke dalam gerak ibadah kepadaNya".[44] Dengan lenyapnya ego sang arif dalam gerak ibadahnya, maka itulah tujuan akhir dari proses menempuh jalan suluk, yaitu ketika tercapainya kebersatuan atau kemanunggalan degan Allah (manunggaling kawula lan gusti). Kebersatuan dengan Sang khalik tersebut adalah haqeqat dari ibadah dalam pandangan kaum arif.
Kaum arif mempercayai ketiga hal, yaitu syari'at, tareqat, dan haqeqat adalah tiga hal yang saling berangkai dan terkait. Syari'at adalah sarana untuk mencapai tareqat, dan tareqat adalah sarana untuk mencapai haqeqat. Syari'at adalah kulit dari tareqat, dan tareqat adalah kulit dari haqeqat.[45] Ketiga cabang tersebut dianalogikan dengan manusia yang terdiri dari tiga bagian, yaitu, tubuh, jiwa, dan ruh yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan bahkan membentuk satu kesatuan utuh antara aspek-aspek lahir dan batin. Syari'at adalah kulit luar, tareqat adalah biji dalam, sedangkan haqeqat adalah bijinya biji. Namun demikian, kaum arif juga percaya bahwa eksistensi manusia bisa memiliki lebih dari tiga tahapan. Yakni mereka percaya bahwa adanya satu tahap yang diluar jangkauan intelek (akal) manusia.[46]
3. Maqam dan Hal
Dalam menempuh perjalanan suluk, seorang salik (arif) pasti akan mengalami maqam dan hal.[47] Maqam dan hal dipahami secara berbeda-beda oleh para sufi. Meskipun demikian, para sufi (arif) sepakat bahwa maqamat (jamak dari maqam) adalah kedudukan seorang pejalan sprititual (salik) dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras ibadah, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), melakukan latihan-latihan keruhanian (riyadhah), sehingga ia mencapai keluhuran budi pekerti (adab) yang memampukannya untuk memiliki persyaratan-persyaratan dan melakukan upaya-upaya untuk melakukan berbagai kewajiban (dengan sebaik-baiknya) untuk mencapai kesempurnaan. Sedangkan hal (jamak ahwal) adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu yang diciptakan oleh Allah dalam hati manusia, tanpa sang sufi mampu menolak jika ia datang, dan tanpa mampu ia mempertahankan apabila pergi.[48]
Konsep maqamat dan ahwal diperkenalkan sebagai bagian dari pemahaman tasawuf sebagai suatu perjalanan spiritual (suluk). Maqamat adalah terminal-terminal (station-station) yang mesti dilewati seorang salik sebelum ia mencapai ujung perjalanan spiritual. Sedangkan hal adalah keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para pejalan spiritual di tengah-tengah perjalanan ini.[49] Menurut Murtadha Muthahhari, maqamat adalah apa yang dicapai oleh seorang arif melalui upayanya, Sedangkan hal adalah apa yang menghinggapi kalbu seorang arif tanpa diinginkannya. Hal bersifat sementara sedangkan maqam bersifat permanen. Konon, hal dalam pandangan kaum arif seperti kilatan cahaya yang cepat berlalu. Kaum arif menyebut kilatan-kilatan cahaya itu dengan istilah lawaih, lawamih, dan tawalih. Istilah-istilah tersebut dipakai untuk menandakan perbedaan tingkat intensitas dalam lamanya berbagai kilatan cahaya yang dirasakan.[50]
Jika ditelaah lebih mendalam keberadaan maqamat dan ahwal dalam tradisi tasawuf, tidak lain adalah dalam rangka lebih mempertegas komitmen seorang muslim dalam syahadah (persaksian) Tauhid. Dengan persaksiannya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (la ilaha illallah). Atau dengan kata lain, maqamat merupakan penjabaran dari syahadah Tauhid. Sedangkan hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah[51] Dengan kata lain antara maqam dan hal adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam rangkaian perjalanan suluk. Tercapainya satu jenjang maqam yang diperoleh oleh seorang salik meniscayakan hal sebagai konsekuensi yang ia dapatkan dari rangkaian perjalanan spiritualnya.
Perbedaan mendasar antara konsep maqam dan hal antara tasawuf dualistik (tasawuf Sunni) dan tasawuf monistik (tasawuf falsafi atau irfan) terletak pada struktur maqam yang dilalui dan hal yang didapatkannya berdasarkan jenjang maqam tersebut. Dalam tasawuf Sunni, jenjang maqam yang dilalui bersifat statis, karena jiwa tidak melakukan pengembaraan spiritual menembus lintasan-lintasan alam. Maqamat yang dipahami dalam tasawuf Sunni hanyalah keadaan jiwa yang telah dihiasi dengan ter-tajalli dan ter-tahalli-kannya asma-asma Allah. Dengan kata lain, maqamat sebenarnya hanyalah upaya penyempurnaan kualitas jiwa dalam beribadah kepada Allah. Jenjang-jenjang maqamat dalam taswuf Sunni misalnya taubah, wara, zuhud, faqir, Shabr, dan ridha.[52]
Jenjang maqamat dalam irfan didasarkan pada pandangan filsofis tentang jiwa manusia yang merupakan mikro dan sekaligus makrokosmos, dengan demikian jiwa manusia dapat melakukan gerak secara dinamis menembus tingkatan alam-alam makro. Menurut Muthahhari, jiwa manusia bagaikan organisme yang dinamis. Manusia dalam melakukan perjalanan menuju Allah mestilah melewati safar demi safar (perjalanan demi perjalanan) ruhaniah. Manusia harus melewati perjalanan atau safar yang cukup jauh, yang di dalamnya ia harus singgah dari satu terminal ke terminal lainnya. Oleh karena itu, dalam pandangan irfan seorang salik akan melalui maqam-maqam berupa tingkatan-tingkatn alam, dari satu alam yang lebih rendah ke alam yang lebih tinggi. [53]
Jiwa manusia yang merupakan organisme yang dinamis, oleh karena itu, menurut Muthahhari, kalau manusia ingin mencapai satu tujuan yang sangat tinggi, maka ia harus mengikuti dan melewati sistematika yang sudah ditentukan dalam alam ruhaniah tersebut.[54] Hal ini dilakukan dengan melakukan ibadah, mujahadah, dan riyadhah yang bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dengan melalukan persepsi intuitif terhadap dua kalimat syahadat yang dengannnya seseorang menyatakan diri sebagai seorang muslim.[55] Dengan bangkitnya kesadaran dan persepsi intuitif tersebut maka seorang arif akan mampu melakukan perjalanan menuju jenjang maqam dalam tingkatan alam semesta.
Dalam pandangan Muthahhari, ada enam jenjang maqam yang mesti dilalui oleh seorang salik untuk mencapai al-Haqq. Keenam jenjang maqam tersebut secara umum dibagi ke dalam dua klasifikasi utama safar. Yang pertama adalah maqam nafs, yaitu upaya langkah awal yang harus ditempuh oleh seorang salik untuk membebaskan jiwanya dari kecenderungan-kecenderungan material. Setelah itu perjalanan selanjutnya adalah mencapai maqam qalb. Yaitu, alam ruhani pertama yang mesti dilalui manusia, di satu sisi alam qalb merupakan maqam, namun di sisi lain alam qalb merupakan hijab bagi seorang salik. Jika alam nafs memberikan hijab berupa kenikmatan materi, sedangkan alam qalb memberikan cahaya yang bisa menjadi anugerah tapi sekaligus bisa menjadi hijab jika seorang salik terpukau padanya. Selanjutnya adalah mencapai maqam alam ruh. Setelah seorang salik mampu mengalahkan keterpukauan terhadap cahaya-cahaya qalb (hal yang didapat dalam maqam qalb), maka jiwa manusia akan melintas maqam menuju maqam ruh. Di maqam ruh inilah akhir dari safar pertama manusia, yang dalam bahasa Shadra, perjalanan dari makhluk menuju Tuhan.[56]
Setelah melewati tiga maqam dalam safar pertama, seorang salik akan memasuki safar kedua di alam lahut. Safar dalam alam ini terbagi atas tiga jenjang maqam. Yang pertama, maqam sirr, yaitu merupakan maqam fana fi al al-Dzat. Pada maqam ini para arif sering mengalami ekstase atau syatahat (kemabukan) bersama dengan Sang Kekasih. Yang kedua adalah maqam khafy yaitu maqam fana' dalam Sifat Allah. Dan yang ketiga adalah maqam akhfa, yaitu maqam fana' pada Zat dan Sifat Allah sekaligus.[57] Safar kedua ini seperti safar kedua dalam al-asfar al-arba'ah Mulla Shadra, yaitu perjalanan di dalam Tuhan bersama Tuhan.
Keterlenaan pada hal yang didapatkan pada setiap jenjang maqam tersebut akan mengakibatkan stagnasi spiritual yang dialami oleh sang arif hingga ia tak mampu melanjutkan perjalanan hingga ke jenjang maqam berikutnya. Kebanyakan para sufi atau kaum arif mengalami keterlenaan pada kilatan-kilatan pesona cahaya qalb dan ruh, serta mengalami syatahat (ekstase) pada maqam fana fi al-Dzat (maqam sirr) sebagaimana yang dialami oleh Mansur al-Hallaj.
4. Tasawuf dan konsep Imamah
Dalam menempuh perjalanan suluk pada umumnya kaum sufi sepakat akan perlunya seorang pembimbing spiritual yang benar-benar telah mengalami sendiri perjalanan itu dan sangat mengetahui prosedur pada setiap tahap. Muthahhari, menganggap adanya seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagai sebuah kemestian dalam menempuh jalan suluk. Tanpa bimbingan seorang mursyid (syeikhi) yang berpengalaman, maka seorang salik kemungkinan besar akan tersesat dan gagal dalam menempuh perjalanan suluknya.[58]
Dalam mazhab Syiah Imamiyah, keyakinan akan imam sebagai pengganti Nabi Muhammad saww,[59] yang tidak hanya berfungsi sebagai penjaga risalah nabi, melainkan juga menjadi pemimpin spiritual umat manusia. Dalam pandangan Syiah, imam merupakan penjaga dan pemelihara ilmu Rasul. Imam adalah individu yang paling sempurna dan manusia teladan dari segi agama. Imam adalah pemimpin manusia dan telah melewati jalan kesempurnaan dan kebahagiaan dan memberi bimbingan serta petunjuk kepada orang lain untuk menapak di jalan yang lurus.[60] Dengan demikian, menilik integritas dan kualitas individu sang imam, maka dengan sendirinya seorang imam adalah mursyid tertinggi dalam perjalanan ruhani kaum mukminin.
Dalam perspektif Syiah, imam memiliki kedudukan wilayah atas kaum muslimin. Walayah secara harfiah berarti pertolongan, pemimpin, dan penanggung jawab. Kemudian secara praksis, peran walayah imam memiliki beberapa bagian penting, yaitu wala' al-mahabbah (kecintaan), wala' imamah (kepemimpinan), wala' zi'amah (penanggungjawab), dan wala' al-tasarruf (penguasaan), dan wala' batiniyah.[61] Kelima posisi dan peran imam tersebut meniscayakan posisi imam sebagai pemilik otoritas tertinggi atas seluruh manusia, khususnya dalam wilayah spiritualitas manusia. Berkenaan dengan wilayah irfan seorang imam memiliki peran walayah batiniyah yang meniscayakan kedudukan dan ooritas dia sebagai pemimpin spiritual manusia atau mursyid bagi seluruh umat manusia.[62] Pribadi seorang imam digambarkan oleh Muthahhari, sebagai pribadi yang memiliki daya tarik yang begitu kuat secara spiritualitas dan moral kepada mereka yang mengikuti jalannya dan memiliki gaya tolak yang kuat pula kepada mereka yang mengingkari kebenaran.[63]
Tahapan wilayah tertinggi menurut Muthahhari adalah walayah yang mencakup dimensi batiniah manusia. Wilayah batiniyah yang dimaksud disini, disatu sisi berhubungan dengan kekuatan manusia yang tersembunyi untuk mencapai kesempurnaan dan sisi lain berhubungan dengan ikatan yang ada antara seorang manusia dengan Allah. Walayah batiniah yang diyakini oleh kaum Syiah merupakan otoritas para imam dari kalangan ahlul bait Nabi saw, didasarkan pada integritas dan kualitas intelektual, moral, sosial, dan spiritual yang mereka miliki. Sehingga Allah menetapkan sebuah ketentuan Walayah gaib yang diberikan oleh Allah swt memiliki makna kedudukan beliau yang begitu tinggi, hingga ia menjadi pemimpin kafilah spiritualitas manusia, pemimpin hati nurani manusia, saksi atas perbuatan-perbuatan mereka, dan penguasa tertinggi pada zamannya. Dunia tidak akan pernah kosong dari pemimpin spiritual yang demikian. Dengan kata lain dunia tak pernah ada tanpa seorang manusia yang sempurna.[64]
Kemestian akan senantiasa adanya sosok manusia sempurna yang tampil menjadi pemimpih kafilah ruhani manusia, didasarkan pada asumsi akan fundamennya kebutuhan manusia akan pencapaian spiritualitas. Oleh karena dalam melakukan perjalanan spiritual seorang manusia tak mungkin berjalan sendiri tanpa pembimbing spiritual yang telah mencapai taraf kesempurnaan sejati. Maka hadirnya seorang manusia sempurna sebagai pemimpin spiritual merupakan sebuah kemestian dan perwujudan keadilan Tuhan kepada manusia.
Imam adalah seseorang yang dipilih oleh Allah untuk menjadi pemimpin jalan wilayah. Dialah yang memegang kendali wilayah esoteris di tangannya. Dia adalah pusat “sinar-sinar wilayah” yang memantau hati manusia.[65] Dengan pengakuan terhadap otoritas imam sebagai pemimpin dan pembimbing spiritualitas manusia yang tertinggi, tidak meniscayakan hilangnya peran seorang arif tertentu sebagai mursyid individuaL yang membimbingnya secara khusus murid-muridnya. Hanya saja otoritas seorang arif yang menjadi mursyid tersebut berada dalam otoritas wilayah imam sebagai mursyid tertinggi
5. Tasawuf dan Akhlak
Dalam pandangan Muthahhari, antara tasawuf (irfan) dengan akhlak (etika) merupakan dua hal yang memiliki keeratan dan persamaan. Yaitu keduanya sama-sama membicarakan ihwal mengenai "apa yang seharusnya dilakukan".[66] Meskipun demikian, akhlak dalam tinjauan tasawuf memiliki perbedaan yang mendasar dengan akhlak (etika) dalam defenisi yang umum. Menurut Muthahhari, keduanya memiliki beberapa perbedaan mendasar. Yaitu, akhlak dalam irfan membicarakan hubungan manusia dengan dirinya, dengan dunia, dan dengan Tuhan, dan perhatian utamanya adalah hubungan manusia dengan Tuhan sebagai fondasi akhlak. Sedangkan akhlak pada umumnya tidak terlalu membahas hubungan manusia dengan Tuhan. Yang kedua, akhlak dalam irfan bersifat dinamis, sedangkan akhlak bersifat statis. Yakni, irfan membicarakan tahap awal dan akhir perjalanan serta urutan tahap yang mesti ditempuh dari akhlak yang dilakukan. Dan yang ketiga, unsur-unsur spiritual dalam etika hanya terbatas pada konsep-konsep dan gagasan-gagasan yang dipahami kebanyakan orang. Sementara itu, unsur-unsur spiritual dalam irfan jauh lebih mendalam dan luas. Yakni, dalam perjalanan ruhani irfan misalnya, banyak dibicarakan tentang hati dan keadaan-keadaan yang akan dialaminya sepanjang perjalanannya tanpa sepengetahuan orang-orang di sekitar.[67]
Dalam melaksanakan irfan amali, seorang salik mesti mengikuti aturan-aturan akhlak yang sangat ketat, dibandingkan pelaksanaan akhlak bagi manusia pada umumnya. Akhlak bagi seorang arif merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam menempuh perjalanan suluknya dermi mencapai jenjang maqam tertinggi. Sedangkan akhlak pada hal-hal tertentu bagi orang kebanyakan terkadang bukan sebagai kewajiban yang mesti dilaksanakan, melainkan hanya pilihan yang dilaksanakan untuk mencapai fadhilah.
Menurut Murtadha Muthahhari, basis perbuatan akhlak didasarkan pada asumsi rasional-filsoofis mengenai fitrah manusia, meskipun demikian nilai dan manfaat yang didapat dari perbuatan akhlak terkadang tidak bisa dicerap oleh akal manusia.[68] Menurut Muthahhari, kecenderungan manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan akhlaki bersifat fitrah,[69] sebagaimana fitrah manusia yang lain seperti fitrah bertuhan dan beragama. Perbuatan akhlaki merupakan perbuatan luar biasa yang dilakukan oleh seorang manusia, karena untuk melaksanakan perbuatan tersebut memestikan upaya dan ikhtiyar yang sungguh-sungguh dan ikhlas untuk mengalahkan egoisme dan hawa nafsu yang membelenggu. Muthahhari menyebutkan perbuatan akhlak sebagai perbuatan ksatria yang memiliki nilai lebih tinggi dari perbuatan biasa.[70]
Perbuatan akhlaki selain perbuatan yang didasarkan pada asumsi rasionalitas, juga didasarkan pada kesadaran intuitif (spiritual). Mengutip Immanuel Kant, Muthahhari menyebutkan perbuatan akhlaki merupakan perbuatan yang mendapatkan sinaran cahaya Ilahi. Dan hal tersebut tak mungkin terrealisasi tanpa didasari oleh keimanan yang paripurna kepada Allah swt.[71]
Dari pernyataan tersebut di atas, dapat disimpulkan antara irfan dan akhlak merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan menempuh jalan suluk, maka seorang arif akan semakin tertempa kesadaran jiwanya untuk semakin merealisasikan perbuatan akhlak secara praksis. Karena perbuatan akhlak merupakan syarat mesti untuk mencapai kesempurnaan jalan suluk. Dengan mencapai kematangan intelektualitas pemahaman akan hakekat diri, manusia, dan dunia secara filosofis. Yang kemudian dilanjutkan dengan penajaman intuitif dengan melakukan pengelanaan jiwa menempuh jalan suluk (spiritualitas). Maka buah yang dihasilkan secara praksis dalam sikap hidup seorang arif adalah perbuatan akhlaki yang berefek positif bukan hanya bagi sang arif tersebut melainkan dirasakan efeknya bagi manusia yang ada disekitaranya.
III. Penutup
Di penutup makalah ini, penulis akan memberikan beberapa entry point sebagai kesimpulan akhir dari makalah ini :
1. Murtadha Muthahhari menganut pandangan tasawuf falsafi atau irfan yakni pandangan tasawuf yang didasarkan pada asumsi-asumsi rasional filosofis dalam memahami realitas alam batin (ruhani) atau irfan ilmi (teoritis) dan pada praktek-praktek penajaman intuitif dengan menempuh jalan suluk atau irfan amali (praktis).
2. Ma'rifat filosofis terhadap realitas Ilahiyah (Tuhan) merupakan pangkal dari agama dan perjalanan suluk, yang kemudian dipraksiskan dalam pengamalan syari'at, untuk mencapai jalan tareqat sebagai perjalanan menuju kebenaran sejati (haqeqat), dan ketiganya adalah kesatuan yang tak terpisahkan.
3. Maqamat adalah apa yang dicapai oleh seorang arif melalui upayanya, Sedangkan hal adalah apa yang menghinggapi kalbu seorang arif. Dalam irfan ada enam maqam yang dilalui, yaitu maqam nafs, maqam qalb, maqam, ruh, maqam sirr, maqam khafy, dan maqam akhfa.
4. Dalam irfan meniscayakan keberadaan seorang imam yang memiliki peran walayah batiniyah yang meniscayakan kedudukan dan ooritas dia sebagai pemimpin spiritual manusia atau mursyid bagi seluruh umat manusia.
5. Antara irfan dan akhlak merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Dengan menempuh jalan suluk, maka seorang arif akan semakin tertempa kesadaran jiwanya untuk semakin merealisasikan perbuatan akhlak secara praksis.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Syarh Nahj al-Balaghah. Diterjemahkan oleh Muhammad Bagir dengan Judul Mutiara Nahj al-Balaghah : Wacana dan Surat-surat Imam Ali. Bandung : Mizan. 2003.
Amini, Ibrahim. Hamed Bayad Bedonand. Diterjemahkan oleh Faruq Dhiya dengan Judul Semua Perlu tahu : Buku Pintar Ushuluddin. Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2006.
Arasateh, A. Reza. Growth to Selfhood the Sufi Contribution. diterjemahkan oleh Ilzamuddin Ma'mur dengan Judul Sufisme dan Penyempurnan Diri. Jakarta : Srigunting Press, 2002.
Arbery, A. J. Sufism and Account of the Mistics of Islam. Diterjemahkan oleh Bambang Herawan dengan Judul Tasawuf Versus Syari'at. Bandung : Hikmah, 2000.
Bagir, Haedar. Buku Saku Tasawuf. Bandung : Arasy, 2006.
Bahtiar, Laleh. Sufi : Exspression of the Mystic Quest. Diterjemahkan oleh Purwanto dengan Judul Perjalanan Menuju Tuhan. Bandung : Nuansa, 2001.
Haeri, Fadhullah. The Elements of Sufism. Diterjemahkan oleh Muhammad Hasyim Assegaf dengan Judul Belajar Mudah Tasawuf. Jakarta : Lentera Basritama, 2002.
Ilahi, Ibrahim Ghazur. The Scret of ana al-Haqq. Diterjemahkan oleh Bandaharo dan Joebaar Ajoeb dengan Judul Menyingkap Misteri Sufi Besar "Mansur al-Hallaj". Jakarta : Srigunting Press, 2002.
Kazhim, Musa. Belajar Menjadi Sufi. Jakarta : Lentera Basritama, 2002.
Labib, Muhsin. Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan. Jakarta : Lentera Basritama, 2004.
_______, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Shadra. Jakarta ; al-Huda Islamic Centre, 2005.
Muhammad, Hasyim. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2002.
Muthahhari, Murtadha. Filsafah al-Hikmah. Diterjemahkan oleh Tim Penerbit Mizan dengan Judul Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra. Bandung : Mizan, 2002.
_______, Falsafa-ye Akhlake. Diterjemahkan oleh Muhammad Babul Ulum dan Eddy Hendri dengan Judul Filsafat Moral Islam. Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2004.
_______, al-Fitrah. Diterjemahkan oleh Afif Muhammad dengan Judul Fitrah. Jakarta : Lentera Basritama. 1999.
_______, Glimpses of the Nahj al-Balaghah. Diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dengan Judul Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah. Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2002.
_______, Introduction to Irfan. Diterjemahkan oleh Ramli Bihar Anwar dengan Judul Mengenal Irfan. Jakarta : Hikmah. 2002.
_______, Introduction to Kalam, diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Mengenal Ilmu kalam. Jakarta Pustaka Zahra. 2002.
_______, Man and Universe. Diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Manusia dan Alam Semesta. Jakarta : Lentera Basritama. 2002.
_______, Master and Mastership. Diterjemahkan oleh Yudhi Nur Rahman dengan Judul Kepemimpinan Islam. Banda Aceh : Gua Hira. 1991.
_______, Polarization Around the Character of Ali bin Abi Thalib. Diterjemahkan oleh Muhammad Hashem dengan Judul Karakter Agung Ali bin Abi Thalib. Jakarta : Pustaka Zahra. 2002.
_______, Syesy Makoleh. Diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih dengan Judul Kumpulan Artikel Pilihan. Jakarta : Lentera Basritama. 2003.
_______, Tarbiyatul Islam. Diterjemahkan oleh Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam. Depok : Iqra Kurnia Gumilang, 2005.
_______, The Causes Responsible For Materialist Tendencies in the West, Doterjemahkan oleh Akmal Kamil dengan Judul Kritik Islam Terhadap Materialisme. Jakarta : al-Huda Islamic Centre. 2001.
Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. Diterjemahkan oleh Nashir Budiman dengan Judul Aspek Ruhaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah. Jakarta : Srigunting Press. 1997.
Fritjouf Schoun. Sufisme : Veil and Quintesence. Diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budhi Santoso dengan Judul Proses Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti. Jakarta : Srigunting Press. 2000.
Solihin, Mukhtar dan Rosihan Anwar. Hakekat Manusia : Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam. Bandung : Pustaka Setia. 2005.
Sukardi (ed). Kuliah-kuliah Tasawuf. Bandung : Pustaka Hidayah. 2000.
________________________________________
[1] Kata tasawuf berasal dari bahasa Arab yairu Shafa atau shafih yang berarti kesucian, ada juga yang berpendapat berasal dari kata shafwah yang berarti orang yang terpilih. Sebagian lain berpendapat tasawuf berasal dari kata shaf yang berarti baris yang berarti kaum muslimin yang berada di baris pertama dalam shalat atau perang suci. Sebagian ahli juga berpendapat kata ini berasal dari kata shuffah yakni serambi rendah yang terbuat dari tanah liat di mesjid Nabi di Madinah tempat orang-orang miskin yang baik hati dan mengikuti beliu berkumpul. Ada juga yang berpendapat kalau kata tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba, yaitu bahan jubah yang sering dipakai oleh para sufi. Namun ada juga yang berpendapat tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu sophia yang berarti hikmah atau kebijaksanaan. Lihat Fadhullah Haeri, The Elements of Sufism, Diterjemahkan oleh Muhammad Hasyim Assegaf dengan Judul Belajar Mudah Tasawuf, (Cet. IV ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 1.
[2] Mukhtar Solihin dan Rosihan Anwar, Hakekat Manusia : Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Setia, 2005), h. 1-2.
[3] Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, (Cet. I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 9.
[4] A. J. Arbery, Sufism and Account of the Mistics of Islam, diterjemahkan oleh Bambang Herawan dengan Judul Tasawuf Versus Syari'at, (Cet. I ; Bandung : Hikmah, 2000), h. 1.
[5] A. Reza Arasateh, Growth to Selfhood the Sufi Contribution, diterjemahkan oleh Ilzamuddin Ma'mur dengan Judul Sufisme dan Penyempurnan Diri, (Cet. II ; Jakarta : Srigunting Press, 2002), h. 1
[6] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, (Cet, I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2004), h. 25.
[7] Musa Kazhim, op, cit., h. 15.
[8] Muhsin Labib, loc, cit.
[9] Bid., h. 52.
[10] Haedar Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II ; Bandung : Arasy, 2006), h. 101.
[11] Muhsin Labib, op, cit., h. 53.
[12] Murtadha Muthahhari, The Causes Responsible For Materialist Tendencies in the West, Doterjemahkan oleh Akmal kamil dengan Judul Kritik Islam Terhadap Materialisme, (Cet, I ; Jakarta : al-Huda islamic centre, 2001), h. 9.
[13] Muhsin labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Shadra, (Cet, I ; Jakarta ; al-Huda Islamic Centre, 2005), h. 278.
[14] Murtadha Muthahhari, Introduction to Kalam, diterjemahkan oleh Muhammad ilyas Hasan dengan Judul Mengenal Ilmu kalam, {Cet, I ; Jakarta Pustaka Zahra, 2002), h. 7.
[15] Hamid Algar, "Hidup dan karya Murtadha Muthahhari", dalam Pendahuluan buku Murtadha Muthahhari, Filsafah al-Hikmah, Diterjemahkan oleh Tim Penerbit Mizan dengan Judul Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra, (Cet. I ; Bandung : Mizan, 2002), h. 30.
[16] Murtadha Muthahhari, The Cause, op, cit.,h. 10.
[17] Ibid., h. 10-11.
[18] Ibid.
[19] Muhsin Labib, Para Filosof, op, cit., h. 280.
[20] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, opm cit., h. 31.
[21] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, Diterjemahkan oleh Ramli Bihar Anwar dengan Judul Mengenal Irfan, (Cet, I ; Jakarta : hikmah, 2002), h. 3.
[22] Agus Effendi, "Tasawuf dalam Perspektif Mazhab Ahlul Bait", dalam Sukardi (ed), Kuliah-kuliah Tasawuf, (Cet. I ; Bandung : Pustaka Hidayah, 2000), h. 83.
[23] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, op cit., h. 77.
[24] Ibid., h. 83.
[25] Kata sayr wa suluk secara etimologis berasal dari dua kata yang sinonim, yaitu sayr yang berarti berjalan dan suluk yang juga artinya berjalan.
[26] Murtadha Muthahhari, Introductioin to Irfan, loc, cit.
[27] Agus Effendi, op, cit., h. 83-84.
[28] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan op, cit.,, h. 7
[29] Murtadha Muthahhari, Glimpses of the Nahj al-Balaghah, diterjemahkan oleh Arif Mulyadi dengan Judul Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah, (Cet. I ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2002), h. 92.
[30] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit.
[31] Ibid., h. 8-9.
[32] Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, op, cit., h. 76.
[33] Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah, Diterjemahkan oleh Muhammad Bagir dengan Judul Mutiara Nahj al-Balaghah : Wacana dan Surat-surat Imam Ali, (Cet, III ; Bandung : Mizan, 2003), h. 22.
[34] Murtadha Muthhahhari, Glimpses, op, cit., h. 81.
[35] Murtadha Muthahhari, Man and Universe, Diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Manusia dan Alam Semesta, (Cet. II ; Jakarta : Lentera Basritama, 2002), h. 74.
[36] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 12-13.
[37] Fritjouf Schoun, Sufisme : Veil and Quintesence, Diterjemahkan oleh Tri Wibowo Budhj Santoso dengan Judul Proses Ritual Menyingkap Tabir Mencari Yang Inti, (Cet. I ; Jakarta : Srigunting Press, 2000), h. 151.
[38] M urtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 13.
[39] Fritjouf Schoun, loc, cit.
[40] Haedar Bagir, op, cit., h. 139-140.
[41] Ibrahim Ghazur Ilahi, The Scret of ana al-Haqq, Diterjemahkan oleh Bandaharo dan Joebaar Ajoeb dengan Judul Menyingkap Misteri Sufi Besar "Mansur al-Hallaj", (Cet, IV ; Jakarta : Srigunting Press, 2002), h. 89.
[42] Muhktar Solihin dan Rosihan Anwar, op, cit., h. 48.
[43] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit.
[44] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam, Diterjemahkan oleh Nashir Budiman dengan Judul Aspek Ruhaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridhaan Allah, (Cet, II ; Jakarta : Srigunting Press, 1997), h. 45.
[45] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, loc, cit.
[46] Ibid., h. 15
[47] Maqamat dan ahwal dalam bentuk jamak.
[48] Haedar Bagir, op, cit., h. 131-132.
[49] Ibid., h. 132.
[50] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 100-101.
[51] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, (Cet, I ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), h. 27.
[52] Untuk lebih jelasnya mengenai maqamat dalam tasawuf Sunni, lihat ibid., h. 26-47.
[53] Agus Effendi, op, cit., h. 83.
[54] Ibid., h. 90.
[55] Laleh Bahtiar, Sufi : Exspression of the Mystic Quest, Diterjemahkan oleh Purwanto dengan Judul Perjalanan Menuju Tuhan, (Cet, I ; Bandung : Nuansa, 2001), h. 63.
[56] Ibid., h. 88-89.
[57] Ibid., h. 89.
[58] Murtadha Muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 3.
[59] Dalam keyakinan Syiah Imamiyah ada dua belas imam pengganti Nabi Muhammad saw, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib, Imam Hasan bin Ali, Imam Husein bin Ali, Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ja'far al-Shadiq, Imam Musa al-Kazhim, Imam Ali al-Ridha, Imam Muhammad al-Jawad, Imam Ali al-Hadi, Imam Hasan al-Askari, dan Imam Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar.
[60] Ibrahim Amini, Hamed Bayad Bedonand, Diterjemahkan oleh Faruq Dhiya dengan Judul Semua Perlu tahu : Buku Pintar Ushuluddin, (Cet, i ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2006), h. 34.
[61] Murtadha Muthahhari, Syesy Makoleh, Diterjemahkan oleh Muhammad jawad Bafaqih dengan Judul Kumpulan Artikel pilihan, (Cet. I ; Jakarta : Lentera Basritama, 2003), h. 120-121.
[62] Lihat Murtadha Muthahhari, Master and Mastership, Diterjemahkan oleh Yudhi Nur Rahman dengan Judul Kepemimpinan Islam, (Cet, I ; Banda Aceh : Gua Hira, 1991), h. 30.
[63] Lihat Murtadha Muthahhari, Polarization Around the Character of Ali bin Abi Thalib, Diterjemahkan oleh Muhammad hashem dengan Judul Karakter Agung Ali bin Abi Thalib, (Cet, I ; Jakarta : Pustaka Zahra, 2002), h. 31-34.
[64] Murtadha Muthahhari, Master and, op, cit., h. 26.
[65] Ibid., h. 134.
[66] Murtadha muthahhari, Introduction to Irfan, op, cit., h. 5.
[67] Ibid., h. 6
[68] Murtadha Muthahhari, Falsafa-ye Akhlake, Diterjemahkan oleh Muhammad Babul Ulum dan Eddy Hendri dengan Judul Filsafat Moral Islam, (Cet, I ; Jakarta : al-Huda Islamic Centre, 2004), h. 21.
[69] Lihat Murtadha Muthahhari, al-Fitrah, Diterjemahkan oleh Afif muhammad dengan Judul Fitrah, (Cet, II ; Jakarta : Lentera Basritama, 1999), h. 55.
[70] Murtadha Muthahhari, iFalsafaye Akhlake, op, cit., h. 23.
[71] Murtadha Muthahhari, Tarbiyatul Islam, Diterjemahkan oleh Muhammad Baharuddin dengan Judul Konsep Pendidikan Islam, (Cet, I ; Depok : Iqra Kurnia Gumilang, 2005), h. 117.
Sumber: http://addhymanipi.blogspot.com/2011/12/pemikiran-tasawuf-murtadha-muthahhari.html
Langganan:
Postingan (Atom)