A. Fitrah: Dimensi Asasi Pendidikan Islam
Dikarenakan manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, sebagaimana telah dibahas pada Tulisan yang lalu , maka pembahasan mengenai pendidikan Islam, khususnya dalam pemikiran Muthahhari, biasanya diawali dengan awal terciptanya manusia. Dari awal penciptaan manusia ini akan diperoleh sejumlah informasi yang akan menjelaskan mengenai landasan utama pendidikan Islam yang sesungguhnya.
Pembahasan pemikiran Muthahhari dalam masalah fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan Islam ini lebih bernunsa filosofis. Beliau mengutarakan hal-hal yang terkait dengan awal penciptaan manusia hingga dilahirkan ke dunia lalu membahas masalah mengenai: Manusia dan Pengetahuan. Pembahasan Manusia dan Pengetahuan ini adalah untuk mengetahui sifat dari fitrah manusia, dan apakah pengetahuan yang didapat oleh manusia bersifat fitri ataukah murni hasil dari pencarian manusia sendiri.
Di dalam Al-Qur’an dan sunah Rasul, persoalan fitrah memperoleh perhatian yang sangat besar. Sebab, kedua sumber tersebut memiliki perspektif tersendiri tentang manusia ketika keduanya mengatakan bahwa manusia mempunyai fitrah. Dengan demikian, kita mesti mengkaji sejarah kosakata fitrah dan maknanya, termasuk menjawab pertanyaan apakah di dalam diri manusia benar-benar terdapat masalah-masalah yang bersifat fitrah, ataukah tidak.
Menurut Muthahhari sendiri, bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah. Hal itu pun akan terlihat sama dalam pandangan al-Ghazâlî, yang menurutnya pondasi pendidikan manusia adalah pada nilai-nilai Ilahiyah, yang disebut oleh al-Ghazâlî sebagai khulq (sebagai persamaan istilah dari fitrah). Di tengah-tengah kajian tentang fitrah/khulq ini nantinya akan muncul beberapa cabang, antara lain masalah “pendidikan” dan “pengajaran”, suatu tema yang amat luas dan merentang panjang.
Karena itu, jika manusia memang memiliki rangkaian hal-hal yang bersifat fitrah, maka kita mesti pula berbicara tentang masalah-masalah pendidikan dan pengajaran dalam perspektif persoalan-persoalan fitrah tadi.
Bahkan, istilah “pendidikan” (tarbiyah atau ta'dib dalam terminologi Naquib Alatas ) yang kita gunakan, disadari atau tidak, juga terbentuk atas asas fitrah tersebut. Sebab yang dimaksud dengan pendidikan ialah rekayasa dan usaha untuk menyempurnakan kecerdasan (al-rusyd) dan pertumbuhannya. Semua itu disandarkan pada sekumpulan sarana. Atau, jika kita gunakan istilah modern, semua itu membutuhkan sejumlah kekhususan yang mencukupi dalam diri manusia, yang dimensi asasinya adalah fitrah.
Dari pendapat di atas, sangat jelas terlihat bahwa dimensi dasar pembentukan manusia melalui pendidikan adalah terletak pada fitrah manusia. Fitrah manusialah yang selalu membawa manusia untuk selalu condong kepada kebenaran dan membenci kejahatan, sebagaimana juga sifat pendidikan yang mengajarkan manusia kepada pencapaian kebenaran dan mencegah kejahatan. Sebagaimana disebutkan dari tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh al-Ghazali adalah mencetak insan kamil, yaitu manusia yang memiliki akhlak mulia dengan menanamkan nilai-nilai Ilahiyah sejak dini dalam diri manusia sehingga dalam mengarungi kehidupan ini memiliki pijakan yang kuat dalam menjalani perjalanannya dalam menuju kesempurnaan hakiki, yaitu kesempurnaan pada saat “bertemu” dengan Sang Pencipta.
1. Pengertian Fitrah dari Segi Bahasa
Lafadz fithrah, dengan berbagai derivatnya, banyak disebutkan dalam al-Qur’an, misalnya dalam ayat-ayat di bawah ini:
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada Agama (Din) yang lurus, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya” (QS. Ar-Rum: 30).
“Ibrahim berkata: ‘Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku adalah termasuk orang-orang yang bersaksi akan hal itu” (QS. Al-Anbiya: 56).
“Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dan aku bukanlah termasuk dari orang-orang yang menyekutukannya” (QS. Al-An'am: 79)
“Apabila langit terbelah” (QS. Al-Infithar: 1)
“Langit (pun) menjadi pecah-belah pada hari itu karena Allah. Adalah janji-Nya itu pasti terlaksana” (QS. Al-Muzammil: 18)
Dalam kitab Mufradat, ar-Raghib al-Isfahani mengemukakan kosakata fathara sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Atsir. Yakni menunjukkan arti “keawal-mulaan sesuatu dan tidak adanya sesuatu sejenis itu yang mendahuluinya.”
Sebagaimana diungkapkan oleh al-Ghazali, dalam konteks ini fithrah seperti tercantum pada ayat-ayat di atas berarti al-khalq dan al-ibda’. Al-Khalq itu sendiri identik dengan al-ibda’ (yang memiliki arti menciptakan sesuatu tanpa contoh). Hanya saja, yang menyebutkannya dalam bentuk ini (fithrah), yakni yang mengikuti pola fi’lah, hanya satu ayat ini, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menjadikan manusia menurut fitrah itu”. (QS. Ar-Rum: 30).
Dalam bahasa Arab, bentuk fi’lah menunjuk pada mashdar yang menunjukkan arti “keadaan atau jenis perbuatan”. Jika kita mengucapkan kata jalsah, maka lafal ini menunjuk pada arti “duduk satu kali”. Tetapi jika kita katakan jilsah, maka artinya adalah keadaan duduk. Karena itu, ucapan kita yang berbunyi “Jalastu jilsata Zaidan”, berarti “Aku duduk seperti duduknya Zaid”. Yakni, duduk seperti keadaan duduk yang dilakukan Zaid.
Berdasarkan itu, maka lafal fithrah yang berkaitan dengan keadaan manusia dan hubungan keadaan tersebut dengan agama, yakni yang disebutkan dalam ayat, “Fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu” (QS. Ar-rum: 30) mengandung arti “keadaan yang dengan itu manusia diciptakan”. Artinya, Allah telah menciptakan manusia dengan keadaan tertentu, yang di dalamnya terdapat kekhususan-kekhususan yang ditempatkan Allah dalam dirinya saat dia diciptakan, dan keadaan itulah yang menjadi fitrahnya.
Ibn Atsir, dalam kitab an-Nihayah, ketika mengemukakan hadits yang berbunyi: “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah,” kitab tersebut memberikan komentar bahwasanya "Al-Fathr" berarti menciptakan dan menjadikan (al-ibtida’ wa al-ikhtira’), dan fithrah merupakan keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Yakni, menciptakan sesuatu dalam wujud yang baru, yang merupakan kebalikan dari “membuat sesuatu dengan mengikuti contoh sebelumnya.” Allah adalah al-Fathir. Dia adalah al-Mukhtari’ (yang menciptakan tanpa contoh), sedangkan manusia adalah at-taqlidi (membuat sesuatu dengan mengikuti contoh). Manusia hanyalah mengikuti, bahkan di saat dia membuat sesuatu yang baru sekalipun. Sebab, hasil dari kreasinya pasti mengandung unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya. Al-Fithrah adalah keadaan yang dihasilkan aripenciptaan itu, seperti halnya al-jilsah dan ar-rikhbah, yakni fitrah merupakan sejenis ciptaan khusus yang memiliki keadaan tertentu.
Berdasarkan pengertian tentang fitrah dari para ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwasanya fitrah adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia yang berhubungan dengan awal diciptakannya, yang langsung diciptakan oleh Allah Swt dengan tanpa meniru dari contoh yang lain.
2. Watak, Naluri, dan Fitrah
Setelah membahas mengenai pengertian fitrah, maka selanjutnya dalam buku fitrah-nya Muthahhari mengajak kita untuk membedakan arti dari tiga istilah yang terkesan sama namun pada hakekatnya berbeda. Hal ini dirasakan penting, agar pemahaman kita terhadap fitrah tidak dikaburkan dengan istilah-istilah yang kelihatannya sama namun berbeda.
Terdapat tiga istilah, yaitu “watak”, “naluri”, dan “fitrah” yang mesti dibedakan dan diketahui perbedaannya, sebagai berikut.
a. Watak atau Sifat Dasar (ath-thabi’ah)
Watak (sifat dasar) biasanya digunakan untuk benda-benda mati. Tetapi, bisa pula digunakan untuk benda-benda hidup. Contohnya, jika kita bermaksud menunjukkah salah satu karakteristik (ciri khas) air, maka kita mengatakan, “Wataknya adalah begini”. Atau, “Watak oksigen adalah mudah terbakar.” Jadi, kita menyebut berbagai karakteristik asal benda-benda dengan wataknya.
Manusia dengan pemikiran rasional dan filosofis yang dimilikinya, berpikir bahwa dua benda yang sama dalam segala seginya tidak mungkin memiliki karakteristik yang berbeda. Jika karakternya berbeda, hal itu membuktikan bahwa kedua benda itu memiliki perbedaan dalam satu segi atau lebih. Berdasarkan itu, maka pada setiap benda tersebut terdapat potensi atau kekhususan yang memunculkan karakteristik tadi, yang hanya dimiliki olehnya dan tidak oleh yang lainnya. Potensi atau kekhususan itulah yang merupakan watak (thabi’ah) benda tersebut.
b. Naluri (al-gharizah)
Istilah ini banyak digunakan untuk binatang, dan jarang sekali digunakan untuk manusia, serta tidak pernah digunakan untuk benda-benda mati dan tumbuh-tumbuhan. Hakikat naluri belum jelas hingga saat ini. Artinya, seseorang tidak sanggup menginterpretasikan apa sebenarnya naluri itu. Kendati demikian, kita mengetahui bahwa dalam diri binatang terdapat kekhususan-kekhususan internal tertentu yang menjadi penuntun hidupnya. Di dalam naluri tersebut terdapat kondisi setengah sadar yang dengan itu binatang-binatang dapat dibedakan perjalanan hidupnya. Kondisi tersebut bukan muktasabah (diperoleh dengan usaha), tetapi merupakan sifat dasar yang ada pada binatang.
Termasuk dalam naluri tersebut adalah kesanggupan binatang yang baru lahir untuk melakukan berbagai gerakan, tanpa melalui latihan lebih dahulu. Pengetahuan yang seperti itulah yang kita sebut dengan “Naluri”. Yakni, kondisi kesadaran yang tidak sempurna, suatu keadaan yang merupakan gabungan dari sadar dan tidak sadar.
c. Fitrah (al-fithrah)
Istilah ini digunakan untuk manusia. Sebagaimana halnya dengan naluri dan watak, fitrah merupakan bawaan alami. Artinya, ia merupakan sesuatu yang melekat dalam diri manusia, dan bukan sesuatu yang diperoleh melalui usaha. Fitrah mirip dengan kesadaran. Sebab, manusia mengetahui bahwa dirinya mengetahui apa yang dia ketahui. Artinya, dalam diri manusia terdapat sekumpulan hal yang bersifat fitrah, dan dia tahu betul tentang hal itu.
Dari pengertian tentang watak, naluri dan fitrah di atas, dapat dipertegas kembali makna dari fitrah itu sendiri. Fitrah adalah sesuatu yang melekat dan hadir dalam diri manusia sejak diciptakannya. Ia bersifat mencari dan mencintai kebenaran. Seperti telah dikemukan di atas, bahwa pendidikan pun memiliki fungsi yang sama, yaitu menanamkan dan mengajarkan kepada manusia untuk mencari dan mencintai kebenaran.
Di sinilah titik temu antara fitrah dan pendidikan. Pendidikan berfungsi mengajarkan kebenaran sesuai dengan sifat dari fitrah yang selalui cinta kebenaran. Maka, pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang berorientasi pada fitrah itu sendiri, yaitu pendidikan yang berazas pada nilai-nilai kebenaran hakiki, yaitu nilai-nilai dari Allah SWT sebagai pencipta dari fitrah itu sendiri. Di sinilah pendidikan Islam memainkan perannya.
Adanya anggapan bahwa anak manusia dilahirkan dalam keadaan kosong, dengan diibaratkan sebuah kertas kosong yang masih putih, dan tugas dari ayah-ibu dan lembaga pendidikan formallah yang mewarnainya, maka dari pengertian fitrah di atas dengan sendirinya terbantah. Anak manusia bukanlah seperti kertas kosong yang tidak memiliki apa-apa sehingga ia seperti benda mati yang bebas diperlakukan oleh siapa saja, yang dengannya tercipta satu kepribadian yang khas. Namun, lebih daripada itu, anak manusia merupakan subjek yang telah tahu akan kebenaran dan eksistensinya di dunia.
Ketika seorang bayi menangis dan mendapat perlakuan yang tidak dikehendakinya, ia langsung menangis. Ia tahu akan keberadaan dirinya. Apa buktinya ia tahu akan keberadaan dirinya? Jika bayi itu tidak tahu bahwa ia ada, maka dia tidak akan memiliki keinginan. Keinginan sesungguhnya lahir dari pengetahuan akan eksistensi diri. Tanpa itu maka tidak akan ada keinginan. Dengan demikian, seorang bayi pun bukanlah secarik kertas yang kosong, tetapi dia telah memiliki basic pengetahuan mengenai eksistensi diri yang dengannya dapat tumbuh dan mengenali lingkungannya. Pengetahuan mengenai eksistensi diri itulah yang disebut fitrah.
Dengan demikian, tugas pendidikan yang utama adalah memberikan informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Dan, dengan adanya fitrah dalam diri manusia, maka informasi itu berguna sebagai bekal dalam pencarian kebenarannya. Hal itu lebih disebabkan adanya sifat fitrah yang cinta kebenaran. Manusia, menurut Muthahhari, adalah makhluk pencari kebenaran.
Lebih jauh, Muthahhari memberikan penjelasan yang rinci mengenai alasan manusia sebagai makhluk pencari kebenaran. Mencari kebenaran sendiri adalah sesuatu yang dapat kita sebut dengan istilah “pengetahuan”, atau kategori “penalaran terhadap alam luar”. Dorongan ini ada dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa adanya, atau menalarnya sebagaimana mestinya. Artinya, manusia ingin memperoleh pengetahuan-pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam keadaan yang sesungguhnya. Masalah pencarian kebenaran, di kalangan para filosof, adalah kesempurnaan teoritis itu sendiri. Manusia, dengan fitrahnya, mencari kesempurnaan teoritis, yakni mengetahui hakikat alam semesta. Fitrah ini terdapat di dalam diri manusia dan dapat dilihat, yang di dalam psikologi disebut dengan “dorongan mencari kebenaran”, atau “rasa ingin tahu.
Kecendrungan pada kebenaran dan pengetahuan bersumber pada fitrah. Artinya, manusia merupakan realita yang tersusun (composite) dari tubuh dan roh, dan bahwasanya di dalam roh terdapat hakikat Ilahiyah, seperti yang dikatakan oleh ayat al-Qur’an:
“Dan ketika Aku telah sempurnakan kejadinnya (manusia), maka Aku tiupkan ke dalam jiwanya Ruh-Ku, maka hendaklah kaliah bersujud kepada-Nya” (QS. Shaad: 72).
Unsur-unsur alami dalam diri manusia cenderung pada alam dan terikat dengannya, sedangkan unsur-unsur non-alaminya cenderung pada hal-hal yang metafisik dan terkait dengannya. Manusia selalu mencari kebenaran, dan ini merupakan dorongan jiwanya (rohnya). Semua dorongan ini—pengetahuan dan penciptaan, cinta dan ibadah—pada dasarnya merupakan refleksi dari perhambaan terhadap Kekasih Sejati Yang Dirindukan. Kekasih yang dirindukan oleh manusia, pada hakikatnya adalah Allah SWT. Jadi, jika muncul kerinduan rohani dalam diri manusia, maka kerinduan tersebut menghidupkan kerinduan hakiki terhadap Allah yang muncul dari adanya fitrah tersebut.
3. Manusia dan Pengetahuan
Terdapat suatu pertanyaan yang secara khusus ber¬kaitan dengan pengetahuan manusia, yaitu: Apakah dalam diri manusia terdapat sejumlah pengetahuan yang sifatnya fitri, yakni pengetahuan pengetahuan yang ghair muktasabah?
Di dalam diri kita terdapat setumpuk konsep dan gambaran, dan tidak diragukan lagi bahwa banyak pen¬dapat yang mendekati konsensus mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat banyak hal yang mukta¬sabah, sebagaimana yang juga dijelaskan oleh ayat Al-¬Qur'an, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur " (QS. an Nahl: 78).
Sebagian pemikir kita ingin bersandar pada ayat ini guna menegaskan bahwa semua pengetahuan yang kita miliki adalah muktasabah (diperoleh melalui usaha), sekalipun terlihat bahwa ada pula pengetahuan-¬pengetahuan yang bersifat fitrah. Pengertian lahiriah ayat tersebut mengatakan, "Sesungguhnya ketika kamu sekalian dilahirkan, kamu sekalian belum mengetahui suatu apa pun." Artinya, lembaran hati kalian masih bersih dan belum ada goresan apa pun. Lalu, kamu sekalian diberi pendengaran, penglihatan, dan hati, agar dengan itu kamu sekalian dapat menuliskan ber¬bagai hal di lembaran hati kalian.
Ini baru satu teori. Ada teori lain yang mengatakan sebaliknya. Yakni, sesungguhnya ketika manusia di¬lahirkan, dia sudah mengetahui semua hal, tanpa ada satu pun yang terlewat. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebelum bertempat di badan, roh manusia berada di alam lain, yakni alam idea (ingat teori Plato). Idea adalah hakikat hakikat dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Roh telah mengetahuinya dan telah pula menemukan hakikat benda benda itu. Kemu¬dian, ketika ia bertempat di badan, muncullah peng¬halang (hijab) yang memisahkan roh dari pengetahuan-¬pengetahuan idea tersebut. Kondisinya seperti orang yang sudah mengetahui sesuatu, tapi untuk beberapa waktu menjadi lupa, dan kemudian ingat kembali. Se¬tiap bayi yang dilahirkan, menurut teori Plato, sudah mengetahui segala sesuatu. Pengajaran dan belajar hanyalah usaha untuk mengingat kembali sesuatu yang terlupakan. Guru adalah orang yang mengingatkan. Yakni, mengingatkan sesuatu yang dia ketahui dalam dirinya.
Teori ketiga mengatakan bahwa manusia mengetahui sesuatu melalui fitrahnya. Benda benda yang dia ketahui dengan cara ini, tentu. saja, sangat sedikit. Dengan kata lain, prinsip berpikir pada semua manu¬sia adalah bersifat fitrah, sedangkan cabangnya bersifat muktasabah. Yang dimaksud dengan prinsip berpikir di sini bukanlah prinsip berpikirnya Plato, yang me¬ngatakan bahwa di alam lain manusia telah mengetahui segala sesuatu, namun kemudian lupa. Tetapi, yang dimaksud adalah bahwa di dunia ini manusia dingatkan pada prinsip prinsip tersebut. Hanya saja, untuk mengetahuinya, dia membutuhkan guru, membutuh¬kan sistem yang membedakan besar dan kecil, perlu membuat analogi, menempuh pengalaman, dan lain sebagainya. Artinya, bangunan intelektualitas manusia dijadikan sedemikian rupa sehingga dengan menyo¬dorkan beberapa hal saja, cukuplah baginya untuk mengetahui hal itu tanpa harus ada dalil dan bukti, dan juga bukan karena dia telah mengetahui hal itu se¬belumnya.
Teori ini, pada umumnya, dianut oleh para filosof Muslim. Dengan beberapa perbedaan dalam rincian¬nya, ia juga merupakan teori yang dianut Aristoteles. Perbedaan tersebut juga terjadi di kalangan para filosof modern, tetapi tidak dalam bentuknya yang Platonis. Sebab, hingga saat ini tidak ada seorang pun yang tahu secara persis teori Plato. Kendati demikian, dewasa ini dijumpai filosof filosof yang meyakini bahwa sebagian dari pengetahuan manusia itu bersifat fitrah, dan se¬bagiannya lagi. bersifat tajribi (diperoleh melalui pe¬ngalaman) dan terjadi sesudah manusia hidup di dunia. Tokoh aliran ini adalah filosof besar Kant.
Kant mengakui adanya himpunan pengetahuan yang bersifat fitri, yakni pengetahuan pengetahuan yang tidak diperoleh melalui pengalaman ataupun melalui indera, tapi pengetahuan yang mesti ada dalam diri manusia demi terbentuknya aspek pemikiran manusia. Pemikiran seperti ini ditemukan di kalangan filosof Jerman. Namun, para filosof Inggris yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh melalui indera, jumlahnya lebih banyak, misalnya john Lock, David Hume, dan lain lain. Kelompok yang disebut terakhir ini memiliki pendapat yang berbeda dengan kelompok yang disebut terdahulu. Mereka mengatakan bahwa lembaran lembaran diri manusia pada mulanya kosong dari suatu pengetahuan pun, kemudian manusia bertemu dengan segala sesuatu, dan mempelajarinya.
Titik pusat dan paling penting dalam pembicaraan kita sekarang ini adalah teori yang dianut oleh para filosof Muslim, yang mengatakan bahwa prinsip prinsip berpikir manusia tidak bersifat pengajaran (dibentuk melalui belajar) dan tidak pula bersifat istidlaliah (di¬dapatkan melalui penyusunan dalil dalil). Tetapi, dalam waktu yang bersamaan, mereka juga tidak memandang hal itu sebagai karakteristik asal manusia. Ini berbeda dengan Plato dan Kant, yang menganggapnya sebagai bawaan asal manusia. Para filosof Muslim mengatakan, tatkala manusia dilahirkan, dia tidak mengetahui apa pun, termasuk prinsip prinsip berpikir tersebut. Walau¬pun begitu, mereka mengatakan bahwa terbentuknya prinsip prinsip tersebut sesudah itu tidak membutuhkan pengalaman, penyusunan dalil, ataupun guru. Begitu seseorang berpikir tentang dua sisi suatu. hal, yakni pokok permasalahannya dan kemungkinan kemungkinannya, ia pun sampai pada kesimpulan antara pokok persoal¬an dan kemungkinan kemungkinannya.
Sebagai contoh, jika kita mengatakan, "Keseluruhan itu lebih besar daripada bagian bagiannya," maka Plato pasti mengata¬kan bahwa manusia mengetahui itu sejak azali, sebagai¬mana halnya dengan pengetahuannya terhadap segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Terhadap pernyataan kita itu, Kant juga pasti akan mengatakan: Per¬nyataan bahwa keseluruhan itu lebih besar daripada bagian bagiannya merupakan rangkaian dari unsur¬-unsur berpikir yang sifatnya fitrah yang terdapat di dalam bangunan akal. Artinya, sebagian pengetahuan itu diperoleh dari luar, dan sebagian lainnya terkait dengan akal sejak asalnya.
Para filosof Muslim mengatakan tidak demikian. Seorang bayi yang baru lahir tidak tahu apa pun mengenai konsep bahwa keseluruhan itu lebih besar daripada bagian bagiannya. Sebab, dia tidak mempunyai konsepsi mengenai "keseluruhan" dan "bagian bagian". Akan tetapi, begitu dia memiliki konsepsi tentang ke¬dua hal itu, dan salah satu darinya dia terapkan terhadap yang lain, maka saat itu juga dia dapat memutuskan tanpa perlu adanya dalil, guru, atau eksperimen ¬bahwa keseluruhan itu lebih besar daripada bagian-bagiannya.
Kita juga menemukan perbedaan pandangan antara para filosof Muslim dengan Plato dalam hal ada dan tidak adanya fitrah. Sekarang, mari kita lihat bagaimana pendapat Al Qur'an. Di satu sisi, Al Qur'an mengatakan:
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui suatu apa pun, dan Dia mem¬beri kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur (QS. an Nahl: 78)
Dalam ayat di atas berpendapat bahwa semua bayi yang dilahirkan berada dalam keadaan bersih se¬perti lembaran kertas putih, tanpa ada satu goresan apa pun. Tetapi, pada sisi lain, Al Qur'an mengemuka¬kan pertanyaan pertanyaan yang dari situ seseorang dapat mengetahui bahwa, dalam beberapa hal, akal manusia tidak membutuhkan penyusunan dalil. Lalu, bagaimana kedua pandangan ini dapat dikompromikan?
Sebagai contoh, kita ambil masalah tauhid dalam Al Qur'an. Pengertian pengertian yang akan kami tarik dari ayat ayat tentang tauhid menunjukkan bahwa tauhid adalah masalah fitrah. Berdasar itu, maka respons terhadap keesaan Allah dalam instink manusia, sama sekali tidak sejalan dengan ayat yang mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui apa pun". Akan tetapi, kenyataannya kedua hal ter¬sebut sejalan.
Atau, kita ambil sebagai contoh lagi, diulang ulangnya lafal at tadzakkur (mengingat) dalam Al Qur'an. Ini betul betul menakjubkan. Ketika Al Qur'an menghancur¬luluhkan teori Plato melalui ayatnya yang berbunyi, "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa pun, dan Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan, dan hati" kita pun menemukan Al Qur'an berkata kepada Rasulullah saw, "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu ada¬lah orang yang menberi peringatan." (QS. al Ghasyiah: 21)
Lihatlah, bukankah Al Qur'an sendiri yang menggunakan kata tadzkir (mengingatkan) dan memberi predikat mudzakkir (orang yang memberi peringatan) kepada Nabi saw? Ini menunjukkan, Al Qur'an ber¬pendapat bahwa ada beberapa hal yang (untuk me¬ngetahuinya) orang tidak membutuhkan penyusunan dalil dan bukti, tetapi cukup dengan mengingat saja. Antara lain, Al Qur'an mengatakan, "Apakah sama orang orang yang mengetahui dengan orang orang yang tidak mengetahui?” QS. az Zumar: 9).
Ini merupakan pertanyaan retorik (tidak membutuh¬kan jawaban), seperti yang digunakan Socrates dalam pendidikan dan pengajaran. Diceritakan bahwa ketika Socrates ingin menegaskan sesuatu kepada pende¬ngarnya, dia memulainya dengan menyampaikan hal-¬hal yang sangat jelas dengan menggunakan pertanya¬an, "Apakah persoalannya begini atau begitu?" Kendati persoalannya sudah demikian jelas, Socrates benar¬-benar tahu bahwa akal manusia akan memilih yang jelas. Karena itu, dia memberikan pilihan kepadanya. Kemudian, dia mengangkat permasalahan dengan pertanyaan kecil, dan dengan cara yang sama, "Apakah keadaannya memang seperti ini atau seperti itu?" Me¬lalui pertanyaan ini, Socrates menyodorkan pilihan yang secara pasti memang bakal dipilih oleh pendengarnya. Begitulah seterusnya yang dia lakukan, sampai akhir¬nya pendengarnya mengetahui apa yang sebenarnya diinginkan oleh Socrates untuk mereka ketahui, tanpa Socrates sendiri menjelaskan suatu apa pun. Yang demikian itu dilakukan oleh Socrates, karena pada dasarnya dia adalah seorang guru, sekaligus orang yang mengerti tentang jiwa manusia. Karena itu, dia me¬nyimpulkan jawaban dari pertanyaan itu sendiri. Socrates sendiri menggambarkan dirinya seperti ibunya yang dukun bersalin. Socrates bekerja bagai "dukun ber¬salin" seperti yang dilakukan ibunya. Alam mengajar¬kan kepada seorang perempuan untuk melahirkan, tetapi dukun bersalinlah yang membimbing dan mem¬bantunya melahirkan. Jadi, Socrates tidak melakukan apa pun kecuali membantu akal manusia untuk me¬lahirkan pemikiran yang baru.
Al Qur'an juga menggunakan gaya bahasa tertentu dalam melontarkan pertanyan pertanyaan, antara lain sebagai berikut:
Katakanlah, "Apakah sama orang~orang yang menge¬tahui dengan orang orang yang tidak mengetahui?" (QS. az Zumar: 9)
Patutkah Kami menganggap orang orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang orang yang berbuat kerusakan di muka bumi. Atau, patutkah [pula] Kami menganggap orang orang yang bertakwa sama dengan orang~orang yang berbuat maksiat? QS. Shad: 28)
Dalam kedua ayat itu, Al Qur'an yang bertanya, dan manusia yang mesti menjawab. Dalam posisi seperti itu, Al Qur'an kemudian menegaskan, "Bahwasanya hanya orang orang yang berakal sajalah yang dapat meng¬ambil pelajaran." (QS. ar Ra'd: 19)
Demikianlah, maka menjadi jelaslah kepada kita bahwa masalah masalah fitrah yang dikemukakan oleh al Qur'an bukanlah sejenis fitrah seperti yang disebut¬kan Plato, tetapi ia merupakan potensi fitri yang di¬miliki oleh setiap manusia. Saat seorang bayi sampai pada fase yang di situ dia telah sanggup menkonsepsi¬kan hal hal tadi, maka pembenarannya terhadap hal-¬hal tersebut bersifat fitri. Artinya, pembenaran yang terjadi setelah dia melakukan konsepsi adalah bersifat fitri. Berdasar itu, maka tidak ada kontradiksi apa pun ketika Al Qur'an mengatakan, "Dialah yang megeIuarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur," dengan per¬nyataan bahwa tauhid itu adalah fitrah.
Kendati Al Qur'an mengisyaratkan banyak masalah untuk diingat, namun hal itu tidak bertentangan dengan fakta bahwa masalah masalah tersebut bersifat fitrah. Artinya, untuk mengetahui masalah masalah itu, seseorang tidak harus belajar dan menyusun dalil. Tetapi, itu juga bukan sesuatu yang bersifat fitrah dalam pengertian bahwa ia sudah diketahui manusia sebelum dia dilahirkan.
Sekarang, apa yang akan dikatakan oleh orang orang yang menolak eksistensi fitrah? Mereka mengatakan bahwa dalam diri manusia tidak terdapat prinsip pripsip yang tetap yang merupakan kemestian bagi terbentuknya kegiatan berpikir akal (tak terkecuali kemestian yang dikatakan oleh Kant). Misalnya, pemikir pemikir terdahulu mengatakan me¬ngenai prinsip berpikir, "Menggabungkan dua hal yang bertentangan adalah mustahil." Artinya, adalah mustahil suatu benda disebut ada dan tidak ada pada saat yang bersamaan. Itu juga berarti, tidak mungkin ada konsep yang sesuai dengan realitas dan, pada saat yang sama, tidak sesuai dengan realitas. Mengenai masalah ini terdapat banyak sekali pendapat yang kita temukan dalam filsafat Hegel dan dalam Marxisme. Tetapi masalah ini jelas sudah berada di luar pembicaraan kita. Atau, misalnya lagi, kita mengatakan, "Dua benda disebut sama jika semua aspek yang ada pada keduanya sama dengan benda yang ketiga." Atau, "Keseluruhan lebih besar daripada bagiannya." Atau lagi, "Menentu¬kan sesuatu yang lebih baik tanpa adanya penentu adalah mustahil."
Misalnya, jika terdapat dua kemungkin¬an pada satu benda, di mana kedua kemungkinan ter¬sebut bertentangan satu sama lain, dan menisbahkan benda tersebut kepada masing masing kemungkinan tersebut adalah sama dan setara, maka mencende¬rungkan benda tersebut kepada salah satu di antara kedua kemungkinan tersebut mengharuskan adanya faktor luar (eksternal) yang mempengaruhinya. jika tidak terdapat faktor luar, maka menentukan kecen¬derungan benda tersebut pada salah satu di antara kedua kemungkinan tersebut adalah mustahil.
Ada ilustrasi lain, misalnya suatu benda dapat ber¬ada di dua tempat sekaligus. Hal hal seperti ini tidak mungkin dicarikan dalilnya. Tetapi, ini tidak berarti bahwa hal hal itu tergolong dalam persoalan persoalan misterius yang tidak mungkin dibuktikan. Ada hal hal yang tidak ditemukan dalil untuk mem¬buktikannya, tetapi hal hal tersebut bukanlah sesuatu yang misterius (tidak diketahui). Ambillah, sebagai contoh, luas alam semesta ini. Apakah luas alam ini ada batasnya ataukah tidak? Orang bisa saja menjawab, "Saya tidak tahu apakah ia terbatas atau tidak terbatas, sebab tidak mungkin menyodorkan dalil untuk itu."
Atau, misalnya lagi, ada yang mengatakan, "Semua benda membesar bersama sama dan dengan perban¬dingan yang sama." Pengertiannya, kalau pada saat ini tinggi Anda sama dengan sebelumnya, katakanlah 170 cm, demikian pula ukuran ukuran tangan dan kaki, dinding, air, kursi, dan tirai, kemudian ada orang yang mengatakan, "Ukuran semua benda itu sudah bertam¬bah," lantas Anda bertanya, "Semula tinggi saya 170 cm, apakah sekarang bertambah menjadi 180 cm?" maka orang itu menjawab, "Tidak, sebab ukuran sentimeter sekarang ini sudah memanjang juga dengan perban¬dingan yang sama." Masalah ini tidak dapat kita bukti¬kan dengan dalil, dan tidak dapat pula kita buktikan dengan dalil akan kebalikannya. Persoalan persoalan seperti ini tidak dapat dibuktikan ataupun ditolak dengan dalil, sehingga seakan akan menjadi sesuatu yang misterius (majhulah).
Adapun pernyataan bahwa suatu benda dapat berada di dua tempat yang berbeda pada saat yang sama merupakan masalah yang tidak dapat dibuktikan, tetapi tidak dipandang oleh manusia sebagai sesuatu. yang misterius (majhulah), maka pernyataan seperti ini, dan pernyataan pernyataan lain yang sejenis, adalah tidak benar.
Orang orang yang mengakui adanya prinsip prinsip berpikir yang bersifat bawaan, haruslahjuga mengakui bahwa prinsip prinsip tersebut asli sifatnya, tidak berubah, dan tidak bisa salah. Mereka menga¬takan, "Ketika kita berada di sini, prinsip prinsip ter¬sebut merupakan prinsip yang sahih, dan jika kita pindah ke lingkaran lain, maka prinsip prinsip ter¬sebut tetap benar. Contohnya, pernyataan 2x2= 4 ada¬lah benar di dunia ini, dan juga benar di akhirat kelak, dan pasti akan tetap benar sesudah milyaran tahun lagi. Jadi, kalau kita percaya tentang adanya fitrah dalam berpikir, maka kita dapat meyakini adanya cabang dari fitrah tersebut, karena cabang-cabang terbentuk dari prinsip itu sendiri. Akan halnya jika ada yang menga¬takan bahwa prinsip itu sendiri sesuatu yang diusaha¬kan, artinya ada suatu faktor yang mendorong kita untuk menerimanya, dan kita bagaikan cermin yang diletakkan di hadapan gambar, maka terhadap pen¬dapat itu kami menjawab: Keseluruhan itu lebih besar daripada bagiannya. Kesimpulan seperti itu muncul dari lingkungan sekitar yang memastikan demikian. Jika lingkungan berubah, maka kita bisa mengatakan yang sebaliknya, yakni bagian lebih besar daripada ke¬seluruhannya. Yang saya maksudkan adalah bahwa jika kita menolak prinsip prinsip berpikir, maka ilmu dan kegiatan belajar mana pun menjadi tidak berarti.
Ilmu matematika, secara keseluruhan, dibangun atas sekumpulan prinsip yang sudah dikenal. Jika prinsip-¬prinsip tersebut tidak diakui, bahkan semata mata di¬sandarkan pada struktur dan bangunan akal kita yang khas, maka jika struktur dan bangunan akal kita ber¬ubah, kita akan mengatakan sesuatu yang berbeda dari yang kita katakan sebelumnya. Atau, bahwasanya prinsip¬-prinsip tersebut akan seperti itu selama kita masih menghuni planet bumi ini, dan begitu kita pindah ke Mars, maka model pemikiran kita pasti akan berubah. Cara berpikir seperti ini, tentu saja, tidak dibangun atas kaidah filsafat yang mana pun.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan ini adalah bahwa orang-orang yang menolak prinsip-¬prinsip fitrah yang asli (bersifat bawaan) dalam berpikir tidak memiliki sudut pandang (yang benar) me¬ngenai alam ini, dan tidak pula memiliki filsafat yang dapat memberi keputusan yang pasti bahwa mereka mengetahui alam semesta ini secara baik. Mereka tidak sadar bahwa orang orang seperti mereka adalah ibarat orang yang duduk di atas cabang satu pohon yang cabang itu dia gergaji sendiri. Dia tidak sadar, begitu cabang tersebut tergergaji, maka dia akan jatuh bersamanya.
Itu sebabnya, tidak ada sesuatu pun yang dimiliki oleh filsafat materialisme kecuali keberingasan semata, dan tidak pula ada teori yang ia miliki kecuali mengatakan bahwa pemikiran pemikiran itu merupakan se¬suatu yang dihasilkan oleh pengaruh faktor faktor eks¬ternal. Dengan teori itu, mereka menolak prinsip-prinsip berpikir asli yang diakui banyak orang, yang tetap, dan tidak berubah. Artinya, seluruh apa yang saya katakan, begitu pula halnya dengan cabang cabangnya, dipandang oleh orang orang itu sebagai sesuatu yang tidak memiliki landasan yang benar. Berdasarkan itu, maka filsafat yang ditegakkan atas prinsip prinsip dan cabang cabang seperti itu, juga tidak memiliki dasar yang benar. Bahkan, tidak ada asas yang sahih bagi filsafat apa pun. Akibatnya adalah keraguan, menafikan ilmu pengetahuan dan filsafat.
Sampai di sini, kajian kita berbicara seputar penalaran dan pengetahuan. Yang kita peroleh adalah hal- hal berikut ini. Kita sudah mengemukakan teori teori yang berbeda beda, lalu menentukan teori yang kita pandang benar dan bisa kita terima, yaitu teori yang mengatakan bahwa prinsip prinsip berpikir itu bersifat fitrah. Muthahhari juga telah menjelaskan bahwa fitrah ter¬sebut berbeda dengan fitrah yang dikatakan Plato dan Kant, dan ia bukan merupakan sesuatu yang terbentuk saat bayi dilahirkan. Muthahhari pun telah mengatakan bahwa satu satunya cara membangun pengetahuan, pemikir¬an, dan filsafat umat manusia adalah dengan menerima prinsip prinsip sah yang ada dalam pikiran manusia, dan berarti tidak ada sesuatu pun yang kita miliki kecuali keraguan. Selanjutnya, ada pula filsafat filsafat yang berpendapat seperti itu, tapi pada saat yang sama meyakini materialisme dialektik. Yakni, teori yang mengatakan bahwa di alam semesta ini tidak ada apa pun kecuali benda benda (materi). Mereka tidak menyadari bahwa pernyataan mereka itu merupakan pemikiran yang tidak ada bobotnya sedikit pun. Artinya, dengan mengabaikan kritik kritik yang bisa kita lancarkan terhadap materialisme, toh materialisme itu sendiri tetap merupakan ranting yang akan jatuh bersama tubuh mereka, saat mereka mengger¬gajinya.
4. Manusia dan Kebutuhan-kebutuhannya
Bagian kedua berbicara tentang kebutuhan kebutuhan yang bersifat fitrah. Yakni apakah dalam dirinya, manusia mempunyai tuntutan-tuntutan yang bersifat fitrah?
Sebelum ini telah dibicarakan tentang penge¬tahuan. Sekarang, pembicaraan kita adalah tentang tuntutan tuntutan fitrah yang mencakup dua hal berikut:
a. Kebutuhan kebutuhan jasmani
Yang dimaksud dengan kebutuhan jasmani ialah kebutuhan kebutuhan yang seratus persen berkaitan dengan jasmani, semisal naluri untuk makan. Ini merupakan urusan yang bersifat fisik dan jasmani semata-¬mata, tapi pada saat yang sama ia merupakan naluri. Artinya, ia berkaitan dengan bangunan tubuh manusia dan binatang. Sesudah manusia mencerna makanan di dalam perutnya, ia merasa membutuhkan makanan yang baru. Perasaan lapar muncul dari sejumlah saraf pencernaan yang secara otomatis memberi sinyal ke¬pada otak manusia, bahkan di saat orang tersebut tidak tahu apakah ia punya makanan ataukah tidak, misalnya anak kecil. Kemudian, agar laparnya hilang, dia pun makan. Ketika dia selesai makan, laparnya pun hilang, bahkan dia kadang kadang menjadi lelah seperti orang yang baru berjalan jauh. Demikian pula halnya dengan naluri seksual, yang berkaitan dengan syahwat dan hormon hormon tubuh serta saraf saraf tertentu. (Akan halnya masalah cinta, pertanyaannya adalah: apakah cinta dan seks itu sama atau berbeda? Seterusnya, apa¬kah kerinduan itu termasuk dalam kategori seksual atau bukan? Persoalan persoalan ini membutuhkan kajian yang luas dan tersendiri).
Masalah lain adalah persoalan tidur, apa pun juga substansinya. jika ia disebabkan oleh kelelahan sel atau mengendurnya aktivitasnya akibat bekerja dan penge¬rahan tenaga atau sebab sebab lain seperti itu, maka ia berkaitan dengan masalah jasmani. Hal hal tersebut kita masukkan dalam kategori naluri (al gharaiz). Te¬tapi ia tidak termasuk dalam kajian kita sekarang ini.
b. Kebutuhan kebutuhan Rohani (Spiritual)
Terdapat sejumlah tuntutan dan kecenderungan-kecenderungan naluriah atau. fitriah yang oleh para sarjana psikologi dikategorikan dalam urusan urusan rohani, dan mereka menyebut kelezatan kelezatan yang dirasakan manusia setelah terpenuhinya tuntutan¬ tuntutan itu sebagai "kelezatan rohani". Kecenderungan seperti itu misalnya kecenderungan keibuan atau ke¬bapakan. Perasaan ini berbeda dengan naluri seksual yang ingin disalurkan terhadap seorang perempuan. Kecenderungan yang dirasakan seseorang bahwa dia ingin mempunyai seorang anak tidak sama dengan kenikmatan jasmani. Artinya, ia tidak khusus berhubung¬an dengan organ organ jasmani. Keinginan untuk menang, dihormati, dan berkuasa pada diri manusia adalah sejenis kehausan yang bersifat rohani. Betapa pun telah berkuasanya seseorang, pasti dia ingin me¬miliki kekuasaan yang lebih besar lagi, dan barangkali keinginannya untuk itu tidak terbatas. Pujangga besar Sa'di mengatakan:
Jika seorang manusia Tuhan makan roti
Dia kan memberikan separuhnya kepada orang miskin
Tetapi jika seorang raja berkuasa atas tujuh penjuru dunia
Maka hatinya akan tetap ingin menguasai negeri lain.
Jika manusia berjalan di atas langkah langkah yang mengantarkannya pada kekuasaan dan kedudukan, maka langkahnya tidak pernah ada akhirnya. Bahkan, di saat kekuasaannya telah membentang di segenap penjuru dunia, dia tetap berpikir untuk mengirim pa¬sukan ke planet planet lainnya yang sekiranya dihuni oleh manusia. Adapun mencari ilmu dan mengkaji ke¬benaran merupakan persoalan lain.
Pengetahuan, danjuga penemuan hakikat hakikat estetika dan seni, berkreasi dan berteknologi, serta hal-¬hal lain di atas itu, yang selama ini kita sebut dengan kerinduan dan peribadatan, semuanya muncul dari cinta. (Sedangkan ibadah yang muncul dari rasa takut dan pamrih, maka Islam mengajarkan kepada kita bahwa ibadah seperti itu tidak ada nilainya, kecuali bahwa hal itu merupakan pengantar yang dengan itu kadang-kadang seseorang dapat mencapai derajat yang lebih tinggi).
Tuntutan tuntutan yang disebutkan di atas, wajib kita kaji dalam upaya kita mengetahui apakah ia ter¬masuk fitrah atau tidak. Bila kita menolak perolehan pengetahuan sebagai bersifat fitrah, maka kita pun sampai pada jurang ke¬raguan yang sangat menakutkan. Yakni, keraguan total yang menyeret kita pada Sophisme, penafian pengeta¬huan dan penalaran, bahkan pada penafian kebenar¬an secara total.
Sekarang kita harus melihat apakah dalam diri kita terdapat tuntutan tuntutan yang bersifat fitrah atau¬kah tidak. Tetapi, sebelum itu, kita terlebih dulu harus melihat apakah terdapat perbedaan antara "Adanya tuntutan tuntutan fitrah dalam diri kita", dengan "Tidak adanya tuntutan tuntutan fitrah dalam diri kita". Kita juga harus melihat, apakah dalam hal ini ada orang-¬orang yang menolak eksistensi tuntutan tuntutan yang bersifat fitrah, sehingga mereka "memotong cabang dari pohonnya", seperti yang mereka lakukan saat mereka menolak prinsip prinsip berpikir manusia dan memotong cabangnya dari pohonnya pula, tanpa mereka sadari bahwa saat itu mereka sendiri sedang duduk di atas cabang yang mereka gergaji itu.
Pada bagian yang lalu saya telah mengatakan bahwa sesuatu yang terdapat dalam diri manusia dan yang keberadaannya sama sekali tidak diragukan, dan yang dengan itu manusia menjadi makhluk yang berbeda dari semua makhluk yang ada (dengan mengabaikan perbedaan perbedaan lainnya), adalah bahwa manusia dapat menyadari alam di luar dirinya. Atau, dengan kata lain, dia berpikir tentang segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Artinya, manusia adalah makhluk yang berpikir, atau jika kita gunakan istilah yang lebih modern, manusia adalah makhluk yang sadar: sadar akan dirinya, dan sadar akan alam yang ada di sekitarnya.
Karena kelebihannya itu, manusia dapat menerima rangkaian pengetahuan dari dunia luar. Kerja ini kita sebut dengan "menalar". Menalar! Alangkah indahnya istilah yang dipilih oleh para pendahulu kita ini. Me¬nalar (al idrak) dalam bahasa Arab berarti naik tangga dan sampai. Dengan bersandar pada pengertian istilah ini, para filosof menyebut orang yang mencari sesuatu dan menemukannya dengan "Innahu qad adrakahu (Dia telah menemukannya). Misalnya, orang yang me¬ngejar orang lain yang melarikan diri dan berhasil me¬nangkapnya disebut dengan "Innahu qad adrakahu" Itulah yang diperoleh manusia dari alam luar, yakni sejenis pertemuan dan keterikatan antara dirinya dengan dunia luar dirinya. Selagi manusia masih bodoh, ter¬dapat tabir yang menutupi dirinya dari alam luar diri¬nya. Tabir itu seakan akan menghalangi dirinya untuk sampai pada alam yang ada di luar dirinya. Tetapi, begitu dia telah pandai (mengetahui) tentang alam di luar dirinya, seakan akan dia telah sampai ke alam ter¬sebut. Hal tersebut memang termasuk dalam jenis sampai pada sesuatu. Tidak diragukan sedikit pun bahwa dalam masalah pengetahuan ini binatang, tum¬buh tumbuhan, dan benda benda mati yang mana pun, tidak dapat disamakan dengan manusia.
Binatang memang memiliki pengetahuan yang kabur tentang alam di luar dirinya. Akan tetapi, dan tidak diragukan sedikit pun, pengetahuannya tidak mencapai pengetahuan yang dimiliki manusia. Binatang tidak dapat berpikir. Sebab, yang dimaksud dengan berpikir adalah sesuatu yang harus ada modalnya, yaitu penalaran yang mengantarkan pelakunya pada modal yang baru. Artinya, dengan apa yang diketahuinya, manusia dapat menemukan hal hal lain yang tidak dia ketahui, manusia dapat menemukan hal-hal yang tidak dia ketahui.
Ketika Anda berpikir tentang sesuatu dan menge¬nai problem tertentu, misalnya tentang sekolah, lalu Anda berhasil menemukan alternatif, maka apa yang dimaksud dengan berpikir di situ? Kerja apa itu? Anda berpikir, dengan bermodal pengetahuan pengetahuan yang Anda miliki, tentang hal hal yang tidak Anda ke¬tahui, yang ada di hadapan Anda. Kemudian Anda mem¬buat relasi antara pengetahuan pengetahuan yang Anda miliki dengan sesuatu yang tidak Anda ketahui itu. Dengan itu, Anda pun menjadi orang yang me¬ngetahui hal hal yang semula tidak Anda ketahui. Artinya, Anda berhasil menemukan jalan keluar yang baru. Yang demikian ini dapat disamakan dengan reproduksi dalam alam materi dan jasmani. Binatang tidak memiliki sesuatu seperti itu. Binatang hanya dapat mengindera, yaitu penginderaan yang tipis sekali. Mereka melihat warna warna, dan dapat merasakan panas seperti kita merasakannya. Tetapi tidak lebih dari itu. Dengan demikian, berpikir merupakan ke¬khususan manusia.
Masalah lain yang membedakan manusia dari bukan ¬manusia adalah masalah motif motif yang dimiliki ma¬nusia. Yaitu, sesuatu yang dapat kita sebut dengan motif motif suci di satu sisi, dan motif motif egois di sisi yang lain. Apa yang dimaksud dengan motif egois? Ia adalah dorongan dorongan yang membuat seseorang men¬jadikan dirinya sebagai pusat dari segala tindakannya.
Benar, motif seperti ini juga dimiliki oleh binatang dan manusia pada umumnya. Dorongan untuk makan dimiliki oleh binatang. Akan tetapi dorongan untuk makan ini hanya merupakan dorongan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. Artinya, ia ingin mengambil makanan untuk dirinya saja. Manusia juga mempunyai sejumlah kecenderungan egois seperti itu. Sebab, manusia memang termasuk golongan binatang. Akan tetapi, manusia memiliki dorongan dorongan dan kecenderungan lain, yang bukan kecenderungan kecenderungan egois. Tetapi merupakan dorongan yang dipandang oleh manusia sebagai dorongan suci yang ada dalam sanubarinya, dan dia tempatkan di tempat yang jauh lebih tinggi dan mulia. Semakin tinggi bobot kecenderungan tersebut dimi¬liki seseorang, semakin bertambah tinggilah penghor¬matan orang lain terhadap dirinya. Kecenderungan kecenderungan yang kita lihat dimiliki oleh binatang, adalah kecenderungan kecenderungan yang bersifat egois semata, misalnya kecenderungan untuk tidur, makan, dan sejenisnya. Kalau pun ada kecenderungan lain yang bukan itu, maka galibnya ia terbatas pada kecenderungan mempertahankan jenis. Artinya, dalam batas batas reproduksi dan berketurun¬an, dan itu termasuk dalam kategori naluri. Sekali lagi, kita telah kembali pada definisi naluri. Yang saya mak¬sudkan dengan naluri di sini ialah kerja sesuai tuntutan alam untuk dilakukan oleh binatang, dan bukan kerja yang dilakukan berdasar kesadaran, kebebasan, dan pilihan.
Ketika seekor kuda, misalnya, melahirkan bayinya, maka kuda tersebut dibekali dengan sejenis kecen¬derungan yang sangat kuat yang tidak diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah. Ketika bayi kuda itu men¬yusu, tampak sekali bahwa induknya tidak ingin berada jauh jauh dari bayinya. Ia takut jauh dari bayinya dan tak henti hentinya melihatnya. Bila Anda mendorongnya agak jauh, ia segera merapatkan tubuhnya ke tubuh bayinya. Begitulah keadaannya, sampai bayi kuda itu menjadi besar sedikit demi sedikit. Semakin bertambah umur anak kuda itu, semakin lemahlah hubungan induknya dengan anaknya, sampai akhirnya putus sama sekali.
Pada prinsipnya, jika anak kuda tersebut sudah menginjak usia enam atau tujuh hari, dan ia mempunyai kecakapan berdiri untuk yang kesekian kalinya, maka induk kuda itu merasa senang melihat kecakapan anaknya. Akan tetapi dia tidak merasakan kesenangan yang sama bila yang dilihatnya bukan anaknya. Bahkan ia seakan akan merasa kotor jika mendekatinya. Me¬ngapa? Karena, hubungan naluriah yang pertama ber¬tujuan melindungi anaknya dalam rangka memperta¬hankan jenis. Tidak ada tujuan lain selain itu. Karena itu, begitu anak kuda itu sudah pandai berdiri sendiri seperti induknya, maka hubungan induk kuda ter¬sebut dengan anaknya menjadi tidak berbeda dengan hubungan induk kuda itu dengan kuda kuda lainnya.
Hal yang sama terjadi pada binatang-binatang yang hidup berkelompok. Perbuatan yang mereka lakukan bukan bersifat pilihan diri mereka, tetapi merupakan perbuatan perbuatan yang bersifat pemberian. Artinya, alam memberi dan memilihkan untuk binatang binatang tersebut perbuatan perbuatan yang harus mereka laku¬kan secara terpaksa, tanpa ada kemampuan untuk me¬nentang,
Lebah tergolong binatang yang hidup berkelom¬pok. Demikian pula halnya dengan semut dan bebe¬rapa jenis serangga. Semuanya bekerja dalam bentuk naluriah. Artinya, bekerja secara otomatis, setengah sadar, dan tidak punya pilihan. Pekerhaan pekerjaan tersebut dipilihkan oleh alam untuk mereka sejak semula. Ka:rena itu, mereka tidak sanggup untuk tidak mela¬kukan pekerjaan pekerjaan itu. Itulah kecenderungan-¬kecenderungan yang dimiliki oleh binatang.
Akan halnya manusia, di dalam dirinya terda¬pat kecenderungan kecenderungan dan dorongan-¬dorongan yang tidak mungkin diinterpretasikan sebagai kecenderungan kecenderungan egois. Kalau pun dapat ditafsirkan seperti itu, maka di situ terdapat peluang untuk pro dan kontra. Lebih dari itu, kecenderungan yang dimiliki manusia bersifat pilihan dan berdasar kesadaran. Yang disebut "perikemanusiaan" sesungguh¬nya tak lain adalah kecenderungan kecenderungan tersebut.
Apa yang dikemukakan oleh semua aliran pemikiran yang ada di dunia ini, baik teologis, materialis, atau skeptis, pada akhirnya mengandung hal hal yang ber¬sifat non hewani, dan hanya khusus untuk manusia.
Kecenderungan kecenderungan dan dorongan-¬dorongan yang sesekali kita sebut dengan motif motif suci itu, dapat disusun menjadi lima bagian atau kate¬gori. Atau, setidak tidaknya, lima kategori itulah yang kita ketahui sampai saat ini.
(1) Mencari Kebenaran
Mencari kebenaran adalah sesuatu yang dapat kita sebut dengan istilah "pengetahuan", atau kategori "pe¬nalaran terhadap alam luar". Dorongan ini ada dalam diri manusia, yaitu dorongan untuk menemukan berbagai hakikat seperti apa adanya, atau menalarnya se¬bagaimana mestinya. Artinya, manusia ingin memper¬oleh pengetahuan pengetahuan tentang alam dan wujud benda benda dalam keadaan yang sesungguh¬nya. Di dalam salah satu doa yang dipanjatkan oleh Rasulullah saw, terdapat ucapan beliau yang menga¬takan, "Ya, Allah, perlihatkanlah kepadaku segala se¬suatu. sebagaimana yang sesungguhnya ada."
Kebenaran adalah sesuatu yang dimaksud dengan istilah hikmah atau falsafah. Manusia tidak cenderung pada filsafat kecuali karena adanya kecenderungan dan dorongan untuk mengetahui dan menalar hakikat berbagai benda, sehingga kita dapat menyebutnya dengan "kesadaran filosofis," atau "pencarian kebenaran." Ibn Sina mempunyai istilah yang saya kira belum pernah diperkenalkan oleh orang lain. Tentang maksud dan tujuan filsafat, Ibn Sina mengatakan, "Menjadikan manusia sebagai makhluk yang mengetahui, rasional, dan memahami alam inderawi." Artinya, mengetahui alam inderawi sebagaimana yang sebenarnya, agar dia menjadi tahu tentang dirinya, dan tahu tentang alam rasional yang tersembunyi di alam inderawi yang ber¬ada di luar dirinya."
Masalah pencarian kebenaran, di kalangan filosof, adalah kesempurnaan teoritis itu sendiri. Manusia, dengan fitrahnya, mencari kesempurnaan teoritis, yakni mengetahui hakikat alam semesta. Fitrah ini terdapat di dalam diri manusia dan dapat dilihat, yang di dalam psikologi disebut dengan "dorongan mencari kebenar¬an, atau "rasa ingin tahu". Manusia mencarinya dalam lingkup yang sangat luas.
Para ahli mengatakan bahwa dorongan tersebut terdapat dalam diri anak kecil sejak ia berusia dua se¬tengah atau tiga tahun. Pertanyaannya tentang segala sesuatu menjadi semakin banyak. Hanya saja, orangtua yang tidak mengerti tentang hal itu, melihatnya se¬bagai "sesuatu yang berlebih-lebihan", dan "kekanak-¬kanakan", saat melihat anaknya berceloteh dalam bahasa yang tidak karuan. Sikap seperti itu jelas keliru. Se¬orang anak kecil bertanya, dan dia punya hak untuk itu. Bahkan, jika pertanyaannya tidak mungkin dijawab oleh orangtuanya sekali pun. Orangtua tidak boleh menghardiknya, bahkan wajib menjawabnya semaksimal mungkin. Anak kecil kadang-kadang juga melakukan hal hal yang dianggap berbahaya oleh kedua orang¬ atuanya, misalnya menyentuh segala sesuatu yang berada di dekatnya. Biasanya, orangtuanya mengatakan, “jangan, itu berbahaya." Padahal, belum tentu benda¬-benda itu berbahaya. Bukankah dorongan yang membuat dia melakukan semuanya itu adalah rasa ingin tahu? Dia ingin menggerakkan benda benda itu untuk mengetahui apa yang akan terjadi. Kita, tentu saja, sudah tahu apa yang akan terjadi. Sebab, kita sudah pernah mengalaminya. Tetapi anak tadi belum me¬ngetahuinya, sebab dia memang belum mengalaminya. Karena itu, dia ingin mengalaminya.
Ada sebuah cerita sangat indah yang dituturkan oleh Abu Raihan al Biruni, khususnya dalam konteks ini. Al Biruni mempunyai seorang tetangga yang ahli dalam bidang fikih, yang mengunjunginya saat dia sakit berat. Orang itu melihat al Biruni terbujur di atas tempat tidur sambil menghadap kiblat. Rupanya dia sudah mendekati ajalnya. Tetapi dalam keadaan yang seperti itu, al Biruni masih sempat bertanya tentang masalah fikih kepada tetangganya itu. Dengan takjub, orang itu menjawab, "Ini bukan waktunya untuk bertanya." Mendengar itu, al Biruni berkata, "Aku tahu, bahwa saat ini aku di ambang kematian. Tetapi aku tetap akan bertanya kepada Anda tentang, manakah yang lebih baik, apakah aku mati dengan mengetahui jawaban atas pertanyaanku tadi, ataukah aku mati tanpa mengetahui jawabannya?" Orang itu menjawab, "Tentu saja, akan lebih baik jika engkau mati dengan mengetahui jawabannya. " "Kalau begitu jawablah pertanyaanku," kata al Biruni pula. Lalu, orang itu pun menjawab pertanyaan al Biruni. Kemudian fakih itu menuturkan bahwa se¬belum dia sampai ke rumahnya (sepulang menengok al Biruni), isak tangis pun terdengar dari rumah al¬-Biruni. Dengan demikian, keinginan untuk mengetahui sesuatu itu merupakan kesadaran yang tersembunyi dalam diri manusia. Para ulama yang terus menerus memelihara dan merawat kesadaran tersebut agar tetap hidup, dapat mencapai suatu derajat yang di situ mereka dapat merasakan nikmatnya penemuan suatu hakikat, yang kelezatannya melebihi apa pun juga.
Ada kisah lain lagi, yakni kisah tentang Sayyid Muhammad Baqir, seorang warga Ishfahan. Kisah itu sudah dituturkan orang sejak lama. Alkisah, ketika malam sudah larut, Almarhum Sayyid Muhammad Baqir (yang saat itu menjadi mempelai) melihat masih banyak perempuan yang memadati ruang pengantin. Karena itu, dia segera masuk ke kamar yang bersebe¬lahan dengan kamar pengantin itu, dan berkata dalam hati, "Ini kesempatan yang baik untuk membaca." Karena itu, dia mengambil sebuah kitab dan segera larut di dalamnya. Ketika kaum wanita itu telah mening¬galkan kamar pengantin, sang pengantin perempuan terus menunggu kedatangan Sayyid Muhammad Baqir. Tetapi yang ditunggu tidak kunjung tiba. Tiba tiba Sayyid Baqir terkejut karena waktu Subuh telah tiba. Rupanya, Sayyid Baqir betul betul tenggelam dalam kitab yang dibacanya, sampai sampai dia lupa pada istrinya di malam pertama itu.
Kisah yang hampir sama diriwayatkan orang tentang diri seorang pastur yang sedang menunggu waktu se¬tengah jam di malam pengantinnya. Untuk menunggu waktu, dia masuk ke perpustakaannya. Dia baru sadar akan dirinya ketika matahari telah menyingsing. Kondisi seperti itu, sedikit atau banyak, ada dalam diri semua orang, dan sebagaimana halnya dengan kesadaran kesadaran lainnya, ia bisa kuat dan bisa pula lemah. Tinggi rendah pertumbuhannya, tergantung pada sejauh mana seseorang memelihara. dan mengem¬bangkannya. Sementara itu, orang selalu mengutama¬kan orang yang pandai daripada yang tidak pandai.
Ada sebuah kata mutiara. yang diucapkan oleh John Stuart Mill, filosof Inggris yang terkemuka itu. Dia me¬ngatakan, "Orang pandai yang miskin jauh lebih baik daripada orang bodoh yang kaya." Artinya, Mill lebih menghargai orang miskin yang pandai ketimbang orang kaya yang bodoh.
Pernyataan pernyataan di atas mengisyaratkan betapa pentingnya pencapaian hakikat bagi manusia. Makna suatu kebenaran terletak pada kebebasan dan kesadaran, serta menjadi tahu tentang alam semesta ini.
(2) Moral (Akhlak)
Dorongan lain yang tersembunyi dalam diri manu¬sia adalah berpegang pada nilai nilai moral, dan ini tergolong pada kategori nilai nilai utama (summum bonum), yang dalam konteksnya dengan pembicaraan kita, biasa kita sebut dengan akhlak yang baik (husn al¬khulq). Manusia memiliki kecenderungan terhadap banyak hal, di antaranya ada yang memberi manfaat secara fisik kepadanya, misalnya senang terhadap harta. Sebab, harta memang memberi manfaat kepada ma¬nusia dalam menutupi berbagai kebutuhan materil. Kesenangan terhadap harta ini merupakan bagian dari egosentrisme, yakni dorongan untuk memper¬tahankan hidup. Tentu saja, masalah dorongan yang ada dalam diri makhluk hidup untuk mempertahan¬kan hidupnya ini saja, sudah merupakan masalah yang pelik. Kendati demikian, kita tidak punya cukup ke¬sempatan untuk membahasnya di sini.
Dengan demikian, manusia memang mempunyai ketergantungan terhadap banyak hal, bukan karena hal hal itu bermanfaat baginya, tetapi karena hal hal itu merupakan suatu keutamaan dan kebajikan, dalam arti ia tergolong sebagai kebaikan spiritual. Manfaat adalah kebaikan materil, sedangkan keutamaan adalah kebaikan spiritual. Manusia menyukai kejujuran karena ia baik, dan membenci kebohongan karena ia berten¬tangan dengan kejujuran. Ketergantungan terhadap ke¬jujuran, amanah, ketakwaan, kesucian, dan lain lain ada¬lah ketergantungan terhadap keutamaan. Ketergan¬tungan jenis ini terbagi menjadi dua bagian: individu¬al dan sosial. Yang individual misalnya ketergantungan terhadap sistem dan stabilisasi, penguasaan diri, dan keberanian yang berarti kekuatan hati, bukan kekuat¬an tubuh. Sedangkan yang sosial semisal senang mem¬bantu, bekerjasama, kerja sosial, berbuat baik, dan berkorban untuk orang lain, baik dengan jiwa maupun harta.
(3) Estetika
Manusia tertarik secara total pada keindahan, baik keindahan dalam akhlak maupun keindahan dalam bentuk. Tidak ada seorang manusia pun yang kosong dari rasa suka kepada keindahan. Seseorang akan ber¬usaha semaksimal mungkin, bahkan hingga soal berpa¬kaian sekali pun, agar penampilannya menjadi indah. Keindahan, pada kenyataannya, memang dibutuhkan dengan sendirinya. Anda mengenakan pakaian agar terlindung dari panas dan dingin. Kendati demikian, dalam berpakaian Anda pasti memperhatikan kein¬dahan dan estetika (seni keindahan). Manusia, pada dasarnya, memang menyukai keindahan. Karena itu, begitu dia melihat air gemercik, kolam untuk berenang, atau lautan luas membentang, maka dia merasakan kenikmatan dan kenyamanan.
Demikian pula halnya dengan seni, yang berarti bentuk bentuk yang indah. Misalnya, kaligrafi yang sejak lama dipandang sebagai seni. Dalam kaligrafi terdapat nilai yang sangat penting bagi manusia. Kita seringkali membolak balik Al Qur'an yang ditulis dengan khat yang indah, lalu berharap untuk dapat melihatnya di lain waktu. Ayah saya adalah orang yang sangat bagus tulisan Arabnya. Beliau membuat khat yang indah dalam ukuran besar, dan ketergantungan jiwanya kepada kaligrafi demikian besar, sampai sampai beliau menga¬takan, "Ketika sesekali aku memegang Al Qur'an yang ditulis dengan khat yang indah, aku nyaris tidak sanggup membacanya, sebab aku sudah terlebih dulu tenggelam dalam keindahan kaligrafinya."
Salah satu di antara kaligrafi yang indah adalah al-¬Qur'an kecil yang tersimpan di Iran yang betul betul tidak ada bandingannya. Sosok yang terdapat dalam ayat ayat Al Qur'an itu sendiri sudah merupakan kate¬gori keindahan tersebut. Sebab, keindahan fashahah dan kedalaman arti yang dimiliki Al Qur'an merupa¬kan unsur unsur penting dari ajaran ajaran yang di¬sampaikannya.
(4) Kreasi dan Penciptaan
Dalam diri manusia terdapat sejumlah dorongan untuk membuat sesuatu yang belum ada dan belum dibuat orang. Benar, bahwa manusia membuat sesuatu dan berkreasi adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan ilmu yang dipandang sebagai sarana kehidupan, maka kreativitas pun demikian pula halnya. Pembaca pasti pernah menyaksikan betapa gembiranya seorang anak ketika dia tahu bahwa dirinya berhasil membuat atau menciptakan sesuatu. Saat itu dia merasakan kepriba¬diannya.
Kreativitas dan daya cipta tersebut diaktualisasikan dalam bentuk yang berbeda beda seperti merekayasa masyarakat, mengatur negara, membangun kota, mem¬buat perencanaan berbagai program, merancang me¬tode dan silabus pendidikan, serta menulis buku. Dengan demikian, kecenderungan seperti itu memang ada dalam diri semua orang, dan setiap orang pasti senang membuat dan mencipta sesuatu. Yang lebih dari itu adalah, seseorang membuat teori baru dan mendukungnya dengan bukti bukti, kemudian teorinya diterima orang lain, dan dia diakui sebagai penemunya. Yang demikian ini merupakan sejenis kreativitas dan penciptaan, misalnya orang yang me¬nemukan teori gerakan atom dan mendukungnya dengan bukti bukti.
Tidak diragukan, pembaca pasti dapat melihat bahwa dua atau tiga kategori di antara kategori kategori yang telah disebutkan di atas, dapat menyatu dalam diri se¬seorang untuk menciptakan sesuatu. Contohnya syair. Untuk terciptanya sebuah syair, dua kategori pun me¬nyatu. Sebab, dengan menyusun puisi puisinya, seorang penyair telah menciptakan sesuatu. Dia mewujudkan sesuatu yang semula belum ada. Dengan begitu, dalam dirinva terdapat kategori mencipta, dan pada saat yang sama ia telah menciptakan sesuatu yang indah. Dengan begitu, dalam dirinya pun berkembang kate¬gori estetika. Di situ juga dapat tumbuh kategori lain, misalnya, pencarian kebenaran.
(5) Kerinduan dan lbadah
Kategori kelima kita sebut dengan kategori kerin¬duan atau kategori ibadah. Pada bagian yang lalu, saya telah mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada satu pun makhluk yang lebih membutuhkan penginterpretasian kecuali manusia. Sebab, dalam diri manusia ditemukan banyak sekali masalah yang tidak kita temukan dalam diri makhluk lain. Di dalamnya terdapat hal hal yang sangat rumit yang sulit sekali diinterpretasikan. Itu sebabnya, manusia disebut mikro kosmos. Artinya, ia merupakan alam berdiri sendiri. Bahkan, sebagian orang arif tidak bersedia menyebutnya dengan alam kecil, melainkan alam besar. Seorang penyair mengatakan: Apakah engkau menganggap dirimu sebagai alam kecil Padahal dalam dirimu termuat alam besar Mereka menganggap alam di luar diri manusia sebagai alam kecil. Karenanya, dalam diri manusia di¬temukan banyak sekali rahasia yang hingga kini masih membutuhkan penjelasan. Interpretasi yang meng¬anggap manusia sebagai makhluk sederhana adalah keliru.
Saya tegaskan bahwa kategori yang kelima adalah kategori kerinduan dan ibadah. Kategori ini membu¬tuhkan banyak penjelasan dan interpretasi, yang dapat memperlihatkan bahwa dalam diri manusia terdapat suatu kondisi yang disebut dengan kerinduan. Kerinduan (al 'isyq) adalah kondisi yang lebih tinggi tingkat¬annya dibanding cinta. Cinta, dalam tingkatannya yang biasa biasa saja, terdapat dalam diri setiap orang. Ia dapat dibagi dalam beberapa jenis, misalnya cinta an¬tara dua orang sahabat, cinta antara murid (orang yang menginginkan) dan murad (orang yang diinginkan), atau cinta antara dua orang suami istri. Begitu pula halnya dengan cinta orangtua terhadap anak anaknya.
Sedangkan kerinduan, jelas merupakan sesuatu yang berbeda. Konon, al 'isyq (kerinduan) semula merupa¬kan nama pohon yang menempel pada pohon lain dan memeluknya sedemikian rupa seakan akan dia adalah pemilik pohon yang dipeluknya itu. Seperti itulah ke¬rinduan. Berbeda dengan cinta, kerinduan bisa membuat seseorang keluar dari keadaan normalnya, sehingga dia tidak mau makan dan minum, dan memusatkan perhatiannya pada titik yang menjadi pusat perasaannya, yaitu al ma'syuq (sesuatu atau seseorang yang di¬rindukan). Dengan kerinduan tersebut, seseorang dapat memperoleh kondisi "menyatu" dengan orang yang dirindukan. Yang dilihatnya adalah sesuatu yang satu, karena ia menyatu dengan yang dia rindukan. Kondisi seperti itu tidak dimiliki oleh binatang. Sebab, ikatan yang ada pada binatang tak lebih dari apa yang pada manusia disebut dengan cinta, atau ikat¬an antara suami dengan istrinya. Hubungan tersebut kadang kadang membentuk sedikit atau banyak ¬kecemburuan dalam diri binatang. Sementara itu, kerinduan jelas khusus dimiliki oleh manusia.
Hakikat dan sumber kerinduan merupakan salah satu tema kajian filsafat. Ibn Sina menulis ar Risalah fi al 'Isyq (risalah tentang kerinduan). Di dalam manuskrip¬manuskrip yang ditulis Mulla Sadra kita juga dapat menemukan risalah khusus tentang 'isyq yang jumlahnya tiga puluh halaman. Kerinduan juga, termasuk dalam kajian psikologi modern dan psikoanalisa.
Yang penting untuk dijawab di sini adalah, apakah atau bermacam macam jenis? Kerinduan itu satu jenis. Sebagian teori mengatakan bahwa kerinduan itu hanya satu macam, yaitu kerinduan seksual. Artinya, ia mempunyai sumber yang bersifat fisik dan tidak pada yang selain itu. Sesuai jenis kerinduan yang ada di dunia ini, berikut pengaruh dan dampak dampaknya termasuk di dalamnya kerinduan romantisisme dan hikayat hikayat cinta dalam karya karya sastra termasyhur, tak lebih adalah kerinduan seksual.
Teori lain mengatakan bahwa kerinduan antara manusia dengan manusia lainnya terbagi menjadi dua. Nashiruddin Tusi, dan Mulla Shadra, membagi kerinduan dalam dua macam. Sebagian merupakan kerinduan seksual yang mereka namai dengan kerinduan majazi dan bukan hakiki, dan sebagian lain merupakan kerinduan rohani atau nafsani (kerinduan jiwa).
Kerinduan seksual, karena merupakan naluri, akan berhenti jika dipenuhi keinginannya. Sebab, hal itulah yang menjadi tujuannya. Jika awalnya dimulai dari saraf saraf dalam tubuh, maka dengan menyalurkan keinginan saraf saraf tersebut persoalan pun selesai. Seperti itu dimulainya, dan seperti itu pula diakhiri¬nya.
Akan tetapi mereka mengatakan pula bahwa kerinduan kadang kadang melebihi apa yang kita bicarakan di atas, sehingga Khwaja Nashiruddin Thusi menganggapnya sebagai Masyakilah baina an-Nufus (kemusykilan antar berbagai jiwa). Mereka menyatakan bahwa dalam jiwa manusia terdapat benih benih kerin¬duan rohani dan nafsani, dan itulah yang menggerak¬kannya. Ma'syuq hakiki manusia ini (yaitu hakikat yang bersifat metafisika) menyatu dengan roh manusia, se¬sudah roh itu sampai dan menemukannya. Dengan demikian, pada dasarnya ma'syuq hakiki tersebut ter¬dapat dalam diri manusia.
Dengan karakterisk karakteristik khas seperti itu dinukillah berbagai hikayat. Mereka mengatakan bahwa kerinduan itu dapat mencapai suatu tingkat di mana khayalan tentang ma'syuq (kekasih yang dirindukan) lebih bernilai daripada ma'syuq itu sendiri dalam diri orang yang merindukan. Yang demikian itu terjadi karena ma'syuq nya hanyalah penggerak dan pendo¬rong kerinduan itu sendiri, dan bahwasanya orang yang merindukannya mencari dalam batinnya suatu hakikat yang lain. Dia merasa bahagia dengan gambaran al-¬ma'syuq yang dia lihat dalam rohnya.
Para filosof bahkan menyebut nyebut hikayat Laila Majnun dalam buku buku mereka. Majnun, sesudah melantunkan syair syair tentang Laila dengan kasmaran dan penuh kerinduan, menyendiri di padang pasir. Tiba tiba, ketika dia sedang tidur tiduran di padang pasir, Laila sudah berdiri di depannya. Laila memang¬gil berulang kali. Majnun mengangkat kepalanya, dan bertanya, "Siapa engkau?" Laila menjawab, "Aku Laila, aku Laila.... Aku datang untuk menemuimu." Laila merasa bahwa Majnun akan terbang membawanya pergi dan dia (Majnun) akan menghambur memeluknya, sesudah sekian lama tidak bertemu dan terpisah jauh. Tetapi tiba tiba Majnun berkata, "Pergi, pergi jauh¬-jauh dariku. Aku tidak butuh segala kerinduanmu!"
Keadaan seperti itu juga kita temukan dalam diri seorang penyair di zaman kita sekarang, yakni penyair Syahriar. Syahriar adalah mahasiswa Fakultas Kedokter¬an yang kost di sebuah rumah di Teheran. Ia demikian kasmaran pada anak gadis pemilik rumah itu. Malang¬nya, orangtua si gadis sudah mempunyai calon lain yang dipandangnya lebih baik dan lebih kaya daripada Syahriar. Karena itu, mereka melarang Syahriar men¬dekati anak gadisnya. Syahriar benar benar kasmaran dan menjadi "gila". Dia tidak mau lagi bekerja dan belajar. Tidak ada yang dilakukannya kecuali memikir¬kannya. Keadaan seperti itu berjalan bertahun tahun.
Suatu hari, secara kebetulan Syahriar bertemu dengan kekasihnya yang saat itu berjalan bersama suaminya. Dia berkata kepada kekasihnya, “Aku tidak membutuhkanmu lagi. Kalaupun suamimu mencerai¬kanmu, aku tidak lagi menginginkanmu." Kemudian Syahriar menulis sebuah puisi, dan sesudah pertemu¬an itu ia mempunyai syair yang salah satu baitnya ber¬bunyi:
Aku tidak mengerti mengapa aku begitu rindu kepadanya
Padahal aku tak lagi perduli kepadanya
Di bawah ini akan dikemukakan bebe¬rapa bait dari puisi puisi sufis (sya'ir irfani) dalam Islam sebagai perkenalan. Sebab, puisi puisi sufi memiliki tema tema yang sangat bagus untuk dikaji dan diana¬lisis. Untuk mendukung kajiannya, Mulla Shadra me¬ngemukakan beberapa bait syair yang kemungkinan besar berasal dari Muhyiddin Ibn Arabi. Ia meng¬isyaratkan kerinduan rohani, dan bukan kerinduan jasmani, saat mengatakan:
Aku memeluknya sesudah jiwaku diamuk rindu kepadanya
Adakah sesudah ini kan berpisah lagi?
Kutatap bibirnya agar kehangatan tetap menyala se¬hingga
kegembiraanku semakin berbunga
Hatiku tidak bertutur tentang apa pun kecuali kulihat di situ dua
jiwa (roh) yang menyatu.
Dengan demikian, ada teori yang membagi kerindu¬an dalam dua macam: kerinduan jasmani dan kerindu¬an rohani. Artinya, teori ini meyakini ada suatu kerinduan yang berbeda, secara prinsipil, dari kerinduan jasmani. Sebab, kerinduan tersebut memiliki benih¬-benih yang tertanam dalam roh dan fitrah manusia.
Begitu pula dalam hal tujuannya. Saat ini kita tidak berada dalam kajian filosofis dan menyusun dalil dalil dalam usaha membuktikan adanya kerinduan jenis ini (kerinduan rohani). Kendati demikian, kita akan membicarakannya barang sedikit. Sebagaimana diakui, manusia sangat memuja kerinduan, dalam arti dia menganggapnya sebagai se¬suatu yang harus dijunjung tinggi. Sedangkan kerin¬duan yang berkaitan dengan syahwat tidak seperti itu.
Manusia mempunyai kecenderungan untuk makan, dan itu merupakan kecenderungan yang alami. Hanya saja, karena ia merupakan sesuatu yang alami, maka manusia tidak memandang kecenderungan ini sebagai sesuatu yang pantas disucikan. Cinta, dalam bentuknya yang berkaitan dengan syahwat, tidak pantas dipuja¬-puja. Sebagian besar sastra dunia berkisar seputar pensakralan kerinduan, dan ini merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kajian psikologis. Mengapa demikian? Yang lebih mengherankan lagi adalah manusia selalu bangga jika dapat berkorban dengan apa saja untuk membela sang kekasih, bahkan jika perlu dengan jiwanya. Merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan jika seseorang merasa tidak punya apa pun yang berarti di depan kekasihnya, dan sang kekasih adalah segala galanya baginya. Dengan kata lain: leburnya 'asyiq dalam ma'syuq.
Kerinduan seperti ini mirip dengan apa yang saya katakan dalam masalah akhlak, sebagai tidak sesuai dengan logika fungsional. Akan tetapi ia merupakan salah satu di antara nilai nilai utama (summum bonum), misalnya altruisme. Manusia, secara etik, menjunjung tinggi kebaikan, kemuliaan, altruisme, dan pengorba¬nan, dan menganggapnya sebagai nilai nilai luhur. Di sini lantas dapat dibedakan antara kerinduan yang ber¬sifat hawa nafsu (syahwani) dari kerinduan yang bukan syahwani. Jika persoalannya adalah persoalan cinta dua orang dan berkaitan dengan nafsu, maka tujuannya adalah ingin bersama sama dengan orang yang dirin¬dukan dan melampiaskan cinta dengan pertemuan dengan sang kekasih. Akan tetapi, kerinduan yang kita bicarakan ini tidak ada urusannya dengan kebersama¬an dan pertemuan dengan sang kekasih. Artinya, ke¬rinduan tersebut tidak terdiri dari dua orang, dan pusatnya adalah diri sendiri. Itu sebabnya, maka tema ini lebih rumit dan membutuhkan analisis mendalam agar kita dapat mengetahui apa yang sebenarnya dialami oleh manusia, dari mana datangnya kerinduan tersebut, dan mengapa pula manusia menghadapinya dengan sikap pasrah semata, dalam arti dirinya seakan-¬akan lenyap begitu saja, sampai sampai Maulawi me¬nulis sebuah puisi dalam bahasa Persianya, antara lain, sebagai berikut:
Kerinduan adalah penakluk
dan aku tunduk di bawah paksaan kerinduan
Aku pun memancarkan sinar bagai rembulan
karena cahaya rindu.
Kerinduan dapat mengantarkan seseorang pada suatu tingkat yang di situ dia ingin menjadikan ma’syuq-nya sebagai Tuhan (sesuatu yang dipuja) dan dirinya se¬bagai hambanya. Dengan demikian, dia melihat ma’syuq-nya tersebut sebagai al wujud, yakni al wujud al muthlaq (yang mutlak ada), dan dirinya sebagai 'adam (tidak ada). Kategori apa ini? Dari mana sumbernya? Dan apa pula hakikatnya?
Ada teori yang mengatakan bahwa kerinduan, dalam bentuknya yang mana pun, berakar pada seks. Ada pula teori lain yang didukung oleh para filosof kita. Yakni, teori yang mengatakan. adanya dua jenis kerinduan: kerinduan jasmani dan kerinduan rohani. Sedangkan teori yang ketiga, merupakan teori yang ingin melaku¬kan sintesa antara kedua teori sebelumnya.
Di samping ketiga teori itu, ada pula teori Freud, seorang ahli psikoanalisa terkemuka, yang berpenda¬pat bahwa sumber segala sesuatu, tak terkecuali. cinta, adalah seks. Freud meyakini bahwa pengetahuan, ke¬dermawanan, kebajikan, keutamaan, ibadah, kerindu¬an, dan lain lain, bersumber dari seks (libido seksual). Sekarang teori ini tidak lagi diterima oleh siapa pun.
Di samping itu muncul pula teori lain yang me¬ngatakan bahwa di dalam kerinduan itu terdapat aspek-¬aspek yang tidak sejalan dengan aspek aspek seksual. Artinya, aspek aspek tersebut tidak bersumber dari saraf saraf seksual. Sebab, kondisi yang berkaitan dengan seks dapat disamakan dengan rasa lapar, sedangkan rasa lapar merupakan sesuatu yang dialami dalam diri manusia. Ketika seseorang merasa lapar, beberapa saraf pencernaan mengalami perenggangan, dan itu tidak terjadi saat dia kenyang. Sedangkan kerinduan tidak dapat ditempatkan di bawah proses tersebut. Itu sebab¬nya, maka dikatakan bahwa kerinduan bersifat seksual jika dilihat dari awal mulanya, tetapi bukan seksual dalam hal proses dan tujuannya. Maknanya, kerinduan dimulai dengan awalan yang bersifat seksual dan syah¬wani, tetapi pada tahap akhir ia berubah menjadi hal yang bersifat rohani.
Dalam buku Ladzaidz al falsafah, Will Durant, se¬orang ahli sejarah filsafat, menuliskan suatu kajian tentang kerinduan, dan secara khusus mendukung teori di atas, sesudah menyinggung dan menyerang teori Freud. Will Durant mengatakan, "Tidak, tidak demikian. Yang benar adalah bahwa cinta itu merubah alur, tujuan, dan karakteristik ke¬rinduan, bahkan prosesnya pula. Sebab, ia keluar dari kondisi seksual secara total." Seterusnya Will Durant mengemukakan kesalahan mendasar teori Freud.
William James, dalam bukunya yang berjudul Religion and Soul mengatakan, "Seperti halnya dengan kecenderungan kecendeirungan yang terkait dengan alam, maka dalam diri kita juga terdapat kecende¬rungan kecenderungan lain yang tidak sejalan dengan perhitungan perhitungan fisik, bahkan mengaitkan kita dengan hal hal yang metafisik."
5. Teori-teori yang Menolak Adanya Fitrah
Sekarang, mari kita kembali pada persoalan semula. Yakni, bagaimana menafsirkan lima kategori di atas, yaitu kebenaran dan pengetahuan, seni dan estetika, kebaikan dan ke¬utamaan, kreasi dan penciptaan, cinta dan ibadah.
Secara umum terdapat dua cara penafsiran yang dapat digunakan untuk menginterpretasikan kelima kategori tersebut. Interpretasi pertama yaitu pendapat yang mengatakan bahwa kelima kategori tersebut ber¬sumber pada fitrah. Artinya, manusia merupakan realitas yang tersusun (composite) dari tubuh dan roh, dan bahwasanya di dalam roh terdapat hakikat Ilahiah, se¬perti yang dikatakan oleh ayat Al Qur'an, "Dan telah Aku tiupkan di dalam dirinya Roh Ku.”
Unsur unsur alami dalam diri manusia cenderung pada alam dan terikat dengannya, sedangkan unsur-¬unsur non alaminya cenderung pada hal hal yang metafisik dan terkait dengannya. Manusia selalu mencari kebenaran, dan ini merupakan dorongan jiwanya (roh¬nya). Semua dorongan ini- kreativitas dan penciptaan, seni dan ibadah- pada dasarnya merupakan refleksi dari perhambaan terhadap Kekasih Sejati Yang Dirindukan. Kekasih yang dirindukan oleh manusia, pada hakikatnya adalah Allah SWT. Jadi, jika muncul kerin¬duan rohani dalam diri manusia, maka kerinduan ter¬sebut menghidupkan kerinduan hakiki terhadap Allah yang muncul dalam fenomena seperti itu.
Tafsir yang kedua tidak mengakui hal hal itu sebagai kondisi kondisi yang bersifat fitri. Karena ia tidak se¬perti itu, maka ia harus menyandarkan diri pada tafsir¬tafsir lain yang ada di luar diri manusia. Jika kita ambil contoh yang paling representatif untuk itu, yakni cinta dan pengetahuan, dan mengapa manusia mencintai ilmu pengetahuan dan menjunjung tingginya, niscaya kita lihat mereka mengatakan bahwa dalam hal ini tidak ada perbedaan apa pun antara manusia dengan bina¬tang. Segala yang dilakukan manusia dibangun ber¬dasarkan naluri, dan bahwasanya seluruh keinginannya hanyalah untuk mempertahankan hidup dan berkait¬an dengan kehidupannya, atau dengan masalah masalah lain yang berkaitan dengan kehidupan fisik material.
Di balik kebutuhannya terhadap hal hal fisik yang berkaitan dengan kehidupannya itu, manusia membu¬tuhkan hal hal lain. Misalnya, dia membutuhkan hukum dan peraturan. Artinya, manusia adalah makhluk sosial. Kepentingan kepentingan individualnya mengharus¬kan mereka hidup bantu membantu satu sama lain. Kehidupan sosial mereka yang seperti ini mengharus¬kan mereka membuat aturan aturan dan batas batas, agar setiap orang tahu hak dan kewajibannya. Untuk itu, mereka pun membuat peraturan dan undang-¬undang, dan berjanji untuk mentaatinya. Mereka ber¬usaha menegakkan keadilan, karena mereka memang membutuhkan hal itu. Ketika kita melihat diri kita, saya dan Anda semua, membutuhkan kehidupan sosial seperti itu, dan bahwasanya kehidupan sosial tersebut mengharuskan adanya keadilan, maka kita terpaksa menerima keadilan. Yang demikian itu, karena saya memang menginginkan keadilan, agar Anda tidak memaksakan kehendak Anda kepada saya dengan menggunakan kekuasaan Anda. Sebaliknya, Anda juga membutuhkan keadilan, agar saya tidak memaksakan kehendak saya kepada Anda dengan kekuasaan saya pula. Akan halnya pendapat yang mengatakan bahwa saya membutuhkan keadilan karena keadilan itu sendiri, maka pernyataan seperti ini tidak ada artinya sama sekali.
Dengan kata lain, manusia melihat bahwa ilmu pengetahuan merupakan sarana paling baik bagi tercapainya kesejahteraan material. Lalu, terjadilah pensakralan terhadap ilmu pengetahuan. Kalau tidak ada tujuan se¬perti itu, niscaya ilmu pengetahuan, dengan definisi¬nya yang seperti itu, tidak mungkin disakralkan. juga, tidak ada artinya belajar untuk belajar itu sendiri. Sebab, ilmu pengetahuan tak lebih hanyalah sarana kehidup¬an, sekalipun ia merupakan sarana yang terbaik.
Kadang kadang suatu pensakralan dilekatkan pada beberapa hal tanpa justifikasi. Misalnya, sebagian manusia memiliki ilmu yang lebih banyak dan lebih luas. Kemudian mereka memperdaya orang lain agar kesimpulan kesimpulan ilmu mereka dapat memberi keuntungan. Karena itu, mereka pun memberi warna sakral pada ilmu pengetahuan mereka. Hal yang sama terjadi pula dalam seni dan kreativitas. Sementara itu, cinta dan ibadah tidak ada nilainya sama sekali. Sebab, keduanya merupakan dua hal yang membuat manusia keluar dari lingkaran dirinya dan menjadi asing. Pendapat yang mengatakan bahwa orang yang dimabuk rindu berubah menjadi manusia lain, dan siapa binasa dalam membela sang kekasih dan mengorbankan segala yang dimiliki deminya, tidak dapat dimasukkan di bawah logika yang mana pun. Begitulah, kita melihat bahwa orang orang itu telah menghancurkan seluruh asas kategori kategori yang kita bicarakan terdahulu, serta menolak dengan sosok pemikiran mereka yang seperti itu -segala kaidah moral. Mereka menganggap nilai nilai moral tak lebih dari aksioma aksioma yang dibuat oleh manusia manusia usil. Lantas mereka pun bertanya, apa itu kederma¬wanan, kebaikan, altruisme, dan pengorbanan? Tentu saja, mereka tidak dapat menginterpretasikannya.
Akan tetapi sebagian aliran filsafat memiliki kebe¬ranian moral yang mengantarkan mereka pada ke¬simpulan yang mungkin bisa mereka capai. Akan tetapi tidak semua aliran seperti itu. Misalnya, dalam kajian kita tentang masalah masalah yang berkaitan dengan fitrah, kita mengatakan bahwa gelombang filsafat em¬pirisisme telah melanda Eropa, sehingga muncullah masyarakat empiris, yang sampai saat ini masih ber¬pegang pada prinsip prinsipnya yang empirik. Mereka mengatakan, "Kami tidak percaya pada sesuatu yang tidak dapat kami tangkap dengan indera. Akan tetapi kami tidak mengingkarinya." Lantas mereka pun terus menerus berpegang pada dua prinsip berikut ini:
Pertama, "Apa yang tidak dapat kita tangkap dengan indera, tidak kita tolak dan tidak kita terima." Ini jelas dapat dimengerti. Seterusnya mereka mengatakan, "Kita dapat merasakan hal ini." Dengan demikian, pe¬rasaan itu ada. Akan tetapi apa yang tidak dapat kita rasakan, tidak mungkin kita ingkari keberadaaannya, sebab perasaan kita tidak mengatakan bahwa hal itu tidak ada.
Kedua, pendapat mereka yang mengatakan bahwa banyak hal diyakini adanya oleh manusia dan mereka terima eksistensinya; akan tetapi, sesudah kita melaku¬kan pengkajian, kita menemukan bahwa apa yang di¬nyatakan ada itu ternyata tidak dapat dibuktikan dengan indera. Karena itu, kita tidak dapat membenarkannya. Contohnya, prinsip kausalitas. Seterusnya, mereka me¬ngatakan: Sesuatu dapat dikatakan inderawi (dapat diindera) jika ia merupakan peristiwa peristiwa alam yang terjadi beberapa kali, susul menyusul, dan me¬miliki kesamaan. Akan halnya teori kausalitas semisal: A adalah sebab bagi B, yang digambarkan dengan, jika sekiranya tidak ada A pasti tidak akan ada B, adalah teori yang logis, tapi tidak dapat dibuktikan dengan indera. Karena itu, kita tidak dapat menerimanya. Orang orang yang berpendapat seperti itu adalah penganut penganut empirisisme yang sangat berani. Sebab, mereka yakin seyakin yakinnya terhadap mazhab mereka. Karena itu mereka pantas dihormati.
Akan tetapi ada kelompok lain yang ingin dipandang sebagai orang orang yang, dalam premis minor, dipan¬dang sebagai penganut empirisisme, dan dalam premis mayor dipandang sebagai penganut rasionalisme. Di antara mereka adalah para penganut materialisme. Dalam hal ilmu pengetahuan, mereka mengekor kepada penganut empirisisme, tetapi dalam masalah-¬masalah kefilsafatan mereka berpegang pada rasio¬nalisme, dalam arti mereka berpegang pada masalah-¬masalah yang tidak ada urusannya sama sekali dengan indera.
Hal yang sama terjadi pada aliran aliran. Aliran materialis yang melihat manusia semata mata sebagai materi, terbagi menjadi dua aliran. Pertama, penganut materialisme yang sangat berani, dan kedua, penganut materialisme yang membelot.
Penganut materialisme yang sangat berani adalah orang-orang yang menyatakan bahwa roh itu adalah materi, dari semua seginya. Mereka konsekuen dengan pendapat mereka ini. Misalnya, Nietzsche, seorang filosof materialis yang tidak percaya pada adanya roh dan hal hal lain sejenis itu. Melalui filsafatnya yang se¬perti itu, Nietzsche sampai pada banyak kesimpulan.
Nietzsche mengatakan, "Apa yang selama ini kita kenal dengan sebutan moral (akhlak), hendaknya Anda buang seluruhnya dari diri Anda. Jika sampai hari ini kaum moralis mengatakan kepada Anda, 'Anda jangan memperturutkan hawa nafsu Anda,' maka saya kata¬kan kepada Anda, 'Ikutilah hawa nafsu Anda.' Dan jika kaum moralis mengatakan kepada Anda, 'Tolonglah orang orang miskin,' maka saya mengatakan kepada Anda, jangan bantu mereka."
Nietzsche mengatakan, "Perkataan adalah dosa. jika Anda melihat seseorang mendekati pinggir sumur, maka lemparlah kepalanya dengan batu. Jalan yang dilalui alam (hukum alam) adalah jalan yang benar. Orang orang miskin harus. dimusnahkan. Orang yang disebut manusia unggul adalah orang semisal Jengis Khan. Lalu, apa artinya kasih sayang? Kasih sayang dan membela orang lain adalah kelemahan, karena itu ke¬duanya tidak boleh diikuti." Lebih jauh lagi, kita me¬lihat Nietzsche menolak semua nilai kemanusiaan, "Ke¬tika kita menganggap manusia sebagai makhluk yang seratus persen materi, maka konsekuensinya kita harus menolak semua nilai kemanusiaan. Nilai nilai kemanu¬siaan, dan hal hal lain yang sejenis dengan itu, hanyalah ilusi tanpa dasar."
Mengakui bahwa manusia semata mata materi di satu sisi, dan mengakui adanya nilai nilai kemanusiaan di sisi lain, dipandang sebagai pandangan yang kontra¬diktif, dan tidak mungkin dapat diinterpretasikan. Nilai nilai kemanusiaan mempunyai hubungan langsung dengan fitrah, dan fitrah dapat ditafsirkan dengan, bahwa dalam diri manusia terdapat hakikat kemanusia¬an yang suci, salah satu di antaranya adalah kecende¬rungan mencari Tuhan.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan di kalangan Sunni dan Syiah. Hadis yang diriwayatkan dalam al-¬Kafy ini menuturkan bahwa Allah SWT menciptakan malaikat, lalu menempatkan akal dalam diri mereka. Kemudian Allah menciptakan binatang dan memberi mereka syahwat (nafsu), lalu menciptakan manusia dan memberi mereka kedua duanya.
Struktur malaikat binatang yang dimiliki manusia, melahirkan dua dorongan dalam diri mereka: Dorong¬an menuju ke atas dan dorongan mennju ke bawah; dorongan langit dan dorongan tanah. Allah telah mem¬beri manusia akal dan kemauan, lalu membiarkannya berada di persimpangan jalan. Al Qur'an mengatakan, "Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. " (QS. al Insan: 3)
Manusia mempunyai kebebasan mutlak dalam memilih kedua jalan itu. Pertentangan pertentangan yang muncul dalam sejarah, bersumber dari pertentangan ciptaan yang ada dalam diri manusia. Artinya, orang-orang yang mengikuti bimbingan akal-langitnya adalah pengikut kebenaran dan tergabung dalam barisan Allah, sedangkan orang orang yang terjerumus dalam jalur binatang tanah adalah orang orang yang dapat diberi predikat sebagai binatang. Pertarungan yang terjadi dalam sejarah tidak seluruhnya merupakan pertem¬puran antara berbagai kepentingan dan antara lapisan-¬lapisan masyarakat saja. Tidak diragukan bahwa kelas orang orang yang tertindas memiliki semangat juang yang lebih berkobar. Sebab, perjuangan itulah yang, di satu sisi, dapat memuaskan dorongan mereka untuk mencari kebenaran, dan di sisi lain dapat mengantar¬kan mereka untuk memperoleh hak haknya. Berdasar¬kan itu, maka apa yang dikenal dalam diri manusia se¬bagai perikemanusiaan, adalah sesuatu yang muncul dari aspek maknawi rohani malakuti manusia, yang tidak sama dengan kecenderungan kecenderungan mate¬rialisnya. Itu sebabnya, dia harus memilih salah satu di antara kedua jalan yang membentang di depannya.
Berkaitan dengan karakteristik tersebut, Maulawi menuturkan kisah berikut ini: "Manusia diciptakan separuh bersifat langit dan separuh bersifat tanah. Karena itu, ia selamanya berada dalam tarikan kedua kekuatan itu, dan selalu berbolak-balik. Sesekali dia tertarik ke atas (langit), dan pada kali lain ke bawah.
"Sekali waktu Majnun mengendarai untanya- yang memiliki anak- menuju rumah kekasihnya. Begitu dia berada sedikit jauh dari kota dia pun tenggelam dalam khayalan khayalan tentang kekasihnya. Dia lupa pada untanya dan pada jalan yang dilaluinya. Tali kekang unta itu dilepaskannya begitu saja, sehingga unta berjalan ke mana saja ia mau. Ketika unta itu me¬rasa bahwa penunggangnya tidak perduli lagi kepadanya, ia pun berputar menuju jalan pulang ke tempat anaknya yang merindukannya. Majnun tersentak kaget saat tahu dirinya berada di depan rumahnya sendiri, bukan di depan pintu rumah kekasihnya. Karena itu, dia kembali membalikkan untanya ke arah rumah ke¬kasihnya. Tetapi, tidak lama kemudian Majnun kem¬bali tenggelam dalam lamunan, dan untanya pun balik ke rumah. Begitu terjadi beberapa kali, sehingga dia melantunkan syair di bawah ini:
Keinginan untaku adalah ke belakangku. Sedangkan nafsuku ke
depanku
Aku dan dia berbeda keinginannya.
Yang dimaksudkan di sini adalah bahwa semua kategori dan karakteristik manusia itu dapat diinter¬pretasikan. Tetapi kaum materialis tidak sanggup menafsirkannya sesuai dengan mazhab mereka. Interpre¬tasi yang sama juga dikemukakan oleh para penganut eksistensialisme. Seraya menganggap manusia sebagai seratus persen fisik, para penganut eksistensialisme mencoba menafsirkan nilai nilai kemanusiaan dalam bentuk tertentu.
Itulah penjelasan mengenai kaitan antara fitrah dan pendidikan. Penjelasan tentang fitrah tersebut adalah titik awal dalam memahami hakekat pendidikan Islam yang sesungguhnya. Dari pembahasan di atas, kita telah mendapat gambaran mengenai titik tolak pendidikan Islam, yaitu pendidikan yang memiliki dimensi asasinya pada fitrah manusia. Pendidikan sebagai pemberi informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Informasi tersebut berguna bagi manusia untuk terus mencari kebenaran, sebagai sifat dasar dari fitrah.
B. Kewajiban Mencari Ilmu
Berikut ini adalah pembahasan yang dikemukakan oleh Muthahhari mengenai “Kewajiban Mencari Ilmu”.
Tema tentang kewajiban mencari ilmu ini berlandaskan atas firman Allah SWT dan hadits Nabi yang masing-masing berbunyi sebagai berikut.
“Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9).
“Mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap Muslim dan Muslimat dari buaian hingga liang lahat” (HR. Bukhori & Muslim).
Hadits di atas adalah salah satu dari sekian banyak hadits-hadits yang diriwayatkan baik oleh ulama hadits dari mazhab Sunni maupun dari mazhab Ja’fari. Masing-masing dari mereka menukilnya dari Rasulullah saw melalui sanad-sanad mereka. Dari sudut kebahasaan, kata faridhah dalam hadits di atas berarti ‘wajib’. Kata ini berasal dari akar kata fardhu, yang berarti pasti dan wajib. Sesuatu yang sekarang kita nyatakan dengan ungkapan wajib dan mustahab, pada masa awal mereka menyatakannya dengan ungkapan mafrudh dan masnun. Kata wujub dan wajib pada masa awal Islam pun juga digunakan, namun yang lebih banyak digunakan adalah kata faridhah, mafrudh, dan fardhu. Sedangkan kata mustahab, dengan makna sebagaimana yang digunakan sekarang, tampaknya adalah kata baru yang diciptakan oleh para fuqaha.
Arti dari hadits di atas adalah bahwa salah satu kewajiban Islam, yang sejajar dengan semua kewajiban lainnya adalah mencari dan menuntut ilmu. Mencari ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim; tidak hanya dikhususkan bagi satu kelompok dan tidak bagi kelompok yang lain. Di dalam sejarah disebutkan bahwa pada masa sebelum datangnya Islam, sebagian masyarakat berperadaban pada waktu itu memandang bahwa mencari ilmu adalah hak sebagian kelompok, dan tidak mengakui bahwa mencari ilmu adalah hak dari seluruh lapisan masyarakat. Di dalam Islam, ilmu bukan hanya dianggap sebagai hak bagi setiap orang, melainkan Islam menganggapnya sebagai tugas dan kewajiban bagi setiap orang. Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain.
Muthahhari menjelaskan secara luas mengenai kewajiban mencari ilmu. Shalat adalah satu kewajiban; puasa adalah salah satu kewajiban; zakat adalah salah satu kewajiban; haji adalah salah satu kewajiban; jihad adalah salah satu kewajiban; dan amar makruf nahi munkar adalah satu kewajiban. Demikian juga halnya—berdasarkan hadits di atas—dengan mencari ilmu, ia merupakan salah satu kewajiban. Pada sisi ini, secara umum, tidak ada perselisihan. Sejak masa permulaan Islam hingga hari ini seluruh kelompok dan seluruh ulama Islam epakat dan menerima hal ini. Di dalam kitab-kitab hadits selalu ada satu bab khusus dengan judul “Bab Kewajiban Mencari Ilmu” atau judul-judul lain yang sejenis. Kalau pun ada perselisihan, itu hanya pada penjelasan dan penafsiran makna dan maksud hadits ini, dan sampai sejauh mana cakupan hadits ini.
Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu. Sebagaimana Muthahhari, maka al-Ghazâlî pun memberikan tempat yang terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian khusus, sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan kekuatan bawaan manusia. Menurutnya, puncak kesempurnaan manusia ialah terseimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Jadi sasaran inti dari pendidikan adalah kesempurnaan akhlak manusia, dengan membina ruhnya. Hal ini berlandaskan pada firman Allah swt dan hadits di bawah ini:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang sangat agung” (QS. Al-Qalam: 4).
”Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq” (HR. Bukhari & Muslim).
Kewajiban menuntut ilmu tidak memiliki pengkhususan, hanya untuk wanita atau lelaki saja, sebagaimana jihad dan shalat Jum’at hanya untuk kaum mukminin. Menuntut ilmu juga tidak memiliki batasan waktu atau masa tertentu, sebagaimana hadis Nabi saw, “Carilah Ilmu dari buaian sampai ke liang kubur” (Bukhari & Muslim). Pada setiap zaman manusia haruslah menggunakan kesempatan yang ada untuk mencari ilmu. Keluasan kewajiban menuntut ilmu juga digambarkan dalam hadis, “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. Artinya bahwa mencari ilmu tidak memiliki batasan tempat tertentu, sebagaimana juga tidak memiliki waktu tertentu seperti ibadah haji (umrah) di Mekah.
Muthhari menyebutkan bahwa akal dan ilmu merupakan saudara kembar. Kembarnya akal dan ilmu adalah suatu keniscayaan dan merupakan perkara yang sangat penting. Orang yang memiliki kemampuan berpikir tetapi informasi ilmu yang dimilikinya sangat sedikit dan lemah, ibarat sebuah pabrik yang tidak memiliki bahan baku yang akan diolah atau bahan bakunya sangat sedikit, sehingga produksinya akan sangat sedikit pula. Karena, banyaknya produksi tergantung banyaknya bahan baku yang diolah. Sebaliknya, pabrik yang memiliki banyak bahan baku tetapi mesin pengolahnya tidak difungsikan, maka pabrik itu akan lumpuh tak berproduksi.
Muthahhari mengutip perkataan Imam Musa al-Kazhim, "Ya Hisyam, ketahuilah dengan jelas, sesungguhnya akal sejalan dengan ilmu." Ungkapan ini sekaligus menegaskan hubungan timbal balik antara akal dan ilmu. Ilmu merupakan proses mengambil, ibarat mendapatkan bahan baku mentah. Sedangkan akal merupakan proses berpikir, ibarat pabriknya. Maka pabriklah yang mengolah dan memproduksinya menjadi barang jadi, sekaligus sebagai wadah proses analisa dan pemilahan.
Masih dalam konsep kewajiban mencari ilmu, Muthahhari menukil salah satu hadis Rasulullah saw, “Seandainya engkau mengetahui apa yang terkandung di dalam mencari ilmu, maka niscaya mencarinya meskipun sampai harus mengalirkan darah dan menyelami lautan”. Dalam mengambil ilmu sebagai hikmah, Muthahhari juga tidak membatasi pada satu golongan tertentu. Hal ini berdasarkan hadis Rasul saw, “Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, yang akan diambil di mana saja mereka menemukannya”. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali kw juga menyatakan, “Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, maka ambillah hikmah itu meskipun dari orang munafik”.
Jika Islam memerintahkan menuntut ilmu dengan tiada batasan golongan tertentu, waktu, tempat dan pengajarnya, lalu mengapa kaum Muslimin saat ini begitu mundur dan selalu berteman dengan kebodohan? Hal inilah yang sangat menyedihkan karena sesungguhnya perintah-perintah yang mulia ini telah ditinggalkan begitu saja oleh pengikut Islam itu sendiri.
Muthahhari mencoba memberikan gambaran mengenai ketidaksesuaian antara hal yang seharusnya (hal yang idealis sesuai dengan tuntunan ajaran Islam) dengan realitas yang ada dalam masyakat Islam mengenai adanya kemunduran dalam tradisi keilmuan Islam.
Menurut Muthahhari, bahwa salah satu sebabnya adalah kejadian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Muslimin. Bermula muncul dengan perantaraan alat-alat kekhalifahan, lalu kemudian diikuti dengan munculnya friksi-friksi di dalam kehidupan Muslimin, yaitu terciptanya masyarakat yang “berkasta”, yang sama sekali tidak sejalan dengan maksud ajaran Islam. Masyarakat terbagi kepada dua kasta: “kasta orang miskin dan malang”, yaitu mereka yang untuk memperoleh makanan pokok saja harus bekerja keras; dan “kasta orang yang bermewah-mewahan dan sombong”. Mereka tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan dengan harta yang ada di tanggannya. Keadaan kehidupan seperti ini tidak lagi memberikan kesempatan untuk memperhatikan dan melaksanakan perintah-perintah Islam, dan bahkan muncul faktor-faktor yang mendorong tidak dilaksanakannya perintah-perintah Islam.
Sebab yang lain dari mundurnya umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan, menurut Muthahhari, adalah adanya kesalahan persepsi dari masyarakat Islam sendiri terhadap ajaran Islam itu sendiri. Gejala yang ada dalam masyarakat saat ini adalah bukan berlomba-lomba untuk menjadikan diri mereka dan anak-anak mereka sebagai orang yang berilmu, malah tertarik kepada bagaimana memperoleh ganjaran dan keutamaan dengan cara menghormati dan bersikap khudu’ kepada orang yang berilmu. Penghargaan masyarakat dengan sendirinya telah beralih dari yang seharusnya kepada ilmu pengetahuan tetapi berbalik dengan mengambil bentuk yang salah arah, yaitu memberikan penghargaan kepada orang-orang yang berilmu, meskipun hal itu bukan sesuatu yang salah.
Al-Ghazâlî, secara lugas membahas tentang ilmu. Menurutnya, karena ilmu dan amallah diciptakan langit dan bumi beserta segala isinya.
“Allahlah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu” (QS. Ath-Thalaq: 12).
1. Mencari Ilmu: Wajib Tahayyu’i (Siap Sedia)
Lebih jauh, Muthahhari menjelaskan bahwa, para fuqaha mempunyai sebuah istilah, yaitu mereka mengatakan bahwa kewajiban mencari ilmu adalah bersifat wajib tahayyu’i (kewajiban menjadikan diri siap sedia). Artinya, kewajiban ilmu bukan hanya satu kewjaiban mukadimah seperti semua mukadimah kewajiban-kewajiban, yang tidak memiliki hukum wajib yang berdiri sendiri; melainkan dia adalah kewajiban yang berdiri sendiri. Pada saat yang sama, ilmu juga merupakan satu kewajiban dari sisi dia memberikan kesiapan kepada seorang manusia untuk bisa melaksanakan semua kewajibannya.
Para fuqaha mengkhususkan wajib tahayyu’i ini kepada mempelajari ahkam (hukum-hukum). Sepertinya, kebanyakan dari mereka mengibaratkan bahwa pelaksanaan kewajiban-kewajiban Islam hanya bisa dilaksanakan bila Muslimin mengetahui kewajiban-kewajiban mereka. Ketika mereka telah mengetahui kewajiban-kewajiban mereka, maka dengan sendirinya mereka pun akan mampu melaksanakannya. Jadi, ilmu yang diwajibkan dalam pandangan para fuqaha adalah ilmu yang menjadikan seorang Muslim mengetahui kewajibannya, yaitu apakah menjadi seorang mujtahid atau muqallid (orang yang bertaklid).
Jelas bahwa sebagaimana mengetahui kewajiban dan mempelajari perintah-perintah agama adalah sesuatu yang wajib, maka banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang menurut hukum agama adalah wajib, yaitu pekerjaan-pekerjaan yang menuntut belajar, pengetahuan, dan kemahiran. Sebagai contoh, bidang kedokteran adalah kewajiban kafa’i (fardhu kifayah). Pelaksanaan kewajiban ini sulit untuk dilaksanakan tanpa terlebih dahulu mempelajari ilmu kedokteran. Jadi berdasarkan ini, mempelajari ilmu kedokteran pun wajib hukumnya. Demikian juga banyak bidang yang lain. Jadi harus dilihat, perkara apa saja yang menurut pandangan Islam itu harus wajib, dan perkara itu tidak bisa dilaksanakan dengan baik kecuali dengan belajar, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu yang berkaitan dengan perkara itu wajib hukumnya.
Kewajiban mencari ilmu, dari semua sisi mengikuti ukuran kebutuhan masyarakat. Zaman dahulu, pertanian, pertukangan, perdagangan, dan politik adalah sesuatu yang dibutuhkan masyarakat pada waktu itu; dan tidak satu pun dari keempat bidang tersebut banyak membutuhkan ilmu dan belajar. Masyarakat, cukup menjadi murid untuk beberapa saat di hadapan seorang tukang kayu atau pedagang, dan bekerja di bawah pengawasan seorang politikus atau pedagang yang mahir, atau tukang kayu. Sekarang, keadaan dunia telah berubah; kebutuhan-kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman sekarang, tidak satu pun dari bidang di atas dapat sejalan dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang kecuali bila disertai ilmu dan belajar. Bahkan, pertanian pun, sekarang harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pengetahuan. Seorang pedagang tidak dapat menjadi pedagang yang diperhitungkan hingga dia mempelajari ilmu ekonomi. Seorang politikus tidak bisa menjadi seorang politikus yang baik di dunia sekarang hingga dia mempelajari ilmu politik.
Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap mukallaf ada tiga jenis, yakni ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya, ilmu ibadah lahir yang berkaitan dengan badan dan harta.
Muthahhari mengutip perkataan Imam Ali kw bahwa "Allah mempunyai dua hujjah: hujjah yang nyata (hujjah zhahirah) dan hujjah yang bathin (hujjah bathinah)." Hujjah yang nyata adalah para nabi, sedangkan hujjah yang bathin adalah akal manusia.
Kebodohan adalah lawan dari akal. Akal dalam riwayat-riwayat Islam ditegaskan sebagai kekuatan atau daya untuk menganalisis (analysis power). Islam senantiasa menyeru manusia untuk memerangi kebodohan, yaitu kebodohan yang disebabkan tidak menggunakan potensi akal. Orang yang berakal adalah orang yang mampu memahami dan menganalisis sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang tidak memiliki kemampuan ini. Banyak orang yang dianggap pintar padahal sebenarnya tidak. Mereka hanya memiliki banyak informasi yang mereka dapatkan dari luar. Mereka telah mempelajari banyak hal, tetapi otak mereka hanya ibarat sebuah gudang yang menyimpan banyak informasi namun tidak dimanfaatkan untuk melakukan ijtihad, mencari solusi ataupun dalam menganalisis persoalan berbagai persoalan yang dihadapi. Orang dalam kelompok ini masih belum dapat dikatakan sebagai orang yang pintar, karena otak mereka beku.
Muthahhari pun mengutip pendapat Ibn Sina dalam menganalisis masalah pentingnya ilmu. Di dalam kitab Al-Isyarat, Ibnu Sina menyatakan "Barangsiapa yang terbiasa membenarkan sesuatu tanpa dalil, sesungguhnya dia telah melepas atribut jati diri kemanusiaannya". Ini berarti bahwa seseorang tidak boleh menerima sesuatu pernyataan tanpa sesuatu argumen atau dalil. Sebaliknya Ibn Sina juga menyatakan, "Barangsiapa yang terbiasa mengingkari sesuatu tanpa dalil, maka sesungguhnya inipun sesuatu yang jelek". Dia pun mengatakan, "Manusia sesungguhnya adalah orang yang senantiasa menerima dan menolah sesuatu berdasarkan kepada dalil. Jika tidak ada dalil maka dia akan menjawab, "Saya tidak tahu".
Untuk memperkuat pemikirannya tersebut, Muthahhari pun mengutip statement yang dikemukakan Backon, bahwa para ilmuwan itu dapat dikategorikanm ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, ada yang diibaratkan seperti semut yang senantiasa menarik biji-bijian dari luar lalu menyimpannya ke dalam gudang sarangnya. Ilmuwan semacam ini, otaknya tak ubahnya seperti sebuah gudang, mereka hanya merekam seluruh informasi ilmu dan menyimpannya. Ketika dibutuhkan barulah mereka menyebutkan apa yang telah mereka pelajari. Kedua, ibarat ulat, mereka merajut sarang dengan air liurnya, ilmuwan semacam ini juga tidak baik karena tidak ada masukan informasi dari luar. Ia hanya melahirkan ilmu lewat daya imajinasi dan batinnya saja. Akibatnya, mereka dapat tercekik di sarangnya sendiri. Ketiga, mereka inilah ilmuwan sesungguhnya. Mereka ibarat lebah, mengisap saripati bunga-bungaan dari luar kemudian mereka sendiri yang mengolah madu. Karena itu akan lebih ideal jika antara akal dan ilmu berpadu, ilmu yang diperoleh dipadu dengan daya kekuatan dari dalam serta daya analisis yang dimiliki untuk melahirkan sesuatu yang bermanfaat.
Sementara itu, Al-Ghazâli memberikan pandangan yang berbeda mengenai jenis ilmu. Menurutnya, ilmu yang paling bermanfaat adalah ilmu yang dapat menghantarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan ukhrâwî. Ada beberapa jenis keutamaan yang harus dipersiapkan manusia untuk mencapai kebahagiaan, dalam empat kategori, yang setiap kategori mencakup empat kebahagiaan.
Pertama, menurut al-Ghazâlî, keutamaan rohani (al-fadlâil al-nafsiah) adalah iman dan akhlak yang baik. Iman dibagi atas ilmu mukasyafah (pengetahuan tentang wahyu), dan ilmu muamalah (ilmu pengetahuan agama). Jadi, iman dianggap sinonim dengan ilmu. Akhlak yang baik terdiri empat kebajikan utama, terdiri dari: hikmah (kebijaksanaan), ‘iffah (menahan diri), syaja’ah (keberanian), dan ‘adalah (keadilan). Keempat keutamaan jiwa akhirnya dapat diperkecil menjadi iman atau ilmu dan semua sifat jiwa yang terpuji. Keduanya merupakan sarana terdekat menuju kebahagiaan.
Kedua, keutamaan jasmani (al-fadlâil al-jismiyah) juga dianggap sebagai sarana yang esensial bagi tercapainya kebahagiaan. Karena tanpa itu, keutamaan jiwa tidak dapat tercapai dengan sempurna. Meskipun sama pentingnya, derajat keutamaan jasmani berda di bawah kebaikan jiwa. Keutamaan jasmani adalah kesehatan, kekuataan, panjang usia, dan kerupawanan.
Ketiga, keutamaan luar badan (al-fadlâil al-kharijiyah) adalah kekayaan, pengaruh, keluarga, dan keturunan. Semuanya tidak esensial hanya berguna bagi kebahagiaan.
Keempat, keutamaan bimbingan Allah (al-fadlâil al-taufiqiyah) adalah berupa petunjuk Allah (hidâyah), pengarahan Allah (rusyd), pimpinan Allah (tasdîd), dan penguatan Allah (ta’id). Taufik di sini berarti persesuaian perintah Allah dengan kemauan manusia tentang apa yang benar. Fungsi fadhilah ini ialah menggabungkan fadlîlah jasmani dan fadlîlah luar jasmani dengan jiwa. Oleh karena itu, taufik dipandang sebagai sarana hakiki bagi kebahagiaan.
Keempat keutamaan di atas saling berkaitan satu sama lain atau saling menyempurnakan untuk menuju kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan ukhrâwî. Jalan yang lurus ditempuh untuk menuju kebahagiaan yang hakiki itu ialah ilmu dan amal. Ilmu ialah untuk menentukan apa-apa yang harus dipersiapkan menuju kebahagiaan tersebut, sedangkan amal ialah untuk membersihkan jiwa dari keinginan-keinginan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari kebahagiaan tersebut. Dan mencapai kebahagiaan itu melalui latihan-latihan kerohanian (mujahadah) adalah jalan yang paling selamat bagi al-Ghazâlî untuk mencapai kebahagiaan. Inilah jalan para sufi, orang-orang shâlih, shiddîqîn, dan para nabi.
Ilmu dan amal mempunyai makna yang jelas dalam etika al-Ghazâlî. Dalam al-Qur’ân dan al-Hadits, amal berarti perbuatan baik apapun yang berhubungan dengan pribadi lahir (zhâhir), maupun batin manusia, tetapi yang menyangkut batin ini dilukiskan kurang rinci, sebab tidak semua orang bisa melakukannya. Menurut al-Ghazâlî, para ahli fiqih Muslim mentitikberatkan pada alam diri lahir dengan mengabaikan amal batin. Kaum sufi memberikan perhatian seimbang kepada kedua jenis amal, kecuali yang berhubungan dengan politik. Oleh karena itu, dalam etika sufi al-Ghazâlî, kata ‘amal mempunyai konotasi yang amat luas ia mencakup amal lahir (al-’amal al-zhâhirah) dan amal batin (al-‘amal al-bathiniyah). Masing-masing terbagi dua, amal lahir terbagi dalam amal ibadat ditujukan kepada Allah (ibadat), dan amal baik yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat (adat). Sedangkan amal batin dibagi dalam amal pemurnian jiwa (tazkiyat al-nafs) dari perangai yang tercela, dan amal memperindah jiwa (tahliyat al-qalb) dengan sifat-sifat yang baik. Amal yang empat jenis ini membentuk keseluruhan aspek praktis etika al-Ghazâlî.
Ilmu dipelajari karena manfaatnya, dan sarana terbaik dari ilmu adalah amal yang mengantarkannya kepada kebahagiaan. Amal tidak mungkin terlaksana dengan baik tanpa ilmu tentang cara beramal. Dengan demikian, asal kebahagian adalah ilmu, baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan yang asli dan luhur adalah mengenal hakikat. Tidak ada pengetahuan yang lebih luhur selain mengenal hakikat Allah dan inilah puncak kebahagiaan.
Di lain pihak, Muthahhari mengatakan bahwa pekerjaan dan profesi zaman sekarang telah menjadi sedemikian rupa, sehingga tidak mungkin dilakukan tanpa pengetahuan, belajar, dan spesialisasi. Jenis-jenis pekerjaan yang zaman dahulu dapat dikuasai dengan hanya melakukan latihan sebentar atau belajar singkat di hadapan seorang ahli, pada zaman sekarang sudah sedemikian berbeda, di mana tidak dapat dikuasai kecuali dengan belajar di sekolah-sekolah menengah kejuruan, perguruan-perguruan tinggi politeknik, atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pada zaman sekarang, kebanyakan pekerjaan memerlukan orang-orang yang ahli.
Dapat dikatakan, dari penjelasan yang luas dari paparan Muthahhari dan al-Ghazali di atas, bahwa dikarenakan keadaan yang telah disebutkan di atas, maka kewajiban mencari ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang mempunyai tujuan mulia dan sangat sesuai dengan tuntutan zaman. Kewajiban mencari ilmu adalah kunci dari semua kewajiban. Sebab tanpa adanya ilmu, maka kewajiban yang mesti dilakukan oleh seseorang tidak akan diketahuinya yang dengannya tidak terpenuhi.
Mengenai kewajiban mencari ilmu bagi setiap Muslim, di sini juga terdapat persamaan pemikiran di antara al-Ghazâlî dan Muthahhari. Meskipun tidak secara implisit, al-Ghazâlî juga menekankan pentingnya menuntut ilmu yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu agama semata. Namun, di sini, al-Ghazâlî lebih menekankan pada kewajiban setiap manusia dalam mendalami ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan ilmu-ilmu yang lain bersifat wajib kifa’i; sementara cakupan pemikiran Muthahhari lebih luas, yaitu pada kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim pada semua ilmu yang dibutuhkan oleh masyarakat Islam. Setiap ilmu yang disyaratkan untuk kemajuan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat Muslim menjadi wajib dengan sendirinya.
2. Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama
Di bawah judul “Ilmu Agama dan Bukan Ilmu Agama”, Muthahhari menjelaskan bahwasanya telah menjadi sebuah istilah, di mana kita menamakan sebagian ilmu pengetahuan dengan nama “ilmu agama”, dan sebagian ilmu pengetahuan lain dengan nama “ilmu bukan agama”. Ilmu-ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang secara langsung terkait dengan masalah-masalah keyakinan, akhlak, atau amal perbuatan agama; atau ilmu-ilmu yang menjadi mukadimah bagi pengetahuan, perintah-perintah, dan hukum-hukum agama, seperti ilmu gramatika bahasa Arab dan ilmu logika.
Muthahhari melanjutkan, bahwa mungkin sebagian orang menyangka ilmu-ilmu yang non-agama itu asing dari agama, dan setiap kali di dalam Islam dikatakan tentang keutamaan ilmu dan pahala mencarinya, maka itu hanya terbatas pada ilmu-ilmu yang menurut istilah dikatakan sebagai ilmu-ilmu agama. Atau, jika Rasulullah Saw mengatakan bahwa ilmu itu wajib, maka yang sebagian menganggap bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah Saw terbatas pada ilmu-ilmu agama.
Seraya meluruskan pandangan di atas, Muthahhari berpendapat bahwa yang benar, ini tidak lebih dari hanya sekadar istilah. Dari satu sisi pandangan, ilmu-ilmu agama hanya terbatas pada matan-matan pertama agama, yaitu al-Qur’an al-Karim, Sunah Rasul Saw, atau wasiat-wasiat beliau. Pada masa awal Islam pun, di mana masyarakat ketika itu masih belum mengenal Islam, diwajibkan atas setiap Muslim untuk mempelajari matan-matan pertama agama terlebih dahulu sebelum segala sesuatu. Pada masa itu belum ada satu ilmu pun, belum ada yang dinamakan ilmu kalam, ilmu fiqih, ilmu ushul fiqih, dan belum juga ada yang dinamakan ilmu sejarah Islam, dan lain-lainnya.
Kemudian kaum Muslimin mulai mengenal matan-matan pertama agama tersebut, yang berkedudukan sebagai undang-undang dasar Islam. Lalu dengan berdasarkan perintah al-Qur’an dan hadits Nabi Saw mereka mengenal secara mutlak bahwa ilmu adalah sebuah kewajiban yang tidak diragukan; dan selanjutnya secara bertahap ilmu-ilmu pun tersusun. Oleh karena itu, dari sisi pandangan lain, setiap ilmu yang memberikan mabfaat kepada kaum Muslimin, maka ilmu itu merupakan kewajiban agama dan merupakan ilmu agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap ilmu yang bermanfaat kepada keadaan Islam dan Muslimin, dan hal itu sesuatu yang harus bagi mereka, maka ilmu tersebut harus dikategorikan sebagai bagian dari ilmu-ilmu agama. Dan jika seseorang mempunyai niat yang tulus dalam mempelajari ilmu tersebut untuk bisa berkhidmat kepada Islam dan Muslimin, maka dia tentu akan memperoleh ganjaran yang telah disebutkan bagi orang yang mencari ilmu.
Sejak awal, pembagian ini sudah tidak benar, yaitu di mana kita membagi ilmu kepada dua bagian: ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu bukan agama. Karena, pembagian ini akan menimbulkan sangkaan bagi sebagian orang, bahwa ilmu-ilmu yang menurut istilah sebagai “ilmu-ilmu bukan agama” adalah ilmu-ilmu yang asing dari Islam. Kelengkapan dan keuniversalan Islam menuntut bahwa setiap ilmu yang bermanfaat, penting dan diperlukan oleh masyarakat Islam, harus kita anggap sebagai ilmu agama.
Sementara itu, al-Ghazâlî membagi ilmu ke dalam dua bagian: (1) ilmu mengenai Allah dan (2) ilmu yang berhubungan dengan jalan menuju Dia. Pertama, yang berkenaan dengan esensi, sifat-sifat dan ciptaan Allah meliputi semua wujud kecuali Dia, beberapa di antaranya merupakan dunia persepsi indera, sedang yang lainnya berupa dunia gaib, seperti malaikat dan ruh. Ilmu tentang Allah, atribut-Nya, dan ciptaan-Nya adalah ilmu jenis tertinggi. Kedua, ialah ilmu tentang jalan menuju Allah bertalian dengan semua amal yang empat jenis tersebut di atas tersebut dengan tarikat (tharîqat), tanpa ilmu pengetahuan ini, amal tidak dapat dilaksanakan secara pantas. Meskipun ilmu tentang wahyu (ilmu ma’rifat) dan ilmu tentang jalan (tharîqat) dua-duanya perlu untuk kebahagiaan, namun yang pertama sangat fundamental, ia kadang-kadang dinamakan benih kebahagiaan di akhirat atau malah kebahagiaan itu sendiri.
Terdapat sedikit perbedaan antara Muthahari dan al-Ghazali, al-Ghazali lebih mengutamakan ilmu yang berkaitan ilmu agama sementara Muthahhari berusaha memperbaharui pemikiran hal tersebut yang selalu mengadakan upaya dikhotomisasi antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu bukan agama”.
C. Kaitan antara Sains dan Agama (Ilmu dan Iman)
Setelah membahas mengenai dua konsep dasar pendidikan Muthahhari di atas, yaitu tentang fitrah sebagai dimensi asasi pendidikan dan kewajiban mencari ilmu bagi Muslimin, maka selanjutnya akan dibahas pemikiran beliau tentang kaitan antara Sains dan Agama. Hal ini sengaja dibahas pada subbab khusus untuk memperlihatkan bagaimana konsep dasar dari ide-ide Muthahhari dalam dunia pendidikan, yang nantinya dapat dirumuskan bagaimana sistematika konsep pendidikan Muthahhari secara utuh.
Di bawah judul “Kaitan antara Sains dan Keimanan” dalam buku Man and Universe, Muthahhari menjelaskan secara rinci mengenai kedua hal tersebut beserta analisisnya yang tajam. Berikut ini adalah pembahasan beliau mengenai hal tersebut.
Dalam hubungannya dengan keimanan dan sains, seseorang bisa memperbincangkan hal itu dari dua sudut pandang. Yang satu adalah apakah ada penafsiran yang akan meningkatkan keimanan dan ideal-ideal seseorang, dan pada saat yang sama bersifat logis? Lalu, adakah semua pemikiran yang diilhami oleh sains dan filsafat bertentangan dengan keimanan, harapan dan ortimisme? Aspek kedua adalah pengaruh sains atas manusia di satu pihak, dan keimanan di pihak lain. Adakah sains membawa manusia kepada suatu hal, sedangkan keimanan kepada hal yang lain, yang bertentangan satu sama lain? Adakah sains bermaksud membuat sesuatu yang lain? Adakah sains menyeret kita ke suatu sis dan keimanan ke sisi yang lain? Adakah sains dan keimanan bersifat melengkapi satu sama lain? Marilah kita lihat apa yang telah diberikan oleh sains dan keimanan kepada kita.
Muthahhari lalu memberikan jawaban atas pertanyaan di atas dengan ungkapan yang dalam dan sarat dengan makna filosofis yang mesti diselami maknanya secara serius. Dalam pandangan Muthahhari, sains memberi kita kekuatan dan pencerahan, dan keimanan memberikan cinta, harapan, dan kehangatan. Sains meniciptakan teknologi, dan keimanan menciptakan tujuan. Sains memberi kita momentum, dan keimanan memberi kita arah. Sains berarti kemampuan, dan keimanan adalah kehendak baik. Sains menunjukkan kepada kita apa yang ada di sana, sementara keimanan mengilhami kita tentang apa yang mesti kita kerjakan. Sains adalah revolusi eksternal, dan keimanan adalah revolusi internal. Sains memperluas hubungan manusia secara horizontal, dan keimanan meningkatkannya secara vertikal. Baik keimanan maupun sains berarti keindahan. Sains adalah keindahan kebijaksanaan, dan keimanan adalah ruh.
Itulah yang dikatakan oleh Muthahhari, yang secara langsung dapat kita pahami bahwa menurut beliau Sains (ilmu pengetahuan) dan agama (keimanan) adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Ia tidak dapat dipisahkan, jika salah satu hilang dalam diri manusia, maka akan terjadi apa yang dinamakan oleh Muthahhari—dengan mengutip hadits Nabi--sebagai “orang berilmu yang kurang ajar dan orang bodoh yang tekun beribadah”.
Senada dengan pendapat Muthahhari di atas, adalah apa yang diutarakan oleh Muhammad Iqbal. Beliau mengatakan secara tegas bahwa Eropa masa sekarang adalah hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Hal itu dikarenakan adanya kesenjangan antara sains dan wahyu (keimanan).
Menurut Iqbal, kemanusiaan saat ini membutuhkan tiga hal: (1) Suatu penafsiran Spiritual atas jagat, (2) emansipasi spiritualitas atas individu, dan (3) suatu himpunan asas yang dianut secara universal yang akan menjelaskan evolusi masyarakat manusia atas dasar spiritual. Eropa modern, tak syak lagi, telah membangun sistem idealistis pada jalur ini, tetapi pengalaman menunjukkan bahwa kebenaran yang terungkap lewat akal murni tidak mampu membawa api keyakinan hidup yang hanya bisa dibawa oleh wahyu yang bersifat personal saja. Inilah alasannya, kenapa pemikiran saja telah mempengaruhi manusia sedemikian sedikit, sementara agama selalu meningkatkan individu-individu dan mentransformasikan masyarakat secara keseluruhan. Hasilnya adalah ego yang menyeleweng, yang mencari dirinya melalui demokrasi-demokrasi saling tidak toleran yang befungsi hanya untuk menindas yang miskin demi kepentingan kaum yang kaya.
Iqbal mempertegas, percayalah padaku, Eropa masa sekarang adalah hambatan terbesar di tengah jalan menuju kemajuan etis manusia. Orang-orang Muslim, di pihak lain, memiliki gagasan-gagasan puncak yang bersumber dari wahyu yang datang dari lubuk kehidupan yang paling dalam, menginternalisasikan eksternalitas nyatanya. Baginya, basis spiritual kehidupan adalah masalah keyakinan yang untuknya orang-orang yang paling sedikit tercerahkan di antara kita sekalipun bisa dengan mudah mengatur hidupnya.
Dengan lebih rinci, Muthahhari selanjutnya menegaskan bahwa telah tiba saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa bukan saja sains dan keimanan itu tidak bertentangan, tetapi mereka bahkan bersikap saling melengkapi satu sama lain. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan tanpa sains akan berakibat fanatisisme dan kemandekan. Jika saja tak ada sains dan ilmu, maka agama, dalam diri penganut-penganutnya yang naif, akan menjadi suatu instrumen di tangan-tangan pada “dukun cerdik”.
Sains tanpa agama adalah seperti sebilah pedang di tangan orang mabuk; seperti secercah cahaya di tangah pencuri di tengah malam, membuatnya mampu mencuri barang-barang yang terbaik. Inilah sebabnya, kenapa orang-orang terpelajar yang kafir pada masa kini sama sekali tidak berbeda dari orang-orang yang kafir pada masa lampau dalam hal sifat dan perilakunya.
Pemisahan antara sains dan keimanan akan mengakibatkan bencana yang mengerikan. Di mana saja ada agama tapi tak ada sains, maka upaya-upaya kemanusiaan telah diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak selalu memadai dan bahkan telah menyebabkan fanatisisme, prasangka-prasangka dan bentrokan-bentrokan destruktif. Sejarah masa lampau kemanusiaan penuh dengan contoh-contoh semacam itu. Dan di mana saja ada sains tanpa tanda-tanda agama sebagaimana di dalam masyarakat masa kini, maka semua kekuatan sains telah digunakan untuk memenuhi pementingan diri sendiri, egoisme, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan, penipuan dan kecurangan.
Dengan berlandaskan pada pemikiran Muthahhari di atas, kaitannya dengan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa jika suatu corak pendidikan yang mengesampingkan salah satu dari kedua aspek di atas, yakni hanya mementingkan sains tanpa agama dan sebaliknya, maka pendidikan tersebut hanya akan melahirkan generasi-generasi, seperti yang dikatakan Muthahhari di atas, yaitu orang berilmu yang kurang ajar dan orang bodoh yang tekun beribadah. Inilah salah satu inti dasar pembahasan yang dapat diidentiifkasikan sebagai konsep pokok pendidikan Muthahhari, yaitu pendidikan yang berorientasi pada pencapaian kemuliaan manusia dengan pijakan keimanan dan penguasaan sains yang handal.
Namun, mengenai konsep sains dan agama, di sini terlihat perbedaan yang cukup signifikan antara pemikiran Muthahhari dan al-Ghazâlî. Hal ini bisa dipahami dikarenakan landasan pemikiran Muthahhari adalah filsafat—yang menjadi musuh utama al-Ghazali, yang dapat dilihat dalam karya monumental beliau, tahâfut al-falâsifah—sedangkan landasan pemikiran al-Ghazâlî adalah tasawuf—yang banyak dianut oleh para ulama salaf yang cenderung “kekiri-kirian”, dalam arti sangat anti terhadap filsafat. Dalam konsep ma’rifah-nya, terlihat dengan jelas bahwa al-Ghazâlî sangat anti terhadap filsafat, sedangkan filsafat seperti banyak dikatakan oleh para ahli adalah bapaknya dari ilmu pengetahuan (sains) modern. Pengetahuan yang didapat dari hasil penalaran akal, yang merupakan ciri khas dari sains modern, sangat ditentang oleh al-Ghazâlî. Pengetahun yang hakiki, menurut beliau, adalah pengetahuan yang didapat dari hasil nalar intuisi (qalb) melalui jalur tasawuf.
Lebih jelas, al-Ghazâlî membagi ma’rifat ke dalam tingkatan sesuai dengan dasar pengetahuan dan metode yang dipergunakan, yaitu: pertama, ma’rifat orang awam, yakni pengetahuan yang diperoleh melalui jalan meniru atau taklid. Kedua, pengetahuan Mutakallimin dan Filosof yaitu pengetahuan yang didapat melalui pembuktian rasional. Ketiga, pengetahuan para sufi yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui metode penyaksian langsung dengan radar pendeteksi, yaitu qalbu yang bening. Adapun pengetahuan mistis atau sufisme menurut al-Ghazâlî adalah Dzat Allah, sifat-sifat-Nya serta af’al-nya, dan inilah pengetahuan yang paling tinggi nilainya. Pengetahuan yang demikian ini akan membawa kebahagiaan bagi yang memilikinya, serta akan menemukan kesempurnaan dirinya, karena ia berada di sisi Yang Maha Sempurna.
Untuk mengetahui dampak dari sains yang tanpa dilandasi adanya keimanan, berikut ini dikemukakan hasil analisis Kuntowijoyo mengenai hal tersebut.
Kuntowijoyo (1999) pernah mengeluhkan mengenai kenyataan berubahnya sistem sosial manusia saat ini. Menurutnya, sistem sosial kebebasan manusia telah digantikan dengan mekanisasi manusia lewat industrialisasi dan teknologi. Manusia hanyalah dipakai sebagai bagian dan pelengkap dari mesin, ia berada pada bayang-bayang alienasi industrialisasi yang membawa manusia terpuruk pada tipe “perbudakan” baru, “perbudakan mesin”. Itulah masyarakat yang kita sebut sebagai “masyarakat kapitalistik”. Di dalam masyarakat kapitalistik, manusia hanya menjadi elemen dari pasar. Dalam masyarakat seperti itu, kualitas kerja dan bahkan kualitas kemanusiaan itu sendiri, ditentukan oleh pasar.
Selain itu, kenyataan lainnya, seperti banyak dikemukakan oleh banyak ahli yang menanggapi perkembangan dunia modern saat ini, bahwa sebagai akibat dari kemajuan sains yang tanpa landasan keimanan, jiwa manusia banyak mengalami gangguan psikologis; dari mulai keresahan jiwa, kejenuhan dalam mengejar ambisi yang tidak pernah berhenti, dan banyak lagi penyakit manusia modern lainnya. Belum lagi kejahatan yang kian merajalela dan telah dikemas sedemikian rupa sehingga menyerupai “kebijaksanaan sejati”: pembunuhan di mana-mana, penindasan terhadap kaum tertindas sudah menjadi hiburan, dan mencuri telah menjadi kewajiban. Itu semua adalah penyakit manusia saat ini.
Berbagai terapi psikologis telah dikembangkan untuk mengobati penyakit manusia modern, dari mulai terapi sugesti sampai terapi bunuh diri. Namun itu semua hanya pengobatan secara sementara dan terkesan sebagai upaya untuk lari dari kenyataan (escape from reality). Manusia modern akhir-akhir ini sedang melirik ke jalur spiritual (keimanan yang bersumber dari wahyu dan cinta) untuk mengobati penyakit jiwanya. Di Barat pun, kini telah berkembang banyak ragam pengobatan dengan menggunakan mediasi ghaib. Terbukti dengan semakin banyaknya buku-buku yang berbau spiritual yang diterbitkan untuk melatih spiritualitas manusia dengan berbagai metode dan beberapa di antaranya termasuk the best seller; dari mulai latihan aura jiwa, keajaiban berdoa, meditasi, dan banyak lagi.
Di Indonesia sendiri, terapi spiritual yang banyak berkembang, sebagai objek pelarian manusia modern untuk mengobati kehausan jiwanya, adalah terapi spiritual (biasanya mengambil bentuk jalur tasawuf). Namun, terkadang dalam prakteknya, jalur tasawuf pun masih sama sebagai alat pelarian diri dari kenyataan. Seseorang yang menekuni bidang tasawuf—meskipun tidak seluruhnya begitu—sering terlena dalam menikmati kelezatan kontemplasi dengan Tuhan sehingga “lupa untuk turun ke alam nyata” (bidang-bidang keduniaan dan sosial). Mereka terlalu berambisi dalam memenuhi hasrat bathinnya, tetapi lupa terhadap kehidupan sosial di sekelilingnya.
D. Dunia Pendidikan dan Tantangan Zaman
1. Belajar tentang Zaman
Di antara kata-kata cemerlang Imam Shadiq, salah satu cucu Rasulullah dari kalangan Ahlul Bait Nabi, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Kâfi adalah ucapannya:
اَلْعَالِمُ بِزَمَانِهِ لاَ تَهْجُمُ عَلَيْهِ اللَّوَابِسُ.
“Barangsiapa mengerti tentang zamannya, tak akan dikejutkan oleh serbuan segala yang membingungkannya”.
Maksud dari hadits di atas, sebagaimana dikatakan oleh Muthahhari, adalah siapa saja yang menguasai pengetahuan tentang zamannya dan menguasai pengetahuan tentang segala seluk-beluknya, tidak akan sekali-kali dikejutkan oleh hal-hal yang membingungkan. Kata “serbuan” (hujûm) dalam ucapan Imam Shadiq di atas, digunakan dalam bahasa Persia untuk menunjukkan suatu serangan yang dahsyat, tapi dalam bahasa Arab digunakan untuk menunjukkan suatu serangan mendadak yang menimbulkan kebingungan. Atas dasar itu, ucapan Imam Shadiq tersebut menunjukkan bahwa seorang ‘arif (bijak) yang mengenal baik-baik segal ihwal zamannya, dan benar-benar mengetahui segala rahasianya, pasti tidak akan dikejutkan oleh hal-hal yang datang secara mendadak, sehingga membuatnya kebingungan, hilang akal, dan kehilangan kesempatan untuk meluruskan pikirannya guna memecahkan persoalan-persoalan yang muncul di hadapannya.
Muthahhari menambahkan, bahwa dalam ucapan beliau ini, masih ada lagi kalimat-kalimat lainnya yang menguatkan hal itu, di antaranya: “Takkan berhasil siapa saja yang tidak menggunakan akalnya, dan takkan menggunakan akalnya siapa yang tidak berpengetahuan”. Yakni, takkan berhasil orang yang tidak memiliki pengetahuan; sebab akal sama dengan kemampuan melakukan analisis dan menetapkan kaitan antara sejumlah permasalahan. Atau membuat premis agar mencapai kesimpulan. Akal memperoleh “minuman” dari ilmu, dan akal adalah pelita sedangkan minyaknya adalah ilmu. Kemudian, kata Imam Shadiq lagi: “Barangsiapa memiliki pemahaman, akan meraih kepandaian dan menjadi terouji dalam ucapan dan tindakannya.” Karena itu, seyogianya kita tidak mencemaskan ilmu dan tidak menganggapnya sebagai bahaya atas diri kita.
Sekarang ini, kita berdiri berseberangan dengan ucapan berikut: “Barangsiapa mengerti tentang zamannya, takkan dikejutkan oleh hal-hal yang membingungkannya.” Dengan kata lain, kita kini tak mengerti sedikit pun tentang zaman kita sendiri, dari awal sampai akhir. Kita sedang terlelap dalam tidur yang membuat kita lalai akan segalanya. Dan tiba-tiba, kita mendapati diri kita berhadapan langsung dengan berbagai masalah serius.
Selanjutnya, Muthahhari mengemukakan secara lugas mengenai bagaimana membina dan mendidik generasi muda untuk dipersiapkan di masa depan yang boleh jadi tantangan zamannya berbeda dengan zaman di saat sekarang. Menurut beliau, ada sesuatu yang lebih penting daripada hanya membuat planning untuk membimbing generasi ini. Yaitu dengan memperteguh—di dalam diri kita sendiri—pendapat yang mengatakan bahwa bimbingan dan pembinaan (pendidikan), baik dalam segi teknis administratif maupun dalam aplikasinya, harus berbeda caranya sesuai dengan perkembangan zaman dan juga perbedaan objek yang hendak dibina/dididik. Karenanya, kita harus menghapus dari pikiran kita, bahwa kita mampu membina dan mendidik generasi muda ini dengan cara-cara lama.
Pertama-tama, kita harus memahami terlebih dahulu generasi muda saat ini. Memahami karakteristik dan ciri-ciri khas kepribadiannya. Dan untuk itu, secara umum, ada dua cara untuk menanganinya, serta ada dua cara pula untuk melakukan penilaian terhadapnya. Sebagian orang menilai generasi muda sebagai sekelompok orang yang belum matang dan dikuasai oleh ilusi tentang dirinya sendiri, budak-budak hawa nafsu, dan seribu macam keburukan lainnya. Orang-orang seperti itu memandang kepada generasi muda dengan pandangan penuh kebencian dan pelecehan.
Akan tetapi, pandangan generasi muda itu kepada dirinya sendiri adalah sangat berbeda. Mereka tidak melihat adanya suatu cacat dalam diri mereka. Bahkan mereka adalah manusia-manusia yang penuh dengan kecerdasan dan kepiawaian yang memiliki cita-cita paling mulia dan terhormat. Namun, terkadang generasi lama memandang dari sudut dirinya sendiri dengan memandang buruk kepada generasi saat ini, dikarenakan berbeda dalam segala aspeknya.
Ada beberapa ayat dalam Surat Al-Ahqâf yang mengandung dua gambaran tentang dua generasi: yang saleh dan yang menyeleweng. Tetapi tidak mungkin dikatakan bahwa generasi yang berikutnya senantias lebih banyak kerusakannya daripada generasi sebelumnya, dan bahwa dunia ini berjalan menuju kepada kerusakan. Dan tidak pula dapat dikatakan bahwa generasi yang berikutnya senantiasa lebih sempurna daripada yang sebelumnya. Ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut.
“Kami telah memerintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah payah. Masa mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan. Sehingga apabila telah mencapai dewasa dan usianya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku mensyukuri nikmat-Mu yang telah Kau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat beramal shaleh yang Engkau ridhai. Berilah kebaikan kepadaku dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku. Sungguh aku bertobat kepada-Mu dan sungguh aku termasuk ke dalam orang-orang yang berserah diri kepada-Mu” (QS. Al-Ahqaf: 15).
Ayat di atas melukiskan cara pemikiran generasi yang shaleh. Di antaranya, adalah semangat bersyukur dan mengakui luasnya karunia-karunia Allah Swt. “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku mensyukuri nikmat-Mu yang engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…”. Di sini ia mengakui nikmat-nikmat yang dikaruniakan Allah Swt atas dirinya dan generasi pendahulunya, lalu meminta dari-Nya agar diberi kekuatan untuk memnuhi rasa terima kasih dan penghargaannya atas semua itu. Dan agar ia diberi petunjuk untuk dapat menggunakan nikmat-nikmat itu demi meraih keridhaan-Nya. Sebab, arti mensyukuri suatu nikmat adalah dengan memanfaatkannya secara proporsional, sesuai yang dikehendaki oleh Sang Pemberi. Dan karenanya ia memohon daari Allah Swt agar memberinya taufik untuk menggunakan nikmat-Nya demi sesuatu yang bermanfaat dan diridhai oleh-Nya: “…agar aku dapat beramal shaleh yang Engkau ridhai..”.
Di antaranya pula, perhatiannya kepada generasi berikutnya, semoga ia menjadi generasi yang shaleh. Karenanya, ia memohon kepada Allah Swt, “…Berikan kepadaku kebaikan dengan memberi kebaikan kepada anak-cucuku…” Selanjutnya, semangat bertobat dan menyesali kelalaian dan kekurangannya pada masa-masa lalu, “….Sungguh aku bertobat kepada-Mu..”
Tentang generasi seperti ini, Allah Swt kemudian berfirman: “Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal baik yang telah mereka kerjakan, dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama para penghuni surga, sebagai janji yang benar yang dijanjikan kepada mereka” (QS. Al-Ahqaf: 16)
Adapun ayat berikutnya (QS. al-Ahqâf [46]: 17) berbicara tentang suatu generasi yang tusak dan menyimpang:
“Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya, “Cis bagi kalian berdua; adakah kalian memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan (setelah mati), padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?” Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan, “Celaka kamu, berimanlah! Sungguh janji Allah adalah benar.” Maka berkatalah ia, “Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka” (QS. Al-Ahqaf: 17)
Ayat ini, menurut Muthahhari, adalah generasi yang menyimpang dan terkelabui. Generasi yang mentah, belum matang. Begitu telinganya mendengar dua kalimat, ia tidal lagi merasa terikat dengan sesuatu. Ia tidak merasa sebagai hamba Allah. Ia merasa kesal terhadap kedua orang tuanya. Menghina mereka. Mengejek pandangan mereka, juga semua kepercayaan mereka. Menertawakan mereka akibat ucapan mereka tentang adanya Hari Kiamat, hari kebangkitan kembali tentang alam yang lain dan kehidupan yang lain. Padahal generasi-generasi terdahulu, datang dan hidup, kemudian mati dan tidak kembali lagi. Dan kedua orang tuanya yang religius, dan yang tidak tahan mendnegar sesuatu yang bertentangan dengan agama, kini mendengar putra kesayangan mereka menyakiti hati mereka dengan omongan seperti itu, sehingga mereka berteriak, “Celaka kamu, berimanlah! Sungguh janji Allah adalah benar.”
Itulah ayat-ayat yang menjelaskan tentang dua generasi yang berbeda: generasi yang shaleh dan yang lainnya rusak dan menyimpang. Dari penjelasan Muthahhari di atas, dapat dikatakan bahwa penjelasan yang disampaikan beliau di atas terkait erat dengan upaya memahami dalam mengidentifikasi generasi saat ini, sebagai objek dari dunia pendidikan yang akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Memahami sifat dan karakteristik generasi saat ini sangat penting dalam merumuskan metode pendidikan yang akan diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Karena metode lebih bersifat cara penyampaian pesan agar tujuan dari pesan dan misi pendidikan sampai sesuai dengan yang diharapkan. Jika pengidentifikasian objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara tidak komprehensif maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan sendirinya, sehingga generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan terwujud.
2. Dunia Pendidikan dalam Menyikapi Perubahan Zaman
Muthahhari dalam bukunya “Islam dan Tantangan Zaman” di bawah judul “Dua Perubahan Zaman” mengutarakan pandangannya tentang cara menyikapi perubahan zaman. Perubahan-perubahan mana yang mesti kita hitung sebagai mengarah pada kebaikan dan perkembangan mana yang harus kita hitung sebagai mengarah pada penyimpangan dan kerusakan? Dari mana kita bisa mengetahui bahwa suatu perubahan keadaan itu baik dak kita mesti bekerja sama atau perubahan keadaan itu justru buruk sehingga kita harus menentangnya? Apa yang menjadi sebagai ukuran?
Ukuran umum ialah bahwa kita mesti memperhatikan dengan teliti apa yang menjadi penyebab terjadinya berbagai macam fenomena yang ada pada semua zaman, ke mana arah tujuannya, dan apa yang dihasilkannya. Terkadang, dalam perkembangan ilmu pengetahuan sering muncul manusia penyembah hawa nafsu yang memanfaatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk memeras kantong masyarakat dan moral mereka. Misalnya, ada manusia yang mengeksploitasi ilmu pengetahuan untuk membuat film-film yang merusak.
Dengan demikian, dari pendapat Muthahhari di atas, jika dikaitkan dalam dunia pendidikan, dapat dikatakan bahwa sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak perkembangan zaman. Artinya, dalam penerapannya, dunia pendidikan tidak boleh kehilangan jati dirinya diakibatkan terlalu ingin menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dan tidak boleh pula terlalu tradisionalistis dari sikap menolak seluruh perkembangan zaman yang menurut pemahamannya tidak sesuai dengan idealistis orang yang memandangnya.
Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap seimbang, yaitu menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang keberhasilan pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan menimbulkan efek-efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap menjadikan keimanan sebagai landasan utama dalam memilih perkembangan mana yang sesuai dengan misi dari sebuah lembaga pendidikan.
E. Disiplin Ilmu Islam
Berikut ini akan dikemukakan pemikiran Muthahhari mengenai disiplin ilmu-ilmu Islam (‘ulûm Islami). Menurut beliau, ilmu-ilmu Islam dapat didefinisikan dengan berbagai pola, yang masing-masing pola akan memiliki sesuatu sebagai subyek. Dengan demikian, subyek akan ditentukan dengan pola pendefinisian tadi. Di bawah ini adalah pola-pola yang muncul untuk mendefinisikan ulum Islami:
1. Serangkaian ilmu yang membahas seputar agama Islam; pokok maupun cabangnya, sekaligus hal-hal yang menjadi pendahuluan bagi hasil pokok dan cabang tersebut, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Yang termasuk ilmu-ilmu tersebut ialah: Ilmu Qira’ah, Hadits, Tafsir, Ilmu Kalam Nakli, Fiqih, dan Ilmu Akhlaq.
2. Ilmu-ilmu yang tercantum di atas, ditambah serangkaian ilmu yang menjadi pendahuluan baginya, seperti: Ilmu-ilmu linguistik Arab (Sharaf, Nahwu, Lughoh Ma’ani, Bayan, Badi’, dan sebagainya), Ilmu Rijalul Hadits, Ilmu Dirayah Hadits, Ilmu Kalam Akli, Ilmu Akhlaq akli, Hikmah Ilahiyah, Mantiq, dan Ushul Fiqh.
3. Disiplin-disiplin ilmu yang mempelajarinya bagaimanapun juga termasuk dalam kewajiban agama, walaupun sekadar wajib kifa’i.
Berdasarkan definisi ketiga di atas, ulum Islami akan mencakup mayoritas Ilmu Alam dan Ilmu Matematika yang dibutuhkan oleh masyarakat Islam.
Sementara itu, al-Ghazâlî menyebut empat sistem klasifikasi ilmu yang berbeda:
1. Pembagian ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
2. Pembagian pengetahuan yang dihadirkan (hudhûri) dan yang dicapai (hushûli).
3. Pembagian ilmu-ilmu religius (sya’iyah) dan intelektual (aqlîyah).
4. Pembagian ilmu menjadi fadhu ‘ain dan fardhu kifayah.
Pembagian yang terakhir didasarkan pada hadits Rasul saw: "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat” (HR. Bukhori & Muslim).
Dengan demikian, terdapat kemiripan antara pembagian ilmu antara Muthahhari dan al-Ghazali. Ilmu yang wajib dituntut oleh setiap mukallaf ada tiga jenis, yakni ilmu tauhid, ilmu batin (sirr) yang berkaitan dengan kalbu dan jalan-jalannya, ilmu ibadah lahir yang berkaitan dengan badan dan harta.
Lebih lanjut, al-Ghazâli memberikan arahan bahwasanya ilmu yang paling bermanfaat adalah ilmu yang dapat menghantarkan manusia untuk mencapai kebahagiaan ukhrâwî. Ada beberapa jenis keutamaan yang harus dipersiapkan manusia untuk mencapai kebahagiaan, dalam empat kategori, yang setiap kategori mencakup empat kebahagiaan.
Pertama, menurut al-Ghazâlî, keutamaan rohani (al-fadlâil al-nafsiah) adalah iman dan akhlak yang baik. Iman dibagi atas ilmu mukasyafah (pengetahuan tentang wahyu), dan ilmu muamalah (ilmu pengetahuan agama). Jadi, iman dianggap sinonim dengan ilmu. Akhlak yang baik terdiri empat kebajikan utama, terdiri dari: hikmah (kebijaksanaan), ‘iffah (menahan diri), syaja’ah (keberanian), dan ‘adalah (keadilan). Keempat keutamaan jiwa akhirnya dapat diperkecil menjadi iman atau ilmu dan semua sifat jiwa yang terpuji. Keduanya merupakan sarana terdekat menuju kebahagiaan.
Kedua, keutamaan jasmani (al-fadlâil al-jismiyah) juga dianggap sebagai sarana yang esensial bagi tercapainya kebahagiaan. Karena tanpa itu, keutamaan jiwa tidak dapat tercapai dengan sempurna. Meskipun sama pentingnya, derajat keutamaan jasmani berda di bawah kebaikan jiwa. Keutamaan jasmani adalah kesehatan, kekuataan, panjang usia, dan kerupawanan.
Ketiga, keutamaan luar badan (al-fadlâil al-kharijiyah) adalah kekayaan, pengaruh, keluarga, dan keturunan. Semuanya tidak esensial hanya berguna bagi kebahagiaan.
Keempat, keutamaan bimbingan Allah (al-fadlâil al-taufiqiyah) adalah berupa petunjuk Allah (hidâyah), pengarahan Allah (rusyd), pimpinan Allah (tasdîd), dan penguatan Allah (ta’id). Taufik di sini berarti persesuaian perintah Allah dengan kemauan manusia tentang apa yang benar. Fungsi fadhilah ini ialah menggabungkan fadlîlah jasmani dan fadlîlah luar jasmani dengan jiwa. Oleh karena itu, taufik dipandang sebagai sarana hakiki bagi kebahagiaan.
Keempat keutamaan di atas saling berkaitan satu sama lain atau saling menyempurnakan untuk menuju kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan ukhrâwî. Jalan yang lurus ditempuh untuk menuju kebahagiaan yang hakiki itu ialah ilmu dan amal. Ilmu ialah untuk menentukan apa-apa yang harus dipersiapkan menuju kebahagiaan tersebut, sedangkan amal ialah untuk membersihkan jiwa dari keinginan-keinginan duniawi yang dapat memalingkan manusia dari kebahagiaan tersebut. Dan mencapai kebahagiaan itu melalui latihan-latihan kerohanian (mujahadah) adalah jalan yang paling selamat bagi al-Ghazâlî untuk mencapai kebahagiaan. Inilah jalan para sufi, orang-orang shâlih, shiddîqîn, dan para nabi.
Ilmu dan amal mempunyai makna yang jelas dalam etika al-Ghazâlî. Dalam al-Qur’ân dan al-Hadits, amal berarti perbuatan baik apapun yang berhubungan dengan pribadi lahir (zhâhir), maupun batin manusia, tetapi yang menyangkut batin ini dilukiskan kurang rinci, sebab tidak semua orang bisa melakukannya. Menurut al-Ghazâlî, para ahli fiqih Muslim mentitikberatkan pada alam diri lahir dengan mengabaikan amal batin. Kaum sufi memberikan perhatian seimbang kepada kedua jenis amal, kecuali yang berhubungan dengan politik. Oleh karena itu, dalam etika sufi al-Ghazâlî, kata ‘amal mempunyai konotasi yang amat luas ia mencakup amal lahir (al-’amal al-zhâhirah) dan amal batin (al-‘amal al-bathiniyah). Masing-masing terbagi dua, amal lahir terbagi dalam amal ibadat ditujukan kepada Allah (ibadat), dan amal baik yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat (adat). Sedangkan amal batin dibagi dalam amal pemurnian jiwa (tazkiyat al-nafs) dari perangai yang tercela, dan amal memperindah jiwa (tahliyat al-qalb) dengan sifat-sifat yang baik. Amal yang empat jenis ini membentuk keseluruhan aspek praktis etika al-Ghazâlî.
Kita sadar bahwa serangkaian ilmu yang membahas seputar agama dalan hal-hal yang menjadi pendahuluan bagi mereka, memang wajib untuk dipelajari dan dikaji, karena mengenali pokok agama (ushuluddin) merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslim, sementara mengenali cabang agama (furu’udin) merupakan wajib kifa’i. Mengenali al-Qur’an dan Sunnah juga wajib, karena tanpa keduanya tak akan didapatkan pengenalan tentang pokok maupun cabang agama. Demikian pula disiplin-disiplin ilmu yang menjadi pendahuluan bagi serangkaian ilmu di atas, juga menjadi wajib berdasarkan muqadimatul wajib.
Semestinya, di kalangan ilmuwan Islam terdapat orang-orang yang senantiasa menguasai disiplin-disiplin ilmu tersebut, bahkan orang-orang yang mengembangkannya. Para ilmuwan Islam sepanjang empat belas abad, telah berusaha semaksimal mungkin untuk terus memperluas jangkauan ilmu-ilmu di atas, dan sebagaimana yang nantinya akan menjadi jelas bagi kita, mereka telah mencapai kesuksesan yang menonjol sekali.
Kini kita menyadari bahwa ilmu yang merupakan kewajiban bagi segenap umat Islam, tidaklah terbatas pada apa yang telah disebutkan di atas, melainkan juga mencakup segala macam ilmu yang menjadi syarat atas terselesaikannya setiap kebutuhan dan kepentingan masyarakat Muslim. Hal itu lebih dikarenakan, Islam merupakan agama yang tidak membatasi dirinya pada sejumlah petuah etis yang individual personal, melainkan merupakan agama yang berusaha untuk membangun sebuah masyarakat sempurna.
Apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat, Islam telah mewajibkannya. Misalnya sebuah masyarakat membutuhkan dokter, maka menuntut ilmu kedokteran akan menjadi wajib kifa’i; artinya harus terdapat dokter sebanyak yang dibutuhkan oleh masyarakat, jika tidak, maka setiap orang dalam masyarakat tersebut bertanggung jawab dan harus mencurahkan upayanya demi menghasilkan angka yang mencukupi, yaitu dengan mendatangkan dokter-dokter dari luar yang resikonya jauh lebih tinggi.
Begitu pula dengan ilmu politik, ekonomi, industri, dan sebagainya. Jika pada kondisi tertentu keterjagaan sebuah masyarakat Islam tergantung pada penguasaan terhadap tahap-tahap tertinggi dari teknologi, maka Islam akan mewajibkan pengkajian terhadapnya. Dengan demikian, pada prinsipnya, segala ilmu yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat Islam akan menjadi wajib kifa’i bagi setiap pribadi untuk menuntutnya.
Ilmu-ilmu yang—garis besarnya—berkembang di kalangan kebudayaan Islam, mencakup ilmu yang menurut Islam wajib atau bahkan haram sekalipun. Seperti ilmu Astrologi dan beberapa ilmu lainnya.
Sebagaimana kita ketahui, jika ilmu yang mengkaji tentang perbintangan menerangkan prinsip-prinsip yang bersangkutan dengan mekanisme benda-benda angkasa dan memperkirakan kejadian-kejadian yang diperhitungkan, seperti gerhana, cuaca, dan hal semacam itu (astronomi), tetap merupakan disiplin ilmu yang diperbolehkan oleh agama.
Sementara itu, ilmu perbintangan yang mengkaji tentang hal-hal di luar perhitungan matematis dan menjelaskan hubungan yang terselubung antara kejadian-kejadian kosmik dengan kejadian di bumi (Astrologi), merupakan disiplin ilmu yang dilarang oleh agama. Meski demikian, kedua ilmu ini pernah berkembang di lingkungan kebudayaan Islam.
Dari keempat definisi di atas, jelaslah bahwa ilmu-ilmu Islam telah digunakan pada beberapa arti yang sebagian dari arti tersebut lebih luas dari sebagian yang lain. Harus disadari bahwa sesungguhnya budaya Islam merupakan sebuah budaya yang eksklusif (unik) di antara budaya-budaya yang tersebar di seantero bumi, memiliki ciri dan gelora tersendiri. Demi membantu kita mengenali budaya Islam sebagai budaya yang sedemikian hebat, maka haruslah kita memperhatikan animo yang mewarnai kebudayaan tersebut, arah gerak, serta nilai-nilai yang menonjol padanya.
Jika dalam beberapa hal di atas itu budaya Islam berbeda dengan budaya-budaya selainnya, itu akan merupakan tanda orisinalitas budaya Islam. Tetapi mengambil keuntungan dari budaya di sekitarnya sama sekali tidak bertentangan dengan orisinalitas budaya Islam, bahkan mustahil suatu budaya muncul tanpa menggunakan beberapa hal dari budaya-budaya sebelumnya. Lagipula penggunaan itu sendiri memiliki dua cara yang berbeda: menelan sebuah budaya asing ke dalam lingkaran kebudayaan tersebut. Atau menyerap hal-hal dari budaya lainnya, seperti sebuah sel hidup yang menyerap zat makanan dari benda-benda di sekitarnya. Penyerapan yang terjadi oleh budaya Islam dari budaya Yunani, India, Persia, dan sebagainya merupakan contoh bagi cara yang kedua tersebut.
Menurut penilaian para ahli sejarah budaya, budaya Islam merupakan salah satu dari budaya terbesar yang pernah muncul di muka bumi. Tentunya, budaya agung ini pertama kali dicetuskan oleh Nabi Besar Muhammad Saw di kota Madinah. Layaknya setiap sel hidup yang berkembang, budaya itu muncul secara diam-diam tanpa disadari oleh mereka yang berada di sekitarnya.
Itulah penjelasan dari Muthahhari dan al-Ghazali mengenai pengenalan terhadap berbagai disiplin ilmu Islam, yang nantinya dapat dijadikan sebagai panduan dalam merumuskan bidang-bidang ilmu Islam yang dapat diterapkan dalam sebuah pendidikan Islam yang ada di sekitar kita.
F. Paradigma Model Pendidikan Islam Murtadha Muthahhari
Setelah dipaparkan mengenai pokok-pokok konsep pendidikan Mutahhari yang penulis coba identifikasikan dari seluruh karya-karya beliau, maka pada bab ini penulis mencoba untuk menganalisis seluruh konsep-konsep pendidikan Muthahhari tersebut dengan membuat suatu perumusan ke dalam poin-poin yang sistematis. Setelah menyusunnya kepada beberapa poin, maka akan terlihat jelas konsep-konsep pendidikan Muthahhari secara integral.
Konsep pendidikan Muthahhari dapat dirumuskan secara sistematis dan integral sebagai berikut:
1. Menurut Muthahhari, bahwa pendidikan terkait erat dengan fitrah. Fitrah adalah dimensi asasi dari pendidikan. Fitrah adalah sesuatu yang melekat dan hadir dalam diri manusia sejak diciptakannya. Ia bersifat mencari dan mencintai kebenaran. Pendidikan pun memiliki fungsi yang sama, yaitu menanamkan dan mengajarkan kepada manusia untuk mencari dan mencintai kebenaran. Di sinilah titik temunya antara fitrah dan pendidikan. Pendidikan berfungsi mengajarkan kebenaran sesuai dengan sifat dari fitrah yang selalui cinta kebenaran. Maka, pendidikan yang Islami adalah pendidikan yang berorientasi pada fitrah itu sendiri, yaitu pendidikan yang berazas pada nilai-nilai kebenaran hakiki, yaitu nilai-nilai dari Allah SWT sebagai pencipta dari fitrah itu sendiri. Di sinilah pendidikan Islam memainkan perannya. Pendidikan sebagai pemberi informasi kepada manusia mengenai kebenaran. Informasi tersebut berguna bagi manusia untuk terus mencari kebenaran, sebagai sifat dasar dari fitrah.
2. Kewajiban mencari ilmu merupakan pilar ajaran Islam yang mempunyai tujuan mulia dan sangat sesuai dengan tuntutan zaman. Kewajiban mencari ilmu adalah kunci dari semua kewajiban. Sebab tanpa adanya ilmu, maka kewajiban yang mesti dilakukan oleh seseorang tidak akan diketahuinya yang dengannya tidak terpenuhi. Keadaan dunia telah berubah; kebutuhan-kebutuhan masyarakat telah berubah. Zaman sekarang, tidak satu pun dari bidang kehidupan manusia dapat sejalan dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan masyarakat sekarang kecuali bila disertai ilmu dan belajar.
3. Pembagian antara “ilmu agama” dan “ilmu bukan agama” adalah tidak benar. Karena, pembagian ini akan menimbulkan sangkaan bagi sebagian orang, bahwa ilmu-ilmu yang menurut istilah sebagai “ilmu-ilmu bukan agama” adalah ilmu-ilmu yang asing dari Islam. Kelengkapan dan keuniversalan Islam menuntut bahwa setiap ilmu yang bermanfaat, penting dan diperlukan oleh masyarakat Islam, harus kita anggap sebagai ilmu agama.
4. Sains (ilmu pengetahuan) dan agama (keimanan) adalah dua hal yang saling melengkapi satu sama lain. Ia tidak dapat dipisahkan, jika salah satu hilang dalam diri manusia, maka akan terjadi apa yang dinamakan oleh Muthahhari—dengan mengutip hadits Nabi--sebagai “orang berilmu yang kurang ajar dan orang bodoh yang tekun beribadah”. Sejarah telah membuktikan bahwa pemisahan sains dari keimanan telah menyebabkan kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu, keimanan tanpa sains akan berakibat fanatisisme dan kemandekan. Jika saja tak ada sains dan ilmu, maka agama, dalam diri penganut-penganutnya yang naif, akan menjadi suatu instrumen di tangan-tangan para “dukun cerdik”.
5. Upaya untuk memahami dan mengidentifikasi karakteristik generasi saat ini adalah sesuatu yang penting, sebagai objek dari dunia pendidikan yang akan hidup di zaman yang berbeda dengan kita. Hal ini sangat penting dalam merumuskan metode pendidikan yang akan diterapkan dalam sebuah lembaga pendidikan. Karena metode lebih bersifat cara penyampaian pesan agar tujuan dari pesan dan misi pendidikan sampai sesuai dengan yang diharapkan. Jika pengidentifikasian objek pendidikan tidak dilakukan atau dilakukan secara tidak komprehensif maka tujuan dari pendidikan tidak akan tercapai dengan sendirinya, sehingga generasi yang shaleh yang diharapkan tidak akan terwujud.
6. Sikap dunia pendidikan dalam menghadapi perubahan zaman adalah tidak secara buta menerima seluruh perkembangan zaman dan tidak seluruhnya menolak perkembangan zaman. Artinya, dalam penerapannya, dunia pendidikan tidak boleh kehilangan jati dirinya diakibatkan terlalu ingin menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, dan tidak boleh pula terlalu tradisionalistik dari sikap menolak seluruh perkembangan zaman yang menurut pemahamannya tidak sesuai dengan idealisme orang yang memandangnya. Hendaknya sebuah lembaga pendidikan bersikap seimbang, yaitu menerima perkembangan zaman yang dapat menunjang keberhasilan pendidikan dan menolak perkembangan zaman yang akan menimbulkan efek-efek negatif pada dunia pendidikan, dan tetap menjadikan keimanan sebagai landasan utama dalam memilih perkembangan mana yang sesuai dengan misi dari sebuah lembaga pendidikan.
7. Ilmu yang merupakan kewajiban bagi segenap umat Islam, tidaklah terbatas pada ilmu-ilmu agama, melainkan juga mencakup segala macam ilmu yang menjadi syarat atas terselesaikannya setiap kebutuhan dan kepentingan masyarakat Muslim. Hal itu lebih dikarenakan, Islam merupakan agama yang tidak membatasi dirinya pada sejumlah petuah etis yang individual personal, melainkan merupakan agama yang berusaha untuk membangun sebuah masyarakat sempurna. Apa saja yang dibutuhkan oleh sebuah masyarakat, Islam telah mewajibkannya.
Perlu penulis tambahkan, sehubungan dengan perkembangan zaman yang ada pada saat ini, dan dengan menginduk kepada pendapat Muthahhari di dalam menyikapi perubahan zaman di atas. Metode-metode pengajaran sebagai akibat dari perubahan zaman telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Hal itu bisa diadopsi ke dalam dunia pendidikan Indonesia sejauh metode itu bisa meningkatkan proses belajar dari peserta didik. Selain itu, teknologi yang telah berubah pesat dapat pula diadopsi dalam dunia pendidikan, khususnya yang menyangkut media pengajaran yang dengan menggunakan teknologi mutakhir dapat meningkatkan efektifitasnya. Namun, teknologi adalah suatu produk yang mesti disertai dengan sensor keimanan yang ada dalam diri masing-masing orang, termasuk dalam diri peserta didik.
Dari ketujuh poin di atas, dapat dibuatkan paradigma model konsep pendidikan Muthahhari beserta penerapannya, seperti tampak di bawah ini. Gambar tersebut dapat memudahkan kita dalam melihat konsep pendidikan Muthahhari yang utuh.