KONVERSI nilai Ujian Akhir Nasional (UAN) tidak lagi sekedar pembodohan nasional seperti ditulis Anita Lie (Kompas, 15/6). Dalam konversi nilai itu Sebenarnya telah terjadi sebuah kejahatan intelektual institusional yang dilakukan secara transparan dan tanpa malu-malu oleh sebuah lembaga negara, yaitu Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
Melawan keadilan, Depdiknas telah merampas hak banyak siswa mendapatkan nilai UAN yang sesungguhnya. Secara etis, lembaga negara ini telah mempertontonkan sebuah tindakan tidak bertanggunjawab karena mencari sebuah solusi murahan menutupi kegagalannya meningkatkan mutu pendidikan.
Tindakan mengadakan konversi juga merusak sendi-sendi manajemen kualitas total, yang intinya adalah pemekaran dan pemberdayaan seluruh subyek komunitas pendidikan yaitu peserta didik, guru, dan masyarakat luas (stakeholder).
Pemberangusan
Ribuan siswa peserta UAN 2004 kini sedang menderita, marah, dan kecewa karena hak mereka untuk mendapatkan nilai yang wajar dirampas secara sistematis. Bukan hanya siswa saja yang menderita, guru, orangtua, sekolah, dan masyarakat juga marah atas tindakan konversi ini, ibarat pedang tajam yang melukai dan meninggalkan rasa sakit yang stigmatis. Bangsa kita yang sudah lama disakiti oleh krisis multidimensional sejak 1997, didera lagi oleh keterpurukan intens indeks pembangunan manusia Indonesia, kini dilukai lagi tindakan Depdiknas yang ingin menyamarkan keputusasaan dan kegagalannya dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan cara tragis: meluluskan siswa yang tak pantas lulus, dengan harga memberangus nilai siswa yang telah belajar tekun, bekerja keras untuk lulus untuk mendapatkan nilai yang membanggakan.
Komisi Delors-badan PBB untuk pendidikan abad ke-21-menegaskan, salah satu kiat untuk memajukan pendidikan adalah dengan mendongkrak le goût d’apprendre (a taste for learning – nikmat untuk belajar). Komisi ini amat mendesak agar seluruh kebijakan pendidikan secara sinergis diarahkan guna meningkatkan rasa nikmat untuk belajar dan ini harus mencakup seluruh elemen komunitas pembelajaran seperti siswa, guru, dan staf, orangtua dan masyarakat. Untuk mencapai rasa nikmat, perlu diciptakan metode pembelajaran yang tepat sehingga diciptakan metode active learning dalam bentuk KBK termasuk sistem penilaian yang membebaskan. Artinya, semua bentuk penilaian di sekolah tidak boleh bersifat menghukum tetapi diarahkan kepada pemekaran semangat belajar dan semangat untuk hidup karena le goût d’apprendre akhirnya harus menjadi le goût de vivre-gairah untuk hidup.
Konversi nilai UAN kali ini memberangus semangat belajar dan semangat hidup banyak anak muda. Ini amat bertentangan dengan tujuan pendidikan untuk memanusiawikan manusia muda. Kaum muda yang dirugikan dengan konversi ini adalah mereka yang dikhianati dan dikorupsi secara sistematis oleh sebuah institusi negara yang seharusnya melindungi mereka dari berbagai tindakan yang merugikan. Bangsa kita memiliki sejumlah kaum muda yang sakit hati, tertipu, dirampas haknya, dan menjadi pendendam. Kata Khalil Gibran, bangsa yang melukai anak-anaknya dengan sengaja adalah bangsa yang durjana.
Kegagalan manajerial
Konversi yang kontroversial ini hanya sebuah fenomena kecil dari mega kesalahan sistem yang menggurita dalam pendidikan Indonesia. Upaya perbaikan sistem dan manajemen pendidikan kita selama ini selalu di sekitar sistem, struktur, kurikulum, dan hal-hal non substansial. Sudah sejak pertengahan 1970-an, persis setelah Komisi Faure mengintrodusir konsep longlife education, pendidikan bergerak ke arah apa yang disebut the total quality management (TQM), sebuah gerak manajemen yang menempatkan manusia sebagai pusat utama sistem pendidikan. Meski konsep TQM ini berasal dari pembaruan di bidang teknologi industri dan bisnis, tetapi hampir semua negara maju telah menerapkan di bidang pendidikan.
Konsep ini menjadikan manusia sebagai subyek pendidikan. Jika demikian, maka semua upaya di bidang pendidikan harus diarahkan pada pemberdayaan manusia, termasuk pembaharuan sistem pendidikan, peningkatan anggaran pendidikan, perubahan kurikulum, bahkan praksis penilaian seperti tes, kuis, dan UAN. Jika manajemen pendidikan nasional didasarkan kualitas total yang meletakkan manusia di pusat proses pendidikan, maka aspek tuntutan keadilan dalam bidang pendidikan akan lebih mudah dicapai. Konversi UAN yang kontroversial ini hanya secuil ketidakadilan dalam praksis pendidikan di Indonesia. Keterlambatan gaji guru di daerah terpencil, ketiadaan sarana pendidikan yang layak, guru yang kurang bermutu di pedesaan, termasuk ujian masuk perguruan tinggi negeri adalah berbagai ketidakadilan yang selama ini terlaksana secara sistematis dalam dunia pendidikan kita.
Manjemen pendidikan bertumpu pada pemberdayaan dan penghargaan manusia sebagai subyek pendidikan. UU Sisdiknas 2003 kurang memberi peluang pada dimensi ini, lemah dalam filosofi, dan memandang pendidikan lebih pada aspek pengajaran daripada proses pembentukan manusia (formation of man). Manajemen pendidikan kita seperti tersirat dalam UU Sisdiknas 2003 masih diarahkan pada pemberdayaan sistem, peraturan, dan belum pada pemberdayaan subyek (pendidikan), dengan akibat mutu dan hasil pendidikan melulu diukur secara statistik. Dalam konteks inilah terjadi konversi nilai UAN yang heboh: mutu pendidikan dinilai baik, jika sebagian besar siswa lulus ujian. Yang penting lulus, meski bodoh sekalipun, dan untuk mencapai ini segala cara menjadi sah, termasuk mengorupsi nilai UAN sebagian siswa yang pandai.
Komitmen Politik
Seperti sering ditulis di harian ini, bangsa kita adalah bangsa pelupa, terutama menyangkut kelemahan dan cacat-celanya sendiri. Namun menyangkut konversi nilai UAN yang kontroversial ini, bangsa ini sebaiknya tidak boleh segera melupakan dengan cara membiarkan hilang begitu saja. Konversi ini adalah sebuah mega tragedi bangsa karena menyangkut berbagai masalah seperti hukum, keadilan, etika, manajemen pendidikan, dan nurani bangsa. Capres Susilo Bambang Yudhoyono dan Amien Rais (Kompas, 11/6) telah menegaskan komintmen politik untuk membangun budaya malu (guilt culture) sebagai salah satu terapi mengobati penyakit multidimensional bangsa ini.
Jika Depdiknas menginginkan perbaikan mutu pendidikan anak-anak bangsa, inilah saatnya memperlihatkan komitmen politik berbudaya malu. Dengan jelas ada kesalahan pedagogis, etis, manajerial, bahkan legal dalam konversi nilai UAN 2004. Seluruh bangsa, siswa, orangtua, capres, dan anggota DPR dan DPD terpilih sedang menatap ke Depdiknas dan menantikan sebuah terobosan elegan menyangkut konversi nilai UAN ini.
Seandainya Depdiknas tak mampu meberi solusi praksis dan bijak, dan tetapi bersikeras the show must go on … maka apa yang pernah dikatakan Magnis Suseno bahwa negara kita sedang di pinggir jurang, kini akan terjun bebas ke jurang kehancuran. Namun kita percaya, Depdiknas masih mampu memberi rasa keadilan bagi stakeholder pendidikan di negeri ini, dan pengambil kebijakan pendidikan kita masih memiliki tanggungjawab etis, nurani tulus, dan kebijakan yang melegakan.
Frietz R. Tambunan alumnus Salician University Roma-Italia bidang manajemen pendidikan;.staf pengajar Unika St. Thomas Medan
URL Source: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0406/16/opini/1088382.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah