A. Pendahuluan
Pendidikan Islam, suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid
dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan
pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh
nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam [Syed Sajjad Husain dan Syed Ali
Ashraf, 1986 : 2], atau "Pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan
perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah [Abdurrahman an-Nahlawi,
1995 : 26]. Pendidikan Islam bukan sekedar "transfer of knowledge" ataupun "transfer of
training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan
dan kesalehan; suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan [Roehan
Achwan, 1991 : 50]. Pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan
sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Dari pengertian di atas, pendidikan merupakan sistem untuk meningkatkan
kualitas hidup manusia dalam segala aspek kehidupan. Dalam sejarah umat manusia,
hampir tidak ada kelompok manusia yang tidak menggunakan pendidikan sebagai alat
pembudayaan dan peningkatan kualitasnya. Pendidikan dibutuhkan untuk menyiapkan
anak manusia demi menunjang perannya di masa datang. Upaya pendidikan yang
dilakukan oleh suatu bangsa memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa
bangsa tersebut di masa mendatang. Dengan demikian, "pendidikan merupakan sarana
terbaik untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan
kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh
secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari
adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia"
[Conference Book,London,1978 : 15-17].
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan
martabat manusia yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan selalu berkembang,
dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan
harus didisain mengikuti irama perubahan tersebut, apabila pendidikan tidak didisain
mengikuti irama perubahan, maka pendidikan akan ketinggalan dengan lajunya
perkembangan zaman itu sendiri. Siklus perubahan pendidikan pada diagram di atas,
dapat dijelaskan sebagai berikut ; Pendidikan dari masyarakat, didisain mengikuti irama
perubahan dan kebutuhan masyarakat. Misalnya; pada peradaban masyarakat agraris,
pendidikan didisain relevan dengan irama perkembangan peradaban masyarakat agraris
dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut. Begitu juga pada peradaban masyarakat
industrial dan informasi, pendidikan didisain mengikuti irama perubahan dan kebutuhan
masyarakat pada era industri dan informasi, dan seterusnya. Demikian siklus
perkembangan perubahan pendidikan, kalau tidak pendidikan akan ketinggalan dari
perubahan zaman yang begitu cepat. Untuk itu perubahan pendidikan harus relevan
dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat pada era tersebut, baik pada
konsep, materi dan kurikulum, proses, fungsi serta tujuan lembaga-lembaga pendidikan.
Pendidikan Islam sekarang ini dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia
modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan
perubahan masyarakat modern. Dalam menghadapi suatu perubahan, "diperlukan suatu
disain paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata
filsuf Kuhn. Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan
menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi
kegagalan" (H.A.R.Tilar,1998 : 245). Untuk itu, pendidikan Islam perlu didisain untuk menjawab tantangan prubahan zaman tersebut, baik pada sisi konsepnya, kurikulum,
kualitas sumberdaya insaninya, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta
mengkonstruksinya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat tersebut.
B. Karakteristik Masyarakat Modern
Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980) yang bercerita
tentang peradaban manusia, yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian,
(2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan (3)
peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi.
Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya
pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat (M.Irsyad Sudiro,
1995 : 2). Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan
datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual
maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi
ketinggalan zaman (Djamaluddin Ancok, 1998: 5). Secara umum masyakarat modern
adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif.
Masyarakat modern dewasa ini yang ditandai dengan munculnya pasca
industri [postindustrial society] seprti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi
[information society} sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti
dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara
teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai
banyak paradoks dalam kehidupannya. Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana
dikemukakan Donald Michael, juga terjadi ironi besara. Semakin banyak informasi dan
semakin banyak pengetahuan mestinya makin besara kemampuan melakukan
pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak informasi
telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena
itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar [1988], menyatakan bahwa abad informasi ternyata
sama sekali bukan rahmat. Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar
persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di
lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi,
masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya (Malik Fajar, 1995 : 3).
Keprihatinan Toynbee melihat perkembangan peradaban modern yang
semakin kehilangan jangkar spritual dengan segala dampak destruktifnya pada berbagai
dimensi kehidupan manusia. Manusia modern ibarat layang-layang putus tali, tidak
mengenal secara pasti di mana tempat hinggap yang seharusnya. Teknologi yang tanpa
kendali moral lebih merupakan ancaman. Dan "ancaman terhadap kehidupan sekarang"
tulis Erich Fromm, "bukanlah ancaraman terhadap satu kelas, satu bangsa, tetapi
merupakan ancaman terhadap semua" (Erich Fromm, dikutip : A. Syafi'i Ma'arif, 1997 :
7). Menurut A. Syafi'i Ma'arif, bahwa sistem pendidikan tinggi modern yang kini
berkembang di seluruh dunia lebih merupakan pabrik doktor yang kemudian menjadi
tukang-tukang tingkat tinggi, bukan melahirkan homo sapiens. Bangsa-bangsa Muslim
pun terjebak dan terpasung dalam arus sekuler ini dalam penyelenggaraan pendidikan
tingginya. Kita belum mampu menampilkan corak pendidikan alternatif terhadap arus
besar high learning yang dominan dalam peradaban sekuler sekarang ini. Prinsip
ekonomi yang menjadikan pasar sebagai agama baru masih sedang berada di atas
angin. Manusia modern sangat tunduk kepada agama baru ini (A.Syafi'i Ma'arif, 1997 :
7-8).
Dampak dari semua kemajuan masyarakat modern, kini dirasakan demikian
fundamental sifatnya. Ini dapat ditemui dari beberapa konsep yang diajukan oleh
kalangan agamawan, ahli filsafat dan ilmuan sosial untuk menjelaskan persoalan yang dialami oleh masyarakat. Misalnya, konsep keterasingan (alienation) dari Marx dan
Erich Fromm, dan konsep anomie dari Durkheim. Baik alienation maupun anomie
mengacu kepada suatu keadaan dimana manusia secara personal sudah kehilangan
keseimbangan diri dan ketidakberdayaan eksistensial akibat dari benturan struktural
yang diciptakan sendiri. Dalam keadaan seperti ini, manusia tidak lagi merasakan
dirinya sebagai pembawa aktif dari kekuatan dan kekayaannya, tetapi sebagai benda
yang dimiskinkan, tergantung kepada kekuatan di luar dirinya, kepada siapa ia telah
memproyeksikan substansi hayati dirinya (Kuntowijoyo, 1987., dikutip, A.Malik Fajar,
1995 : 4).
Semua persoalan fundamental yang dihadapi oleh masyarakat modern yang
digambarkan di atas, "menjadi pemicu munculnya kesadaran epistemologis baru bahwa
persoalan kemanusian tidak cukup diselesaikan dengan cara empirik rasional, tetapi
perlu jawaban yang bersifat transendental" (A.Malik Fajar, 1995 : 4). Melihat persoalam
ini, maka ada peluang bagi pendidikan Islam yang memiliki kandungan spritual
keagamaan untuk menjawab tantangan perubahan tersebut. Fritjop Capra dalam buku
The Turning Point, yang dikutip A.Malik Padjar (1995 : 4), "mengajak untuk
meninggalkan paradigma keilmuan yang terlalu materialistik dengan
mengenyampingkan aspek spritual keagamaan. Demikianlah, agama pada akhirnya
dipandang sebagai alternatif paradigma yang dapat memberikan solusi secara
mendasar terhadap persoalan kemanusian yang sedang dihadapi oleh masyarakat
modern".
Mencermati fenomena peradaban modern yang dikemukakan di atas, harus
bersikap arif dalam merespons fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat
peradaban modern dari sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsur-
unsur posetifnya yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan
manusia. Maka, yang perlu diatur adalah produk peradaban modern jangan sampai
memperbudah manusia atau manusia menghambakan produk tersebut, tetapi manusia
harus menjadi tuan, mengatur, dan memanfaatkan produk perabadaban modern
tersebut secara maksimal.
C. Pendidikan Tradisional dan Modern
Pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan pentingnya
penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini rasio ingatanlah yang memegang
peranan penting dalam proses belajar di sekolah (Dimyati Machmud, 1979 : 3).
Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar
dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik
atas 'satu sistem terbaik'. Ciri utama pendidikan tradisional termasuk : (1) anak-anak
biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka
kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan
umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada
waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah
otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah
ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang
sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi
pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat pada
subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah
buku-buku teks (Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk, 1999 : 164-165).
Lebih lanjut menurut Vernon Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada
beberapa asumsi yang umumnya diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan
atau kesahihan. Umpamanya: 1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan
penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2). tempat terbaik bagi sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3). cara terbaik
supaya anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas
yang ditetapkan berdasarkan usia mereka (Vernon Smith, dalam, Paulo Freire, dkk,
1999 : 165).
Ciri yang dikemukan Vernon Smith ini juga dialami oleh pendidikan Islam di
Indonesia sampai dekade ini. Misalnya : Sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-
lembaga pendidikan Islam yang lain masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan
merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali
memperhatikan konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit
sekali memperhatika dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran
berorientasi atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan tradisional bukan
merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang
berkembang dan sesuai dengan zamannya, yang tentu juga memiliki kelebihan dan
kelemahan dalam memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini.
Konsep pendidikan modern (konsep baru), yaitu ; pendidikan menyentuh setiap
aspek kehidupan peserta didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus
menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam
maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat
peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar
(Dimyati Machmud, 1979 : 3). Pendidikan pada masyarakat modern atau masyarakat
yang tengah bergerak ke arah modern (modernizing), seperti masyarakat Indonesia,
pada dasarnya berfungsi memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan sosial
kulturalnya yang terus berubah dengan cepat.
Shipman (1972 : 33-35) yang dikutip Azyumardi Azra bahwa, fungsi pokok
pendidikan dalam masyarakat modern yang tengah membangun terdiri dari tiga bagian :
(1) sosialisasi, (2) pembelajaran (schooling), dan (3) pendidikan (education). Pertama,
sebagai lembaga sosialisasi, pendidikan adalah wahana bagi integrasi anak didik ke
dalam nilai-nilai kelompok atau nasional yang dominan. Kedua, pembelajaran
(schooling) mempersiapkan mereka untuk mencapai dan menduduki posisi sosial-
ekonomi tertentu dan, karena itu, pembelajaran harus dapat membekalai peserta didik
dengan kualifikasi-kualifikasi pekerjaan dan profesi yang akan membuat mereka mampu
memainkan peran sosial-ekonomis dalam masyarakat. Ketiga, pendidikan merupakan
"education" untuk menciptakan kelompok elit yang pada gilirannya akan memberikan
sumbangan besar bagi kelanjutan program pembangunan" (Azyumardi Azra, dalam
Marwan Saridjo, 1996: 3)
D. Pendidikan Islami yang Bagaimana?
Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat baik sosial maupun
kultural, secara makro persoalan yang dihadapi pendidikan Islam adalah bagaimana
pendidikan Islam mampu menghadirkan disain atau konstruksi wacana pendidikan Islam
yang relevan dengan perubahan masyarakat. Kemudian disain wacana pendidikan
Islam tersebut dapat dan mampu ditranspormasikan atau diproses secara sistematis
dalam masyarakat. Persoalan pertama ini lebih bersifat filosofis, yang kedua lebih
bersifat metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana
pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau
mengkomunikasikannya.
Dalam menghadapi peradaban modern, yang perlu diselesaikan adalah
persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yaitu (1) persoalan dikotomik, (2)
tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, (3) persoalan kurikulum atau materi. Ketiga
persoalan ini saling interdependensi antara satu dengan lainnya. Pertama, Persolan dikotomik pendidikan Islam, yang merupakan persoalan
lama yang belum terselesaikan sampai sekarang. Pendidikan Islam harus menuju pada
integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah
antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Karena, dalam pandangan seorang Muslim,
ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT (Suroyo, 1991 : 45).
Mengenai persoalam dikotomi, tawaran Fazlur Rahman, salah satu pendekatannya
adalah dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang
secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni
mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Lebih lanjut Fazlur
Rahman, mengatakan persoalannya adalah bagaimana melakukan modernisasi
pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang
kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersama-sama dengan keterkaiatan yang
serius kepada Islam (Fazlur Rahman, 1982 : 155, 160). A.Syafi'i Ma'arif (1991 : 150),
mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka
panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari
tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan
lebur secara integratif dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi negeri lainnya.
Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan
filosofis.
Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga
pendidikan Islam (Anwar Jasin, 1985 : 15) yang ada. Memang diakui bahwa
penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya
lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga
tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta
keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan
peniruan dengan pola tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri
bahwa apa yang bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga
dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban
kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan terjadi tumpang tindih. Sebenarnya
lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi, apakah
mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan
lembaga-lembaga pendidikan yang lain, atau mengkhususkan pada disain pendidikan
keagamaan yang berkualitas, mampu bersaing, dan mampu mempersiapkan mujtahid-
mujtahid yang berkualitas.
Ketiga, persoalan kurikulum atau materi Pendidikan Islam, meteri pendidikan
Islam "terlalu dominasi masalah-maslah yang bersifat normatif, ritual dan eskatologis.
Materi disampaikan dengan semangat ortodoksi kegamaan, suatu cara dimana peserta
didik dipaksa tunduk pada suatu "meta narasi" yang ada, tanpa diberi peluang untuk
melakukan telaah secara kritis. Pendidikan Islam tidak fungsional dalam kehidupan
sehari-hari, kecuali hanya sedikit aktivitas verbal dan formal untuk menghabiskan materi
atau kurikulum yang telah diprogramkan dengan batas waktu yang telah ditentukan
(A.Malik Fajar, 1995 : 5).
Mencermati persoalan yang dikemukakan di atas, maka perlu menyelesaikan
persoalan internal yang dihadapi pendidikan Islam secara mendasar dan tuntas. Sebab
pendidikan sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup
kompleks, yakni bagaimana pendidikan mampu mempersiapkan manusia yang
berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat yang begitu
cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi
mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompettif dan proaktif dalam dunia
masyarakat modern. Pertanyaannya, disain pendidikan Islami yang bagaimana? yang mampu menjawab tantangan perubahan ini, antara lain: Pertama, lembaga-lembaga
pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah
(1) model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja untuk
mempersiapkan dan melahirkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid tangguh dalam
bidangnya dan mampu menjawab persoalan-persoalan aktual atau kontemporer sesuai
dengan perubahan zaman, (2) model pendidikan umum Islami, kurikulumnya integratif
antara materi-materi pendidikan umum dan agama, untuk mempersiapkan intelektual
Islam yang berfikir secara komprehensif, (3) model pendidikan sekuler modern dan
mengisinya dengan konsep-konsep Islam, (4) atau menolak produk pendidikan barat,
berarti harus mendisain model pendidikan yang betul-betul sesuai dengan konsep dasar
Islam dan sesuai dengan lingkungan sosial-budaya Indonesia, (5) pendidikan agama
tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah, artinya
pendidikan agama dilaksanakan di rumah atau lingkungan keluarga dan lingkungan
masyarakat berupa kursur-kursus, dan sebagainya. Kedua disain "pendidikan harus
diarahkan pada dua dimensi, yakni : (1) dimensi dialektika (horisontal), pendidikan
hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam
hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu
mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan
(2) dimensi ketunduhan vertikal, pendidikan selain menjadi alat untuk memantapkan,
memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahamai fenomena dan
misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berati pendidikan harus disertai
dengan pendekatan hati (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2). Ketiga, sepuluh paradigma yang
ditawarkan oleh Prof. Djohar, dapat digunakan untuk membangun paradiga baru
pendidikan Islam, sebagai berikut : Satu, pendidikan adalah proses pembebasan. Dua,
pendidikan sebagai proses pencerdasan. Tiga, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak
anak. Empat, pendidikan menghasilkan tindakan perdamaian. Lima, pendidikan adalah
proses pemberdayaan potensi manusia. Enam, pendidikan menjadikan anak
berwawasan integratif. Tujuh, pendidikan wahana membangun watak persatuan.
Delapan, pendidikan menghasilkan manusia demokratik. Sembilan, pendidikan
menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan. Sepuluh, sekolah bukan satu-
satunya instrumen pendidikan (Djohar, 1999 : 12).
Tiga hal yang dikemukakan di atas merupakan tawaran desain pendidikan
Islam yang perlu diupayakan untuk membangun paradigma pendidikan Islam dalam
menghadapi perkembangan perubahan zaman modern dan memasuki era milenium
ketiga. Karena, "kecenderungan perkembangan semacam dalam mengantisipasi
perubahan zaman merupakan hal yang wajar-wajar saja. Sebab kondisi masyarakat
sekarang ini lebih bersifat praktis-pragmatis dalam hal aspirasi dan harapan terhadap
pendidikan" (S.R.Parker, 1990), sehingga tidak statis atau hanya berjalan di tempat
dalam menatap persoalan-persoalan yang dihadapi pada era masyarakat modern dan
post masyarakat modern. Untuk itu, Pendidikan dalam masyarakat modern, pada
dasarnya berfungsi untuk memberikan kaitan antara anak didik dengan lingkungan
sosiokulturalnya yang terus berubah dengan cepat, dan pada saat yang sama,
pendidikan secara sadar juga digunakan sebagai instrumen untuk perubahan dalam
sistem politik, ekonomi secara keseluruhan. Pendidikan sekarang ini seperti dikatakan
oleh Ace Suryadi dan H.A.R. Tilar (1993), tidak lagi dipandang sebagai bentuk
perubahan kebutuhan yang bersifat konsumtif dalam pengertian pemuasan secara
langsung atas kebutuhan dan keinginan yang bersifat sementara. Tapi, merupakan
suatu bentuk investasi sumber daya manusia (human investment) yang merupakan
tujuan utama ; pertama, pendidikan dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan
pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatkan penghasilan
kerja lulusan pendidikan di masa mendatang. Kedua, pendidikan diharapkan memberikan pengaruh terhadap pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan
(equality of education opportunity) (A.Malik Fadjar, 1995 : 1).
Selain itu dalam menghadapi era milenium ketiga ini nampaknya pendidikan
Islam harus menyiapkan sumber daya manusia yang lebih handal yang memiliki
kompotensi untuk hidup bersama dalam era global. Menurut Djamaluddin Ancok (1998 :
5), "salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam melihat apakah
kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan (predictability). Pada
milenium kedua orang selalu berpikir bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa
diprediksi. Tetapi, pada milenium ketiga semakin sulit untuk melihat adanya stabilitas
tersebut. Apa yang terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan
menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi bersifat linier". Maka, pendidikan Islam sekarang
ini disainnya tidak lagi bersifat linier tetapi harus didisan bersifat lateral dalam
menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan tidak terpolakan. Untuk itu, lebih
lanjut Djamaluddin Ancok yang mengutip Hartanto : 1997: Hartanto, Raka &
Hendroyuwono, 1998, mengatakan bahwa pendidikan (termasuk pendidikan Islam)
harus mempersiapkan ada empat kapital yang diperlukan untuk memasuki milenium
ketiga, yakni kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spritual.
Tantangan ini tidak muda untuk penyelesaiannya, tidak seperti membalik telapak
tangan. Untuk itu, pendidikan Islam sangat perlu mengadakan perubahan atau
mendesain ulang konsep, kurikulum dan materi, fungsi dan tujuan lembaga-lembaga,
proses, agar dapat meneuhi tuntatan perubahan yang semakin cepat.
E. Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa : (1) Dalam menghadapi
perubahan masyarakat modern, secara internal pendidikan Islam harus menyelesaikan
persoalan dikotomi, tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, dan persolalan
kurikulum atau materi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan. (2) Lembaga-
lembaga pendidikan Islam perlu mendisain ulang fungsi pendidikan, dengan memilih
model pendidikan yang relevan dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.
(3) Pendidikan Islam didisain untuk dapat membantu meningkatkan ketrampilan dan
pengetahuan untuk bekerja lebih produktif sehingga dapat meningkatan kerja lulusan
pendidikan di masa datang. Selain itu perlu disain pendidikan Islam yang tidak hanya
bersifat linier saja, tetapi harus bersifat lateral dalam menghadapi perubahan zaman
yang begitu cepat. (4) Pendidikan Islam harus mengembangkan kualitas pendidikannya
agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang selalu berubah-berubah.
Lembaga-lembaga pendidikan Islami harus dapat menyiapkan sumber insani yang lebih
handal dan memiliki kompotensi untuk hidup bersama dalam ikatan masyarakat modern.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalabih fi Baiti wa
Madrasati wal Mujtama', Dar al-Fikr al-Mu'asyr, Beirut-Libanon., Terj.
Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat, Gema
Insani Press, Jakarta, 1995.
Ahmad Syafi'i Ma'arif, Pemikiran tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam
Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana,
Yogyakarta, 1991.
-------- Pengembangan Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui
Paradigma Baru yang Lebih Efektif, Makalah Seminar, 1997. A.Malik Fadjar, Menyiasati Kebutuhan Masyarakat Modern Terhadap Pendidikan
Agama Luar Sekolah, Seminar dan Lokakarya Pengembangan
Pendidikan Islam Menyongsong Abad 21, IAIN, Cirebon, tanggal, 31
Agustus s/d 1 September 1995.
Anwar Jasin, Keranka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan
Filosofis, 1985.
Azyumardi Azra, dalam Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama
Islam, Amissco, Jakarta, 1996.
Comference Book, London, 1978.
Djamaluddin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia dalam Milenium Ke Tiga,
Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Nomor : 6 Tahun
III, UII, 1998.
Djohar, Omong Kosong, Tanpa Mengubah UU No. 2/89, Koran Harian "Kedaulatan Rakyat",
Tangga, 4 Mei 199.
Erich Fromm, The Revolution of Hope : Toward a Humanized Technology, New
York : Harper & Raw, 1968, p. 5.,dalam Syafi'i Ma'arif, Pengembangan
Pendidikan Tinggi Post Graduate Studi Islam Melalui Paradigma Baru
Yang Lebih Efektif, 1997.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual Tradition,
The University of Chicago, Chicagi, 1982., terj. Ahsin Mohammad,
Pustaka, 1985.
H.A.R. Tilar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif
Abad 21, Tera Indonesia, Magelang, Cet. I, 1998.
S.R. Parker, et.al, Sosiologi Industri, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Soroyo, Antisipasi Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial Menjangkau Tahun
2000, dalam Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta,
Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogya, 1991.
Syed Sajjad Husaian dan Syed Ali Ashraf, Crisis Muslim Educatio"., Terj.
Rahmani Astuti, Krisis Pendidikan Islam, Risalah, Bandung, 1986.
Roehan Achwan, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam Versi Mursi, Jurnal Pendidikan
Islam, Volume 1, IAIN Sunan Kalija, Yogyakarta, 1991.
M.Dimyati Machmud, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta, BPFE, 1990.
M.Irsyad Sudiro, Pendidikan Agama dalam Masyarakat Modern, Seminar dan
Lokakarya Nasional Revitalisasi Pendidikan Agama Luar Sekolah dalam
Masyarakat Modern, Cirebon, tanggal, 30-31 Agusrus 1995.
M.Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia, dalam
Buku : Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, editor, Muslih
Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, Cet.1, 1991.
Paulo Freire,dkk., Menggugat Pendidikan Fundamental Konservatif Liberal
Anarkis, Terj., Omi Intan Naomi, Pustaka Pelajar, 1999.
sumber : Hujair AH. Sanaky
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah