BUATLAH APA YANG BELUM DIFIKIRKAN ORANG LAIN,BERHENTI TIADA TEMPAT BAGIMU, LAMBAT BER ARTI MATI, KARENA ENGKAU AKAN TER INJAK INJAK OLEH MASA
ASSALAMU ALAIKUM
Sabtu, 11 Mei 2013
KOMPETENSI GURU DIANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
IFTITAH
Pahlawan tanpa tanda jasa! Itulah salah satu judul lagu yang dialamatkan kepada “guru”. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidak seorangpun anak manusia yang hidup tanpa bimbingan guru. Sebagai salah satu subsistem dalam pendidikan nasional, guru memiliki peran kunci dalam sistem pendidikan kita. Masa depan bangsa, salah satunya sangat ditentukan oleh guru. Tidaklah heran, dulu, ketika Hiroshima hancur lebur dibombardir Amerika Serikat, hanya satu pertanyaan yang keluar dari mulut Kaisar Jepang, “Berapa banyak guru yang masih hidup?”. Luar biasa, betapa saat itu, Sang Kaisar memikirkan nasib bangsa dengan menggantungkannya pada peran guru. Berat betul tanggung jawab seorang guru, sesuai dengan makna sebenarnya bahwa guru dalam bahasa Sanskerta mengandung arti, “BERAT”.
Pertanyaan besar kita terkait dengan judul tulisan ini adalah: 1) Apakah masyarakat saat ini sebagai produk pendidikan telah menunjukkan masyarakat ideal yang seharusnya seperti apa yang diharapkan? 2) masyarakat/generasi bangsa seperti apakah yang harus dihasilkan oleh guru melalui proses pendidikan? 3) Jika belum mencapai kondisi masyarakat ideal, faktor-faktor apa sajakah dari sisi guru (tenaga pendidik) sebagai salah satu komponen penting (sub system pendidikan nasional) yang menyebabkan hal tersebut terjadi? 4) Sebagai pembentuk masyarakat ideal, seperti apakah kompetensi seorang guru itu seharusnya? 5) Apa sajakah rekomendasi tim penulis untuk mencapai tujuan ideal pendidikan nasional dari sisi guru, khususnya peningkatan professional guru? Sebagaimana layaknya Pancasila, lima pertanyaan inilah yang penulis ingin coba jawab melalui tulisan yang sederhana ini.
Mengawali pembahasan tulisan ini, marilah kita tengok fakta yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Sejak tahun 1990an sampai saat ini kita dirisaukan oleh maraknya “Tawuran Pelajar”, “Tawuran Mahasiswa”, bahkan “Tawuran DPR” terjadi di masa era reformasi ini. Kasus korupsi, kolusi, nepotisme mulai dari kelas kakap sampai
kelas teri paad berbagai sector baik pemerintahan maupun swasta. Deputi Bidang Investigasi BPKP menyatakan bahwa antara tahun 2008 - 2010 terdapat 487 kasus dugaan korupsi yang merugikan negara sebesar RP. 939,04 milliar. Dari sekian kasus, baru 19,5% atau 95 kasus yang ditangani.1 Data ini menggambarkan bahwa pendidikan belum menghasilkan manusia yang cerdas dan berakhlak mulia seperti diamantkan dalam tujuan pendidikan nasional. “Learning to be” dan “learning to live together” sebagai 2 dari 4 pilar pendidikan menurut UNESCO belum terbentuk.
Di sisi lain, jumlah tenaga penangguran masih tetap tinggi dari tahun ketahun masih tinggi. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyatakan bahwa pada tahun 2010 jumlah pengangguran Indonesia mencapai 8.32 juta orang2 menurun dibandingkan dengan tahun 2008 sebanyak 9.43 juta orang.3 Tidaklah heran kalau indeks pembangunan manusia yang mengukur empat aspek, termasuk tingkat literasi dan pendidikan, menempatkan posisi Indonesia pada posisi 109 dari 117 negara4. Artinya, tingkat pendidikan dan tingkat produktifitas manusia Indonesia masih rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan belum dapat menghasilkan masyarakat terampil
dan terdidik sehingga dapat bersaing di era global saat ini. Lantas, seperti apakah wujud masyarakat ideal yang harus dibangun melalui pendidikan? Bab 4, buku berjudul Learning: the Treasure Within karya Jacques Delors, dkk menjelaskan empat pilar pendidikan yang meliputi kemampuan learning to know/learn, learning to do, learning to be, learning to live together5 yang merupakan kemampuan yang saling terkait satu sama lain. Learning to know, adalah fungsi pendidikan dalam membangun siswa mailiki kemampuan berkonsentrasi, mencari tahu dan berpikir sehingga fungsi pendidikan adalah membekali kemampuan siswa untuk belajar bagaimana belajar (learning how to learn). Learning to do adalah fungsi pendidikan untuk membangun keterampilan bekerja
dimasa mendatang. Terkait dengan era informasi saat ini, maka learning to do bukan hanya sekedar membekali kemampuan mengerjakan pekerjaan khusus seperti pada era industri, tapi lebih jauh juga membekali keterampilan berinovasi. Learning to be adalah fungsi pendidikan untuk mengembangkan manusia sebagai manusia utuh yang meliputi jiwa dan raga (main and body), intelektual, kepekaan, spiritual, apresiasi estetik, dan lain-lain. Pilar ini juga adalah sebagai wujud kekhawatiran akan terjadinya dehumanisasi.
Learning to live together adalah fungsi pendidikan untuk membangun kemampuan untuk hidup berdampingan secara harmonis, menyadari kesamaan hak dan kewajiban, menyadari keniscayaan akan suatu perbedaan dan saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Semua itu harus terwujudl dalam proses pendidikan, dimana guru harus memiliki komptenesi dalam meramu proses pembelajaran yang dapat membangun empat pilar seperti tersebut di atas. Jika kita intip Amerika Serikat, maka kondisi ideal fungsi pendidikan dalam membangun masyarakat abad 21 tercermin dalam hasil rekomendasi team Partnership for 21 Century Skills seperti digambarkan sebagai berikut:6
Untuk membangun masyarakat berpengetahuan (knowledge-base society) di abad 21 ini maka ada tiga besaran keterampilan yang harus dibangun melalui pendidikan, yaitu keterampilan hidup dan berkarir, keterampilan belajar dan berinovasi (berpikir kritis,berkomunikasi efektif, bekerja kolaboratif dan kreatif) danketerampilan atau melek informasi, melek media, dan melek teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Semua keterampilan tersebut dibangun dengan mengintegrasikannya kedalam sekelompok mata pelajaran inti yaitu, Bahasa Inggris, Bahasa-6 bahasa dunia lain, Seni, Matematika, Ekonomi, IPA, Geografi, Sejarah dan Kewarganegaraan. Untuk mewujudkan itu didukung pula oleh empat fondasi bertingkat yaitu lingkungan belajar,
pengembangan profesi, kurikulum dan proses pembelajaran, dan standar serta asesmen.
Merujuk pada kondisi ideal manusia yang harus dibangun melalui proses pendidikan seperti tersebut di atas, maka peran guru sangatlah penting. Paradigma pendidikan lama yang cenderung berpusat pada guru, segera harus ditinggalkan menuju paradigm
baru yang lebih berpusat pada siswa, dimana guru lebih berperan sebagai fasilitator, manajer, pembimbing sekaligus teman, dengan tujuan tersembunyi “hidden agenda/curriculum” mengembangkan kemampuan seperti tertuang dalam empat pilar pendidikan menurut UNESCO maupun Partnership for 21 Century Skills.
Dalam era globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan sumber bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat. Dalam kondisi demikian, tuntutan terhadap kualitas menusia terdidik, baik kemampuan intelektual, kemampuan vokasional dan rasa tanggung jawab kemasyarakatakan, kemanusiaan dan kebangsaan juga meningkat sesuai dengan perkembangan masyarakat. Heterogenitas peserta didik dalam berbagai dimensi (intelektual, kultural, dan ekonomi); terus berkembangnya ilmu pengetahauan dan teknologi sebagai objek belajar; terus berubahnya masyarakat dengan tuntutannya, merupakan faktor yang menjadikan guru harus memiliki dan profesional. Karena itu peranan guru tidak lagi hanya memberikan pelajaran dengan ceramah atau mendikte tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan, bakat, dan minat peserta didik. Guru juga tidak dapat lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan zaman. Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik dapat menjawab pertanyaan yang 7sifatnya hafalan. Guru dalam era globalisasi harus mampu merancang dan memilih bahan pelajaran serta strategi pembelajaran yang sesuai dengan anak dengan latar belakang yang berbeda; serta mengelola proses pembelajaran secara taktis dan menyenangkan, mampu memilih media belajar, dan merancang program evaluasi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan kompetensi.7 Sebagai kesimpulan, adalah fakta bahwa kondisi masyarakat saat ini mencerminkan fungsi pendidikan belum mampu membangun manusia Indonesia seperti yang diamanatkan UUD 1945 dan tujuan pendidikan yang tertuang dalam system pendidikan nasional. Pertanyaan selanjutnya adalah, “Mengapa hal tersebut terjadi?” Tentu saja banyak variable yang menyebabkan hal ini terjadi, mulai dari system pembiayaan pendidikan, sarana dan prasarana, proses pendidikan, dan salah satunya adalah variabel tenaga pendidik dan
kependidikan, lebih khusus lagi disebabkan karena salah satunya adalah oleh lemahnya kompetensi guru yang profesional.
KOMPETENSI GURU
Bahasan kita selanjutnya adalah menjawab: “seperti apakah kompetensi guru seharusnya?” Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2008 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan yuridis tentang Kompetensi dan Sertifikasi pasal (2) berbunyi: “Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sedangkan pasal (3) disebutkan bahwa: Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam pasal (2) merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dikuasai, dan diaktualisasikan oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.
Kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Berdasarkan diktum ayat tersebut di atas, secara jelas dapat diketahui bahwa terdapat empat kompetensi yang harus melekat pada guru. Kompetensi tersebut menjadi tolok ukur kemampuan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya sebagai guru. Adapun kompetensi tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Kompetensi pedagogik
Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi:
1) Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan
2) Pemahaman terhadap peserta didik
3) Pengembangan kurikulum atau silabus
4) Perancangan pembelajaran
5) Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis
6) Pemanfaatan teknologi pembelajaran
7) Evaluasi hasil belajar
8) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Komptensi sebagaimana tersebut di atas menurut Soedijarto, hendaknya dimiliki oleh guru sebelum menjadi guru professional dengan kompetensi sebagai berikut: (1) guru memiliki kemampuan merencanakan program pembelajaran, (2) melaksanakan program pembelajaran, (3) mendiagnosis berbagai hambatan dan masalah yang dihadapi peserta didik, (4) menyempurnakan program pembelajaran berdasarkan umpan balik yang telah dikumpulkan secara sistematik.8
b. Kompetensi Kepribadian
Sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sekurangkurangnya mencakup kepribadian yang; (1) Beriman dan bertaqwa, (2) Berakhlak mulia, (3) Arif dan bijaksana, (4) demokratis; (5) Mantap, (6) Berwibawa, (7) Stabil, (8) Dewasa, (9) Jujur, (10) Sportif, (11) Menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, (12) Secara objektif mengevaluasi kinerja sendiri, (13) Mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
c. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial ini merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat. Kompetensi ini sekurang-kurangnyameliputi:
1) Berkomunikasi lisan, tulis, dan/atau isyarat secara santun; 2) Menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional;10 3) Bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama peserta didik, tenaga kependidikan, pimpinan satuan pendidikan,
orang tua atau wali peserta didik; 4) Bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar dengan mengindahkan norma serta sistem nilai yang berlaku; dan 5) Menerapkan prinsip persaudaraan sejati dan semangat kebersamaan.
d. Kompetensi Profesional
Kompetensi Profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan budaya yang diampunya sekurang-kurangnya meliputi:
1) Materi pelajaran secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu; 2) Konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi, atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran dan/atau kelompok mata pelajaran yang akan diampu.9 Cony R. Semiawan mengemukakan bahwa kompetensi guru memiliki tiga kriteria yang terdiri dari:
1) Knowledge kriteria, yakni kemampuan intelektual yang dimiliki seorang guru yang meliputi penguasaan materi pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkahlaku individu, pengetahuan tentang bimbingan dan penyuluhan, pengetahuan tentang kemasyarakatan, dan pengetahuan
umum. 2) Performance criteria, adalah kemampuan guru yang berkaitan dengan pelbagai keterampilan dan perilaku, yang meliputi keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul dan berkomunikasi dengan siswa dan keterampilan menyusun persiapan mengajar atau perencanaan mengajar. 3) Product criteria, yakni kemampuan guru dalam mengukur kemampuan dan kemajuan siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar.10 Dengan demikian jelas bahwa guru merupakan sebuah profesi, yang hanya dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien oleh seseorang yang dipersiapkan untuk menguasai kompetensi guru melalui pendidikan dan/atau pelatihan khusus.
Selanjutnya profesi guru merupakan bidang pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip khusus. Di dalam Undang- Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa prinsip-prinsip profesi guru adalah sebagai berikut: 1) Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealism 2) Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia 3) Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas 4) Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas 5) Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan 6) Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; 7) Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; 8) Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan 9) Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.11
TANGGUNG JAWAB GURU
Semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Keyakinan ini muncul karena manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembangannya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir, bahkan pada saat meninggal. Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal.
Minat, bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu perlu memperhatikan peserta didik secara individual, karena antara satu peserta didik dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Mungkin di antara kita masih ingat, ketika duduk di kelas I SD, gurulah yang pertama kali membantu memegang pensil untuk menulis, ia memegang satu demi satu tangan peserta didik dan membantunya untuk dapat memegang pensil dengan benar. Guru pula yang memberi dorongan agar peserta didik berani berbuat benar, dan membiasakan mereka untuk bertanggungjawab terhadap setiap perbuatannya. Guru juga bertindak bagai pembantu ketika ada peserta didik yang buang air kecil, atau muntah di kelas, bahkan ketika ada yang buang besar di celana.
Gurulah yang menggendong peserta didik ketika ketika jatuh atau berkelahi dengan temannya, menjadi perawat dan lain-lain yang sangat menuntut kesabaran, kreatifitas dan profesionalisme. Memahami uraian di atas, betapa besar jasa guru dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan para peserta didik. Mereka memiliki peran dan fungsi yang sangat penting membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia (SDM), serta mensejahterahkan, masyarakat, kemajuan negara, dan bangsa. Guru juga harus berpacu dalam pembelajaran, dengan
memberikan kemudahan bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini guru harus kreatif, profesional dan menyenangkan, dengan memposisikan diri sebagai berikut:
•Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didik
•Teman, tempat mengaduh, dan mengutarakan perasaan bagi peserta didik.
•Fasilitator yang selalu siap memberika kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai dengan minat, kemampuan dan bakatnya.
•Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.
•Memupuk ras pecaya diri, berani dan bertanggungjawab.
•Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan (bersilaturahmi) dengan orang lain secara wajar.
•Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya.
•Mengembangkan kreatifitas.
•Menjadi pembantu ketika diperlukan. Untuk memenuhi tuntutan di atas, guru harus mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik. Untuk kepentingan tersebut, dengan memperhatikan kajian Pullias dan Young (1988), Manan (1990), serta Yelon dan Weinstein (1997), dapat diidentifikasikan sedikitnya 19 tugas dan tanggungjwab guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu (inovator), model dan teladan, peneliti, pendorong kreatifitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa cerita, aktor, emansipator, evaluator, pengawet dan sebagai kulminator.12
a. Guru Sebagai Pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan disiplin. Berkaitan dengan tanggungjawab; guru harus mengetahui serta memahami nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggungjawab terhadap segala tindakannya dalam pembelajarannya di sekolah, dan dalan kehiduapan masyarakat. Berkenaan dengan wibawa; guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spritual, emosional, moral, sosial dan intelektual dalam peribadinya, serta memiliki kelebihan dalam pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan.
Guru juga harus mampu mengambil keputusan secara mandiri, terutama dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pembelajaran dan pembentrukan kompetensi, serta berytindak sesuai dengan kondisi peserta didik, dan lingkungan. Sedangkan disiplin dimaksudkan bahwa guru harus mematuhi berbagai peraturan dan berbagai tata tertib secara konsisten, atas kesadaran profesional, karena mereka bertugas untuk mendisiplinkan para peserta didik di sekolah. Oleh karena itu dalam menanamkan disiplin guru harus memulai dari dirinya sindiri, dalam berbagai tindakan dan perilakunya.
b. Guru Sebagai Pengajar
Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti motivasi, kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa aman, dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Sehubungan dengan itu, sebagai orang yang bertugas menjelaskan sesuatu, guru harus berusaha membuat sesuatu menjadi jelas bagi peserta didik, dan berusaha lebih terampil dalam memecahkan masalah. Untuk itu terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan guru dalam pembelajaran, sebagai berikut:
•Membuat ilustrasi.
•Mendefinisikan.
•Menganalisis.
•Mensintesis.
•Bertanya.
•Merespon.
•Mendengarkan.
•Menciptakan kepercayaan.
•Memberikan pandangan yang bervariasi.
•Menyediakan media untuk mengkaji materi standar.
•Menyesuaikan metode pembelajaran.
•Memberikan nada perasaan.
c. Guru Sebagai Pembimbing
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, spritual yang dalam dan kompleks. Sebagai pembimbing guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan jalan yang harus ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan, serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Istilah perjalan merupakan suatu proses belajar, baik dalam kelas maupun di luar kelas yang mencakup seluruh kehidupan. Analogi dari perjalanan itu sendiri merupakan pengembangan dari setiap
aspek yang terlubat dalam proses pembelajaran. Setiap perjalan tentu mempunyai tujuan. Keinginan, kebutuhan dan bahkan naluri manusia menuntut adanya suatu tujuan. Suatu rencana dibuat, perjalanan dilaksanakan dari waktu ke waktu terdapatlah saat berhenti untuk melihat ke belakang serta mengukur sifat, arti dan efektifitas perjalanan sampai tempat berhenti tadi. Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan empat hal sebagai berikut:
Pertama; guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak dicapai. Tugas guru adalah menetapkan apa yang telah dimiliki oleh peserta didik sehubungan dengan latar belakang dan kemampuannya, serta kompetensi apa yang mereka perlukan untuk dipelajari dalam mencapai tujuan. Untuk merumuskan tujuan guru perlu melihat dan memahami seluruh aspek perjalanan. Sebagai contoh, kualitas hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan membaca dan menyatakan pikiranpikirannya secara jelas.
Kedua; guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran dan yang paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis. Dengan kata lain, peserta didik harus dibimbing untuk mendapatkan pengalaman, dan membentuk kompetensi yang akan mengantar mereka mencapai tujuan.
Ketiga; guru harus memaknai kegitan belajar. Hal ini mungkin tugas yang paling sukar tetapi penting, karena guru harus memberikan kehidupan dan arti terhadap kegiatan belajar. Bisa jadi pembelajaran direncanakan dengan baik, dilaksanakan secara tuntas dan rinci, tetapi kurang relevan, kurang hidup, kurang bermakna, kurang menantang rasa ingin tahu, dan kurang imajinatif. Guru harus melakukan penilaian. Dalam hal ini diharapkan guru dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Bagaimana keadaan peserta didik dalam pembelajaran? Bagaimana peserta didik membentuk kompetensi? Bagaimana peserta didik mencapai tujuan? Jika berhasil mengapa dan jika tidak berhasil mengapa? Apa yang bisa dilakukan di masa mendatang agar pembelajaran
menjadi sebuah perjalanan yang lebih baik? Apakah peserta didik dilibatkan dalam menilai kemajuan dan keberhasilan sehingga mereka dapat mengarahkan dirinya (self directing)?. Seluruh aspek pertanyaan tersebut merupakan kegiatan penilaian yang harus dilakukan guru terhadap kegiatan pembelajaran, yang hasilnya sangat bermanfaat terutama untuk memperbaiki kualitas pembelajaran.
d. Guru Sebagai Pelatih
Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Karena tanpa latihan seorang peserta didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar, dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar. Oleh karena itu, guru harus berperan sebagai pelatih, yang betugas melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar, sesuai dengan porsi masing-masing. Pelatihan yang dilakukan, disamping harus memperhatikan kompetensi dasar dan materi standar, juga harus mampu memperhatikan perbedaan individual peserta didik, dan lingkungannya. Untuk itu guru harus banyak tahu, meskipun tidak mencakup semua hal, dan tidak setiap hal secara sempurna, karena hal itu tidaklah mungkin.
e. Guru Sebagai Penasehat
Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik, bahkan sebagai bagi orang tua. Menjadi guru pada tingkat manapun berarti menjadi penasehat dan menjadi orang kepercayaan, kegiatan pembelajaranpun meletakkannya pada posisi tersebut. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan untuk membuat keputusan, dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat menyadari perannya sebagai orang kepercayaan, dan penasehat secara lebih mendalam, ia harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental. Pendekatan psikologi dan mental akan banyak menolong guru dalam menjalankan fungsinya sebagai penasehat .
f. Guru Sebagai Model
Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Sebagai teladan, tentu saja pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang disekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Sehubungan dengan itu, beberapa hal di bawah ini perlu mendapat perhatian yaitu: (1) Sikap dasar; yaitu postur psikologisyang akan nampak dalam masalah-masalah penting seperti: keberhasilan, kegagalan, pembelajaran, kebenaran, hubungan antar manusia, agama, pekerjaan, permainan dll, (2) Berbicara dan gaya bicara; penggunaan bahasa sebagai alat berpikir, (3) Kebiasaan bekerja, (4) Sikap melalui pengalaman dan kesalahan, (5) Pakaian, (6) Hubungan kemanusiaan, (7) Proses berpikir, (8) Perilaku neurotis, (9) Selera, (10), Keputusan, (11) Kesehatan, dan (12) Gaya hidup secara umum. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, secara teoretis, menjadi teladan merupakan bagian integral dari seorang guru, sehingga menjadi guru berarti menerima tanggung jawab untuk menjadi teladan. Memang setiap profesi mempunyai tuntutan-tuntutan khusus, dan karenanya bila menolak berarti menolak profesi itu.
g. Guru Sebagai Pribadi
Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik.
Tuntutan akan kepribadian sebagai pendidik kadang-kadang dirasakan lebih berat dibandingkan profesi lainnya. Ungkapan yang sering dikemukakan adalah bahwa “guru bisa digugu dan ditiru”. Digugu maksunya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bias dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Ujian berat bagi guru dalam hal kepribadian ini adalah ransangan yang memancing emosinya. Kestabilan emosi amat diperlukan, namun tidak semua orang mampu menahan emosi terhadap ransangan yang menyinggung perasaan, dan memang diakui bahwa tiap orang mempunyai temperamen yang berbeda dengan orang lain. Guru yang mudah marah akan membuat peserta didik takut, dan ketakutan mengakibatkan kurangnya minat untuk mengikuti pembelajaran serta rendahnya konsentrasi, karena
ketakutan menimbulkan kekuatiran untuk dimarahi dan hal ini membelokkan konsentrasi peserta didik.
h. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas
Kreatifitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran, dan guru dituntut untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan ciri aspek dunia kehidupan disekitar kita. Kreatifitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk menciptakan sesuatu. Sebagai orang yang kreatif, guru menyadari bahwa kreatifitas merupakan yang universal dan oleh karenanya semua kegiatannya ditopang, dibimbing dan dibangkitkan oleh kesadaran itu. Kreatifitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih dari yang telah dikerjakan sebelumnya dan apa yang dikerjakan di masa mendatang lebih dari sekarang.
i. Guru Sebagai PeKerja Rutin
Sedikitnya terdapat 17 (tujuh belas) kegiatan rutin yang sering dikerjakan guru dalam pembelajaran di setiap tingkat, yaitu: 1) Bekerja tepat waktu baik di awal maupun akhir pembelajaran. 2) Membuat catatan dan laporan sesuai dengan standar kinerja, ketetapan dan jadwal waktu.3) Membaca, mengevaluasi dan mengembalikan hasil kerja
peserta didik. 4) Mengatur kehadiran peserta didik dengan penuh tanggung jawab. 5) Mengatur jadwal, kegiatan harian, mingguan, semesteran dan tahunan. 6) Mengembangkan peraturan dan prosdur kegiatan kelompok, termasuk diskusi. 7) Menetapkan jadwal kerja peserta didik. 8) Mengadakan pertemuan dengan orang tua dan dengan peserta didik. 9) Mengatur tempat duduk peserta didik. 10) Mencatat kehadiran peserta didik. 11) Memahami peserta didik. 12) Menyiapkan bahan-bahan pembelajaran, kepustakaan dan media pembelajaran. 13) Menhadiri pertemuan dengan guru, orang tua peserta didik dan alumni. 14) Menciptakan iklim kelas yang kondusif. 15) Melaksanakan latihan-latihan pembelajaran. 16) Merencanakan program khusus dalam pembelajaran, misalnya karya wisata. 17) Menasehati peseta didik.
j. Guru Sebagai Evaluator
Guru menjalankan fungsi sebagai evaluator, yaitu melaukan evaluasi/penilaian terhadap aktifiatas yang telah dikerjakan dalam sistem sekolah. Peran ini penting, karena guru sebagai pelaku utama dalam menentukan pilihan-pilihan serta kebijakan yang televan demi kebaikan sistem yang ada di sekolah, baik menyangkut kurikulum, pengajaran, sarana prasarana, regulasi, sasaran dan tujuan, hingga masukan dari masyarakat luas. Seorang guru harus terus menerus melakukan evaluasi baik ke dalam maupun ke luar sekolah, guna meningkatkan mutu pendidikan yang lebih baik. Evaluasi ke dalam (internal) ditujukan untuk melihat kembali tingkat keberhasilan dan kelemahan yang dihadapi sekolah, misalnya (1) visi, misi, tujuan dan sasaran, (2) kurikulum, (3) pendidik dan tenaga kependidikan, (4) dana, sarana dan prasarana, regulasi, organisasi, budaya kerja dana tau belajar. Evaluasi keluar ditujukan untuk melihat peluang dan tantangan yang dihadapi sekolah misalnya; (1) menjaga kepercayaan masyarakat, (2) memenuhi harapan para orang tua siswa, (3) memenuhi kebutuhan pemengku kepentingan, (4) desain ulang program magang untuk menghadapi persaingan, (5) memerhatikan dampak iptek dan informasi, dan (6) pengaruh dari lingkungan sosial.
TUGAS GURU
Menurut PP No. 74 tahun 2008, jabatan guru yang “murni guru” terdiri dari tiga jenis, yaitu guru kelas, guru bidang studi, dan guru mata pelajaran. Adapaun tugas masing-masingnya disajikan sebagai beikut;
a. Tugas Guru Kelas:
1) Menyusun kurikulum pembelajaran pada satuan pendidikan;
2) Menyusun silabus pembelajaran;
3) Menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran;
4) Melaksanakan kegiatan pembelajaran;
5) Menyusun alat ukur/soal sesuai mata pelajaran;
6) Menilai dan mengevaluasi proses dan hasil belajar pada
pelajaran di kelasnya;
7) Menganalisis hasil penilaian pembelajaran;
8) Melakasanakan pembelajaran/perbaikan dan pengayaan dengan memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi;
9) Melaksanakan bimbingan dan konselingdi kelas yang menjadi tanggung jawabnya;
10) Menjadi pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat sekolah dan nasional;
11) Membimbing guru pemula dalam program induksi;
12) Membimbing siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran;
13) Melaksanakan pengembangan diri;
14) Melaksanakan publikasi ilmiah;
15) Membuat karya inovatif.
b. Tugas Guru Mata Pelajaran
1) Menyususn kurikulum pembelajaran pada satuan pendidikan;
2) Menyusun silabus pemebelaran;
3) Menyususn rencana pelaksanaan pembelajaran;
4) Melaksanakan kegiatan pembelajaran;
5) Menyusun alat ukur/soal sesuai mata pelajaran;
6) Menilai dan mengevaluasi proses dan hasil belajar pada mata pelajaran yang diampuhnya;
7) Menganalisis hasil penilaian pembelajaran;
8) Melakasanakan pembelajaran/perbaikan dan pengayaan dengan memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi;
9) Menjadi pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat sekolah dan nasional;
10) Membimbing guru pemula dam program induksi;
11) Membimbing siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran;
12) Melakasanakan pengembangan diri;
13) Melakasanakan publikasi ilmiah;
14) Membuat karya inovatif.
c. Tugas Guru Bimbingan dan Konseling
1) Menyususn kurikulum bimbingan dan konseling;
2) Menyusun bimbingan dan konseling
3) Menyususn satuan layanan bimbingan dan konseling
4) Melaksanakan bimbingan dan konseling persemester;
5) Menyusun alat ukur/lembar kerja program bimbingan dan konseling
6) Mengevaluasi proses dan hasil bimbingan dan konseling
7) Menganalisis hasil bimbingan dan konseling
8) Melaksanakan pembelajaran /perbaikan tindak lanjut bimbingan dan konseling dengan memanfaatkan hasil evaluasi;
9) Menjadi pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat sekolah dan nasional;
10) Membimbing guru pemula dam program induksi;
11) Membimbing siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran;
12) Melakasanakan pengembangan diri;
13) Melakasanakan publikasi ilmiah;
14) Membuat karya inovatif.13
POSISI GURU ABAD KE 21
Hakikat pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”. (pasal 1 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003).14 Sedangkan Fungsi Pendidikan Nasional:Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003, tertulis: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang tertulis dalam pasal yang sama (pasal 3) dengan tujuan pendidikan nasional, tertulis : “... bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”15. Selanjutnya mengacu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal 31 ayat (2) menggariskan bahwa:“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional” (pasal 31 ayat (2)) dan “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia” (Pasal 32). Ini berarti bahwa dalam proses transformasi budaya, perilaku hidup sosial kemasyarakatan yang kelak akan dilakoni oleh siswa; kedudukan sekolah sangatlah strategis untuk merealisasikan
hakikat dan tujuan pendidikan nasional seperti yang dikehendaki undang-undang tersebut di atas. Tetapi sayang sejak proklamasi sistem persekolahan kita belum sepenuhnya diberi kemampuan untuk berperan sebagai pusat pembudayaan tetapi tidak lebih dari tempat untuk “mendengar, mencatat, dan menghafal”. Suatu tradisi sekolah yang dijaman penjajahan merupakan tradisinya sekolah untuk kaum pribumi, yaitu Sekolah Desa, dan bukan tradisi sekolah yang melahirkan Sukarno, Hatta, Syahrir, dan para “Founding Fathers” sebagai pemikir dan pembaharu.16 Memasuki abad ke-21 kita memiliki UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dalam pandangan Soedijarto memuat filosofi pendidikan yang memungkinkan sekolah dapat berperanan sebagai pusat pembudayaan dan mendudukkan guru untuk berperanan ikut “moulding the craracters and mind of the young generation”.17 Secara umum untuk menerjemahkan sekolah sebagai pusat pembudayaan dan membangun peradaban, maka posisi guru sangat strategis untuk memainkan peran dan tugas keprofesionalan untuk turut memodeling seluruh potensi peserta didik dari berbagai latar belakang, suku, ras, budaya dan agama peserta didik. Hal tersebut di atas oleh Soedijarto dalam materi perkuliahan dapat dijelaskan sebagai “the learning proses” yaitu:
1. Guru harus memiliki kemampuan merencanakan pembelajaran (membuat SAP, GBPP dan sebagainya).
2. Guru harus memiliki kemampuan mengembangkan pembelajaran (konten, isi, materi).
3. Guru harus memiliki kemampuan management (pengelolaan kelas).
4. Guru harus memiliki kemampuan mengevaluasi (memberikan penilaian)
5. Guru harus memiliki kemampuan mendiagnosis (membimbing, mendidik, mengarahkan, memetakan, memberikan resep terhadap kelemahan dan kelebihan para peserta didik).18 Berangkat dari the learning proses tersebut di atas, diharapkan sekolah sebagai wahana proses pembudayaan dalam proses transformasi budaya (mencerdaskan kehidupan bangsa).
REKOMENDASI
Tugas dan peran guru dalam pendidikan nasional, setelah membaca penjelasan di atas ternyata cukuplah berat. Hal ini sesuai dengan definisi “guru” dalam bahasa Sanskerta yang artinya “BERAT”. Untuk menghasilkan guru yang professional dan kompeten juga adalah tantangan yang sangat berat. Mengacu pada pendapat dan teori sebagai landasan yang telah dijelaskan di atas, dalam rangka membangun bangsa melalui pendidikan, khususnya dalam meningkatkan peran guru didalamnya, tim penulis merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Perlunya Identifikasi dan Proyeksi Kebutuhan Guru
Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Dr. Fasli Djalal menyatakan bahwa rasio guru-murid Indonesia paling ideal, secara nasional rata-rata satu orang guru melayani 18 siswa, sementara Korea Selatan rata-rata melayani 35 siswa.19 Dalam kesempatan itu pula Ia menjelaskan bahwa walau demikian penyebarannya tidak merata. Disatu wilayah kelebihan guru sementara di wilayah lain sangat kekurangan guru. Mengingat hal ini, maka perlu identifikasi kebutuhan dan proyeksi guru dengan melihat kecenderungan siswa wajib sekolah, guru pension, serta penyebaran guru. Hal ini penting karena akan menyangkut pada rekomendasi berikutnya yaitu sistem rekrutmen dan system pendidikan guru.
2. Perlunya Ikatan Dinas untuk Guru
Salah satu penyebab kurangnya guru yang berkualitas adalah karena profesi guru yang tidak menarik dan tidak memiliki status sosial dan ekonomi yang tinggi dibandingkan dengan profesi dokter, insinyur, ekonom, akuntan dan lain-lain. Bahkan, lembaga pendidikan keguruan juga tidak menjamin penempatan lulusannya menjadi guru. Oleh karena itu, Ikatan Dinas untuk Pendidikan Guru menjadi sangat penting dan perlu ditunjang oleh manajemen karir, insentif, gaji yang memadai dan jelas sehingga meningkatkan ranking status social dan ekonomi seorang guru yang tidak akan lagi dgambarkan sebagai “Oemar Bakrie dengan Sepeda Ontelnya”.
3. Perlunya Pembenahan Ulang Sistem Pendidikan Guru
Soedijarto menjelaskan panjang lebar sejarah perkembangan pendidikan guru sejak era sebelum kemerdekaan, pasca kemerdekaan, era orde baru dan era reformasi dalam salah satu tulisan berjudul “Teacher Education in Indonesia”. Dalam tulisannya dijelaskan bahwa untuk menghasilkan guru professional yang kompeten, disamping iinsentif dan pengalaman belajar yang bermakna, serta mempraktekkan proses belajar mengajar, maka diperlukan juga proses sosialisasi sikap, nilai dan kompetensi. Oleh karena itu, calon guru harus ditempatkan dalam suatu asrama (dormitory) dan memiliki sekolah sebagai tempat praktek dan belajar bagaimana siswa belajar dalam situasi proses belajar mengajar yang nyata.20 Artinya dari sisi fasilitas, institusi pendidikan guru
setidaknya harus memiliki asrama dan sekolah sebagai tempat belajar. Sedangkan dari sisi kurikulum, maka perlu ditinjau dan dirumuskan ulang tujuan institusional pendidikan guru itu sendiri, berikut dengan tujuan kurikulernya secara lebih tangible dan SMART (specific, measurable, achievable, realistic, and time framed). Karena hal ini akan berimplikasi terhadap penentuan materi apa saja yang akan dipelajari, strategi pendidikan yang akan digunakan, system penilaian serta sarana dan prasarana yang dieprlukan. Dalam perspektif Teknologi Pendidikan, hal ini adalah pekerjaan besar dan penting untuk merancang dan mengembangkan sistem pendidikan guru yang sesuai dengan kebutuhan.
KESIMPULAN
Kondisi yang terjadi dalam masyarakat saat ini, seperti tingginya korupsi, kolusi dan nepotisme, tawuran (pelajar, mahasiswa), tingginya angka penganggura, rendahnya indeks pembangunan manusia, menunjukkan masih lemahnya pendidikan dalam membangun masyarakat sesuai dengan tuntutan tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Tujuan pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusi secara utuh, bukan hanya membangun keterampilan menghapal, menuntut profesionalitas dan kompetensi guru yang sangat tinggi. Oleh karena itu, guru memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya membangun bangsa yang maju. Di sisi lain, kompetensi guru seperti tertuang dalam PP No. 74 tahun 2008 tentang Guru dan Dosen, sudah dijabarkan secara eksplisit dan ideal. Namun, hanya sebatas di atas kertas, belum terimplementasikancdengan sebagaimana seharusnya. Bahkan masih banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi seperti yang diharuskan dengan kompetensi yang masih dipertanyakan karena berbagai sebab. Sebagai solusi direkomendasikan tiga hal dalam rangka memajukan pendidikan nasional melalui peningkatan kompetensi guru, yaitu 1) perlunya identifikasi dan proyeksi kebutuhan guru untuk pemerataan guru baik dari sisi jumlah maupun kualitas; 2) perlunya pendidikan guru sebagai Ikatan Dinas untuk menjamin bahwa profesi guru penting dan guru mencapai status social dan ekonomi yang setara atau bahkan lebih dengan profesi lain; dan 3) pembenahan ulang sistem pendidikan guru khususnya dari sisi fasilitas dan kurikulum dalam arti luas.
Reverence
1 Antara News.Com , “BPKP Temukan 487 Dugaan Korupsi Anggaran Negara”, http://www.antaranews.com/berita/243698/bpkp-temukan-487-dugaan-korupsi-anggarannegara,
diakses tanggal 14/2/2011.
2 BeritaSore.Com, “SBY: Angka Pengangguran Menurun”, http://beritasore.com/2011/02/02/presiden-jumlah-pengangguran-mencapai-832-juta-orang/ diakses 15/2/2011
3 TempoInteraktif.Com, “Tingkat Pengangguran mencapai 9.43 Juta Orang”, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2009/01/05/brk,20090105-153874,id.html) diakses
15/2/2011
4 (http://www.babelprov.go.id/content/hdi-indonesia-urutan-ke-109) diakses 15/2/2011)
5 UNESCO, “The Four Pilars of Education”, http://www.unesco.org/delors/fourpil.htm diakses
tanggal 14/15/2009.
6 Partnership for 21st Century Skills, “Framework for 21st Century Learning”, http://www.p21.org/ index.php?option=com_content&task=view&id=254&Itemid=120 diakses tanggal 14/2/2011
7 Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita(Jakarta: Kompas, 2008), h. 191
8 Ibid199.
9 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru dan Dosen (Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 228-230
10 Cony R. Semiawan, Pendidikan Anak Berbakat (Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2003), h.12
11 Undang-undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Bandung: Citra Umbara, 2009)
12 E Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2009), h. 37.
13 E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 61.
14Undang-Undang republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan nasional (Bandung: Citra Umbara, 2009), h. 60.
15Ibid, h. 64
16Soedijarto, Tulisan:Peningkatan Profesionalisme Tenaga Pendidik Dalam Upaya Untuk Meningkatkan Sumber Daya Manusia Pendidikan Yang Unggul Dan Mandiri”, yang diselenggarakan oleh ISPI Jawa Tengah di Surakarta 20 Desember 2008.
17 Ibid, h.
18Soedijarto, Pendidikan Nasional Sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa: Sebuah Usaha Memahami Makna
UUD ’45 (Jakarta: CINAPS, 2000), h. 140
19 Mata Guru, “Indonesia Terbaik di Dunia dalam RAsio Jumlah Guru Murid”,
http://mataguru.com/berita-guru/indonesia-terbaik-di-dunia-dalam-rasio-jumlah-guru-danmurid.
html diakses pada tanggal 14/2/2011
20 Soedijarto,” Pendidikan NAsional sebagai Wahana Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa” dalam “Teacher Education in Indonesia: An Account in the Development and Programs to Improve the Professional Qualification and the Competence of Indonesian Teaching Personel”, halaman 142 – 143.
DAFTAR PUSTAKA
Antara News.Com , “BPKP Temukan 487 Dugaan Korupsi Anggaran Negara”, http://www.antaranews.com/berita/243698/bpkptemukan-
487-dugaan-korupsi-anggaran-negara, diakses
tanggal 14/2/2011.
BeritaSore.Com, “SBY: Angka Pengangguran Menurun”, http://beritasore.com/2011/02/02/presiden-jumlahpengangguran-
mencapai-832-juta-orang/ diakses 15/2/2011
Danim, Sudarwan, dkk. Profesi Kependidikan, Bandung: Alfabeta, 2010
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif
dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008
Partnership for 21st Century Skills, “Framework for 21st Century Learning”,
http://www.p21.org/index.php?option=com_content&task=view&
id=254&Itemid=120 diakses tanggal 14/2/2011
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta:
Kompas, 2008
, Pendidikan Nasional Sebagai Wahana Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-
Bangsa: Sebuah Usaha Memahami Makna UUD ’45 Jakarta:
CINAPS, 2000
, Tulisan: Pendidikan Guru Masa Depan Yang Bermakna Bagi
Peningkatan Mutu Pendidikan:
http://ispibanyumas.blogspot.com/search/label/
Semiawan, Cony R, Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta, 2003
TempoInteraktif.Com, “Tingkat Pengangguran mencapai 9.43 Juta Orang”,
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2009/01/05/brk,200901
05-153874,id.html) diakses 15/2/2011
Tomasevski, Katarina, Pendidikan Yang Terabaikan: Masalah dan
Penyelesaiannya, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM
Indonesia,
Undang-Undang republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan nasional. Bandung: Citra Umbara, 2009
Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Bandung:
Citra Umbara, 2009
UNESCO, “The Four Pilars of Education”, http://www.unesco.org/
delors/fourpil.htm diakses tanggal 14/15/2009.
Sumber : http://www.teknologipendidikan.net/2011/02/17/kompetensi-guru-antara-harapan-dan-kenyataan/
NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
NIKAH SIRRI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
I. Pendahuluan
Sekarang ini banyak kita jumpai pasangan yang lebih memilih untuk melakukan nikah sirri/nikah dibawah tangan terutama untuk kalangan kelas menengah ke bawah. Hal tersebut dipengaruhi dengan keterbatasan pengetahuan mengenai hukum, akibat yang akan ditimbulkan, serta masalah biaya. Sedangkan untuk kalangan menengah ke atas mendalihkan takut akan dosa dan zina dan alasan lainnya. Contohnya yang sering kita lihat di televise, banyak diantara artis-artis ibu kota yang melakukan nikah sirri dan ketika pernikahan itu terjadi maka dari pihak perempuan (istri) tidak bisa berbuat apa-apa karena pernikahan itu illegal (tidak tercatat oleh hokum negra), sehinga dalam hal ini pihak perempuanlah yang paling dirugikan.
Berkenaan dengan nikah sirri , dalam RUU yang baru sampai di maja setneg, pernikahan sirri di anggap perbuatan illegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sangsi penjara maksimal 3bulan dan denda 5juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah sirri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai kantor urusan agama yangf menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga di ancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara.[1]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan sirri, maka suami istri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan, artinya jika suami meninggal dunia, maka istri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika istri yang meninggal dunia.
Lalu bagaimana pandangan islam terhadap nikah sirri??, bolehkah orang yang melakukan nikah sirri di pidanakan??, Benarkah orang yang melakukan pernikahan sirri tidak memiliki hubuntgan pewarisan?
II. Nikah Sirri: Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Sirri
Nikah sirri tidak hanya dikenal pada zaman sekarang ini saja, tetapi juga telah ada pada zaman sahabat. Istilah itu berasal dari ucapan Umar Bin Khatab, pada saat beliau diberitahu bahwa telah terjadi pernikahan yang tidak di hadiri oleh saksi, kecuali hanya seorang laki-laki dan seorang perempuan. Beliau berkata:
“Ini nikah sirri, saya tidak membolehkannya dan sekiranya saya tahu lebih dahulu, maka pasti akan saya rajam”.
Seharusnya pernikahan itu dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki, sebagai rukun nikah. Hal ini berarti rukun nikah itu belum sempurna. Kemudian setelah kita memperhatikan ucapan uamr bin khattab “pasti saya rajam”. Maka seolah-olah perbuatan itu sama dengan perbuatan zina, bila kedua suami istri bercampur.
Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat, bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan jika terjadi harus di fasakh (dibatalkan) oleh pengadilan agama.
Pendapat di atas diperkuat oleh hadist Rasulullah:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “pelacur adalah wanita yang mengawinkan dirinya tanpa tanda bukti”.(HR. Tirmidzi).
Ibnu Abbas juga menegaskan:
“Nikah ini tidak sah tanpa ada bukti”.[2]
Isyilah nikah sirri sudah dikenal dikalangan para ulama, hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud nikah sirri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syariat, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, masyarakat dan dengan sendirinya tidak ada Walimatul Ursy. Adapun nikah sirri yang dikena; oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali/wakil wali dan disaksikan oleh para saksi tetapi tidak dilakukan dihadapan petugas pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) bagi yang islam, atau dikantor catatan sipil bagi yang tidak beragama islam.[3]
Selain itu pernikahan sirri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan: pertama: pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (sirri) dikarenakan pihak wali pihak perempuan tidak setuju atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat. Kedua; Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara. Banyak kantor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahan dilembaga pencatatan sipil Negara. Ada yang karena factor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan, da pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya. Ketiga; Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapat stigma negative dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan sirri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Ada beberapa alasan mengapa seseorang melakukan nikah sirri, di antaranya adlah:
1) Mempelai laki-laki masih terikat perkawinan
2) Mempelai laki-laki tidak memiliki identitas diri yang jelas umumnya karena pendatang/orang asing
3) Mempelai perempuan tidak mendapat restu dari orang tua/wali
4) Mempelai laki-laki dan ada juga perempuan hanya ingin mendapatkan kepuasan seksual, bukan untuk tujuan membentuk keluarga sakinah mawadah warahmah.
5) Mempelai laki-laki kawin dengan perempuan dibawah umur/anak-anak (pedofili)
6) Untuk tujuan trafficking[4]
III. Hukum Nikah Sirri
Setelah membaca keterangan di atas, dapat dipahami bahwa nikah sirri itu dapat di artikan pernikahan tanpa wali/syaratnya tidak terpenuhi dan pernikahan yang sah secara agama tetapi tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara. Adapun hokum syariat atas kedua fakta tersebut adalah sebagai berikut:
Mengenai fakta yang pertama, yakni pernikahan tanpa wali. Sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan seperti ini didasarkan pada sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil” (H.R yang lima kecuali Imam An Nasa’i).
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’ kata “Laa” pada hadits menunjukkan pengertian “tidak sah”, bukan sekedar “tidak sempurna” sebagaimana pendapat sebagian ahli fiqih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadist yang diriwayatkan oleh arsyah ra, bahwasannya Rasulullah SAW pernah bersabda”
“Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal, pernikahannya batal, pernikahannya batal” ( H.R yang lima kecuali Imam An Nasa’i)
Abu Hurairah ra juga meriwayatkan sebuah hadist, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang kain dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri” (H.R Ibnu Majjah dan Daruqutni)[5]
Berdasarkan hadist-hadist di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahannya batil, pelakunya berarti telah melakukan maksiat kepada Allah SWT dan berhak mendapatlan sanksi di dunia. Hanya saja syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Sedangkan fakta pernikahan sirri yang kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak di catatkan pada lembaga pencatatan sipil. Dilihat dari aspek pernikahannya nikah sirri tetap sah menurut ketentuan syariat dan pelakunya tidak boleh di anggap melakukan tindakan kemaksiatan. Oleh karena itu pernikahan yang tidak dicatatkan dilembaga pencatatan Negara tidak boleh di anggap sebagai tindakan criminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa, karena pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah SWT walaupun tidak di catatkan dalam pencatatan sipil.
Tetapi berkaitan dengan pencatatan pernikahan dilembaga pencatatan Negara ini sangat penting karena sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi dan salah satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi. Sebagaimana yang di atur dalam kompilasi hukum islam (KHI) pada pasal 5 ayat 1 maupun di dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:
“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[6]
Selain dengan hal ini Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3u‹ø9ur öNä3uZ÷¬/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAô‰yèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6u‹ù=sù È@Î=ôJãŠø9ur “Ï%©!$# Ïmø‹n=tã ‘,ysø9$# È,¬Gu‹ø9ur ©!$# ¼çm¬/u‘ ...........
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaknya seorang penulis di antara kamu menuliskan dengan benar. Dan janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajakan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah Tuhannya………..” (Q.S. Al-Baqarah:282)
Tafsir:
Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi hutang piutang, bahkan secara lebih khusus adalah berhutang. Ini agar yang memberi piutang merasa lebih tenang dengan penulisan itu. Karena menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat di anjurkan. Selanjutnya kepada para penulis di ingatkan, agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur , sebab Allah telah mengajarkannya maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab di atas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran tetapi ia menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu, dan pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan.[7]
Berdasarkan terjemahan di atas, memang para ulama dahulu tidak ada yang menjadikan dasar pertimbangan dalam perkawinan mengenai pencatatan dan aktanya. Namun bila diperhatiakn perkembangan ilmu hukum saat ini pencatatan perkawinan dan aktanya mempunyai kemaslahatan yang sangat banyak. Karena apabila terjadi sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya dapat ditangani oleh pengadilan agama.
IV. Penutup
Kesimpulan
Nikah sirri disebut juga denagn nikah rahasia. Nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali/wakil wali dan disaksikan oleh para saksi tetapi tidak dilakukan dihadapan petugas pencatat nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di kantor urusan agama (KUA) bagi yang islam, atau dikantor catatan sipil bagi yang tidak beragama islam. Nikah sirri itu dapat berbentuk:
1. Rukun dan syaratnya tidak sempurna
2. Rukun dan syaratnya sudah terpenuhi, tetapi tidak tercatat pada kantor urusan agama.
Dari sudut pandang fiqih, pernikahan ini dipandang sah. Tetapi apabila terjadi perselisihan, tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan agama. Dengan demikian, mudharatnya lebih banyak dari manfaatnya.
Jadi hukum nikah sirri adalah boleh dalam hal tertentu, tetapi lebih baiknya di tinggalkan.
DAFTAR PUSTAKA
http://pakarbisnisonline.blogspot.com
Hasan, M. ali. “Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam”. Jakarta: Siraja, 2006
http://www.irmadevita.com/2009/akibat-hukum-nikah-sirri
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php
Rasyid, Sulaiman. “Fiqih Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1998
Nurudin, Amiur. “Hukum Perdata Islam di Indonesia”. Jakarta: Prenada Media, 2004
Shihab, M. Quraish. “Tafsir Almisbah: Pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002
________________________________________
Sumber : http://ilmukita-imam.blogspot.com/2012/04/nikah-sirri-dalam-perspektif-hukum_23.html
KORUPSI DAN PENCEGAHANNYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (bag 1)
Akar masalah Timbulnya Korupsi Dalam Perspektif Islam
Fenomena dan Tindakan Korupsi sampai saat ini masih menjadi fakta yang terus bergulir bagai bom waktu. Hampir di seluruh Negara, perbincangan korupsi akan menyita waktu yang lama dengan hasil yang tak pernah tuntas, apalagi sampai diselesaikan. Tindak korupsi telah menjadi gurita yang senantiasa menggelayuti sendi-sendi kehuidupan masyarakat. Alih-alih ia telah dinilai wajar oleh sebagian rakyat Indonesia. Membicarakan korupsi memang menarik. Sejarah timbulnya korupsi di dunia pasti berbarengan dengan kekuasaan yang berada di belakangnya. Namun sebelum berbicara lebih jauh mengenai korupsi ada baiknya kita sinkronisasikan terlebih dahulu sebenarnya pengertian korupsi itu sejauh mana. Karena seiring bergulirnya waktu ada kecenderungan khusus yang mengindikasikan pergeseran paradigma korupsi ditinjau dari konteks pengertiannya.
Pengertian Korupsi
Kata ’korupsi’ berasal dari kata Latin corruptus yang berarti suatu yang rusak atau hancur. Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa-bahasa modern Eropa, seperti bahasa Inggris, kata ’korupsi’ dapat digunakan untuk menyebut kerusakan fisik seperti frasa ’a corrupt manuscript’ (naskah yang rusak)dan dapat juga untuk menyebut kerusakan tingkah laku sehingga menyatakan pengertian tidak bermoral (immoral) atau tidak jujur atau tidak dapat dipercaya (dishonest). Selain itu ’korupsi’ juga berarti tidak bersih (impure) seperti frasa corrupt air yang berarti impure air (udara tidak bersih)[1].
Dalam kajian-kajian mengenai korupsi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli menyangkut terminologi korupsi. Syeh Hussein Alatas menegaskan bahwa “esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan’[2]. Dalam Webster’s Third New International Dictionary, korupsi didefinisikan sebagai “ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”[3]. Menurut Robert Klitgaard korupsi merupakan tindakan berupa (1) memungut uang atas layanan yang sudah seharusnya diberikan, (2) menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah, dan (3) tidak melaksanakan tugas karena lalai atau lupa[4]. Bank Dunia menganut definisi klasik yang singkat tapi luas cakupannya yang memandang korupsi sebagai the abuse of public office for private gain ’penyalahgunaan jabatan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi[5]’.
Sementara itu Badan Informasi Internasional di Lebanon menyatakan, “Korupsi adalah perlakuan individu-individu swasta maupun pejabat pemerintah yang telah menyimpang dari tanggung jawab yang telah ditetapkan dengan menggunakan jabatan atau kekuasaan mereka untuk mencapai tujuan pribadi maupun mengamankan kepentingan pribadi[6]”. Dengan demikian unsur pokok korupsi itu sesungguhnya tercermin adalam adanya (1) perbuatan menyimpang dari norma, (2) perbuatan itu menimbulkan kerugian kepada negara atau masyarakat meskipun tidak selalu berupa kerugian finansial, misalnya kerugian dalam bentuk buruknya pelayanan umum atau tindakan berjalannya sistem hukum, (3) adanya penyalahgunaan wewenang. Dari UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beserta dengan perubahannya ( UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dapat disimpulkan bahwa tindak pidana korupsi adalah melakukan secara melawan hukum perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara. Apa yang tercakup ke dalam tindak pidana korupsi itu menurut UU No. 31/1999 dan perbuatannya UU No. 20/2001 adalah melakukan perbuatan seperti dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, pasal 12 B, Pasal 13, dan Pasal 14. Korupsi ditandai oleh ciri-ciri berupa (1) adanya pengkhianatan kepercayaan, (2) keserbarahasiaan, (3) mengandung penipuan terhadap badan publik atau masyarakat, (4) dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus, (5) diselubungi dengan bentuk-bentuk pengesahan hukum, (6) terpusatnya korupsi pada mereka yang menghendaki keputusan pribadi dan mereka yang dapat mempengaruhinya[7].
Ada beberapa jenis atau macam korupsi. Menurut Alatas, jenis tersebut meliputi pertama, korupsi transaksi, yaitu jenis korupsi yang berwujud adanya kesepakatan timbul balik antara pihak-pihak bersangkutan guna mengupayakan keuntungan bersama. Korupsi jenis ini biasanya terjadi antara usahawan dengan pejabat pemerintah atau anggota masyarakat dan pemerintah. Kedua, korupsi ekstortif (memeras), yaitu bentuk korupsi di mana pihak pemberi dipaksa melakukan perbuatan penyuapan guna mencegah kerugian yang akan mengancam diri, kepentingan, orang-orang atau hal-hal yang penting baginya.Ketiga, korupsi defensif, yaitu korupsi yang dilakukan oleh pelaku korban korupsi pemerasan. Keempat, korupsi keuntungan tertentu, selain dari keuntungan yang dibayangkan di masa depan. Kelima, korupsi nepotistik (perkerabatan), yaitu kolusi berupa penunjukan tidak sah terhadap teman atau kerabat untuk menempati posisi dalam pemerintahan, atau memberi perlakukan istimewa kepada mereka secara bertentangan dengan norma yang berlaku. Keenam, korupsi otogenik, yaitu yang dilakukan sendirian tanpa melibatkan orang lain, misalnya membuat laporan belanja yang tidak benar. Ketujuh, korupsi suportif (dukungan), yaitu tindakan yang dimaksudkan untuk melindungi atau memperkuat korupsi yang sudah ada. Dapat pula ditambahkan jenis korupsi kedelapan yang akhir-akhir ini berkembang ke permukaan, yaitu suatu jenis korupsi yang disebut korupsi legal, yaitu suatu kebijakan yang secara hukum adalah sah karena sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, namun sesungguhnya pada dasarnya merupakan suatu korupsi bila dilihat dari sudut visi penyelenggaraan kepemerintahan yang baik. Termasuk ke dalam kategori ini adalah apa yang disebut dengan korupsi demokratis, yaitu kebijakan yang disahkan oleh legislatif, namun bertentangan dengan visi yang benar dari kepemerintahan yang baik. Misalnya penganggaran rumah dinas pejabat yang jauh lebih besar dari anggaran pembangunan gedung sekolah dasar.
Penyebab Korupsi dalam Perspektif Islam
Ada sebuah kecenderungan yang sulit terbantahkan terhadap fakta-fakta yang terjadi negeri-negeri muslim. Survei yang dilakukan badan pemeringkatan korupsi di dunia menunjukkan bahwa timgkat korupsi yang terjadi di negeri-negeri muslim relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Negara-negara lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Indonesia yang memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki tingkat korupsi yang tinggi di dunia. Di tahun 2009, Indonesia menduduki Negara dengan peringkat korupsi nomor dua[8] di Asia dengan urutan tingkat akuntabilitas 111. Kenyataan ini ditengarai sebagian kalangan sebagai kegagalan agama dalam membatinkan nilai-nilai moral kepada pemeluknya. Di sisi lain, ada pula yang berpendapat bahwa korupsi dapat terjadi karena keadaan Negara yang tidak stabil, ekonomi yang carut marut, sistem perpolitikan yang tidak kondusif, dan adanya ketidakpuasaan terhadap pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dan adanya trend hidup hedonis yang melanda setiap Negara. Jika ditilik secara pragmatis, memang pelbagai alasan di atas dapat dijadikan sebagai dasar mengapa korupsi dapat terjadi di setiap Negara.
Islam merupakan agama yang syumul. Semua sektor kehidupan manusia diatur dengan rinci oleh Alquran dan sunnah. Islam dalam wilayah politik termasuk di dalamnya sebagai sektor yang diatur dalam islam. Keberpihakan islam menyikapi budaya korupsi sebenarnya sudah sangat jelas, yakni: memerangi segala bentuk korupsi. Agaknya memang hal ini seperti paradoks. Namun, di luar itu sebenarnya secara transcendent dan ke-humanis-an Islam tidak menagajarkan untuk menipu atau merugikan orang lain, dalam hal ini konteksnya adalag Negara. Memang benar adanya bahwa saat ini sebahagian Negara-negara muslim di seluruh dunia, tingkat korupsi mendominasi di antara Negara-negara lain di dunia ini. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bukan karena Negara muslim agamanya adalah Islam. Bukan pula dengan ideologi islam suatu Negara akan tinggi tingkat korupsinya. Logika berpikirnya bukan seperti itu. Bangunan pemikiran korupsi sebenarnya lahir bersamaan dengan kemunduran kesadaran akan ilmu di dunia Islam itu sendiri. Selama kekhalifahan khulafaurrasyidin, pada masa dimana sumber hukum utama Islam dijadikan sebagai rujukan utama, tidak ditemukan satu riwayat pun yang menyatakan secara gamblang adanya korupsi di tubuh umat Islam. Islam tumbuh bersih dengan tidak menyisakan satu perbuatan tercela termasuk korupsi. Barangkali sebuah kisah yang menarik adalah kisah seorang Umar bin Abdul Aziz[9] yang tidak mau mencium minyak wangi yang bukan haknya dan mematikan lampu Negara yang tidak dipeuntukkan untuk keperkuan Negara.
Dewasa ini, dengan semakin majemuknya kepentingan, ada sebuah fakta empirik bahwa saat ini sedang terjadi perang pemikiran yang memiliki dampak terhadap tatanan agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Perang pemikiran juga bisa diartikan perang budaya, perang mode, atau apapun lainnya. Yang jelas, dampak dari perang pemikiran ini adalah terjadinya eksodus ideologi dari batas territorial Negara satu terhadap batas territorial Negara lainnya. Batas (boundary) wilayah bukan lagi merupakan kedaulatan pokok bangsa, tapi dengan adanya arus informasi yang tidak dapat dibendung maka eksodus ideologi dapat menyebar kemana saja dalam hitungan menit bahkan detik. Tentunya penyebaran ini tidak serta merta langsung pada inti pokok ideologi, namun mereka menjelma se-elegan mungkin untuk dapat diterima dalam sistem/tatanan masyarakat yang berbeda.
Akar timbulnya korupsi secara faktual terjadi karena pandangan yang salah terhadap visi hidupnya. Karakter seseorang atau sekelompok orang yang memiliki budaya korupsi ditentukan karena ketidakmampuannya untuk bertindak benar. Perkara ini oleh Syed Naquib Al-Attas dalam bukunya Islam dan Sekularisme disebutkan sebagai “the loss of adab”. Hilangnya kemampuan seseorang dalam menentukan perkara benar atau salah adalah pandangan hidup (worldview) yang ia gunakan. Apabila pandangan hidup yang ia pakai adalah pandangan hidup yang materialistis maka semua norma-norma yang mengatur mengenai adab ia anggap sebagai angin lalu dan sebagai gantinya adalah ia gunakan sebebas-bebasnya kekuasaan yang ia punya untuk mengeruk harta kekayaan Negara atau perkara yang bukan haknya menjadi milik pribadinya. Jika sudah demikian, maka yang terjadi semua kehidipan ini akan diisi oleh kedenderungan dunia. Ada sebuah pepatah arab yang menarik: hubb al-dunya ra’su kulli khati’ah[10]. Cinta dunia adalah pangkal dari segala petaka. Kira-kira pepatah di atas jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah seperti itu. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pun sudah pula mengingatkan tentang bahaya cinta dunia. Terlalu cinta dunia menyebabkan orientasi akhirat menjadi tinggal kenangan. Dalam konteks masyarakat islam yang banyak korupsi seperti Indonesia dan mesir, ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah pemahaman yang salah pemeluk agama islam terhadap agamanya. Ia anggap agama sebagai sesuatu yang sifatnya nonrasional atau bahkan lebih ekstrem lagi, menyatakan bahwa agama adalah masalah individu sedangkan dunia adalah masalah kita semua.
Pelaksanaan hukum islam yang setengah-setengah juga menyebabkan korupsi tetap merajalela di negeri-negeri muslim. Tidak adanya efek hukum jera dan kesadaran akan pentingnya menjaga kesucian harta yang diporehnya menjadi kenyataan yang terbantahkan. Hukum Islam hanya tertulis dalam teks-nya saja tanpa kemudian diterapkan secara syariat di Negara. Rasulullah Bersabda: Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari suht [harta haram](HR. Ad-Darimi). Sabda Rasullah ini sebenarnya sudah mewailiki bahwa Islam adalah agama yang tegas. Namun karena tidak ada kekuatan/supporting systems pemimpin yang dapat menggerakkannya maka yang terjadi adalah banyak orang yang melanggarnya dengan perasaan tanpa salah atau tanpa merasa berdosa. Selain itu, konteks teologis tidak dapat dijadikan sebagai kacamata simpulan yang menjustifikasi bahwa umat islam banyak korupsi karena memeluk islam. Dalam konteks apapun permisivisme tidak dapat dikaitkan dengan sebuah ajaran agama, karena pada dasarnya bukan karena ajaran yang salah tapi karena nafsu manusia yang tidak terkendali sehingga menyebabkan korupsi atau tindakan amoral lainnya terjadi. Berkaitan dengan itu, tata kelola/good government sesungguhnya sudah dicontohkan semasa rasulullah dan para sahabat. Tinggal bagaimana kita membuat momentum yang tepat untuk menghidupkan syariat dan mencerdaskan umat islam sehingga pada akhirnya nanti semuanya kembali ke syumuliyatul islam, bahwa islam mencakup pada semua sektor kehidupan, dan konsekuensinya jelas, penerapa syariah.
________________________________________
[1] Horby dalam Syamsul Anwar. Korupsi Dalam Perspektif Islam. Jurnal Hukum no 1 Vol 15 Januari 2008 hal 1 – 18
[2] Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, alih bahasan Nitworno (Jakarta: LP3ES, 1987), h. viii.
[3] Dikutip dalam Sudirman Said dan Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia”, dalam Hamid Basyaib dkk., (ed), Mencuri uang Rakyat: 16 kajian Korupsi di Indonesia Buku 1 (Jakarta: Yayasan Aksara, 2002), h. 98.
[4] Robert Klitgaard dkk., Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, alih bahasa Masri Maris (Jakarta: Yayasan Obor dan Patnership for Governance Reform in Indonesia, 2002), h. 3.
[5] Dikutip dalam Sudirman Said dan Nizar Suhendra, “Korupsi dan Masyarakat Indonesia”, dalam Hamid Basyaib dkk (ed.), Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 1 (Jakarta: Yayasan Akasara, 2001), h. 99.
[6] Dikutip dalam Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi (Tangerang: Pusat Studi Hukum dan Bisnis Universitas Pelita harapan, t.t.), h. 120.
[7] Alatas, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, alih bahasa Al Ghozie Usman (Jakarta: LP3ES, 1975), h. 13.
[8] Fawaid, Ahmad. 2010. Islam, Budaya Korupsi, dan Good Governance. Jurnal Karsa. Vol XVII No 1 halaman 1 – 10
[9] Dikutip dari Sirah Sahabat. Umar Bin Abdul Aziz seringkali dijuluki sebagai khalifah kelima. Umar dikenal sangat zuhud sampai-sampai tampak secara jelas sebelum diangkatnya ia sebagai khalifah yang cenderung hedonis dan setelah diangkat sebagai khalifah yang sangat sederhana, bahkan cenderung miskin.
[10] Fawaid, Ahmad. 2010. Islam, Budaya Korupsi, dan Good Governance. Jurnal Karsa. Vol XVII No 1 halaman 1 – 10
Sumber: http://jogjaasahan.blogspot.com/2013/02/akar-masalah-timbulnya-korupsi-dalam.html
KORUPSI DALAM PERPEKTIF ISLAM(BAG 2 )
AGAKNYA persoalan dan informasi seputar korupsi sudah biasa di Indonesia. Kasus demi kasus bermunculan yang melibatkan pengurus-pengurus partai dan anggota dewan yang seyogianya sebagai pengayom rakyat tetapi sebaliknya menyengsarakan rakyat.
Kasus Nazaruddin dengan wisma atlitnya yang tidak sedikit merambah ke berbagai pihak adalah satu contoh kecil dari sistem budaya korupsi yang semakin meningkat.Dalam Islam tindakan korupsi adalah perbuatan haram. Keharamannya cukup jelas karena mengambil sesuatu yang bukan haknya atau mengambil hak orang lain.
Tindakan korupsi memberikan dampak cukup fatal kepada negara dan masyarakat dengan menghilangkan kekayaan negara yang digunakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.
Islam tidak saja mengharamkan korupsi tetapi juga memberikan solusi untuk melakukan tindakan preventif pencegahan supaya tidak terjadinya korupsi. Dalam konteks Indonesia perlu kiranya menelusuri dan menerapkan tawaran Islam dalam memberantas korupsi yang sudah menggurita dalam segala bidang. Setidaknya, ada enam langkah yang dapat dilakukan yaitu:
Pertama, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR Abu Dawud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad). Suap dan hadiah akan berpengaruh buruk pada mental aparat pemerintah. Aparat bekerja tidak sebagaimana mestinya.
Kedua, Penghitungan kekayaan. Menurut kesaksian anaknya, yakni Abdullah bin Umar, Khalifah Umar pernah mengkalkulasi harta kepala daerah Sa’ad bin Abi Waqash. Putranya ini juga tidak luput kena gebrakan bapaknya. Ketika Umar melihat seekor unta gemuk milik anaknya di pasar, beliau menyitanya.
Hal ini dilakukan Umar karena unta anaknya itu gemuk digembalakan bersama-sama unta-unta milik Baitul Mal di padang gembalaan terbaik. Ketika Umar menyita separuh kekayaan Abu Bakrah, dia itu berkilah “ Aku tidak bekerja padamu “. Jawab Khalifah, “Benar, tapi saudaramu yang pejabat Baitul Mal dan bagi hasil tanah di Ubullah meminjamkan harta Baitul Mal padamu untuk modal bisnis !” Bahkan, Umar pun tidak menyepelekan penggelapan meski sekedar pelana unta..
Apa yang dilakukan Umar merupakan contoh baik bagaimana harta para pejabat dihitung, apalagi mereka yang disinyalir terlibat korupsi. Seluruh yayasan, perusahaan-perusahaan, ataupun uang yang disimpan di bank-bank dalam dan luar negeri semuanya diusut.
Kalau perlu dibuat tim khusus yang independen untuk melakukannya, seperti halnya Muhammad bin Maslamah pernah diberi tugas khusus oleh Umar untuk hal tersebut. setelah melalui proses itu, dibuktikan pula lewat pengadilan.
Syekh Taqiyyuddin dalam bukunya Ahkamul Bayyinat menegaskan bahwa pembuktian itu bisa berupa pengakuan dari si pelaku, sumpah, kesaksian, dan dokumentasi tertulis. Kaitannya dengan dokumentasi tertulis ini Allah Swt. menegaskan di dalam Alquran, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.
Hendaklah penulis di antara kalian menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (QS al-Baqarah: 282). Bila dicermati, penulisan dokumen ini sebenarnya merupakan bukti tentang siapa yang berhak dan apa yang terjadi. Oleh karena kata “maka tuliskanlah (faktubuh)” dalam ayat tersebut umum, maka mencakup semua muamalah dan semua dokumen termasuk perjanjian, katabelece, keputusan pemerintah yang dibuatnya, dan lain-lain.
Ketiga, keteladanan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal Negara. Hal ini dinilai Umar sebagai bentuk penyalahgunaan fasilitas negara.
Demi menjaga agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak kesturi kepada rakyat. Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan mudah terdeteksi sedari dini. Penyidikan dan penyelidikan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bagaimana bila justru korupsi dilakukan oleh para pemimpin? Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali.
Keempat, hukuman yang berat. Pada umumnya, orang akan takut menerima risiko yang akan mencelakaan dirinya. Hukuman dalam Islam memang berfungsi sebagai zawajir(pencegah). Artinya, dengan hukuman setimpal atas koruptor, diharapkan orang akan berpikir sekian kali untuk melakukan kejahatan itu.
Korupsi adalah perbuatan yang tidak secara mencederai atau mengakibatkan mudarat bagi segelintir atau sekelompok orang tetapi rakyat. Maka seyogianya hukuman yang diberikan mesti cukup berat untuk memberikan efek jera dan sanksi sosial kepada pelaku korupsi.
Kelima, Sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga.
Agar bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan”.
Keenam, pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Adapun masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang.
Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, Khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.
Dengan pengawasan masyarakat, korupsi menjadi sangat sulit dilakukan. Maka masyarakat harus pro aktif dalam memberantas korupsi di Indonesia baik dalam bentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, dan sebagainya
KORUPSI DAN PEMBERANTASANNYA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Abstrak
Bangsa Indonesia di mata dunia dianggap sebagai bangsa terkorup di Asia. Image negatif ini dilekatkan setelah anggaran dana yang seharusnya dinikmati rakyat dalam bentuk pemberdayaan sumber daya manusia maupun pembangunan fisik dikorupsi oleh para pejabatnya, sehingga tidak heran kalau para pejabat Indonesia kaya-kaya dari hasil korupsi yang dilakukan, sementara rakyatnya dalam kemiskinan. Akibat merajalelanya korupsi ini jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin terpaut jauh. Ironisnya wabah korupsi tidak lagi dilakukan secara individu dengan malu-malu dan sembunyi-sembunyi. Sekarang trend terbaru korupsi dilakukan secara berjama’ah, tanpa tedeng aling-aling. Korupsi telah mengakar kuat dalam budaya bangsa yang katanya religius ini, sehingga level korupsi di Indonesia sudah termasuk korupsi sistemik. Kalau sudah demikian halnya, maka seharusnya setiap elemen warga bangsa menyatakan perang terhadap tindak korupsi ini demi menyelamatkan nama baik bangsa yang susah payah dirintis oleh para founding fathers bangsa ini dan juga untuk menyelamatkan masa depan generasi yang akan datang. Perang terhadap korupsi bisa dilakukan dengan segala upaya mulai dari reformasi birokrasi, penegakan supremasi hukum dan juga memaksimalkan peranan agama. Upaya terakhir (maksimalisasi peranan agama) menurut penulis bisa dilakukan dengan mencoba merombak doktrin-doktrin agama yang bisa dijadikan ‘senjata’ untuk ikut memberantas korupsi. Penelitian ini merupakan usaha konkrit dalam rangka merealisasikan usaha tersebut. Oleh karena itu, yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep-konsep hukum Islam tentang korupsi dan bagaimana pula kontribusinya terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut akan digunakan teori hukum pidana Islam yaitu mengenai pembagian dan operasionalisasi jinayah atau jarimah serta penerapan sanksi-sanksinya.. Dengan menggunakan teori tersebut, penulis akhirnya berkesimpulan bahwa korupsi dalam hukum Islam bisa disamakan dengan ghulul, sariqah, khianat dan risywah. Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela di Indonesia paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu: pertama, Memaksimalkan hukuman. Hukuman-hukuman dalam bentuk fisik perlu diwacanakan dan kalau bisa diterapkan bahkan kalau perlu sampai hukuman mati. Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Hukum harus tegak dan diberlakukan adil tanpa pandang bulu termasuk kalaupun korupsi dilakukan oleh para pejabat tinggi yang memiliki power dan pengaruh yang kuat. Ketiga, Perubahan dan perbaikan sistem. Perubahan dalam sistem birokrasi pemerintahan dan sistem hukum di Indonesia harus segera dilakukan mengingat sistem yang ada sudah bobrok. Keempat, Revolusi Kebudayaan (mental).
Kata Kunci: korupsi; jinayah; jarimah; ghulul, sariqah, khianat; risywah dan ‘uqubah
A. Pengantar
Tindak korupsi dari sudut pandang apapun jelas tidak bisa dibenarkan. Oleh karena itu, tindakan korupsi adalah perbuatan salah. Dalam hukum Islam, perbuatan dosa atau perbuatah salah disebut jinayah atau – lebih tepat disebut – “jarimah“. Jarimah merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Jadi jarimah merupakan tindakan yang dilarang oleh syara’ karena bisa menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Jarimah tersebut bisa diancam dengan hukuman had atau ta’zir”. Perbedaan antara had dan ta’zir: (1) had adalah sanksi hukum yang ketentuannya sudah dipastikan oleh nash, sementara ta’zir pelaksanaan hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.
Apa yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda, nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu menurut hukum syara’ harus dipelihara dan dihormati serta dilindungi. Suatu sanksi diterapkan kepada pelanggar syara’ dengan tujuan agar seseorang tidak mudah berbuat jarimah. Korupsi adalah perbuatan yang sangat merugikan baik kepada individu, masyarakat, dan negara. Bahkan dampak yang ditimbulkan dari perilaku korupsi begitu luas terhadap moral masyarakat (al-akhlak al-karimah), kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, pantas kalau korupsi dalam hukum positif dimasukkan sebagai ‘extraordinary crime’, kejahatan luar biasa.
Meskipun tindak korupsi secara jelas merupakan perbuatan salah dan termasuk kategori jinayah atau jarimah namun secara jelas syara’ tidak menyebutkan kata ‘korupsi’ dalam nash-nash baik al-Qur’an maupun hadis. Oleh karena itu, maka dibutuhkan ‘ijtihad’ – misalnya — dengan menggunakan metode qiyas (analogi) untuk menemukan persamaan korupsi dalam literatur hukum Islam, denga cara melihat unsur-unsur umum-khusus jarimahnya, dan menentukan sanksinya.
B Konsep Pemidanaan Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Jarimah dan Unsurnya
Pengertian jarimah atau jinayah menurut Abd. al-Qadir Audah adalah “Perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya”. [1] Jadi jinayah merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sedangkan menurut al-Mawardi jarimah atau jinayah adalah “Larangan-larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir”.[2]
Para ulama’ dan ahli hukum Muslim awal tidak membedakan antara aspek perundangan, etika dan agama dalam syari’ah, apalagi memilah bidang-bidang hukum tertentu secara terpisah. Akibatnya prinsip-prinsip dan aturan-aturan syari’ah yang sesuai dengan apa yang dikenal dalam terminologi modern sebagai hukum pidana, pembuktian dan prosedur, hanya bisa disarikan dari risalah dan fiqh Islam yang umum dan luas.[3] Oleh sebab itu, hukum Islam berbeda dengan hukum positif. Hukum Islam menganggap bahwa al-akhlak al-karimah sebagai sendi dalam masyarakat, sehingga suatu perbuatan baru diancam pidana kalau perbuatan itu membawa kerugian pada masyarakat, sementara hukum positif tidak demikian.
Adapun unsur-unsur jarimah bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum jarimah ada tiga macam, yaitu: 1) unsur formil, yaitu suatu perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nash atau undang—undang yang mengaturnya. 2). Unsur materiil, yaitu tingkah laku seseorang yang membentuk jarimah, baik dengan sikap berbuat maupun sikap tidak berbuat. Dan 3). Unsur moril, yaitu pelaku jarimah adalah orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana terhadap jarimah yang dilakukannya. Yang dimaksud unsur khusus adalah unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana tertentu dan berbeda antara unsur khusus pada jenis jarimah yang satu dengan jenis jarimah yang lainnya.
2. Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Islam
Menurut al-Syatibi tidak ada satu pun dari hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan taklif ma la yuthaq (pembebanan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan). Syatibi berpandangan bahwa tujuan utama dari syari’ah ialah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum, yang disebutnya sebagai daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.
Kajian tentang maqashid al-syari’ah Syatibi bertolak dari asumsi bahwa segenap syari’at yang diturunkan Allah senantiasa mengandung kemaslahatan bagi hamba-Nya untuk masa sekarang (di dunia) dan sekaligus masa yang akan datang (di akhirat).
Dengan demikian, tujuan Tuhan menetapkan suatu syari’at bagi manusia tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia (li maslahati al-‘ammah). Termasuk di dalamnya adalah tujuan pemidanaan dalam hukum Islam, misalnya pelarangan membunuh adalah demi menjaga jiwa manusia, pelarangan minum-minuman keras sebagai bentuk penjagaan terhadap akal manusia, pelarangan zina adalah untuk menjaga kejelasan keturunan manusia dan lain sebagainya.
3. Pembagian Jarimah dan ‘Uqubahnya
Dari segi berat ringannya hukuman (‘uqubah), jarimah dibagi menjadi 3 macam, yaitu; jarimah hudud, jarimah qishash-diyat, dan jarimah ta’zir.
a. Jarimah hudud
Jarimah hudud dan ‘uqubahnya adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman had yaitu hukuman yang kualitasnya ditentukan dalam nash. Yang termasuk jarimah hudud ada tujuh, yaitu: zina, qadzaf (menuduh zina), pencurian (sariqah), perampokan (hirabah), meminum minuman keras (syurb al-khamr), pemberontakan (bughat) , dan murtad (riddah).
b. Jarimah qishash-diyat
Jarimah qishash-diyat adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman qishash yaitu hukuman yang setimpal dengan pidana yang dilakukan.
Yang termasuk dalam kategori jarimah qishash-diyat adalah: 1). Pembunuhan sengaja (al-qatl al-’amd), 2). Pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-’amd), 3). Pembunuhan keliru (qatl al-khatha’), 4) Penganiayaan sengaja (jarh al-’amd), 5). Penganiayaan salah (jarh al-khata’).
c. Jarimah ta’zir
Jarimah ini mencakup seluruh tindak pidana yang tidak termasuk dalam hudud dan qishash-diyat, juga mencakup seluruh yang tidak termasuk dalam hudud dan qishash-diyat, juga mencakup seluruh perbuatan pidana yang belum sempurna (jarimah ghairu tammah).
Dilihat dari berubah tidaknya sifat jarimah dan jenis hukuman, para fuqaha’ membagi jarimah ta’zir ke dalam dua bentuk. 1) Jarimah ta’zir yang jenisnya ditentukan oleh syara’, seperti mu’amalah dengan cara riba, memicu timbangan, mengkhianati amanat, korupsi, menyuap, manipulasi, nepotisme, dan berbuat curang. Perbuatan tersebut semua dilarang, akan tetapi sanksinya sepenuhnya diserahkan kepada penguasa. 2). Jarimah ta’zir yang ditentukan oleh pihak penguasa atau pemerintah. Bentuk jarimah ta’zir yang kedua ini pada suatu saat mengalami perubahan tergantung dari situasi dan kondisi masyarakat pada waktu tertentu, misalnya undang-undang yang mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya.
Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadaratan (bahaya). Penegakan jarimah ta’zir juga harus sesuai dengan prinsip syar’i (nash). Di samping itu, para penguasa dan para hakim patut mempertimbangkan untuk menggunakan wewenang kebijaksanaan yang tersisa ini demi pengembangan dan pembaruan. Para ahli hukum awal telah berusaha memberikan beberapa garis besar tuntunan bagi wewenang ta’zir. Namun garis besar tuntunan ini sangat samar-samar dan pada dasarnya tidak valid karena sifatnya yang tidak memadai bagi upaya strukturisasi dan mengontrol kekuasaan dalam konteks negara-bangsa modern yang pluralistik.
C. Konsep-Konsep Korupsi Dalam Hukum Islam
1. Ghulul
Ghulul adalah penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu, penyalahgunaan terhadap amanat hukumnya haram dan termasuk perbuatan tercela. Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apapun namanya yang tidak halal dan tidak semestinya dia terima. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
سنن أبى داود – (ج ٣ / ص ٩٤)
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Barangsiapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi”. (HR. Abu Dawud dari Buraidah).
Jadi semua komisi atau hadiah yang diterima seorang petugas atau pejabat dalam rangka menjalankan tugasnya bukanlah menjadi haknya. Misalnya seorang staf sebuah kantor pemerintahan dalam pembelian inventaris kantornya dia mendapat discount dari si penjual, maka discount tersebut bukanlah menjadi miliknya, tetapi menjadi milik kantor. Contoh lainnya yang sering terjadi adalah seorang pejabat menerima hadiah dari calon tender supaya calon tender yang memberi hadiah tersebut yang mendapat tender tersebut.
Ghulul juga adalah pencurian dana (harta kekayaan) sebelum dibagikan, termasuk di dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial. Contohnya adalah kasus pencurian terhadap barang-barang bantuan yang seharusnya diserahkan kepada korban bencana alam berupa gempa dan tsunami di Aceh.
Bentuk lain dari penyalahgunaan jabatan (ghulul) adalah perbuatan kolutif misalnya mengangkat orang-orang dari keluarga, teman atau sanak kerabatnya yang tidak memiliki kemampuan untuk menduduki jabatan tertentu, padahal ada orang lain yang lebih mampu dan pantas menduduki jabatan tersebut.
2. Sariqah
Syekh Muhammad An-Nawawi al-Bantani mendefinisikan sariqah dengan “Orang yang mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dari tempat yang dilarang mengambil dari tempat tersebut”. Jadi syarat sariqah harus ada unsur mengambil yang bukan haknya, secara sembunyi-sembunyi, dan juga mengambilnya pada tempat yang semestinya. Kalau ada barang ditaruh di tempat yang tidak semestinya untuk menaruh barang menurut beliau bukan termasuk kategori sariqah.
Menurut Syarbini al-Khatib yang disebut pencurian adalah mengambil barang secara sembunyi-sembunyi di tempat penyimpanan dengan maksud untuk memiliki yang dilakukan dengan sadar atau adanya pilihan serta memenuhi syarat-syarat tertentu.
Islam mengakui dan membenarkan hak milik pribadi, oleh karena itu, Islam akan melindungi hak milik tersebut dengan undang-undang. Orang yang melakukan pencurian berarti ia tidak sempurna imannya karena seorang yang beriman tidak mungkin akan melakukan pencurian sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
اللؤلؤ والمرجان فيما اتفق عليه الشيخان – (ج ١ / ص ٢٠)
لا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Pencuri tidak akan mencuri ketika dia dalam keadaan beriman” (HR al-Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)
Lalu bagaimana dengan pencurian uang negara, apakah hal tersebut diperbolehkan. Tentu jawabannya tidak boleh karena uang negara tersebut adalah untuk kesejahteraan umum di mana umat Islam bisa mengambil manfaat darinya. Dalam konteks Indonesia, umat Islam-lah yang paling banyak akan memanfaatkan uang tersebut karena mereka adalah mayoritas. Namun demikian umat non-Muslim juga berhak memanfaatkan uang negara tersebut karena Islam menyuruh supaya memenuhi hak-hak mereka secara sempurna dan tidak dikurangi dan supaya hidup damai berdampingan dengan mereka dan saling menjaga jiwa dan harta mereka.
Yang paling ironis apabila pencurian tersebut dilakukan oleh petugas atau pejabat yang memang bertugas untuk mengurus uang atau kekayaan negara tersebut. Oleh karena itu, menurut Islam petugas atau pejabat yang bertugas mengurus uang tersebut apabila melakukan pencurian dosa dan kesalahannya jauh lebih besar dan lebih banyak dan ia termasuk golongan orang yang berkhianat, karena menjaga amanat termasuk kewajiban Islam dan khianat dilarang secara mutlak.
3. Khianat
Khianat adalah tidak menepati amanah, ia merupakan sifat tercela. Sifat khianat adalah salah satu sifat orang munafiq sebagaimana sabda Rasulullah SAW. bahwa tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu apabila berkata berdusta, apabila berjanji ingkar, dan apabila diberi amanah berkhianat.
Oleh karena itu, Allah SWT. sangat membenci dan melarang khianat. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS al-Anfâl [8]: 27)
Menurut ar-Raghib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Arab, khianat adalah sikap tidak memenuhi suatu janji atau suatu amanah yang dipercayakan kepadanya. Ungkapan khianat juga digunakan bagi seseorang yang melanggar atau mengambil hak-hak orang lain, dapat dalam bentuk pembatalan sepihak perjanjian yang dibuatnya, khususnya dalam masalah mu’amalah. Jarimah khianat terhadap amanah adalah berlaku untuk setiap harta bergerak baik jenis dan harganya sedikit maupun banyak.
Orang-orang yang beriman mestinya menjauhi sifat tercela ini, bahkan seandainya mereka dikhianati Rasulullah s.a.w. melarang untuk membalasnya dengan pengkhianatan pula. Sabda beliau:
سنن أبى داود – (ج ٣ / ص ٣١٣(
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
“Sampaikan amanat kepada orang yang mempercayaimu dan jangan berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu” (H.R. Ahmad dan Abu Daud dari Abu Hurairah).
4. Risywah (suap)
Secara harfiyah, suap (risywah) berarti البِرطيل “batu bulat yang jika dibungkamkan ke mulut seseorang, ia tidak akan mampu berbicara apapun”. Jadi suap bisa membungkam seseorang dari kebenaran. Menurut Ibrahim an-Nakha’i suap adalah “Suatu yang diberikan kepada seseorang untuk menghidupkan kebathilan atau untuk menghancurkan kebenaran”. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mendefinisikan suap dengan “Memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan mashlahat (tugas, kewajiban) yang tugas itu harus dilaksanakan tanpa menunggu imbalan atau uang tip”.
Sedangkan menurut terminologi fiqh, suap adalah “segala sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada seorang hakim atau yang bukan hakim agar ia memutuskan suatu perkara untuk (kepentingan) nya atau agar ia mengikuti kemauannya”.
Dasar hukum pelanggaran suap adalah firman Allah SWT.:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.“ (QS al-Mâidah [5]: 42)
Suap bisa terjadi apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur suap meliputi, pertama yang disuap (al-Murtasyi), kedua, penyuap (al-Rasyi), dan ketiga, suap (al-Risywah). Suap dilarang dan sangat dibenci dalam Islam karena sebenarnya perbuatan tersebut (suap) termasuk perbuatan yang bathil.
Allah SWT berfirman:
لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS al-Baqarah [2]: 188)
Baik yang menyuap maupun yang disuap dua-duanya dilaknat oleh Rasulullah SAW. sebagai bentuk ketidaksukaan beliau terhadap perbuatan keduanya. Rasulullah SAW. bersabda:
بلوغ المرام من أدلة الأحكام – (ج ١ / ص ٣٢٠)
لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap”. Riwayat yang lain, Ahmad ibn Hanbal dari Tsauban r.a. berkata:
مسند أحمد – (ج ٣٧ / ص ٨٥)
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ يَعْنِي الَّذِي يَمْشِي بَيْنَهُمَا
“Rasulullah SAW. melaknat penyuap dan yang disuap dan si perantara. Artinya orang yang menjadi perantara suap bagi keduanya”.
Suap dengan segala bentuknya haram hukumnya. Dia antara bentuk suap adalah hadiah. Seorang pejabat haram hukumnya menerima hadiah. Bahkan termasuk hadiah yang diharamkan bagi seorang pejabat yang meski tidak sedang terkait perkara atau urusan, telah membiasakan saling memberi hadiah jauh sebelum menjadi pejabat, namun setelah menduduki jabatan terjadi peningkatan volume hadiah dari kebiasaan sebelumnya. Seorang pejabat juga haram menerima hadiah dari seseorang yang jika bukan karena jabatannya, niscaya orang tersebut tidak akan memberikannya.
Umar bin Abdul Aziz suatu ketika diberi hadiah oleh seseorang tapi ditolaknya karena waktu itu dia sedang menjabat sebagai khalifah. Orang yang memberi hadiah kemudian berkata: “Rasulullah pernah menerima hadiah”. Lalu Umar menjawab: hal itu bagi Rasulullah merupakan hadiah tapi bagi kita itu adalah risywah (suap)”. Pokoknya setiap hadiah yang diberikan kepada pejabat karena posisinya sebagai seorang pejabat tidak boleh diterima dan haram hukumnya karena andaikan pejabat tersebut tidak sedang menjabat dan hanya tinggal di rumahnya niscaya tidak akan ada orang yang memberinya hadiah.
Seorang pejabat boleh menerima hadiah dengan beberapa syarat:
1. Pemberi hadiah bukan orang yang sedang terkait perkara dan urusan.
2. Sudah terjadi semacam tradisi saling tukar-menukar hadiah antara pejabat tersebut dengan pemberi hadiah sebelum ia menduduki jabatannya, baik karena pertemanan atau saudara.
3. Pemberian tersebut tidak melebihi kadar volume kebiasaan sebelum menjabat.
Jika seseorang kehilangan haknya dan dia hanya bisa mendapatkan hak tersebut dengan cara menyogok atau seseorang tertindas, ia tidak mampu menolaknya kecuali dengan menyogok, maka lebih baik ia bersabar sampai Allah memudahkan baginya kepada jalan terbaik untuk menghilangkan ketertindasan tersebut dan bisa memperoleh haknya. Tetapi apabila tetap menggunakan sogok dalam kondisi seperti itu, maka dosanya ditanggung orang yang menerima sogok sedangkan orang yang menyogok tidak berdosa.
Para ulama sebagian besar mendasarkan pendapat tersebut kepada hadis orang-orang yang menjilat yang meminta zakat kepada Nabi kemudian Nabi memberi kepada mereka padahal mereka tidak berhak.
Diriwayatkan dari ِAbu Ya’la , Nabi bersabda:
إتحاف الخيرة المهرة – (ج ٣ / ص ٤٨)
وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَخْرُجُ بِصَدَقَتِهِ مِنْ عِنْدِي يَتَأَبَّطُهَا ، وَإِنَّمَا هِيَ لَهُ نَارٌ , قُلْتُ : يَا رَسُولَ الله ، كَيْفَ تُعْطِيهِ وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّهَا لَهُ نَارٌ ؟ قَالَ : فَمَا أَصْنَعُ يَأْبُونَ إِلاَّ مَسْأَلَتِي ، وَيَأْبَى الله , عَزَّ وَجَلَّ , لِيَ الْبُخْلَ.
“Apabila salah satu di antara kamu mengeluarkan zakat dari sisiku dengan cara mengempitnya―membawa zakat tersebut di bawah ketiaknya―sesungguhnya zakat itu baginya adalah api! Wahai Rasulullah bagaimana anda memberikan kepadanya padahal anda tahu bahwa zakat itu baginya adalah api? Rasulullah mejawab: apa yang harus aku lakukan? Mereka menolak kecuali masalahku dan Allah menolak kekikiran untukku”.(HR Ahmad ibn Hanbal dari Abu Ya’la)
D. Sanksi-Sanksinya
Sanksi merupakan sesuatu yang sangat urgen kedudukannya dalam rangka penegakan supremasi hukum karena sebuah produk hukum sehebat apapun tanpa adanya sanksi atau hukuman juga tidak memiliki kekuatan memaksa yang sangat kuat. Kadang ditaati atau tidaknya suatu hukum atau peraturan tergantung dari berat ringannya sanksi yang ada lebih khusus lagi tergantung pada ditegakkannya sanksi tersebut atau tidak.
Jenis sanksi ada empat, yaitu: pertama, al-’Uqubah al-Asliyyah yaitu hukuman yang telah ditentukan dan merupakan hukuman pokok seperti ketentuan qishas dan hudud. Kedua, al-’Uqubah al-Badaliyyah yaitu hukuman pengganti. Hukuman ini bisa dikenakan sebagai pengganti apabila hukuman primer tidak diterapkan karena ada alasan hukum yang sah seperti diyat atau ta’zir. Ketiga, al-’Uqubah al-Tab’iyyah yaitu hukuman tambahan yang otomatis ada yang mengikuti hukuman pokok atau primer tanpa memerlukan keputusan tersendiri seperti hilangnya mewarisi karena membunuh. Keempat, al-’Uqubah al-Takmiliyyah yaitu hukuman tambahan bagi hukuman pokok dengan keputusan hakim tersendiri seperti menambahkan hukuman kurungan atau diyat terhadap al-’Uqubah al-Ashliyyah.
Sedangkan tujuan adanya sanksi atau hukuman ada tiga, yaitu: pertama, al-himayah (preventif); yaitu supaya seseorang berfikir dan menyadari akibat yang akan dialami bila suatu jarimah dilakukan. Kedua, al-Tarbiyyah; yaitu supaya seseorang memperbaiki diri atau menjauhkan dirinya dari jarimah dengan pertimbangan dijatuhi hukuman yang setara dengan perbuatannya. Ketiga, al-‘Adalah; yaitu terciptanya rasa keadilan. Jadi hukuman harus ditegakkan tanpa pandang bulu sebagaimana hadis Rasulullah mengenai pemberlakuan potong tangan terhadap pencuri termasuk terhadap Fatimah sekalipun putri beliau seandainya ia mencuri. Adapun sanksi dari jenis jarimah yang telah disebutkan di atas (ghulul, sariqah, khianat, dan risywah) akan penulis kemukakan sebagai berikut:
Pertama, sanksi atau hukuman ghulul. Di dalam hadis-hadis Rasulullah disebutkan bahwa sanksi terhadap pelaku ghulul adalah membakar harta ghululnya dan memukul pelakunya. Hadis yang menjelaskan bentuk sanksi tersebut adalah hadis nomor 2598 dalam Kitab Sunan Abu Daud. Lengkapnya sebagai berikut: “Dari Shalih bin Muhammad bin Zaidah dia berkata: Aku pernah memasuki negeri Rumawi bersama Maslamah, lalu didatangkan kepadanya seorang laki-laki yang melakukan ghulul. Maslamah menanyakan hal itu kepada Salim bin Abdillah bin Umar, lalu dia berkata: Aku mendengarkan ayah menuturkan hadis dari Umar bin Khattab r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “Apabila kamu mendapatkan orang melakukan ghulul, maka bakarlah barangnya, dan pukullah dia” kata Shalih: maka kami mendapatkan sebuah mushaf di dalam barang itu, lalu Maslamah bertanya tentang itu kepada Salim. Jawab Salim: “Juallah barangnya, dan sedekahkanlah harganya”.
Pada hadis yang lain disebutkan bahwa sanksi ghulul adalah dengan membakar hartanya, mengarak keliling pelakunya dan tidak memberikan bagiannya. Diriwayatkan “dari Shalih bin Muhammad dia berkata: pernah kami berperang bersama Walid bin Hisyam, sedang kami bersama Salim bin Abdillah bin Umar bin Abdil Aziz. Kemudian ada seorang laki-laki melakukan ghulul, maka Walid memerintahkan, agar barangnya dibakar. Setelah dibakar, orang itu diarak berkeliling, dan bagiannya tidak diberikan”. Menurut Abu Dawud hadis ini yang paling sahih di antara hadis yang lainnya.
Sanksi atau hukuman bagi penyalahgunaan wewenang atau jabatan bahkan bisa sampai hukuman mati. Al-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain yang mengutip pendapat al-Muhib al-Thabary dari kitabnya Al-Tafqih menyatakan bahwa vonis mati boleh dijatuhkan pada seorang pejabat negara yang menyalahgunakan tugas-tugasnya utnuk menindas rakyat, dan hal itu disamakan dengan lima macam kefasikan (membunuh, zina, mencuri, memutus persaudaraan dan keluar dari Islam), karena kerugian (korban) yang diakibatkan dari kejahatan pejabat ini jauh lebih besar. Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa siapapun yang kalau kejahatannya hanya bisa dihentikan dengan vonis mati, maka ia harus divonis mati, meski itu masih bagian dari ta’zir. Ibn Taimiyyah menganalogikan kejahatan itu dengan kejahatan al-Soil.
Kedua, sanksi atau hukuman sariqah adalah didasarkan pada firman Allah SWT. dalam QS al-Maidah [5]: 38:
وَ السَّارِقُ وَ السَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُما جَزاءً بِما كَسَبا نَكالاً مِنَ اللَّهِ وَ اللَّهُ عَزيزٌ حَكيمٌ
“Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangannya sebagai pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana”.
Di dalam hadis disebutkan:
مسند الصحابة في الكتب التسعة – (ج ٨ / ص ١٤٥)
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا يُقِيمُونَ الْحَدَّ عَلَى الْوَضِيعِ وَيَتْرُكُونَ الشَّرِيفَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ فَعَلَتْ ذَلِكَ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Bahwasanya yang menyebabkan kehancuran umat sebelum kamu ialah mereka menegakkan had terhadap kaum lemah dan meninggalkan had terhadap kaum bangsawan. Saya bersumpah demi Allah seandainya Fatimah (mencuri) niscaya akan kupotong tangannya”.(H.R. Ahmad, Muslim, Nasai dari Aisyah)
Hukuman potong tangan bisa dilaksanakan apabila harta yang dicuri telah sampai senisab. Adapun nisab potong tangan adalah seperempat dinar ke atas sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari ‘Amrah dari ‘Aisyah ra. bahwa sesungguhnya Nabi SAW. biasa memotong tangan karena pencuriannya senilai seperempat dinar ke atas. Hadis tersebut begitu populer karena dikeluarkan oleh Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Turmudzi, Imam an-Nasa’i, dan Imam Ibnu Majah. Hadis dengan redaksi yang hampir sama juga diriwayatkan oleh Urwah dan ‘Amrah juga dikeluarkan oleh para Imam yang telah disebut di atas.
Ada beberapa kasus pencurian yang tidak dipotong tangannya, yaitu pada pencurian buah-buahan dan umbat, mencuri untuk memakannya karena suatu hajat (di tempat itu) tanpa mengantonginya, kemudian orang gila, dan terakhir pencurian yang dilakukan dalam peperangan. Imam Abu Hanifah mengatakan tidak dipotong tangan pada pencurian harta dalam keluarga yang inti karena mereka diiperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Jadi kasus pencurian antara suami istri tidak dipotong tangan. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, seorang ayah tidak dikenai hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya, dan seterusnya ke bawah. Demikian pula sebaliknya, anak tidak dapat dikenai sanksi potong tangan, karena mencuri harta ayahnya, kakeknya, dan seterusnya ke atas.
Sedangkan menurut Muhammad Syahrur hukuman bagi pencurian tidak harus dipotong tangan. Hukuman tersebut bisa diganti dengan hukuman lain yang lebih rendah tetapi tidak boleh diganti dengan hukuman yang lebih tinggi. Teori Muhammad Syahrur mengenai hal ini terkenal dengan teori limit.
Hukuman pengganti potong tangan dalam kasus pencurian menurut Ahmad Abu al-Rus bisa diganti dengan hukuman kurungan dalam jangka waktu yang tidak lebih dari dua tahun, tetapi barang yang dicuri hanya terbatas pada barang-barang yang ketika dicuri tidak sangat berpengaruh terhadap korban pencurian. Namun apabila pencurian tersebut masih diulang hakim diperbolehkan menghukum lebih dari had yang lebih tinggi yang ditetapkan undang-undang untuk tindak pidana dengan syarat tidak melewati kelipatan had sebelumnya.
Ketiga, sanksi atau hukuman bagi pengkhianatan. Orang yang berkhianat tidak dikenakan potong tangan sesuai dengan hadis Nabi:
بلوغ المرام من أدلة الأحكام – (ج ١ / ص ٤٩٠)
لَيْسَ عَلَى خَائِنٍ وَلَا مُنْتَهِبٍ ، وِلَا مُخْتَلِسٍ ، قَطْعٌ
“Tidak dikenakan hukuman potong tangan terhadap pengkhianat, orang yang merampas, dan atau mencopet”. (HR Ahmad dari Jabir bin Abdullah)
Namun demikian pengkhianatan yang sifatnya sariqah (pencurian) hukumannya bisa disamakan dengan sariqah (pencurian). dalam beberapa kasus, khianat dapat dijatuhi hukuman mati. Misalnya pengkhianatan terhadap agama (murtad) dan negara (bughat/pemberontakan), orang yang lari dari medan pertempuran melawan kaum musyrik.
Keempat, sanksi atau hukuman terhadap pelaku tindak kejahatan risywah (suap) bervariasi, sesuai dengan tingkat kejahatannya; mulai dari sanksi material, penjara, pemecatan jabatan, cambuk, pembekuan hak-hak tertentu sampai hukuman mati. Hal ini karena tidak ada nash qath’i yang berkaitan dengan tindak pidana ini. Sanksi Material (al-Ta’zir bi al-Mal) adalah bentuk hukuman material, yaitu dengan cara menyita harta yang dijadikan pelicin atau suap, kemudian dimasukkan ke dalam kas negara. Para ulama’ berbeda pendapat tentang kebolehan sanksi ini, namun terlepas dari pro dan kontra, sanksi ini cukup efektif untuk membuat para pelakunya jera.
Bentuk sanksi material bisa berupa 1). Al-Itlaf, perusakan atau penghancuran sebagaimana pemusnahan minuman keras dan penghancuran sarananya, 2). Al-Taghyir (mengubah), sebagaimana merubah tempat maksiat menjadi tempat yang bermanfaat, 3). Al-Tamlik (penguasaan/pemilikan) sebagaimana tindakan sahabat Umar ra. menyita dan kemudian memasukkan hadiah yang diberikan kepada Abu Hurairah ke dalam Baitul Mal.
Sanksi Penahanan dalam terminologi fiqh yuridis penahanan (al- hubs) berarti menunda dan mencegah seseorang (terdakwa) dari kebebasan bertindak.
Sanksi ini berpijak pada al-Qur’an:
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا
”Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji hendaknya ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikan), kemudian apabila di antara mereka telah emmberikan persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya”. (QS an-Nisâ [4]: 15)
Dalam lintasan sejarah Islam yakni pada masa khalifah Umar bin Khattab, beliau pernah membeli rumah dari Shafwan bin Umayyah seharga 4000 dirham kemudian ia jadikan sebagai penjara. Dari sinilah mulai ada rumah tahanan dalam Islam.
Sanksi Pemecatan Jabatan. Yang dimaksud di sini adalah penghentian segala keterikatan kerja yang berkaitan dengan jabatan. Rasulullah pernah memecat jabatan komandan yang dipegang Sa’ad bin ‘Ubadah. Para ulama’ mazhab Hanafi dan Syafi’i menetapkan sanksi ini kepada para pejabat yang melakukan tindak kriminal suap. Selanjutnya adalah Sanksi Mengulangi Kejahatan. Orang yang telah pernah melakukan kejahatan kemudian mengulanginya lagi maka dia bisa dikenakan unsur pemberatan hukuman.
E. Kesimpulan
Sebagai hasil dari penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Konsepsi hukum Islam tentang korupsi khususnya di Indonesia paling tidak ada empat, yaitu ghulul (penyalahgunaan wewenang), sariqah (pencurian atau penggelapan), khianat, dan risywah (suap atau sogok).
2. Apabila korupsi uang Negara dilakukan oleh pejabat yang diberi amanat mengelola, maka termasuk pengkhianatan dan ghulul. Apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang tidak diberi amanat mengelola dengan cara mengambil dari tempat simpanan, maka dikategorikan pencurian dan ghulul. Kemudian apabila korupsi uang negara dilakukan oleh orang yang diserahi uang atau barang dan dia tidak mengakui menerima uang atau barang tersebut, maka dikategorikan ghulul dan pengkhianatan. Terakhir apabila warga biasa memiliki prakarsa untuk mengeluarkan dana, hadiah, jasa atau barang lainnya sebagai suap (bribery) kepada pejabat untuk memperlancar atau untuk memenuhi tuntutan/permohonannya, atau apabila prakarsa datangnya dari pejabat atau aparatur negara sebagai bentuk pemerasan (extortion), maka kedua hal tersebut termasuk kategori risywah.
3. Untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela, paling tidak ada empat usaha yang harus segera dilakukan, yaitu: Pertama, Memaksimalkan Hukuman. Kedua, Penegakan Supremasi Hukum. Ketiga, Perubahan dan Perbaikan Sistem. Keempat, Revolusi Kebudayaan (mental).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad., al-‘Uqubah wa al-Jarimah Fi al-Fiqh al-Islami, ttp, Dar al-Fikr al Arabi, tth..
——, Muhammad., Al-Jarimah wa al-‘Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, t.t..
Ahmad. S., Abu Abdul Halim., Suap Dampak dan Bahyanya Bagi Masyarakat, Cet 1, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1996.
A’la, Rofiqul., Membongkar Suap, Jurnal Teras Pesantren, M3S PP. MUS Sarang Rembang, 1424 H.
Al-Asqalani, Ibn Hajar., Fath al-Bari, Juz 12, ttp.: al-Maktabah al-Salafi, tth..
Asy’arie, Musa., “Agama dan Kebudayaan Memberantas Korupsi Gagasan Menuju Revolusi Kebudayaan” dalam buku Membangun Gerakan Antikorupsi Dalam Perspektif Pendidikan, Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership: Governance Reform in Indonesia, Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, 2004.
‘Audah, ‘Abd. al-Qadir., At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami, Beirut: Dar al-Kutub, 1963.
Al-Azhari, Muhammad., Tahdzib al-Lughah, juz II, Kairo: Dar al-Qaumiyyah, 1964.
Al-Bantani, Syekh Muhammad An-Nawawi., Sullam at-Taufiq, Surabaya, al-Hidayah, tth.
CD-ROM Holy Qur’an, Seri 7.0, Syarikah Shakhr Li Barnamij al-Hasib, 1991.
CD-ROM Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif, Edisi 1,2, Syarikah Shakhr Li Barnamij al-Hasib, 1991.
Dahlan (et all.), Abd. Azis., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3, Cet. 1, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Haliman, Hukuman Pidana Islam Menurut Ahli Sunnah Wal-Jama’ah, Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
al-Hamid, Syekh Muhammad., Rudud ‘ala Abathil, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1997.
Hamidi dan M. Husnu Abadi, Jazim., Intervensi Negara Terhadap Agama; Studi Konvergensi Atas Politik Aliran Keagamaan Dan Reposisi Peradilan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: UII press, 2001.
Hanafi, Ahmad., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Ibn Abidin, Muhammad Amin., Rad al-Mikhtar Ala al Dar al-Mukhtar Hashiyat Ibn Abidin, juz VII, Beirut: Dar al Ihya’, 1987.
Ibn Husain, Al-Sayyid Abdurrahman ibn Muhammad., Bughyat al-Mustarsyidin, Surabaya: Al-Hidayah, tth..
Ibn Muhammad, Muhammad Ibn ‘Ali., Muntaqa al Akhbar Ma’a Naili al Authar, Mesir: Syirkah maktabah Matba’ah, t. th..
Al-Khatib, Syarbini., Mughni al-Muhtaj, Mesir: Dar al-Bab al-Halabi wa Auladuhu, 1958.
Lukito, Ratno., “Reformulasi Teori Hukuman Dalam Sistem Hukum Pidana Islam (Upaya Menuju Reformasi Hukuman)” dalam Asy-Syir’ah, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2001, Nomor 8. Tahun 2001.
Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyah, Mesir: Dar al-Qalam, 1998.
Munajat, Makhrus., “Penegakan Supremasi Hukum dalam Sejarah Peradilan Islam” dalam Asy-Syir’ah Nomor 8 Tahun 2001, Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga, 2001.
Munajat, Makhrus., Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
Al-Mundziriy, Hafizh., Sunan Abi Daud, jilid 4, alihbahasa Ustadz Bey Arifin dkk, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993.
An-Na’im, Abdullahi Ahmed., Dekonstruksi Syari’ah Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia Dan Hubungan Internasional Dalam Islam, alihbahasa Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Yogyakarta: LKiS, 1997.
Al-Qaradhawi, Yusuf., Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Beirut: Al Maktab al-Islami, 1994.
Al-Rus, Ahmad Abu., Jarâ’im al-Sariqât wa al-Nasbi wa Khiyânât al-Amânah wa al-Syai’ bi Dûni Rasyîd, Iskandariyah: al-Maktabah al-Jami’i al-Hadits, 1997.
As-Shabuni, M. Ali., Rawai’ al-Bayan: Tafsir al-Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Makkah: Dar al-Qur’an al-Karim, 1972.
Syahrur, Muhammad., al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Damaskus: al-Ahali at-Taba’ah wa an-Nashr wa at-Tawzi’, 1990.
Al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam, Kairo: Matba’at Muhammad Ali Subayh, 1970), hlm.3, 82, dan 91.
Al-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad,. Nail al-Authar, Juz VIII., Kairo” Dar al-Hadits, t.t..
At-Tabrani, Abu al-Qasim Sulayman ibn Ahmad., al-Mu’jam al-Kabir, editor: Hamdi ‘Abd al-Majid al-Salafi, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1985.
At-Tirmidzi, Muhammad Isa bin Surah Sunan At-Tirmidzi, alihbahasa Drs. H. Moh. Zuhri Dipl. TAFL dkk., (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1992.
‘Ulama’ India, al-Fatwa al-Hindiyah, Juz III, (Bulak: Dar al-Thoba’ah al-Amirah, t.th..
(Dikutip dan diselaraskan dari http://www.scribd.com/doc/38803830/Korupsi-Dan-Pemberantasannya-Di-Indonesia, untuk kepentingan diskusi internal PUTM Yogyakarta)
________________________________________
[1]‘Abd. al-Qadir ‘Audah, at-Tasyrî’ al-Jinâiy al-Islâmiy, I (Beirut: Dar al-Kutub, 1963), hlm. 67.
[2] Al-Mawardi, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1998), hlm. 198.
[3] Abdullahi
Sumber: http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/korupsi-dan-pemberantasannya-dalam-perspektif-hukum-islam-studi-kasus-indonesia/
Langganan:
Postingan (Atom)