BUATLAH APA YANG BELUM DIFIKIRKAN ORANG LAIN,BERHENTI TIADA TEMPAT BAGIMU, LAMBAT BER ARTI MATI, KARENA ENGKAU AKAN TER INJAK INJAK OLEH MASA
ASSALAMU ALAIKUM
Kamis, 09 Mei 2013
ISLAM DAN KREATIVITAS BELAJAR
Islam merupakan agama yang perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Islam sangat menekankan ummatnya untuk terus menuntut ilmu. Dalam surat Ar-Rahman, Allah SWT menjelaskan bahwa diriNya adalah pengajar (‘Allamahu al Bayan) bagi umat Islam. Dalam ajaran Islam, baik dalam ayat Al-Qur’an maupun Hadits, bahwa ilmu pengetahuan paling tinggi nilainya melebihi hal-hal lain. Bahkan salah satu sifat Allah adalah Dia memiliki ilmu yang Maha Mengetahui. Seperti wahyu pertama yang diturunkan Allah SWT dalam surat Al-‘Alaq adalah perintah untuk membaca dan belajar. Dalam surat tersebut Allah SWT juga memerintahkan kita agar menerangkan ilmu. Setelah itu kewajiban kita adalah mentransfer ilmu tersebut kepada generasi berikutnya. Adapun cara memperoleh dan mengamalkan ilmu pengetahuan ialah dengan pendidikan.
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama pembangunan bangsa dan negara. Tujuan pendidikan pada umumnya adalah menyediakan lingkungan yang memugkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pribadi dan masyarakat. Suatu pendidikan dikatakan bermutu jika proses belajar mengajar berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta dapat belajar sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas diperlukan manajemen pendidikan yang dapat memfasilitasi segala sumber yang diperlukan di dalam pendidikan.
Pendidikan bertanggung jawab untuk memandu (mengidentifikasi dan membina) serta memupuk (mengembangkan dan meningkatkan) bakat yang dimiliki seseorang, termasuk bagi mereka yang berbakat istimewa atau memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (the gifted and talented). Pada umumnya “anak berbakat” diartikan sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) yang tinggi. Akan tetapi kenyataannya bahwa yang menentukan keberbakatan bukan hanya intellegensi (IQ) yang tinggi melainkan juga kreativitas dan motivasi untuk berprestasi (Renzulli dalam Utami Munandar, 2004). Ditinjau dari aspek manapun kebutuhan akan kreativitas sangatlah dibutuhkan. Kreativitas atau daya cipta memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi, serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya.
Tahun 2009 lalu, ada siaran di TransTv tentang seorang tokoh maestro dunia. Ia dikenal sebagai penemu lampu pijar. Dialah Thomas Alfa Edison, yang sejak kecil tokoh ini sangat kreatif. Meski guru-guru sekolahnya menganggap ia bodoh, namun hal itu tidak berlaku untuk ibunya. Tidak henti-hentinya Ibu Thomas Alfa Edison mengajarinya membaca dan berhitung.
Suatu saat, Edison hampir diamuk penduduk sekampung karena membakar hutan dan apinya hampir menghanguskan rumah-rumah penduduk kampung. Api kebakaran itu sebenarnya bukan kesengajaan Edison. Waktu itu, ia sangat tertarik dengan kerja mantik api. Ia mengadakan eksperimen di hutan. Karena masih kecil, mungkin dia mudah melakukan keteledoran sehingga api menjalar ke hutan. Kesalahan Edison ini tidak membuat ibunya marah. Ia tetap didorong oleh ibunya untuk belajar. Ibunya yakin, bahwa kreativitas anak tersebut suatu saat akan bermanfaat bagi masa depannya. Tangan, kaki, mata, pikiran dan ucapan Edison menarik bagi ibunya, karena lain daripada anak-anak seusianya. Memang sangat pantas diakui bahwa Edison adalah anak yang kreatif dari mudanya (Hariwijaya, 2009) dan penemuannya itu, merupakan secercah cahaya bagi kemajuan teknologi di seluruh dunia. Kini seluruh dunia dapat memiliki cahaya listrik siang dan malam karena hasil pemikiran kreatifnya.
Jelaslah bahwa aktivitas belajar tidak semata-mata melalui jalur pendidikan formal tetapi juga informal. Dalam Al-Qur’an sudah dijelaskan bahwa orang yang mulia di sisi Allah hanya karena dua hal, yaitu karena imannya dan ketinggian ilmunya. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa ilmu pengetahuan harus disandingkan dengan iman. Perpaduan antara ilmu pengetahuan dan iman akan menghasilkan peradaban yang baik yang disebut dengan Al-Madinah al-Fadhilah. Jika iman disandingkan dengan ilmu pengetahuan, lalu bagaimanakah dengan kreativitas belajar yang merupakan salah satu jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan? Dapatkah Islam menjelaskan tentang kreativitas belajar? Berangkat dari dua pertanyaan di atas, maka dalam makalah ini penulis akan memaparkan lebih jauh tentang Islam dan kreativitas belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BELAJAR
Belajar memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan manusia. Dengan melalui proses belajar dalam fase perkembangannya, manusia bisa menguasai berbagai kemahiran maupun kemampuan. Ada beragam pengertian mengenai belajar yang diungkapkan oleh banyak tokoh maupun aliran, yaitu (dalam Mustaqim, 2010):
1. Belajar adalah usaha untuk membentuk hubungan antara perangsang dan reaksi. Pandangan ini dikemukakan oleh aliran koneksinonisme yaitu aliran psikologi dipelopori oleh Thorndike. Menurut aliran ini orang belajar karena menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Masalah itu merupakan stimulus terhadap individu. Jika individu tersebut mengadakan reaksi (merespon) stimulus tersebut maka terjadilah peristiwa belajar.
2. Belajar adalah usaha untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi di sekitar kita. Pandangan ini pada umumnya dikemukakan oleh pengikut aliran Behaviorisme. Peristiwa belajar terjadi ketika seseorang menyesuaikan diri karena dalam penyesuaian diri tersebut muncul sikap-sikap yang baru.
3. Belajar adalah suatu proses aktif, bukan hanya aktivitas fisik yang nampak seperti gerakan badan akan tetapi juga aktivitas mental seperti berfikir, mengingat dan sebagainya. Umumnya pandangan ini dikemukakan oleh para ahli psikologi Gestalt.
4. Menurut J.P Chaplin, belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman.
Dari beberapa pengertian diatas dapatlah disimpulkan bahwa belajar adalah tahapan perubahan perilaku yang relatif positif dan menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognisi. Proses perubahan itu tidak hanya perubahan tingkah laku yang nampak akan tetapi juga perubahan yang tidak dapat diamati dan perubahan ini menuju ke arah yang lebih positif lagi.
Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan itu sangat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa.
B. TAHAPAN DAN METODE BELAJAR
Menurut Witting dalam bukunya Psychology of Learning ada tiga tahapan yang harus dilalui seseorang dalam proses belajar, yaitu (dalam Muhibbin Syah, 2004):
1. Acquisition (tahap perolehan informasi)
Pada tingkatan ini seorang siswa mulai menerima informasi sebagai stimulus kemudian melakukan respon terhadapnya, sehingga menimbulkan pemahaman dan perilaku baru. Pada tahap ini terjadi asimilasi antara pemahaman dengan perilaku baru dalam keseluruhan perilakunya.
2. Storage (tahap penyimpanan informasi)
Pada tahapan ini setelah seorang siswa memperoleh informasi secara otomatis siswa akan mengalami proses penyimpanan informasi. Peristiwa ini melibatkan fungsi short term dan long term memori atau ingatan seseorang.
3. Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)
Setelah siswa memperoleh informasi kemudian menyimpannya, pada tahapan ini siswa tersebut akan mengaktifkan kembali fungsi-fungsi sistem memorinya misalnya pada saat menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah. Pada dasarnya proses ini adalah peristiwa mental dalam mengungkapkan dan memproduksi kembali apa-apa yang tersimpan dalam memori baik berupa informasi, simbol, pemahaman, dan perilaku tertentu sebagai respon atas stimulus yang sedang dihadapi.
Proses belajar dapat berjalan dengan lancar dengan menerapkan beberapa metode dalam belajar, yaitu (dalam Utsman Najati, 2000):
1. Metode Imitasi
Yaitu meniru orang lain dalam mengerjakan sesuatu. Diawal perkembangannya, seorang bayi hanya mengikuti apa yang dilakukan ibunya dan orang-orang disekitarnya. Ketika dewasa, tingkat perkembangan dan kebutuhannya pun semakin kompleks meskipun meniru masih menjadi salah satu cara untuk belajar.
Di dalam Islam, dapat ditemui juga hal yang demikian misalnya pada kisah Qabil-Habil, dimana salah satu dari mereka terbunuh sedangkan saudaranya yang lain tidak mengetahui bagaimana cara menghilangkan mayatnya. Dari peristiwa tersebut kemudian turunlah ayat:
“…kemudian Allah SWT menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya…” (QS. Al-Maidah : 30-31)
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa metode imitasi telah lama digunakan. Dengan meniru bagaimana burung gagak menguburkan mayat saudaranya akhirnya kita pun meniru dengan menguburkan mayat saudara kita yang sudah meninggal.
2. Metode Trial-Error
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia berusaha secara mandiri untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi. Dalam memecahkan masalah tersebut terkadang beberapa kali melakukan kesalahan sampai akhirnya dia mampu menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara yang benar. Metode penyelesaian semacam itu disebut dengan metode trial-error.
Rasulullah SAW juga telah memberikan isyarat tentang pentingnya melakukan percobaan pribadi ketika seseorang dalam proses belajar, seperti hadits berikut ini :
“Bukan orang yang sabar kecuali orang yang pernah mengalami kesalahan dan bukan orang yang arif kecuali pernah melakukan percobaan.” (HR. Turmudzi)
Hadits tersebut diatas menunjukkan pentingnya percobaan dan upaya trial-error dalam proses belajar seseorang. Seorang yang arif tidak akan mencapai hikmah yang sesungguhnya kecuali setelah ia melakukan rangkaian uji coba sehingga bisa menemukan kebenaran atau hikmah itu sendiri.
3. Metode Conditioning (pengkondisian)
Pembelajaran melalui metode conditioning (pengkondisian) ialah jika ada stimulus yang merangsangnya dan respon yang menanggapi. Rasulullah SAW bersabda :
“Seorang mukmin tidak akan disengat binatang dari satu lubang yang sama sebanyak dua kali” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Dari hadits tersebut diketahui bahwa dengan metode pengkondisian ini seseorang bisa mengetahui bagaimana cara belajar yang tepat untuknya.
4. Metode Berfikir
Dalam proses belajar, berfikir adalah mencoba menyeleksi beberapa macam solusi atas permasalahan yang ada sebelum menjatukan pilihan pada satu solusi. Dengan berfikir, manusia juga dapat melakukan trial-error secara intelektual dalam pemecahan masalahnya. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua hal yang dicintai Allah dan RasulNya, yaitu akal (yang mampu berfikir dengan baik) dan sifat sabar.” (HR.Muslim)
Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia untuk selalu menggunakan akal dan memahami serta merenungi segala ciptaan dan kebesaran Allah SWT di alam ini. Antara lain seperti dalam surat Al-Ghasyiah ayat 17 sampai 20, surat Qaf ayat 6 sampai 10, Surat Al-An’am ayat 95, surat Al-Anbiya ayat 66 sampai 67 dan sebagainya.
Hal ini juga pernah diungkapkan oleh salah satu tokoh psikologi yaitu Vygotsky, yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang akan berkembang apabila dia berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses belajar manusia dapat berkembang ketika kognitif mereka juga berkembang.
C. ARTI PENTING BELAJAR
Allah SWT sudah menekankan pentingnya belajar sejak diturunkannya wahyu yang pertama kepada Rasulullah SAW surat Al-‘Alaq ayat 1 sampai 5, yaitu :
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam memandang aktivitas belajar merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan belajar dapat berupa menyampaikan, menelaah, mencari, mengkaji serta meneliti.
Dalam Al-Qur’an kata “al-ilm” dan turunannya diulang sebanyak 780 kali, ini menunjukkan bahwa kegiatan belajar sebagai aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan merupakan kewajiban bagi manusia itu sendiri. Rasulullah SAW selalu memotivasi umat Islam untuk menuntut ilmu pengetahuan. Beliau juga menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Beliau mengajak kaum muslimin tidak hanya menuntut ilmu akan tetapi juga mengajarkannya.
Adapun arti penting belajar menurut Al-Qur’an :
1. Orang yang belajar akan mendapatkan ilmu yang dapat digunakan untuk memecahkan segala masalah yang dihadapi di dunia ini.
2. Manusia dapat mengetahui dan memahami apa yang dilakukannya karena Allah sangat membenci orang yang tidak memiliki pengetahuan akan apa yang dilakukannya karena setiap apa yang diperbuat akan dimintai pertanggung jawabannya.
3. Dengan ilmu yang dimilikinya, mampu mengangkat derajatnya di mata Allah SWT.
Belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan sehingga akan meningkatkan derajat kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :
“…niscaya Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.” (QS. Al-Mujadalah : 11)
Ilmu dalam hal ini tentu saja harus berupa pengetahuan yang relevan dengan tuntutan zaman dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
D. PENGERTIAN KREATIVITAS
Kreativitas (creativity) merupakan salah satu kemampuan intelektual manusia yang sangat penting. Kebanyakan ahli psikologi kognitif memasukannya ke dalam kemampuan pemecahan masalah. Pemecahan masalah adalah proses mencari dan menemukan jalan keluar terhadap suatu masalah atau kesulitan. Kreativitas dapat didefinisikan sebagai aktivitas kognitif atau proses berfikir untuk menghasilkan gagasan-gagasan yang baru dan berguna bagi pemecahan masalah (dalam Suharnan, 2005).
Sementara Munandar (1997) mendefinisikan kreativitas merupakan proses yang aktif, yang menuntut pelibatan diri dan inisiatif. Hampir sama dengan pendapat Munandar dan Csikszentmihalyi di atas, yaitu Hariwijaya (2009) mendefinisikan istilah kreativitas mengacu pada proses mental yang membawa kepada solusi-solusi, ide-ide, konsep-konsep, bentuk-bentuk artistik, teori-teori dan produk-produk yang unik dan hal yang baru. Orang kreatif adalah orang yang senantiasa memiliki daya cipta terhadap segala sesuatu. Seseorang yang memiliki kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru dan menemukan cara baru dalam kegiatannya adalah orang kreatif (dalam Munandar, 1997).
Suatu gagasan dikatakan kreatif apabila memiliki dua kriteria yaitu memiliki unsur baru dan berguna. Menurut perspektif psikologis, suatu gagasan dapat dikatakan baru atau original apabila belum pernah ada yang menghasilkan gagasan tersebut. Akan tetapi kriteria baru juga tidak berarti gagasan tersebut belum sama sekali ada, melainkan bisa juga merupakan suatu gagasan yang dikembangkan dari hasil memodifikasi atau mengubah gagasan-gagasan yang sudah ada sebelumnya. Kriteria berikutnya adalah kegunaan, suatu gagasan baru yang dihasilkan harus dapat berguna bagi penyelesaian masalah dan bagi orang lain.
E. PROSES KREATIVITAS
Menurut para ahli psikologi kognitif, proses kreatif dianggap menyerupai proses pemecahan masalah. Menurut perspektif ini, berfikir kreatif melibatkan proses mengidentifikasi masalah, memutuskan pentingnya masalah, perumusan pokok masalah dan pencapaian suatu cara baru bagi pemecahan masalah. Adapun menurut Wallas (dalam Suharnan, 2005) proses kreativitas meliputi:
1. Persiapan (preparation)
Pada tahap persiapan ini seseorang berusaha untuk mengumpulkan berbagai macam informasi yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Informasi yang secara lengkap diperlukan agar seseorang dapat lebih memahami pokok permasalahan dan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Perumusan kembali permasalahan tersebut merupakan salah satu cara sederhana agar seseorang dapat melihat permasalahan itu dari berbagai sudut pandang.
2. Inkubasi (incubation)
Pada tahap inkubasi seseorang dengan sengaja untuk sementara waktu tidak memikirkan masalah yang sedang dihadapi. Meski demikian sebenarnya di dalam pikiran alam bawah sadar orang tersebut tetap berlangsung proses pencarian pemecahan masalah. Seringkali ide kreatif itu muncul di dalam pikiran seseorang pada saat ia berhenti memikirkan masalah tersebut.
3. Iluminasi (illumination)
Dalam tahap ini penemuan gagasan pemecahan masalah masih berupa ide pokok. Tahapan ini sering disebut tahapan munculnya ilham secara tiba-tiba. Proses ini sering disebut dengan “AHA Experience”.
4. Verifikasi (verification)
Pada tahapan terakhir ini adalah mengevaluasi tahapan-tahapan sebelumnya. Jika gagasan pemecahan masalah itu berhasil maka proses berfikir kreatif selesai namun jika gagal maka seseorang tersebut harus mengulang kembali ke tahapan-tahapan sebelumnya dan merumuskan kembali pokok permasalahan.
F. BELAJAR DAN KREATIVITAS
Belajar sebagai suatu perubahan tingkah laku yang relatif tetap, yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman. Banyak hal melibatkan pemecahan masalah dan kreativitas. Akan tetapi kedua proses tersebut berbeda dalam proses berfikirnya. Pemecahan masalah melibatkan pemikiran konvergen yaitu berorientasi pada satu jawaban yang baik dan benar. Sedangkan kreativitas melibatkan pemikiran divergen yaitu proses berfikir yang berorientasi pada penemuan jawaban atau mempunyai alternatif jawaban yang banyak. Belajar kreatif berhubungan erat dengan penghayatan terhadap pengalaman belajar yang sangat menyenangkan yang dijalani melalui tahapan-tahapan kreativitas. Berikut ini adalah model Treffinger untuk belajar kreatif, yaitu:
Model Treffinger untuk belajar kreatif
Model Treffinger untuk belajar kreatif menggambarkan susunan tiga tingkat yang dimulai dengan unsur-unsur dasar dan menanjak ke fungsi-fungsi berfikir kreatif yang lebih majemuk, yaitu:
a. Tingkat I Basic Tools
Pada tingkat ini meliputi keterampilan berfikir divergen dan teknik-teknik kreatif. Keterampilan dan teknik-teknik ini mengembangkan kelancaran dan kelenturan berfikir serta kesediaan mengungkapkan pemikiran kreatif kepada orang lain.
b. Tingkat II Practice with Process
Pada tingkat ini memberi kesempatan kepada para siswa untuk menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat I dalam situasi praktis. Untuk tujuan ini digunakan strategi bermain peran, simulasi dan studi kasus. Kemahiran dalam berfikir kreatif menuntut siswa memiliki keterampilan untuk melakukan fungsi-fungsi seperti analisis, evaluasi, imajinasi dan fantasi.
c. Tingkat III Working with Real Problems
Pada tingkat ini siswa menerapkan keterampilan yang dipelajarinya pada dua tingkat pertama terhadap dunia nyata. Siswa tidak hanya belajar keterampilan berfikir kreatif tetapi juga bagaimana menggunakan informasi ini dalam kehidupan.
Dari uraian diatas maka yang dimaksud model pembelajaran kreatif adalah suatu pola pendekatan yang digunakan untuk menciptakan iklim belajar dan pembelajaran yang mendukung bagi berkembangnya kreativitas siswa. Dengan melibatkan keterampilan kognitif maupun afektif pada setiap tingkat dari model ini, Treffinger menunjukkan saling berhubungan dan ketergantungan antara keduanya dalam mendorong belajar kreatif.
G. ISLAM DAN KREATIVITAS BELAJAR
Mengacu pada penjelasan-penjelasan sebelumnya kreativitas sebenarnya memiliki sifat ilmiah, dan ketika kita berpikir ilmiah, berarti ada orisinilitas di dalamnya. Disamping bersifat ilmiah, kreativitas juga merupakan sesuatu yang khas pada setiap individu.
Kreativitas adalah potensi yang pada dasarnya dimiliki setiap orang dalam derajat dan tingkatan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Asiah (2007) dalam Jurnal Komunitas yang mengatakan bahwa masyarakat pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang. Asiah, lebih lanjut, mengutip pendapat Piaget dalam bukunya Sund tahun 1976 yang mengatakan bahwa kemampuan operasi berpikir manusia ditentukan oleh kemampuan manusia itu sendiri untuk mengasimilasi atau mengadaptasikan lingkungan dalam pikirannya. Dalam terminologi lain, maka kemampuan berpikir kreatif manusia ini ditentukan oleh dua komponen, pertama adalah kemampuannnya menangkap gejala dan kedua adalah kemampuannya untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu pengertian umum. Namun potensi berpikir kreatif ini tidak berkembang apabila manusia tidak memanfaatkan kesempatannya itu.
Kedua pandangan di atas, rupanya sudah dijelaskan secara mendetail di dalam al Qur’an sebagaimana dikutip oleh ahli-ahli agama Islam seperti Quraish Shihab (dalam Nashori & Mucharram, 2002) yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk unik (khalqan akhar).
“….Kemudian Kami jadikan dia (manusia) makhluk yang unik. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’min : 12-14)
Adapun penyebab kreativitas tidak dapat berkembang secara optimal adalah karena seseorang terlalu dibiasakan untuk berpikir secara tertib dan dihalangi oleh kemungkinannya untuk merespon dan memecahkan persoalan secara bebas. Dengan berpikir tertib semacam ini, maka seseorang dibiasakan mengikuti pola bersikap dan berperilaku sebagaimana pola kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat atau lingkungannya (dalam Nashori & Mucharram, 2002).
Berkenaan dengan kebiasaan berpikir tertib, agama dipandang oleh sementara orang mempunyai peranan terhadap rendahnya kreativitas manusia. Agama dipandang sangat menekankan ketaatan seseorang kepada norma-norma. Sehingga, karena kebiasaan berpikir dan bertindak berdasarkan norma-norma itulah semangat atau niatan untuk berkreasi menjadi terhambat. Pandangan ini dinilai oleh pendapat lain sebagai pandangan yang tidak mengenal esensi agama. Padahal agama diciptakan Tuhan agar kehidupan manusia menjadi lebih baik. Islam misalnya, dilahirkan agar menjadi petunjuk bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Mereka mengakui bahwa agama mengajarkan norma-norma, tapi norma itu bukan berarti membatasi kreativitas manusia. Agama justru yang mendorong manusia untuk berpikir dan bertindak kreatif (dalam Nashori & Mucharram, 2002). Oleh karena itulah maka Allah SWT selalu mendorong manusia untuk berpikir. Seperti firman Allah SWT :
“Demikianlah, Alah menerangkan kepadamu ayat-ayat –Nya, agar kamu berpikir” (QS. Al Baqarah : 219)
Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa sebenarnya Islam pun dalam hal kreativitas memberikan kelapangan pada umatnya untuk berkreasi dengan akal pikirannya dan dengan hati nuraninya (qalbunya) dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidup di dalamnya. Bahkan, tidak hanya cukup sampai di sini, dalam al Qur’an sendiri pun tercatat lebih dari 640 ayat yang mendorong pembacanya untuk berpikir kreatif. Seperti firman Allah SWT berikut ini :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada dalam diri mereka.” (QS. Ar-Rad : 11)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa sesungguhnya hanya manusia itu sendiri yang mampu untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Allah SWT member potensi pada manusia untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
Kreativitas dalam Islam (dalam Faruq 2006; Utami dkk, 2009) tidak sama dengan kreativitas dalam musik, seni, ataupun semacamnya yang bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah. Islam adalah agama yang selalu relevan dalam setiap konteks, baik ruang maupun waktu (shalih li kulli zaman wal makan). Salah satu bentuk relevansi Islam dengan konteks yang melingkupinya adalah bagaimana Islam tidak serta merta menolak hal-hal baru hasil kreasi umat manusia dalam masalah keagamaan, meskipun kreasi itu belum pernah ada di zaman Rasulullah masih hidup.
Dikatakan bahwa ada dua hal dalam Islam yang termasuk dalam kreativitas, yaitu bid’ah dan ijtihad. Pertama, konsep mengenai bid’ah, bid’ah yang dimaksud di sini adalah bid’ah hasanah. Konsep bid’ah di sini bukanlah menciptakan sesuatu yang baru dan bertentangan dengan ajaran Sunnah, melainkan sebuah konsep bid’ah yang dipandang sebagai sebuah inovasi atau biasa disebut dengan finding something new.
Kemudian proses kreatif dalam Islam yang kedua yaitu ijtihad. Di dalam bid’ah terdapat suatu inovasi baru yang harus diambil suatu keputusan. Pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah ini menjadi bagian dari konsep ijtihad. Konsep ini dijelaskan sebagai konsep jihad yang etis melalui pengembangan keputusan baik itu individu atau kelompok untuk mencapai solusi yang tepat. Proses ini melibatkan pemikiran analitis dan kritis yang melibatkan disiplin (tidak bertentangan dengan Qur’an dan Hadits) serta pengetahuan diri (inteligensi). Hasil dari ijtihad inilah yang kemudian nanti disebut dengan produk kreativitas itu sendiri.
Sebuah usaha yang berhasil biasanya melibatkan pemikiran dan kreativitas. Dengan demikian, maka agama Islam sangat mendukung dan mendorong pengembangan kreativitas umatnya.
BAB III
KESIMPULAN
Kreativitas merupakan proses kognitif untuk menemukan solusi yang asli dan benar-benar baru, baik itu berupa produk atau bukan dan bisa jadi hal ini adalah anugerah yang diberikan Allah swt kepada hamba-Nya yang benar-benar mau memikirkan (tadzakkur) terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Islam dalam hal penekanannya terhadap fungsi kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera) sebagai alat penting untuk belajar sangat jelas. Kata-kata seperti ya’qilun, yatafakkarun, yubshirun, yasma’un dan sebagainya yang terdapat dalam Al-Qur’an merupakan bukti betapa pentingnya penggunaan ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan.
Kreativitas disamping bermanfaat untuk pengembangan diri juga merupakan kebutuhan akan perwujudan diri (aktualisasi diri) sebagai salah satu kebutuhan paling tinggi bagi manusia. Kreativitas adalah suatu proses merasakan dan mengamati adanya masalah, membuat dugaan tentang kekurangan, menilai dan menguji dugaan hipotesis kemudian mengubahnya dan mengujinya lagi sampai pada akhirnya memperoleh hasilnya.
Adapun dalam memandang konsep kreativitas ini, agama Islam sudah sangat jelas, yaitu telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada umatnya untuk selalu berpikir dan menemukan ide-ide kreatif sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Shaleh, Muhbib Abdul Wahab. Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Kencana. Jakarta : 2004.
Asiah, N. Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. KOMUNITAS: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. No. 2, Volume III : 2007.
Hariwijaya. How to Success; Strategi Mengembangkan Diri Untuk Meraih Kesusksesan. Tugupublisher. Yogyakarta: 2009.
Jeanne Ellis Ormrod. Psikologi Pendidikan (Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang). Erlangga. Jakarta : 2010.
Muhammad Utsman Najati. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Mustaqiim. Kairo : 2000.
____________________. Psikologi dalam Tinjauan Hadits Nabi. Mustaqiim. Kairo : 2000.
Muhibbin Syah, M. Ed. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Remaja Rosdakarya. Bandung : 2004.
Nashori, F. & Mucharram, R.D. 2002. Mengembangkan Kreativitas: Perspektif Psikologi Islam. Menara Kudus. Yogyakarta : 2002.
Mustaqim, Abdul Wahab. Psikologi Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta : 2010.
Saifullah. Mencerdaskan Anak. Lintas Media. Jombang : 2004.
Suharnan. Psikologi Kognitif. Srikandi. Surabaya : 2005.
Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. Jakarta : 2002.
Utami Munandar, S.C. Mengembangkan bakat dan kreativitas anak sekolah. Gramedia Widyatama. Jakarta : 1999.
Utami Munandar, S.C. Mengembangkan Inisatif dan Kreativitas Anak. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi PSIKOLOGIKA, No. 2, Volume II : 1997.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah