Jepang membuat kejutan baru. Kali ini berkaitan dengan sistem dan prestasi di bidang pendidikan. Banyak pengamat pendidikan dan pembangunan di Amerika Serikat melihat bagaimana sistem pendidikan di Jepang telah berhasil mencetak tenaga kerja dengan semangat, motivasi dan watak yang “pas” bagi pembangunan. Sebagai suatu masyarakat yang sepenuhnya mengakui peran pendidikan dalam pembangunan, para ahli di A.S. mulai menengok sistem pendidikan di Jepang, sekaligus mengevaluasi sistem pendidikan di,A.S. sendiri. Maka dibentuklah team Jepang dan A.S. yang bertugas untuk mengevaluasi pertemuan antara Reagan dan Nakasone pada tahun 1983. Pada tanggal 4 Januari tahun 1987, secara serentak di kedua lbu Kota negara diumumkan hasil kerja team tersebut. Team Amerika Serikat mengumumkan 128 halaman laporan yang oleh seorang pejabat di kantor pendidikan di Washington disebut sebagai suatu potret sistem pendidikan yang canggih. Dalam laporan tersebut, sebagaimana dikutip oleh Newsweek, 12 Januari 1987, dikemukakan bahwa murid-murid di Jepang diperkirakan mempunyai IQ yang tinggi, buta huruf sudah tidak dikenal lagi. Di samping itu berdasarkan tes yang telah distandardisir secara internasional ternyata murid-murid SMA di Jepang memiliki skore di bidang matematik dan sain lebih tinggi dari pada murid-murid SMA di A.S. Tambahan lagi, penelitian ini mempertebal keyakinan para pengamat bahwa pendidikan di Jepang telah memainkan peran yang penting dan sangat menentukan dalam pembangunan ekonomi negara pada dua puluh lima tahun terakhir ini.
A. Antara Menghafal dan Berfikir
Dimana letak kehebatan sistem pendidikan di Jepang ? Para ahli dan pengamat pendidikan boleh kecewa. Ternyata sistem pendidikan Jepang, kalau dilihat dengan kacamata teori pendidikan barat, bisa dikategorikan sebagai suatu sistem pendidikan tradisional. Pemerintah pusat memegang kontrol pendidikan, termasuk menentukan kurikulum yang berlaku secara nasional baik bagi sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Pengajaran menekankan hafalan dan daya ingat untuk menguasai materi pelajaran yang diberikan. Materi pelajaran diarahkan agar murid bisa lulus ujian akhir atau test masuk ke sekolah lebih tinggi, tidak mengembangkan daya kritis dan kemandirian murid. Semua murid diperlakukan sama, tidak ada treatment khusus untuk murid yang tertinggal. Sekolah menekankan pada diri murid sikap hormat dan patuh kepada guru dan sekolah. Dengan singkat sistem pendidikan Jepang dapat dikatakan suatu sistem pendidikan yang “kaku, seragam dan tiada pilihan bagi anak didik”. Di fihak lain, sebanyak 78 halaman laporan team Jepang antara lain menyatakan pujiannya atas fleksibilitas sistem pendidikan Amerika Serikat. Di samping itu, juga disebut dan bahwa meski anak didik di Jepang memiliki prestasi lebih tinggi dari pada prestasi anak Amerika, namun hal itu dicapai dengan pengorbanan yang tidak ringan. Antara lain murid-murid di Jepang tidak bisa “menikmati” enaknya sekolah. Sebab dari waktu ke waktu anak didik di Jepang dikejar-kejar oleh pekerjaan rumah, ulangan dan ujian. Hasilnya murid-murid Amerika lebih independent dan innovative dalam berfikir, dan juga sudah barang tentu lebih bahagia dibandingkan dengan anak-anak didik di Jepang. Namun demikian, kuranglah tepat kalau secara tegas ditarik kesimpulan bahwa sistem pendidikan yang menekankan disiplin dan hafalan serta daya ingat sebagaimana yang diterapkan di Jepang lebih hebat dari pada sistem pendidikan yang menekankan kebebasan, kemandirian dan kreatifitas individual sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat. Dibalik sistem pendidikan di Jepang yang kaku dan seragam tersebut sebenarnya ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, dengan menegakkan disiplin patuh terhadap guru dan sekolah menyebabkan anak didik di Jepang secara riil menggunakan waktu sekolah lebih besar dari pada anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Kedua, sistem pendidikan di Jepang telah berhasil melibatkan orang tua anak didik dalam pendidikan anak-anaknya. lbu, khususnya senantiasa memperhatikan, memberikan pengawasan dan bantuan belajar kepada anak-anaknya. Tambahan lagi, lbu-ibu ini terus secara berkesinambungan membuat kontak dengan para guru. Ketiga, di luar sekolah berkembang kursus-kursus yang membantu anak didik untuk mempersiapkan ujian atau mendalami mata pelajaran yang dirasa kurang. Keempat, status guru dihargai dan gaji guru relatif tinggi. Hal ini mengakibatkan pekerjaan guru mempunyai daya tarik. Di fihak lain, pendidikan di Amerika tidaklah sebagaimana digambarkan orang, dimana anak didik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan kreatifitasnya. Penelitian nasional yang dilakukan oleh Goodlad yang kemudian diterbitkan menjadi buku yang berjudul “A Place called school” ternyata menunjukkan sesuatu yang lain. Antara lain disebutkan ternyata hanya sekitar 5 % dari waktu jam pelajaran yang digunakan untuk berdiskusi. Sebagian besar waktu, sekitar 25 % untuk mendengarkan keterangan guru, sekitar 17 % waktu untuk mencatat dan sisa waktu yang lain untuk praktek, mempersiapkan pekerjaan dan test. Jadi dengan kata lain, sistem pendidikan di Amerika tidak sepenuhnya berjalan sebagaimana dicita-citakan para ahli.
B. Kiblat Pendidikan Membaca laporan kedua team di atas, setidak-tidaknya memberikan nuansa baru. Yakni bahwa sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah dan budayanya sendiri. Mengambil alih suatu sistem atau gagasan dibidang pendidikan dari bangsa lain harus dikaji penerapannya dengan latar belakang budaya yang ada. Sebagai contoh, sekarang ini dunia pendidikan Indonesia sedang dilanda semangat untuk mengetrapkan sistem pengajaran yang menekankan “proses”, dengan metode pengajaran yang disebut “Inquiry Teaching Method”. Metode ini sangat ampuh untuk meningkatkan critical thinking anak didik. Tapi dalam praktek metode ini sulit untuk bisa diterapkan di kelas kelas di Indonesia. Mengapa ? Sebab metode ini menuntut adanya suasana yang bebas di kelas dan anak didik memiliki semangat untuk mencari kebenaran dan keberanian untuk mengutarakan gagasannya. Dan hal ini yang belum dimiliki oleh kelas-kelas dinegara kita. Oleh karena itu gagasan menerapkan metode inquiry perlu didahului mengembangkan kondisi-kondisi yang diperlukan. Misalnya dengan mulai menerapkan di tingkat sekolah dasar kelas satu. Atau, malahan sebaliknya, lebih baik memantapkan pelaksanaan pengajaran dengan metode yang sudah dikenal tetapi sebenarnya belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang pernah penulis temui pada suatu pertemuan dengan guru-guru sekolah menengah yang menyatakan “Apakah tidak sebaiknya kita mencoba untuk mengembangkan bagaimana cara mengajarkan dengan metode ceramah yang efektif, dari pada menggunakan metode baru yang masih sangat asing ?” Nampaknya, kiblat pendidikan tidak hanya Amerika Serikat, kita perlu berkiblat juga ke Jepang dalam rangka menyusun dan mengembangkan sistem pendidikan yang cocok dengan falsafah dan budaya Indonesia.
1.2. Konsep Pendidikan Desentralisasi, dan De-Berlinisasi Persoalan yang kini dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan umumnya dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan siswa mencapai skore dalam tes dan kemampuan lulusan mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan. Kualitas pendidikan ini dianggap penting karena sangat menentukan gerak laju pembangunan di negara manapun juga. Oleh karenanya, hampir semua negara di dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
A. Desentralisasi Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Amerika Serikat, Friedman ekonom yang pernah menjabat sebagai penasehat ekonomi Reagan menyarankan agar sekolah-sekolah negeri dihapuskan sebab sumber dari rendahnya mutu pendidikan pada dasarnya adalah sekolah negeri itu sendiri yang keberadaannya sangat tergantung kepada anggota Pemerintah sehingga motivasi untuk mencapai prestasi pendidikan pada sekolah-sekolah negeri tersebut rendahnya. Sebagai ganti sistem sekolah negeri, pemerintah mengembangkan sistem “voucher”, yakni pemerintah memberikan bantuan pendidikan kepada masyarakat dengan memberikan voucher, dimana pemegang voucher dapat memilih sekolah yang diinginkan. Sekolah pada gilirannya akan menukar voucher dengan uang kepada pemerintah. Dengan system voucher ini akan terjadi kompetisi di antara sekolah-sekolah. Sekolah yang bermutu tinggi akan banyak mendapatkan uang. Dan sebaliknya sekolah yang bermutu rendah akan miskin muridnya, miskin voucher yang berarti miskin uang. Lebih lanjut, karena sebagian besar keuangan sekolah bersumber dari voucher ini, maka sekolah yang tidak laku akan gulung tikar secara alamiah. Sekolah yang bisa terus hidup adalah sekolah yang bermutu tinggi. Sudah barang tentu sebagai ekonom yang terkenal berpandangan liberal, ide Friedman tentang voucher ini bersumberkan dari ide “free fight competition”. Dari ide voucher ini nampak jelas bahwa sekolah harus diorganisir dengan desentralisasi, malahan sangat ekstrim, masing-masing sekolah mempunyai kemandirian dalam melaksanakan pendidikan. Ide yang berkembang di Sovyet pada hakekatnya tidak jauh dengan ide Friedman di atas. Untuk meningkatkan pembangunan masyarakat sosialis di Uni Sovyet sistem pendidikan negara yang bersangkutan diusulkan untuk diperbaharui. Yegor Ligachev, orang nomor dua di Sovyet setelah Mikhail Gorbachev, menilai bahwa mutu pendidikan di negara “beruang merah” tersebut tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan perkembangan yang ada. Artinya, sistem pendidikan yang ada tidak bisa lagi berperan secara maksimal sebagaimana yang diharapkan. Oleh karenanya, Ligachev mengusulkan terdapat usaha yang terus menerus untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tetapi, boleh juga dipertanyakan, betulkah adanya desentralisasi akan meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita? Tidaklah mudah menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini dikarenakan, pertama kebijaksanaan desentralisasi memerlukan pelaksana-pelaksana yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif, dan berjiwa mandiri. Karena pengalaman dibawah sistem pendidikan sentralisasi yang cukup lama dan berlebihan, maka pelaksanaan pendidikan dengan sifat-sifat di atas tidak banyak. pelaksanaan pendidikan kita sudah terbiasa dengan instruksi, juklak dan dan juknis. Sehingga adanya kebijaksanaan desentralisasi setidak-tidaknya untuk waktu tertentu akan menimbulkan kemandegan dalam dunia pendidikan. Kedua, desentratisasi mungkin bisa untuk meningkatkan kualitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan anak atas mata pelajaran yang diberikan sebagaimana ditunjukkan oleh skore tes, tetapi desentralisasi belum merupakan jaminan bisa ditingkatkan eksternal effisiensi, dalam arti lulusan sekotah bisa mendapatkan dan melakukan pekerjaan sebagaimana seharusnya.
B. De-berlinisasi Apabila disebut Berlin, maka gambaran yang ada pada benak kita adalah hadirnya suatu tembok yang kokoh dan kuat yang berada di Jerman. Tembok tersebut betul-betul memisahkan Berlin bagian barat dan Berlin bagian timur secara total. Tembok yang kokoh kuat sebagaimana tembok Berlin tersebut muncul dan memisahkan “dunia pendidikan”.di satu fihak dan “dunia kerja” di fihak lain. Adanya tembok pemisah tersebut menjadikan adanya kesenjangan antara kedua dunia tersebut. Akibatnya, hubungan antara dunia pendidikan dan dunia kerja tidak harmonis. Kemajuan yang terjadi di dunia kerja tidak bisa cepat disadap oleh dunia pendidikan. Akibatnya, apa yang dihasilkan dunia pendidikan tidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja. Dan, adanya pengangguran bersamaan kekurangan tenaga kerja di dunia kerja tidak bisa dielakkan lagi. Penghilangan tembok pemisah antara dunia kerja dan dunia pendidikan atau deberlinisasi ini sangat diperlukan untuk melengkapi desentralisasi. Sebab desentralisasi hanya akan meningkatkan kualitas pendidikan dalam arti meningkatkan penguasaan pelajaran, tetapi bukan meningkatkan kemampuan bekerja. De-berlinisasi berarti memberikan kesempatan orang-orang dari dunia pendidikan untuk mendapatkan sesuatu yang riil dari dunia kerja, sebaliknya orang-orang dari dunia kerja bisa mendapatkan informasi- informasi dari dunia pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas dunia kerja. Pelaksanaan deberlinisasi dalam ujud konkret dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan yang luas dan mudah orang-orang dari dunia pendidikan untuk praktek kerja, observasi dan magang di dunia kerja. Demikian pula, tenaga-tenaga ahli dari dunia kerja diajak untuk mengembangkan kurikulum, pendidikan, bahkan sudah masanya mereka ini diundang masuk ke dunia pendidikan. Hal ini dapat dilakukan di mana dunia kerja menyumbangkan tenaga ahli yang berpengalaman untuk pada waktu tertentu menjadi staf pengajar luar biasa di lembaga pendidikan. Kehadiran tenaga dari dunia kerja ini tidak hanya akan menjadikan apa yang disampaikan sangat menarik sehingga meningkat aspek kognitif mahasiswa atau siswa, tetapi yang lebih penting lagi, kehadirannya akan membawa semangat dan mentalitas dunia kerja ke dalam dunia pendidikan. Nampaknya usaha peningkatan kualitas pendidikan sangat besar perannya bagi peningkatan pembangunan bangsa. Dan peningkatan kualitas tidak cukup hanya dengan kebijaksanaan desentralisasi di bidang pendidikan, tetapi harus juga diiringi dengan penjebolan tembok pemisah antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
1.3. Restrukturisasi Pendidikan Pada hakekatnya, struktur dan mekanisme praktek pendidikan yang tengah kita laksanakan berdasarkan pada pembaharuan pendidikan yang lahir di Amerika Serikat pada tahun 50-an yang hanya menitikberatkan pada metode agar siswa menguasai basic skills dan mata pelajaran yang diajarkan. Struktur dan mekanisme praktik pendidikan tersebut dalam implementasinya di negara-negara sedang berkembang menghasilkan suatu sistem pendidikan yang tidak sensitive terhadap ide-ide baru dan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan dunia kerja. Seperti, pendidikan mengabaikan ide-ide baru tentang peran pendidikan dalam masyarakat yang berubah atau era globalisasi sistem pendidikan mengabaikan hakekat peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik tertentu, pendidikan mengabaikan adanya kecenderungan perkembangan demokrasi dari demokrasi formal ke arah demokrasi substansial. Ditinjau berdasarkan paradigma pendidikan: lnput-Proses-Output, struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang dilaksanakan tersebut terlalu menekankan aspek proses. Hal ini tidak aneh karena pengambil kebijaksanaan mendasarkan pada premis bahwa kalau proses berjalan dengan baik secara otomatis akan menghasilkan output yang berkualitas. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang diputuskan adalah mengatur proses dengan mengembangkan kebijakan agar para guru dapat dan harus melaksanakan perilaku sebagaimana yang telah ditentukan sehingga proses dapat berjalan sebagaimana yang telah dirancang dan diyakini akan menghasilkan output yang berkualitas. Para pengambil kebijaksanaan tidak pernah membayangkan atau tidak mau tahu bahwa proses pendidikan tidak dapat diseragamkan. Terlalu banyak variasi yang tidak memungkinkan seragamisasi proses pendidikan tersebut.
A. “Teaching Vs Learning” Struktur dan mekanisme praktik pendidikan yang terlalu menekankan pada proses melahirkan proses pendidikan lebih sebagai “proses pengajaran oleh guru” (teacher teaching) dibandingkan yang seharusnya sebagai “proses pembelajaran oleh murid” (student learning). Guru harus melaksanakan tugas dengan metode yang telah ditentukan sebagaimana “petunjuk dari atas”, terlepas guru suka atau tidak terhadap perilaku tersebut, cocok atau tidaknya metode tersebut dengan materi yang harus disampaikan di depan peserta didik. Guru harus menggunakan metode tersebut karena suatu “perintah” atasan. Oleh karena itu, muncullah robot- robot yang mengajarkan di kelas (robotic teacher). Konsekuensi lebih lanjut adalah muncul iklim sekolah yang cenderung bersifat otoriter. lklim yang tidak demokratis ini menyebabkan proses sekolah menjadi statis dan beku serta menimbulkan efek destruktif pada “keingintahuan, kepercayaan diri, kreatifitas, kebebasan berfikir, dan self-respect” di kalangan peserta didik. Sudah barang tentu struktur dan mekanisme praktik pendidikan sebagaimana tersebut di atas tidak akan sanggup menghadapi masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan merupakan tunututan yang perlu segera dilaksanakan agar pendidikan bisa berperan secara maksimal dalam menghadapi tantangan pembangunan nasional, di masa kini dan di masa mendatang.
C. Kebebasan dan Otonomi Restrukturisasi dan deregulasi pendidikan yang diperlukan adalah mencakup empat aspek: a). Orientasi pembelajaran siswa, b). Profesionalitas guru, c). Accountability sekolah, dan d). Partisipasi orang tua peserta didik dan masyarakat sekitar dalam penyelenggaraan pendidikan. Dilihat dari paradigma pendidikan, Input-Proses-Output, tiga aspek pertama menyangkut aspek input dan aspek keempat menyangkut output. Dengan demikian, restrukturisasi dan deregulasi pendidikan lebih mengarah pada pembenahan aspek input daripada aspek proses. Secara spesifik restrukturisasi dan deregulasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kompetensi guru dan murid untuk mencapai prestasi setinggi mungkin. Komitmen dan kompetensi guru diharapkan terutama adalah bahwa guru harus memiliki pemahaman yang mendalam atas materi yang akan disampaikan (Depth of Understanding) dan mampu menyampaikan materi dengan penuh kreatifitas dan improvisasi yang orisinil, sehingga proses belajar mengajar terasa segar dan alami (authentic learning). Sudah barang tentu komitmen dan kompetensi guru semacam itu banyak dipengaruhi proses yang terjadi pada pre-service training pada lembaga pendidikan guru. Oleh karena itu, kebijakan yang perlu dikembangkan pada pasca proses pendidikan guru adalah mengembangkan kemandirian guru dan memberikan otonomi serta kebebasan yang lebih luas pada sekolah dan guru. Sebagai pekerja profesional dan orang yang paling tahu keadaan peserta didik dan lingkungannya, guru harus diberikan kebebasan penuh dalam menjalankan tugas. lnstruksi, pengarahan, dan petunjuk dari atas perlu direduksir semaksimal mungkin. Kalau guru mendapatkan otonomi dan kepercayaan penuh mereka akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Demikian juga, otonomi ini akan memungkinkan guru mempergunakan kemampuan dan pengalaman profesional yang mereka miliki secara penuh dalam proses belajar mengajar. Dengan otonomi dan kebebasan dalam menjalankan proses pembelajaran (learning process), guru akan lebih berhasil dibandingkan kalau guru hanya terpaku pada petunjuk dan pengerahan teknik dari birokrat kantoran (the office level bereucrat) yang dalam banyak hal tidak praktis dan terlalu teoritis. Demikian pula dengan adanya otonomi dan kebebasan yang dimiliki sekolah, guru memiliki lebih banyak kesempatan untuk merencanakan kerja sama di sekolah, mengarahkan peserta didik agar lebih banyak individual atau kelompok kecil dibandingkan dalam proses belajar mengajar kelompok besar dan dari itu sekolah akan dapat diciptakan sebagai dunianya peserta didik sendiri.
D. Partisipasi Masyarakat Dibalik otonomi dan kebebasan yang dimiliki, kepada guru diberikan target yang harus dicapai sebagai standar keberhasilan. Sudah barang tentu target tersebut adalah keberhasilan untuk semua peserta didik tanpa membedakan latar belakang sosial ekonomi yang dimiliki, mencapai prestasi pada tingkat tertentu. Target bisa dikembangkan pada berbagai skop sekolah. Dengan adanya target sebagai standar, masyarakat bisa ikut mengevaluasi seberapa jauh keberhasilan sekolah dalam mencapai tujuan. Terbukanya kesempatan bagi masyarakat dan orangtua peserta didik untuk mengevaluasi proses pendidikan, memungkinkan munculnya partisipasi masyarakat sekitar dan khususnya orangtua peserta didik dalam menyelenggarakan pendidikan. Misalnya, sekolah bisa mengundang orangtua dan masyarakat sekitar untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan operasionalisasi kegiatan sekolah. Orangtua dan masyarakat sekitar yang mampu bisa diajak untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan. Dengan demikian, pada level makro, secara nasional bisa dilaksanakan realokasi anggaran pembangunan pendidikan. Anggaran pendidikan pemerintah yang terbatas hanya diarahkan pada sekolah-sekolah yang memiliki peserta didik dengan latar belakang yang kurang mampu. Sedangkan bagi sekolah-sekolah yang peserta didiknya terdiri dari orangtua berlatar belakang sosial ekonomi relatif kaya, diharapkan bisa self-supporting dalam pembiayaan sekolah. Bahkan tidak hanya masyarakat sekitar, karena target dan standar yang harus memiliki skop regional dan daerah, maka pemerintah daerah akan secara langsung terlibat dalam menyukseskan pendidikan di wilayah masing-masing. Diharapkan pemerintah setempat bisa mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendukung pencapaian target pendidikan tersebut. Misalnya, pemerintah kelurahan menetapkan “jam belajar” bagi anak usia tertentu. Pada jam-jam tersebut anak-anak tidak boleh bermain. Dengan kata lain pelayanan kemasyarakatan perlu dikaitkan dengan proses pendidikan. Kepada setiap sekolah dan guru diberikan kebebasan apa yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran. Yang penting adalah pencapaian target yang telah ditentukan, dengan kata lain proses pendidikan bersifat product oriented, berlawanan process oriented, yang dilakukan sekarang ini. Untuk mencapai target yang telah ditentukan kepada guru perlu diberikan insentif dan sekaligus sanksi. Insentif diberikan kepada guru yang berhasil melampaui target yang telah ditentukan. Sebaliknya, sanksi diberikan kepada guru yang melakukan tindak kecurangan, misalnya mengubah, menambah atau memalsu nilai hasil pembelajaran peserta didik.
1.4. Paradigma Baru Pengajaran Selama masih ada kesenjangan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, ada kesenjangan harapan akan prestasi yang ada, selama itu pula problema pendidikan senantiasa dibicarakan dan gaung tuntutan pembaharuan pendidikan akan terus bergema. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan membedah problem kependidikan: macrocosmic dan microcosmic. Macrocosmic merupakan pendekatan yang bersifat makro, di mana proses pendidikan dianalisis dalam kerangka yang lebih luas. Dalam arti, proses pendidikan harus dianalisis dalam kaitannya dengan proses di bidang lain. Sebab proses pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan, baik politik, ekonomi, agama, budaya, dan sebagainya. Oleh karenanya pendekatan ini menekankan bahwa usaha-usaha memecahkan problema di bidang pendidikan tidak ada artinya kalau tidak dikaitkan dengan perbaikan dan penyesuaian di bidang lain. Pendekatan microcosmic melihat pendidikan sebagai suatu kesatuan unit yang hidup di mana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri. interaksi yang terjadi tersebut berupa proses belajar mengajar yang terdapat di kelas. Pendekatan ini memandang interaksi guru dan murid merupakan faktor pokok dalam pendidikan. Oleh karenanya, menurut pendekatan mikro ini, perbaikan kualitas pendidikan hanya akan berhasil kalau ada perbaikan proses belajar mengajar atau perbaikan dalam bidang keguruan.
A. Paradigma ilmu keguruan Proses belajar mengajar di mana interaksi murid-guru dilaksanakan secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditargetkan disebut sebagai ilmu keguruan. Ilmu ini bisa diklasifikasi sebagai bagian dari ilmu kependidikan. Ilmu keguruan memiliki paradigma yang berkaitan dengan pertanyaan apa dan siapa murid ?, apa dan siapa guru, apa fungsi guru? apa materi pengajaran itu?, ke mana anak akan dibawa?, apa indikator keberhasilan anak didik? bagaimana mengevaluasi keberhasilan tersebut? Ilmu keguruan yang berkembang dan dipraktekkan di tanah air kita, memandang anak didik sebagai seorang individu yang belum dewasa, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Jadi, dalam proses interaksi guru-murid, anak didik merupakan obyek. Sedangkan guru merupakan sumber ilmu dan keterampilan, dimana kehadirannya di muka kelas merupakan suatu kondisi mutlak yang harus ada agar proses belajar mengajar berlangsung. Karena guru memegang peran yang penting dalam proses interaksi tersebut, maka guru harus dihormati dan dipatuhi. Apa yang diajarkan guru sudah tercantum dalam kurikulum atau sudah dideskripsikan dalam buku yang sudah tersedia. Pengembangan pembahasan materi sesuai dengan perkembangan lingkungan dan pembahasan teori dalam kaitan dengan realitas yang ada tidak begitu mendapatkan tekanan. Sebab pembahasan materi pelajaran terletak pada materi itu sendiri. Sebagai hasil proses belajar mengajar yang penting tidak saja anak didik memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana anak didik mendapatkan pengetahuan atau keterampilan tersebut. Program-program pembaharuan pendidikan, misalnya pembaharuan kurikulum atau sekolah pembangunan, yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, merupakan program-program yang didesain dengan acuan paradigma di atas. Sejauh ini, belum ada program-program pembaharuan pendidikan yang berhasil dalam memecahkan problem pendidikan. Mengapa? Jawaban atas pertanyaan mangapa ini bisa panjang. Misalnya, dari aspek perencanaan, hampir semua pembaharuan pendidikan tidak direncanakan secara mantap karena kurang didasarkan pada hasil penelitian yang solid. Aspek monitoring juga lemah, hal ini ditunjukkkan dengan adanya program pembaharuan pendidikan yang berlangsung cukup lama tidak pernah dievaluasi tahu-tahu program tersebut dihentikan. Di samping itu, dan ini yang lebih penting, adalah bahwa kegagalan program-program pembaharuan pendidikan di tanah air terletak pada paradigmanya sendiri. Artinya paradigma ilmu keguruan yang diterapkan di tanah air kita ini sudah tidak bisa digunakan untuk memecahkan problem kependidikan yang kita hadapi. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Thomas Kuhn mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan ini dimulai dengan adanya “krisis”, di mana kemapanan ilmu dipertanyakan. Yang kemudian diikuti dengan usaha untuk merubah secara mendasar ilmu pengetahuan tersebut dengan mempertanyakan dan mengembangkan paradigma baru. Dalam kaitan dengan pembahasan interaksi murid-guru, nampaknya krisis ilmu keguruan untuk memecahkan problema pendidikan dewasa ini patut dipertanyakan. Oleh karenanya, sudah saatnya diperlukan adanya keberanian dari para ahli, terutama mereka yang berkecimpung dalam keguruan, untuk mempertanyakan paradigma lama dan mengembangkan paradigma baru.
B. Paradigma baru pengajaran Angin segar di bidang keguruan telah bertiup dari Cianjur. Di mana di kabupaten ini di sekolah-sekolah dasar sudah diterapkan metode mengajar cara belajar siswa aktif yang dikenal dengan CBSA, sebagai kebalikan dari cara mengajar DDCH (duduk, diam, catat, hafal) atau CMGA cara mengajar guru aktif). Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya CBSA mendasarkan pada paradigma baru. Murid dalam metode CBSA bukan dianggap obyek pendidikan, melainkan sebagai subyek pendidikan. Sesungguhnya yang penting bukan saja pengetahuan atau keterampilan akan diperoleh, melainkan juga bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau keterampilan tersebut. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Malahan, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Apa yang dikemukakan oleh guru masih bersifat “hypothetical”. Oleh karena itu murid perlu menguji kebenaran apa yang dikemukakan oleh guru. Dalam mengajar guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan guru akan aktif untuk mengkaitkan kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi siswa. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pembaharuan pengajaran yang mendasarkan pada paradigma baru tersebut di Cianjur telah menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan. Dalam bidang prestasi akademik nilai rata-rata NEM untuk daerah Cianjur mencapai 33,88 sedangkan untuk daerah Jawa Barat secara keseluruhan rata-rata NEM hanya mencapai 26,25. Pada aspek perilaku, lulusan SD Cianjur yang sekarang ini sudah di SMP mempunyai ciri-ciri , antara lain, (a) di kelas mereka aktif baik dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari, (b). mereka ini bisa bekerjasama dengan membuat kelompok-kelompok belajar, (c). mereka ini bersifat demokratis, berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain, dan (d) di samping mampu bekerjasama, mereka memiliki kepercayaan diri yang besar. Melihat kehidupan sekolah dasar di Cianjur betul-betul melihat dunia anak : dinamis, aktif dan gembira. Sekolah bagi anak bukan merupakan tempat menakutkan ataupun menjemukan. Dari sekolah dasar semacam inilah akan dapat diharapkan munculnya pribadi yang mandiri dan demokratis. Tetapi masalahnya, bagaimana pembaharuan di bidang pengajaran dengan CBSA ini dapat disebarluaskan di seluruh Indonesia? Masalahnya tidaklah gampang, mengingat pelaksanaan CBSA memerlukan perubahan-perubahan total pada diri siswa maupun guru. Khusus, di fihak guru dituntut untuk memiliki “Duit” (Dedikasi yang lebih tinggi, Usaha yang lebih keras, lkhlas, dan Tekun). Karena melaksanakan proses belajar-mengajar dengan CBSA guru harus lebih aktif, khususnya dalam mempersiapkan bahan pelajaran, merencanakan proses yang akan dilaksanakan, mempersiapkan evaluasi dan tindak lanjut. Dan itu semua harus dilaksanakan dalam kondisi di mana secara ekonomis tidak akan menghasilkan apa-apa. Keberhasilan disiminasi proses belajar mengajar dengan pendekatan CBSA di seluruh tanah air merupakan jembatan menuju revolusi ilmu keguruan.
1.5. Agenda Reformasi Pendidikan Sejarah perkembangan ekonomi di banyak negara industri telah membuktikan tesis human investment, pentingnya peran kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan. Berdasarkan tesis tersebut telah muncul strategi pembangunan yang dikenal dengan istilah human-reseources based economic development, yang telah dipraktekkan dan mengantar negara-negara, seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapore menjadi negara-negara industri baru. Dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan memegang peran yang penting. Sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan bangsa hanya akan lahir dari sistem pendidikan yang berdasarkan filosofis bangsa itu sendiri. Sistem pendidikan cangkokan dari luar tidak akan mampu memecahkan problem yang dihadapi bangsa sendiri. Oleh karena itu, upaya untuk melahirkan suatu sistem pendidikan nasional yang berwajah Indonesia dan berdasarkan Pancasila harus terus dilaksanakan dan semangat untuk itu harus terus menerus diperbaharui. Tantangan utama bangsa Indonesia dewasa ini dan di masa depan adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam kaitan ini menarik untuk dikaji bagaimana kualitas pendidikan kita dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan sehingga bisa menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sebagaimana diharapkan, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang produktif, efisien, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan global ini.
A. Kecenderungan Globalisasi Proses globalisasi akan terus merebak. Tidak ada satu wilayahpun yang dapat menghindari dari kecenderungan perubahan yang bersifat global tersebut, dengan segala berkah, problem dan tantangan-tantangan yang menyertainya. Pembangunan pendidikan harus mengantisipasi kecenderungan-kecenderungan global yang akan terjadi. Beberapa kecenderungan global yang perlu untuk diantisipasi oleh dunia pendidikan antara lain adalah: Pertama, proses investasi dan re-investasi yang terjadi di dunia industri berlangsung sangat cepat, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat pula pada organisasi kerja, struktur pekerjaan, struktur jabatan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan. Sebaliknya, praktek pendidikan tradisional berubah sangat lambat, akibatnya mismacth education and employment cenderung semakin membesar. Kedua, perkembangan industri, komunikasi dan informasi yang semakin cepat akan melahirkan “knowledge worker” yang semakin besar jumlahnya. Knowledge worker ini adalah pekerjaan yang berkaitan erat dengan information processing. Ketiga, berkaitan dengan dua kecenderungan pertama, maka muncul kecenderungan bahwa pendidikan bergeser dari ide back to basic ke arah ide the forward to future basics, yang mengandalkan pada peningkatan kemampuan TLC (how to think, how to learn and how to create). How to think menekankan pada pengembangan critical thinking, how to learn menekankan pada kemampuan untuk bisa secara terus menerus dan mandiri menguasai dan mengolah informasi, dan how to create menekankan pada pengembangan kemampuan untuk dapat memecahkan berbagai problem yang berbeda-beda. Keempat, berkembang dan meluasnya ide demokratisasi yang bersifat substansi, yang antara lain dalam dunia pendidikan akan terwujud dalam munculnya tuntutan pelaksanaan school based management dan site-specific solution. Seiring dengan itu, karena kreatifitas guru, maka akan bermunculan berbagai bentuk praktek pendidikan yang berbeda satu dengan yang lain, yang kesemuanya untuk menuju pendidikan yang produktif, efisien, relevan dan berkualitas. Kelima, semua bangsa akan menghadapi krisis demi krisis yang tidak hanya dapat dianalisis dengan metode sebab-akibat yang sederhana, tetapi memerlukan analisis system yang saling bergantungan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut di atas menuntut kualitas sumber daya manusia yang berbeda dengan kualitas yang ada dewasa ini. Muncul pertanyaan mampukah praktek pendidikan kita menghasilkan lulusan dengan kualitas yang memadai untuk menghadapi kecenderungan-kecenderungan di atas?
B. Praktek pendidikan dewasa ini Orientasi pendidikan suatu bangsa akan menunjukkan bagaimana praktek pendidikan berlangsung, dan pada tahap berikutnya akan dapat dijadikan dasar untuk meramalkan kualitas lulusan yang ditelorkan oleh praktek pendidikan tersebut. Setiap orientasi pendidikan dapat dikaji berdasarkan empat dimensi yang ada, yakni dimensi status anak didik, dimensi peran guru, dimensi materi pengajaran dan dimensi manajemen pendidikan. Masing-masing dimensi mempunyai dua kutub ekstrim yang terentang secara kontinyu. Dimensi status anak didik terentang dari anak didik berstatus sebagai obyek atau klien dan anak didik berstatus sebagai subyek atau sebagai warga dalam pendidikan. Dimensi orientasi pendidikan kedua adalah fungsi guru. Dimensi ini terentang dari kutub fungsi guru sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator sampai pada kutub lain guru sebagai fasilitator dan motivator dalam proses pendidikan. Dimensi yang ketiga adalah materi pendidikan, yang memiliki rentang dari materi bersifat materi oriented atau subject oriented sampai problem oriented. Dimensi keempat, manajemen pendidikan terentang dari manajemen yang bersifat sentralistis sampai manajemen yang bersifat desentralistis atau school-based management. Orientasi pendidikan kita cenderung memperlakukan peserta didik berstatus sebagai obyek atau klien, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktrinator, materi bersifat subject oriented, manajemen bersifat sentralistis. Orientasi pendidikan yang kita pergunakan tersebut menyebabkan praktek pendidikan kita mengisolir diri dari kehidupan yang riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan inteiektual yang tidak berjalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berkepribadian. Proses belajar mengajar didominasi dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi ujian atau test, di mana pada kesempatan tersebut anak didik harus mengeluarkan apa yang telah dihafalkan. Akibat dari praktek pendidikan semacam itu muncullah berbagai kesenjangan yang antara lain berupa-kesenjangan akademik, kesenjangan okupasional dan kesenjangan kultural. Kesenjangan akademik menunjukkan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah tidak ada kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini disebabkan karena guru tidak menyadari bahwa kita dewasa ini berada pada masa transisi yang berlangsung dengan cepat, dan tetap memandang sekolah sebagai suatu insitusi yang berdiri sendiri yang bukan merupakan bagian dari masyarakatnya yang tengah berubah. Di samping itu, praktek pendidikan kita bersifat melioristik yang tercermin seringnya perubahan kurikulum secara erratic. Ditambah lagi, banyak guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Akibatnya guru terus terpaku pada pemikiran yang sempit. Terbatasnya wawasan para guru dalam memahami fenomena-fenomena yang muncul di tengah-tengah masyarakat menyebabkan mereka kurang tepat dan kurang peka dalam mengantisipasi permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan, akibatnya mereka kehilangan gambaran peta pendidikan & kemasyarakatan secara komprehensif. Kesenjangan okupasional, kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, memang bukanlah sernata-mata disebabkan oleh dunia pendidikan sendiri. Melainkan, juga ada faktor yang datang dari dunia kerja. Sedangkan, kesenjangan kultural ditunjukkan oleh ketidakmampuan peserta didik memahami persoalan-persoalan yang sedang dihadapi dan akan dihadapi bangsanya di masa depan. Kesenjangan kultural ini sebagai akibat sekolah-sekolah tidak mampu memberikan kesadaran kultural-historis kepada peserta didik. Peserta didik kita tidak memiliki historical-roots dan culturalroot dari berbagai persoalan yang dihadapi. John Simmon dalam bukunya Better Schools sudah memprediksi bahwa hasil pendidikan tradisional semacam itu hanya akan melahirkan lulusan yang hanya pantas jadi pengikut bukannya jadi pemimpin. Jenis kerja yang mereka pilih adalah kerja yang sifatnya rutin dan formal, bukannya kerja yang memerlukan inisiatif, kreatifitas dan entrepreneurship. Sudah barang tentu dengan kualitas dasar sumber daya manusia tersebut di atas, bangsa Indonesia sulit untuk dapat menghadapi tantangan-tantangan yang muncul sebagai akibat adanya kecenderungan global.
C. Reformasi pendidikan suatu keharusan? Reformasi pendidikan ditujukan untuk meningkatkan komitmen dan kemampuan guru dan murid untuk mencapai prestasi pendidikan sebagaimana diharapkan. Dengan reformasi pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan struktur dan kondisi yang memungkinkan munculnya komitmen dan kemampuan tersebut di atas. Oleh karena itu, reformasi yang dilakukan harus mencakup tiga aspek dalam pendidikan: aspek organisasi dan kultur sekolah, aspek pekerjaan guru dan aspek interaksi sekolah dan masyarakat. Dominasi birokrasi dan kontrol politik yang berlebih-lebihan dari pusat atas sekolah dan proses belajar-mengajar melahirkan organisasi dan kultur sekolah yang tidak mendukung proses pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Organisasi sekolah yang bersifat birokratis sentralistis cenderung menimbulkan rigiditas dalam proses pendidikan, karena pendidikan diperlakukan secara klasikal dan mekanistis sebagai suatu industri yang bisa dilaksanakan dengan instruksi dari pusat. Birokrasi dan sentralisasi dalam pendidikan telah menimbulkan kultur birokratis di lingkungan sekolah. Kepala sekolah lebih setia berkorban bagi pejabat atasannya dari pada memperjuangkan nasib para guru. Demikian pula guru lebih patuh mengikuti pendapat kepala sekolah dari pada memperjuangkan nasib peserta didiknya. Organisasi sekolah yang bersifat birokratis sentralistis dan kultur sekolah otoriter birokratis telah gagal melaksanakan transmisi pengetahuan, sikap dan pola pikir peserta didik untuk mengantisipasi baik dalam dunia kerja maupun dalam dunia perguruan tinggi. Oleh karena itu, organisasi sekolah perlu direformasikan ke dalam organisasi sekolah yang mendasarkan school-based management atau site-specific solutions agar muncul berkembangnya budaya dialog profesional di lingkungan sekolah-sekolah. Organisasi sekolah yang berwajah lokal dalam kegiatannya senderung senantiasa mendasarkan pada consensus lewat dialog dan diskusi yang terbuka dan seimbang. Dalam kaitan ini, jabatan kepala sekolah yang selama ini ditunjukkan oleh pemerintah perlu diganti dengan kepala sekolah yang mungkinkan sekolah sebagai suatu lembaga yang relatif otonom dari kekuatan politik. Kerja kepala sekolah beserta staf administrasi merupakan tim yang demokratis jika orang tua murid dilibatkan dalam pelaksanaan pendidikan sebagai anggota bukan sebagai klien. Guru akan dapat mengajar dengan lebih baik dan peserta didik akan dapat belajar di sekolah lebih baik pula apabila kepala sekolah bertindak sebagai seorang pemimpin pendidik daripada sebagai manajer. Begitu pula proses belajar-mengajar akan lebih “bergairah dan hidup” apabila kultur sekolah demokratis dengan mengundang partisipasi dari segenap warga sekolah. Organisasi dan kultur sekolah sebagaimana dikemukakan di atas cenderung mengembangkan kerja guru tidak semata-mata sebagai kerja individu melainkan sebagai ‘kerja tim, yang memiliki berbagai tugas yang harus dikerjakan bersama. Banyak bukti menunjukkan bahwa sekolah-sekolah akan dapat berjalan dengan lebih baik apabila guru-guru diorganisir dalam suatu tim yang masing-masing anggota memiliki peran yang sederajat, otonom, saling menghormati, dan saling membantu, dari pada guru diorganisir berdasarkan pada otoritas yang bersifat hirarkhis. Bentuk kerja tim akan merupakan suatu keluarga yang satu sama lain memiliki hubungan yang akrab dan masing-masing saling membantu bekerjasama untuk mencapai keberhasilan bagi kesemuanya. Di antara anggota keluarga memiliki pemahaman yang mendalam satu sama lain, sehingga interaksi dan dialog menjadi bersifat alami. Diibaratkan keluarga yang demokratis, sebagai orang tua guru dilihat sebagai pemegang dan penjaga nilai-nilai yang diperlukan bagi kehidupan keluarga tersebut, lewat mata pelajaran yang disampaikan dan interaksi dialog. Interaksi sebagai seorang guru tetap dijaga dalam sekolah yang demokratis. Guru memiliki kebebasan akademik untuk mencari dan mengkaji pengetahuan yang akan disampaikan kepada peserta didik. Demikian pula, guru sebagai orang tua dalam keluarga memiliki wewenang untuk menganulir keputusan yang bertentangan dengan demokrasi.
D. Pekerjaan dan kondisi guru Pekerjaan guru dilaksanakan di ruang kelas yang terisolir. Hal ini membawa konsekuensi meski guru menghadapi peserta didik, tetapi tidak memiliki kolega, dalam arti kolega yang bisa mengamati dan diajak dialog berkaitan dengan tugas-tugas pendidikan. Guru hampir menghabiskan seluruh waktunya dengan peserta didik di ruang-ruang kelas, sehingga interaksi antar guru sangat minimal dan terbatas. Kurang adanya dialog antar mereka menyebabkan guru merupakan individu yang harus senantiasa mengisi dan mengembangkan dirinya sendiri. Apabila antar guru sempat berdialog, mereka jarang membicarakan persoalan yang dihadapi berkaitan dengan tugas-tugas profesional mereka. Inilah yang membedakan profesi guru dan profesi yang lain. Kalau dokter ketemu dokter mereka berdialog tentang penyakit yang melanda suatu daerah atau temuan-temuan teknik pengobatan baru. Kalau arsitek ketemu arsitek mereka membicarakan bagaimana teknik bangunan yang mutakhir. Sebaliknya, kalau guru ketemu guru, mereka berdialog tentang kredit kendaraan mereka atau potangan gaji yang tidak pernah berhenti. Dengan demikian dapat dikatakan kultur kerja guru bersifat sangat individualistis dan non collaborative. Pekerjaan dan kondisi guru erat berkaitan dengan aspek organisasi dan kultur sekolah. Organisasi dan kultur sekolah memberikan kesempatan bagi guru untuk berperilaku berbeda dari apa yang sudah ditentukan. Kalau ada guru yang memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi peserta didik, akan dihambat oleh kondisi sekolah. Karena otonomi guru sangat terbatas, mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi monoton, kaku dan membosankan. Dengan kata lain, organisasi dan kultur sekolah menimbulkan guru tidak sepenuhnya memiliki kekuasaan untuk mengelola proses belajar-mengajar. Ditambah lagi, gaji kecil dan status sosial di masyarakat rendah. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pekerjaan guru tidak menarik bagi individu-individu yang berbakat dan memiliki otak cemerlang. Mereka, guru-guru muda yang semula memiliki semangat mengembangkan misi intelektual setelah beberapa tahun kehilangan semangat dan akhirnya menjadi guru tanpa inspirasi, berperilaku rutin dan penuh keputusan. Organisasi dan kultur sekolah cenderung mendorong ke proses pemfosilan intelektual dengan membunuh kreatifitas intelektual di kalangan guru. Keadaan sekolah menjadi bertambah buruk karena guru oleh birokrat kantoran dianggap hanya sebagai pelaksana kurikulum, penjaga peserta didik, tidak memiliki inspirasi dan kreatifitas dan kemandirian sebagai seorang individu. Para guru diperlakukan layaknya sebagai robot. Pekerjaan guru memerlukan kemampuan intelektual dan mempergunakan emosi. Jika emosi guru terkuras oleh hal-hal yang sesungguhnya bersifat non akademik, beban pekerjaan administrasi yang menumpuk, kekurangan waktu untuk mempersiapkan proses belajar mengajar dan ditambah lagi dukungan untuk memperkuat kemampuan intelektual mereka sangat lemah, maka kecil kemungkinan proses pendidikan akan menghasilkan lulusan yang berkualitas. Kondisi minimal yang diperlukan adalah guru harus memiliki waktu untuk merencanakan pengajaran, melaksanakan pengajaran, mengevaluasi apa yang telah dilaksanakan, memiliki kesempatan untuk mendapatkan kritik, komentar dan saran-saran baik dari kolega di sekolah atau di luar sekolah. Di samping itu, guru harus dipandang sebagai individu yang memiliki tanggung jawab penuh dalam proses belajar mengajar, sebagai individu yang mampu memikirkan dan melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan untuk kebaikan peserta didik, sebagai individu yang mampu membuat sesuatu guna meningkatkan kualitas pendidikan. Apabila sekolah, kepala sekolah dan guru, diberi otonomi yang lebih besar dalam menjalankan proses pendidikan, mereka akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar. Mereka akan memiliki kebanggaan atas sukses dicapai dan sebaliknya mereka merasakan kepedihan yang mendalam akan kegagalan yang dialami peserta didiknya. Hal ini akan menimbulkan komitmen untuk bekerja memberikan yang terbaik. Meningkatnya otoritas yang dimiliki guru untuk mengendalikan proses pendidikan, memungkinkan mereka menggunakan seluruh kemampuan profesional dan pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaan. Guru tidak harus bekerja dengan mendasarkan pada petunjuk teknis yang diberikan oleh aparat yang lebih tinggi yang dalam banyak hal bersifat teoritis, melainkan guru memilik kebebasan untuk melaksanakan tugas dengan cara yang mereka anggap paling tepat, paling efisien dan paling baik. Dengan memiliki kesempatan untuk menerapkan teknik-teknik yang mereka anggap baik akan dapat meningkatkan efisiensi kerja guru. Guru akan melaksanakan pengajaran yang menekankan pada pemahaman yang bermakna dan pembelajaran yang otentik (authentic learning) daripada pengajaran yang hanya mentransfer pengetahuan untuk dihafalkan. Demikian pula guru dapat diharapkan mengupayakan bahwa apa yang diajarkan dapat difahami oleh semua murid sehingga keberhasilan untuk semua murid tanpa memandang latar belakang mereka. Dengan demikian, pemberian otonomi pada sekolah akan dapat diharapkan meningkatkan kemampuan tehnis guru.
E. Keterkaitan sekolah dan masyarakat Sekolah harus selalu mengembangkan kultur yang dapat mendukung proses belajar mengajar lebih baik. Sayangnya pembaharuan pendidikan yang telah dilaksanakan selama ini terlalu menekankan pada aspek teknis, fungsional dan individualistik tanpa menyentuh sedikitpun aspek kultur sekolah ini. Model ini dipengaruhi oleh ide bahwa sekolah sebagai suatu perusahaan atau industri yang melayani kebutuhan individu. Oleh karena itu pendidikan semacam itu akan bersifat fragmented yang satu dengan yang lain terpisah tidak ada kesatuan, dan melihat sekolah sebagai sesuatu yang berdiri sendiri bukan merupakan bagian dari masyarakat sekitar. Akibatnya, hubungan dan interaksi antara sekolah dan masyarakat sekitar tidak pernah terjadi. Hal ini berarti sekolah telah menelantarkan sumber belajar yang sangat bermanfaat dan bermakna bagi proses belajar mengajar. Oleh karena itu, salah satu aspek dalam sekolah yang perlu direformasi adalah hubungan sosial di antara warga sekolah termasuk orangtua murid dan masyarakat sekitar. Partisipasi orangtua dan masyarakat dalam kehidupan sekolah akan merupakan modal pokok dalam proses pendidikan. Sekolah harus menjadikan dirinya bagian dari kemasyarakatan. Setiap kegiatan sekolah adalah merupakan kegiatan masyarakat sekitar, sebaliknya setiap kegiatan masyarakat merupakan kegiatan sekolah. Hubungan antara sekolah dan masyarakat sekitar ini ditujukan untuk mencapai dua hal: Pertama, sekolah memiliki komunitas peserta didik yang berdomisili tidak terlalu jauh dari sekolah. Dengan demikian, akan terjadi proses rayonisasi berdasarkan domilisi. Dengan adanya rayonisasi fungsional ini akan menimbulkan sinkronisasi antara kegiatan sekolah dengan kegiatan kemasyarakatan, sehingga peserta didik bisa belajar dan menyerap kehidupan dari masyarakatnya. Kedua, dengan adanya rayonisasi fungsional tersebut akan muncul kaitan emosional antara masyarakat dengan sekolah. Ketiga, adanya kaitan emosional ini akan mengundang partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pendidikan pada urmumnya dan dalam pemberdayaan pendidikan pada khususnya.
F. Strategi reformasi Sebagaimana telah dikemukakan di atas, reformasi pendidikan yang dilakukan diarahkan untuk merubah organisasi dan kultur sekolah, pekerjaan guru dan keterkaitan sekolah dan masyarakat, dengan tujuan untuk mengembangkan komitmen dan kemampuan guru dan siswa guna mencapai prestasi setinggi mungkin untuk semua peserta didik, tanpa memandang latar belakang mereka. Strategi yang perlu dikembangkan dalam proses reformasi adalah: Pertama, karena luasnya cakupan pendidikan maka reformasi ditekankan pada: a) masing-masing sekolah memiliki otonomi merencanakan dan melaksanakan proses pendidikan; b) orangtua dan masyarakat bekerjasama dengan guru untuk kemajuan peserta didik; c) sekolah harus mengembangkan suatu sistem pelaporan tentang kemajuan pendidikan yang dengan cepat dan secara periodik dapat dikaji orangtua dan masyarakat; d) guru harus memiliki kesempatan yang luas untuk merancang kegiatan dan mengembangkan kerjasama antar kolega guru ataupun dengan orangtua dan masyarakat sekitar; e) peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kerja kelompok atau kerja individual dan sebaliknya kerja kelompok kelas dikurangi. Kedua, reformasi pendidikan memerlukan kesadaran akan berbagai kemungkinan yang timbul dari kebijakan reformasi tersebut, oleh karena itu, perlu disediakan “room for manoeuvre” bagi sekolah atau guru. Hal ini perlu agar kebijakan yang baru tidak terjebak oleh aturan dan prosedur yang bersifat birokratis. Di samping itu, “room for manoeuvre” ini diperlukan untuk antisipasi adanya kemungkinan-kemungkinan, seperti: kurang adanya guru yang berkuatitas, kualitas guru rendah, fasilitas yang tidak memadai, dan sebagainya. Ketiga, pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan produk bukan pendekatan proses. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana masing-masing sekolah bisa meningkatkan dan mencapai sepenuhnya tergantung kebijakan masing-masing sekolah. Untuk itu, pemerintah perlu mengembangkan dan menentukan: a) standar pendidikan yang harus dicapai, b) insentif terutama tidak jujur dalam masalah akademik dan, c) melibatkan aparat birokrasi propinsi, kabupaten/kotamadya dan kecamatan untuk mendukung keberhasilan pencapaian target dari sekolah yang ada di wilayahnya masing-masing. Keempat, di masing-masing sekolah diminta untuk mengembangkan gugus kendali mutu yang secara terus menerus mencari mode-model dan teknik-teknik yang paling efisien dan produktif dalam kegiatan proses belajar mengajar.
G. Meningkatkan peran masyarakat Rendahnya mutu lulusan ini dikaitkan dengan rendahnya kualitas IKIP Pengkaitan rendahnya lulusan SMU dengan rendahnya kualitas IKIP tidaklah salah. Namun, perlulah difahami bahwa kualitas lulusan SMU tidak lepas dari kualitas lulusan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan bahkan pula kualitas lulusan sekolah dasar. Usaha meningkatkan kualitas pendidikan di tingkat manapun juga akan sulit terlaksana, apabila kualitas pendidikan yang lebih rendah tidak ditingkatkan mutunya. Oleh karenanya, peningkatan kualitas pendidikan di tingkat dasar merupakan kondisi mutlak yang diperlukan untuk meningkatkan mutu lulusan SMU. Dalam mengembangkan pendidikan tingkat dasar, terdapat beberapa problem yang perlu untuk segera mendapatkan perhatian. Problem yang dimaksud antara lain yang menyangkut infernal inefficiency, yang dapat diamati dalam ujud konkret berupa besarnya angka drop-out dan mengulang kelas.
a) Wajib belajar Drop-out dan ulang kelas pada kelas yang sama dikategorikan sebagai tanda-tanda penyelenggaraan pendidikan tidak efisien. Sebab dengan drop-out berarti tujuan pendidikan tidak tercapai, sedangkan biaya pendidikan terlanjur sudah dikeluarkan. Sedang ulang kelas berarti perlu ada biaya lipat untuk murid yang sama. Seandainya tidak ada murid yang mengulang kelas, maka biaya tersebut bisa digunakan untuk murid yang lain. Mengapa sampai ada drop-out dan ulang kelas. Kebijaksanaan apa yang diperlukan untuk menghilangkan drop-out dan ulang kelas tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan anak mengalami putus sekolah (drop-out) pada tingkat sekolah dasar. Antara lain, erat hubungannya dengan keadaan ekonomi keluarga, yakni anak diperlukan untuk membantu kerja orang tua mencari nafkah. Alasan ini banyak ditemui di daerah pedesaan. Hal ini erat sekali kaitannya dengan kehidupan di pedesaan di mana anak sejak dini sudah dilibatkan dalam pekerjaan yang secara tidak langsung maupun langsung mempengaruhi pendapatan keluarga. Pemerintah dan juga masyarakat sudah berusaha memecahkan masalah drop-out ini dengan berbagai kebijaksanaan dan tindakan yang tepat. Bisa disebutkan antara lain, sistem wajib belajar untuk anak umur sekolah dasar, dan sistem orang tua asuh. Hasilnya sudah bisa dilihat. Tahun demi tahun persentase drop-out menurun.
b) Sebab-sebab ulang kelas Berbeda dengan masalah putus sekolah, masalah ulang kelas masih belum dapat dipecahkan. Hal ini nampak angka ulang kelas untuk tingkat Sekolah Dasar masih tinggi. Dari tahun ke tahun persentase angka ulang kelas tidak banyak mengalami perubahan. Masalah ulang kelas merupakan masalah yang sangat kompleks. Berbagai faktor terlibat dalam masalah ini. Antara lain, faktor kemampuan murid, faktor kemampuan guru dan sistem penilaian dan eveluasi yang digunakan guru, dan faktor sistem pendidikan sendiri. Faktor kemampuan murid sebenarnya erat kaitannya dengan faktor motivasi murid yang relatif rendah untuk belajar lebih keras. Hal ini kaitannya dengan kemampuan guru dalam memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar lebih rajin. Banyak keluhan yang keluar dari kalangan guru tentang masalah memberi motivasi ini. Guru tidak saja bertugas memberikan pelajaran, tetapi juga memberikan motivasi merupakan rangkaian dalam memberikan pelajaran tersebut. Kemampuan mengajar tanpa diimbangi kemampuan memberi motivasi kepada anak didik, akan cencerung menjadikan pelajaran dirasakan membosankan bagi para siswa.
c) Usaha mengatasi ulang kelas Cara yang paling efektif untuk mengatasi ulang kelas adalah dengan menghilangkan sistem kenaikan kelas itu sendiri. Anak didik akan otomatis naik ke kelas di atasnya. Namun sistem ini memerlukan perlakuan khusus bagi anak yang tertinggal pelajaran. Di samping itu, melaksanakan sistem ini salah-salah bisa menurunkan kualitas pendidikan. Cara yang lain adalah dengan melibatkan orang tua dalam proses pendidikan dan mengembangkan kelompok belajar di masyarakat. Faktor orang tua dalam keberhasilan belajar anak sangat dominan. Banyak penelitian baik di dalam maupun di luar negeri menemukan kesimpulan tersebut. Faktor orang tua bisa dikategorikan ke dalam dua variabel: variabel structural dan variabel proses. Yang dapat dikategorikan variabel struktural antara lain latar belakang status sosial ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan penghasilan orang tua. Sedangkan variabel proses adalah berupa perilaku orang tua dalam memberikan perhatian dan bantuan kepada anaknya dalam belajar. Untuk bisa mewujudkan variabel kedua tersebut tidak harus tergantung pada variabel pertama. Artinya, tidak hanya keluarga “kaya” atau berpendidikan tinggi bisa menciptakan variabel proses. Contoh variabel proses antara lain: orang tua menyediakan tempat belajar untuk anaknya; orang tua mengetahui kemampuan anaknya di mana anak mempunyai nilai paling bagus; pelajaran apa anak paling tidak bisa; apa kegiatan anak yang paling banyak dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah; orang tua sering menanyakan tentang apa yang dipelajari anaknya; orang tua membantu anaknya dalam belajar. Seringkali orang beranggapan bahwa hanya “keluarga yang mampu” bisa memberikan fasilitas anak untuk belajar dengan “baik”. Sesungguhnya pendapat ini tidaklah benar sepenuhnya. Tempat belajar tidak bisa hanya diartikan semata-mata dalam ujud fisik. Melainkan, tempat belajar lebih menitik-beratkan pada suasana yang bisa mendukung anak belajar dengan baik. Misalnya pada jam-jam belajar yang telah ditentukan, tidak boleh ada Radio atau TV dihidupkan, tidak diperbolehkan siapapun ngobrol. Bantuan orang tua sangat diperlukan oleh anak, manakala anak menghadapi kesulitan dalam belajar. Sekolah perlu memberikan informasi kepada orang tua apa yang perlu dilakukan oleh orang tua dalam membantu mensukseskan pendidikan putera-puteranya. Sebaliknya, orang tua harus selalu mendatangi undangan pertemuan wali murid misalnya. Ataupun, orang tua jangan segan-segan menemui guru untuk membicarakan hal ihwal anaknya. Alangkah indahnya, khususnya di daerah pedesaan, kalau sekolah bisa memberikan pedoman tertulis tentang apa yang harus dilakukan oleh orang tua untuk membantu sekolah anak-anaknya. Dalam kaitan ini perlu ditingkatkan peran BP3, tidak hanya menangani masalah yang berkaitan dengan SPP, tetapi juga mempunyai tugas untuk mengembangkan kerjasama antara sekolah dan orang tua. Namun, masalahnya tidak semua orang tua bisa membantu anak dalam belajar. Apalagi kalau anak sudah duduk di kelas 5 atau 6. Dalam kaitan ini, lembaga pendidikan perlu bekerjasama dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, misalnya PKK. Kelompok PKK di kampung atau di desa-desa bisa banyak berperan dalam memberikan pedoman bagaimana yang seharusnya dilakukan, terutama oleh lbu-ibu dalam membantu belajar anak-anaknya. Kelompok PKK bisa menyelenggarakan kursus matematika bagi ibu-ibu, misalnya. Ataupun kursus-kursus yang lain yang bisa digunakan untuk membantu belajar anaknya. Cara yang kedua untuk mengurangi angka ulang kelas adalah dengan menyelenggarakan kursus atau pelajaran tambahan. Prestasi anak didik erat kaitannya dengan kegiatan kursus-kursus atau pelajaran tambahan. Tetapi, peserta kursus pada umumnya harus membayar, maka hanya murid-murid dari kalangan keluarga yang kurang mampu tidak bisa membayar biaya kursus untuk anaknya. Hal ini akan berakibat prestasi anak dari keluarga yang miskin akan semakin jauh tertinggal dari anak yang “mampu”. Demikian pula, karena kursus-kursus banyak diselenggarakan di kota-kota, maka prestasi anak di kota akan jauh lebih tinggi dari pada anak-anak di desa. Dalam kaitan ini perlulah masyarakat menyelenggarakan kursus-kursus atau pelajaran tambahan untuk beberapa mata pelajaran yang dirasa sulit. Kembali, kelompok-kelompok kegiatan yang ada di masyarakat bisa menangani. Misalnya kelompok PKK atau kelompok Pemuda. Peningkatan kualitas SD dan SLTP (pendidikan dasar) merupakan kondisi mutlak yang harus diujudkan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Tanggung jawab untuk meningkatkan mutu tersebut tidak hanya ada pada guru atau sekolah, tetapi juga ada pada pundak orang tua dan masyarakat. Kerjasama antara guru, orang tua dan masyarakat akan menentukan keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan dasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah