Istilah pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara tradisional. Secara umum pendidikan alternatif memiliki persamaan, yaitu: pendekatannya berisfat individual, memberi perhatian besar kepada peserta didik, orang tua/keluarga, dan pendidik serta dikembangkan berdasarkan minat dan pengalaman.
Menurut Jery Mintz (1994:xi) pendidikan alternatif dapat dikategorikan dalam empat bentuk pengorganisasian, yaitu:
1. sekolah public pilihan (public choice);
2. sekolah/lembaga pendidikan publik untuk siswa bermasalah (student at risk);
3. sekolah/lembaga pendidikan swasta/independent dan
4. pendidikan di rumah (home-based schooling).
Sekolah Publik Pilihan; adalah lembaga pendidikan dengan biaya negara (dalam pengertian sehari-hari disebut sekolah negeri yang menyelenggarakan program belajar dan pembelajaran yang berbeda dengan dengan program regular/konvensional, namun mengikuti sejumlah aturan baku yang telah ditentukan.
Contoh sekolah publik pilihan adalah sekolah terbuka / korespondeni (jarak jauh). Kondisi sekarang adalah SMP Terbuka, SMU Terbuka, Universitas Terbuka.Contoh lain adalah sekolah yang disebut sekolah magnet ( magnet school) atau sekolah bibit (seed school). Disebut sekolah magnet karena sekolah ini menawarkan program unggulan seperti dalam hal olahraga, atau seni. Disebut sekolah bibit karena program pendidikan yang diselenggarakan menghasilkan siswa-siswa yang mempunyai keunggulan dalam program yang ditekuni.
Sekolah/Lembaga Pendidikan Publik untuk Siswa Bermasalah; pengertian “siswa bermasalah” di sini meliputi mereka yang:
* tinggal kelas karena lambat belajar,
* nakal atau mengganggu lingkungan (termasuk lembaga permasyarakatan anak),
* korban penyalahgunaan narkoba,
* korban trauma dalam keluarga karena perceraian orang tua, ekonomi, etnis/budaya (termasuk bagi anak suku terasing dan anak jalanan dan gelandangan),
* putus sekolah karena berbagai sebab,
* belum pernah mengikuti program sebelumnya. Namun tidak termasuk di dalamnya sekolah luar biasa yang dibangun untuk penyandang kelainan fisik dan/atau kelainan mental seperti tunarungu, tuna netra, tuda daksa, dsb.
Sekolah/Lembaga Pendidikan Swasta; mempunyai jenis, bentuk dan program yang sangat beragam, termasuk di dalamnya program pendidikan bercirikan agama seperti pesantren & sekolah Minggu; lembaga pendidikan bercirikan keterampilan
fungsional seperti kursus atau magang; lembaga pendidikan dengan program perawatan atau pendidikan usia dini seperti penitipan anak, kelompok bermain dan taman kanak-kanak.
Pendidikan di Rumah (Home Schooling); termasuk dalam kategori ini adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga sendiri terhadap anggota keluarganya yang masih dalam usia sekolah. Pendidikan ini diselenggarakan sendiri oleh orangtua/keluarga dengan berbagai pertimbangan, seperti: menjaga anak-anak dari kontaminasi aliran atau falsafah hidup yang bertentangan dengan tradisi keluarga (misalnya pendidikan yang diberikan keluarga yang menganut fundalisme agama atau kepercayaan tertentu); menjaga anak-anak agar selamat/aman dari pengaruh negatif lingkungan; menyelamatkan anak-anak secara fisik maupun mental dari kelompok sebayanya; menghemat biaya pendidikan; dan berbagai alasan lainnya.
Dari data yang saya terima, keluarga di Amerika merasa lebih aman menyekolahkan anak mereka di rumah karena sekolah di sana adalah lembaga yang tempat dan efektif untuk berdagang narkoba, kejadian ktd (kehamilan yang tidak diinginkan), dan perilaku kekerasan dan penindasan terhadap remaja –seperti kasus STPDN dulu mungkin ya?-.
Perkembangan Pendidikan Alternatif
Bentuk pendidikan alternative tertua yang dikelola masyarakat untuk masyarakat adalah Pesantren. Diperkirakan dimulai pada abad 15, kali pertama dikembangkan oleh Raden Rahmad alias Sunan Ampel. Kemudian muncul pesantren Giri oleh Sunan Giri, pesantren Demak oleh Raden Fatah dan Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.
Selain pesantren, Taman Siswa didirikan pada tahun 1922. Selain Taman Siswa, Mohammad Syafei membuka sekolah di Kayutaman. Sekolah dengan semboyan, “Carilah sendiri dan kerjakanlah sendiri”. Siswa diberi keterampilan untuk membuat
sendiri meja dan kursi yang digunakan bagi mereka belajar. Namun Belanda telah membumihanguskan sekolah tersebut.
Sekolah Laboratorium IKIP Malang, lebih dikenal sebagai Sekolah Laboratorium Ibu Pakasi (SLIP) karena sekolah ini dipimpin oleh Prof. Dr. Supartinah Pakasi. Sekolah yang didirikan pada tahun 1967 yang dimulai dari pendirian Taman Kanak-kanak dan pendidikan dasar. Sekolah ini disebut juga SD 8 tahun karena memberikan pendidikan dasar setingkat SMP dalam waktu delapan tahun. Sekolah ini menarik perhatian baik pendidik dari dalam dan luar negeri.
Namun apa yang telah dibangun Ibu Pakasi harus diberhentikan tahun 1974 karena harus mengikuti program baku pemerintah dalam bentuk Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP). Sedangkan proyek ini belum pernah dipastikan berhasil namun harus menenggelamkan usaha yang bertahun-tahun berhasil dan teruji efektivitasnya. Hal ini merupakan intervensi yang berlebihan dari pemerintah dan patut disesalkan.
Tahun 1972 dalam rangka kerja sama SEAMEO INNOTECH Center diselenggarakan suatu model pendidikan dasar yang disebut IMPAC (Instruction Managed by Parent,
Community, and Teacher) yang di Indonesiakan dengan istilah PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang Tua, dan Guru). Proyek ini dilaksanakan di desa Alastuwo dan Kebakramat kabupaten Sukoharjo, Surakarta dibawah koordinasi Badan Pengembangan Pendidikan (sekarang menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan) dan pelaksana lapangan adalah tim IKIP Yogyakarta cabang Surakarta (yang kemudian menjadi Universitas Negeri Sebelas Maret).
Sistem Pamong dinilai berhasil karena siswa-siswanya lulus EBTA sekolah regular, dan bahkan program ini diikuti dan diikuti dan telah meluluskan sejumlah orang tua/dewasa yang belum pernah berkesempatan menamatkan pendidikan dasar.
Namun program ini terpaksa dihentikan karena adanya kebijakan pemerintah berupa SD Inpres, selain itu program PAMONG ini dianggap telah melanggar ketentuan batas usia anak sekolah dasar 6 s.d 15 tahun dengan diberikannya kesempatan orang dewasa mengikuti program tersebut.
Lain cerita, tahun 1974 Direktorat Pendidikan Masyarakat pada Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Olahraga mengembangkan paket belajar pendidikan dasar bagi orang dewasa. Paket ini disebut KEJAR Paket A (kemudian disusul dengan Paket B) Kejar yang merupakan akronim dari Kelompok Belajar atau Bekerja dan Belajar dimaksudkan mengejar “ketertinggalan”.
Paket A terdiri dari 100 buku modul yang disusun membawa pelajaran dasar membaca, menulis, berhitung, bahasa Indonesia, kewarganegaraan dan keterampilan sebenarnya mengangkat pendidikan life skill dari masyarakat. Semula program ini dilaksanakan di tempat-tempat informal seperti balai desa dan masjid dengan pendekatan kemasyarakatan, namun tragis nasibnya, dengan adanya kebijakan pemerintah mengenai Wajib Belajar Sembilan Tahun, maka pendekatan kemasyarakatan dengan sifat fungsional dan life skill ini harus digantikan dengan kurikulum baku Sekolah Dasar.
Timbul gonjang-ganjing karena meluapnya lulusan Sekolah Dasar dan tidak tertampung di SMP regular dan menimbulkan keresahan sosial maka tahun 1979 dirintis SMP Terbuka oleh Pustekkom Dikbud. SMP Terbuka dinilai sangat berhasil karena telah dilaksanakan di seluruh propinsi dan tercatat pada tahun 1998/1999 telah dikembangkan di 2.356 lokasi dengan siswa lk 280.000 orang. SMP Terbuka sekarang telah dikembangkan menjadi SMU Terbuka .
“Universitas Tikyan” merupakan satu sebutan pendidikan bagi anak-anak jalanan di daerah Yogyakarta tahun 1988 namun baru beroperasi tahun 1996 oleh Yayasan Humana). Istilah Tikyan ini dipopulerkan oleh wartawan Media Indonesia yang merupakan singkatan “sitik-sitik lumayan” Berbagai macam keterampilan di ajarkan oleh kampus ini seperti membatik, kerajinan tangan, membuat kertas daur ulang kerajinan kayu, melukis dan lain-lain. (Media Indonesia, Minggu 25 Oktober 1998:9). Kampus Tikyan tentu saja tidak menerbitkan ijasah karena tujuan pendidikan mereka adalah memanusiakan manusia. Pendidikan semacam Tikyan yang juga disebut rumah singgah tentu sangat banyak di Indonesia.
Pengalaman saya ketika di kampus IKIP Jakarta adalah kami menjalankan pendidikan Taman Kanak-Kanak Keliling (TK Keliling) lewat Unit Kegiatan Mahasiswa kami. TK Keliling ini didirikan tahun 1982 dan syukur alhamdulillah masih terus berjalan hingga kini. Tujuan TK Keliling adalah mengenalkan pendidikan dini bagi anak-anak di daerah tertinggal atau slum area (belum pernah kan ngerasain dicium murid dengan ingus yang terus ngalir? hehehe…)
Mengenai Pendidikan di Rumah (Home Schooling/Home Based Schooling) di Indononesia saya belum mendapat data yang pas, meskipun saya yakin pendidikan tersebut telah ada dan berkembang di Indonesia. Namun saya sempat mencatat, kelompok masyarakat yang menyelenggarakan Home Schoolingdi Indonesia adalah Kelompok Musik Sufi Debu yang dipimpin oleh Syeh Yusuf. Mereka menyelenggarakan sendiri pendidikan bagi keluarga dan anak mereka.
Kalau di Amerika Home Schooling telah dilaksanakan baik lokal maupun nasional. Organisasi Home Schooling yang bersifat nasional di Amerika (Amerika Utara) adalah: Islamic Home School Association of North America ((IHSANA), Jewish Home Educator’s Network, and National Institute for Christian Home Education.
Disarikan dari: Artikel Kuliah; Pendidikan Alternatif Sebuah Agenda Reformasi, Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. (1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah