AL-HAAJATUL AL-‘UDWIYYAH
(KEBUTUHAN JASMANI)
(Allah) yang menciptakan dan
menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk (QS. Al-A’laa 2-3)
Jasad manusia adalah materi dalam dirinya ada thaaqotu al-hayawiyyah (potensi hidup) yang terbagi pada naluri, al-haajatul al udwiyyah dan al-tafkir dan khasiat ini tetap ada selama manusia hidup serta akan hilang bila ia mati.
Kita telah membahas tiga naluri dan penampaknnya dalam bab terdahulu sedangkan sekarang adalah pemabahasan al-haajatul al-udwiyyah dengan kebutuhannya serta pembahasan tentang tubuh manusia, yakni materi yang membentuk jasad manusia.
Jasad manusia yang dapat diraba /disentuh terbentuk dari sel-sel yang bermacam-macam baik bentuk warna dan fungsi. Jumlahnya mencapai lebih dari 300.000 juta sel. Tiap sel tersusun dari dinding sel yang di dalamnya berisi materi-materi makanan yaitu sitoplasma di tengahnya ada inti sel terbentuk dari kromosom-kromosom berjumlah 46 kromosom saja, tidak berkurang dan tidak bertambah kecuali pada sperma laki-laki dan ovum wanita masing-masing berjumlah 23 kromosom.
Adapun susunan manusia tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain jika dilihat dari aspek susunan anggota dan fungsi, bilamana berbeda mungkin di dalam warna kulit, postur tubuh dan penampakan gerak tubuh. Setiap diri manusia terdiri dari kepala, jantung perut / lambung, paru-paru, usus dan lain sebagainya dan seluruh tubuhnya terbentuk dari sel-sel yang sama sifatnya seperti yang telah diterangkan di atas. Tiap anggota tubuh membutuhkan zat-zat makanan, pernapasan dan butuh istirahat, berhenti, bergerak, melepaskan sisa-sisa kerja organ dengan jalan yang sama.
Khasiyat kebutuhan tubuh manusia hanya pada hal-hal tertentu, dan manusia mencari hal-hal ini, yakni khasiat yang Allah telah menitipkan pada diri manusia yang disebut dengan al-haajatul al-‘udwiyyah.
Dan kebutuhan di atas membutuhkan pemenuhan, untuk memenuhi pemuasan ini tubuh membutuhkan kepada audloo’ (tempat / kondisi), asyya (sesuatu) dan a’maal (perbuatan) tertentu. Adapun kondisi yang dibutuhkan tubuh adalah tempat tidur, istirahat dan derajat panas tertentu serta suhu udara yang sesuai dengan tubuh manusia.
Sedangkan sesuatu yang dibutuhkan tubuh adalah makanan, minuman dan udara. Dan a’maal yang dibutuhkan tubuh adalah bernafas, aktivitas makan dan buang air. Jika kebutuhan jasmani ini tidak dijaga untuk kelangsungan proses mekanisme tubuh manusia maka akan mengalami kerusakan.
Kondisi dan sesuatu ini dituntut oleh tubuh agar bisa melaksakan fungsi-fungsi tubuh. Maka bila tubuh kekurangan air, melalui otak akan mengirimkan sinyal akan kekurangan air ini, kemudian indera mencari air untuk menutup kekurangan ini. Jika tidak di dapatkan air secara perlahan tapi pasti tubuh tersebut akan rusak. Dan demikian dengan kebutuhan yang lain seperti kebutuhan pada makanan, udara dan tidur.
Dalam waktu tertentu tubuh membutuhkan melepas sisa-sisa proses tubuh yang berbahaya bila tidak dikeluarkan seperti keringat, urine, berak dan karbondioksida.
Kebutuhan jasmani tetap didapat dari dalam tubuh manusia Allah telah memberi syinyalemen tentang hal ini di dalam Al-quran surat Al-Ruum 23:
“Dan diantara tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya.”
Dan firman Allah selanjutnya yang menerangkan bahwa Rasul juga manusia biasa:
“(Nabi) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan dan minum dari apa yang kamu minum.” (QS.Al-Mukminun 33).
Allah telah membolehkan kepada manusia memakan terhadap segala makanan yang telah disediakan Allah untuk pemenuhan kebutuhan jasmani, kecuali yang diharamkan namun ketika hal itu tidak dipenuhi dan akan menyebabkan rusaknya tubuh, Allah membolehkan memakan yang haram, firman Allah SWT:
“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakan yang haram) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah 173).
Demikan juga khalifah “Umar bin Khaththab tidak memotong tangan pencuri pada waktu musim paceklik yang melanda daerah kekuasaan Islam, karena kebutuhan si pencuri untuk memenuhi Al Haajatul Al-‘Udwiyyahnya.
PERSAMAAN, PERBEDAAN, HUBUNGANNYA
GHARIZAH DAN KEBUTUHAN JASMANI
Gharizah dan kebutuhan jasmani mempunyai persamaan jika ditinjau dari karakter khasiat fitriyyah yang ada dari pemberian Allah pada manusia, seperti khasiat banjir pada air, khasiat membakar pada api. Tidak ada seorangpun yang mampu menyilangkan ataupun menghilangkan kecuali Allah Rabbul ‘Alamin.
Sedangkan perbedaan antara kebutuhan jasmani dengan naluri ada dua segi:
Segi pertama, pelaksanaan pemenuhan kebutuhan jasmani adalah wajib tidak bisa ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi, tubuh dan aparatur mekanisme akan rusak, jika seseorang tidak tidur atau tidak makan atau tidak bernafas dan lainnya maka lama kelamaan akan rusak.
Adapun naluri pelaksanaan pemenuhan tidak suatu keharusan, jadi bisa ditinggalkan, sehingga jika tidak dipenuhi tidak akan berpengaruh pada kerusakan tubuh dan mekanismenya, tetapi hanya sebatas pada keguncangan, kacau, gelisah serta tidak tenang. Sehingga bila seseorang tidak memenuhi gharizah tadayyun tidak akan merusak dirinya tetapi akan merasa gelisah, sempit dan goncang, perasaan seperti ini nyata dan jelas pada pasangan suami isteri yang tidak menghasilkan keturunan karena mandul salah satunya atau keduanya.
Segi kedua, Sesungguhnya kebutuhan jasmani munculnya dipengaruhi dari faktor intern tubuh, seseorang merasa butuh makan atau minum jika ia lapar atau haus disebabkan tubuh membutuhkan pasokan materi-materi makanan atau minuman yang diuraikankan tubuh untuk kebutuhan internnya, serta merasa butuh tidur atau istirahat jika sangat menagantuk atau payah.
Anggota tubuh tidak akan bisa melaksanakan fungsi-fungsinya jika tidak tidur atau tidak beristirahat, setiap kekurangan di dalam kebutuhan jasmani dari tempat dan sesuatu, manusia merasa sendiri dari dalam tubuhnya, jadi bukan tugas indera untuk memberikan syinyalemen bila tubuh memerlukan pemenuhan ini.
Lalu bagaimana manusia merasakan kebutuhan anggota tubuhnya kepada kondisi dan sesuatu ?
Maka jika kekurangan di dalam kebutuhan jasmani hal ini di mulai dari pengaruh sebagian sel-sel yang tersebar diseluruh jaringan tubuh, kemudian pengaruh ini berpindah melalui syaraf-syaraf menuju pusat tertentu di dalam otak, kemudian otak bekerja dengan pengkaitan Al-ma’luumaatu al-sabiiqoh dari rasa ini mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa memenuhinya, maka hal ini mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa memenuhinya.
Sedangkan naluri dipengaruhi dari faktor ekstern tubuh, maka jika melihat harta yang banyak, berpengaruh baginya hubbu al-tamalluk (untuk memiliki) yang muncul dari gharizah baqa, jika melihat mayat akan berpengaruh baginya pemikiran bahwa manusia itu lemah, dan ini adalah penampakan dari gharizah tadayyun, jika melihat seseorang perempuan yang cantik berpengaruh baginya al-mailu al-jinsi dan ini adalah penampakan dari gharizah nau’, dan kadang-kadang naluri dipengaruhi dari cara berfikir (thoriiqu al-tafkir) pada sesuatu yang mempengaruhi, yang kembali kepada naluri, maka akan tergambar kepada sesuatu yang mempengaruhi tersebut dan menghadirkan sesuatu itu di dalam otak, yang kemudian akan mempengaruhi naluri, sebab manusia telah mengindera sesuatu yang terjadi itu sebelummya, maka terpengaruhlah gharizahnya kepada sesuatu itu, disini terjadi peran persepsi.
Dari uraian tersebut ternyata ada hubungan antara kebutuhan jasmani dengan gharizah baqa yaitu apabila sesuatu yang memenuhi kebutuhan jasmani manusia membantu baqa / langgenya manusia pada rantai kehidupannya, seperti makanan, minuman ,bernafas, tidur, buang air dan berkeringat adalah untuk menjaga langgengnya manusia. Semua itu adalah kebutuhan yang merupakan keharusan bagi tubuh dalam menjalankan fungsi-fungsi alamiahnya, akan tetapi mekanisme organ tubuh di atas juga merupakan keharusan bagi kelangsungan rantai kehidupannya. Maka kecenderungan memiliki makanan atau kecenderungan untuk makan adalah penampakan grarizah baqa, karena kecenderungan ini kadang-kadang terdapat pada manusia walaupun organ tubuhnya tidak sedang membutuhkan makanan, hal ini karena adanya ma’lumat sabiqah tentang lezatnya makanan ini dan bergunanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani.
Maka jika pengaruh-pengaruh datang dari luar manusia saja tanpa adanya anggota tubuh membutuhkan makanan maka itu adalah al-istijaabatu ghariiziyyah (reaksi gahrizah), dan kecenderungan untuk makan adalah madhhar ghariiziyyah (penampakan yang sifatnya naluri). Dan jika stimulus yang datang dari intern tubuh karena adanya organ tubuh yang membutuhkan makanan maka itu adalah reaksi kebutuhan jasmani, maka aktifitas makan menjadi sifat sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani jika manusia merasa lapar, dan makanan juga sebagai sarana pemenuhan gharizah baqa, jika aktifitas makan manusia semata hasil dari cintanya manusia kepada makanan, walaupun sebenarnya ia tidak lapar dan organ tubuhnya tidak membutuhkan kepada penguraian materi atau gizi-gizi makanan, atau istilah lain memberi makan nafsu, bukan memberi makan perut.
Kebutuhan jasmani yang terdapat pada manusia juga terdapat pada hewan, walaupun al-audlo’ dan al-asyya yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani manusia tidak sama dengan kondisi dan sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan jasmani hewan, maka makanan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia bukanlah makanan yang bisa memenuhi laparnya perut dari sebagian besar hewan. Bejana dan tempat yang biasa sebagian hewan hidup seperti ikan dan burung bukanlah bejana dan tempat yang biasa manusia hidup, dan hal ini disebabkan perbedaan organ tubuh diantara keduanya.
Sedangkan naluri juga terdapat pada hewan, seperti juga yang terdapat pada manusia, semisal gharizah nau’ dan apa yang muncul dari penampakannya seperti al-mailu al-jinsi dan juga seperti gharizah baqa dan penampakannya seperti takut kepada bahaya.
Kecuali penampakan sebagian dari gharizah nau’ dan gharizah baqa tidak ada pada hewan, seperti hubbu al-istithla’, dan kecenderungan menyelamatkan diri dari kerusakan dengan berada pada tempat yang tinggi.
Atau antara manusia dengan hewan sama-sama memiliki gharizah baqa dan gharizah nau’ tapi berbeda seperti hubbu al-tamalluk.
Sedangkan gharizah tadayyun, antara manusia dengan hewan berbeda penampakannya dan punya cara tersendiri. Manusia tidak bisa mengetahui penampakan gharizah tadayyun hewan, hal ini hanya bisa kita ketahui dari dalil qath’I yang keabsahannya terjamin, yakni dalil yang datangnya dari Al-Qur’an yang mengabarkan tasbih dan shalatnya segala macam kehidupan lainnya, firman Allah:
“Dan tak ada sesuatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka, sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Israa 44).
Firman Allah SWT:
“Tidakkah kamu mengetahui bahwasanya Allah: Kepadanya bertasbih apa yang ada di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) shalat dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. An Nuur 41)
Maka tasbih dan shalat adalah aktivitas sebagai hasil dari kecenderungan manusia untuk mentaqdiskan Khaliq, dan ini adalah sebagian penampakan dari gharizah tadayyun yang semua makhluk melakukan, dan informasi ini datang langsung dari Allah, tetapi kita tidak bisa mengetahui esensi ibadanya, firman-Nya :
“Tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.”(QS. Al-Israa 44).
AL-IDRAAK
(PEMIKIRAN)
Firman Allah SWT:
”Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi kaum yang memikirkan.”(QS. Ar Ra’d 3).
“Sesungguhnya yang demikian terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang menggunakan akalnya.”(QS. Ar Ra’d 4).
“Dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”(QS. Al ‘Ankabuut 43).
Al-Idraak, al-fikr, al-‘aql bermankana satu yaitu khasiat yang telah diletakan Allah kepada manusia yang merupakan hasil dari khoosiyatu al-ribthi (khasiat pengkaitan) yang ada di dalam otak manusia yaitu berfungsi sebagai hukum atas realitas berupa pemindahan penginderaan dari realitas kepada otak beserta adanya ma’luumat saabiqoh (informasi sebelumnya) yang menafsirkan realitas itu.
Kelebihan manusia dari hewan ada pada khasiat al-Idraaknya (akal), dan inilah yang menjadikan manusia pada derajat lebih utama dari hewan, firman Allah:
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqaan 4).
Ayat tersebut menunjukan binatang itu tidak berfikir. Proses berfikir harus memenuhi empat syarat, yaitu :
1. Al-dimaagh al-shaalih (otak yang baik)
2. Al-waaqi’ al-mahsus (realita yang terindera)
3. Al-ihsaas (alat indera)
4. Al-ma’luumaatu al-saabiqah (informasi yang
sebelumnya telah masuk).
Al-dimaagh adalah materi yang ada pada tengkorak kepala. Otak ini dikelilingi tiga lapisan / selaput secara baik, yang menembus dari sela-sela lapisan ini syaraf-syaraf yang banyak, yang menghubungkan dengan otak, al-hawaas dan seluruh organ tubuh. Serabut-serabut syaraf ini menyebar sampai batas yang sulit dipercayai, karena telah diketahu bahwa urat syaraf / darah tersebar pada seluruh jaringan tubuh yang panjangnya mendekati 200.000 mil. Dalam tugas otak menjaga tubuh melalui 76 urat syaraf kepala.
Berat otak manusia dewasa sekitar 1200 gram, yang menghabiskan 25 % dari oksigen yang masuk melalui paru-paru. Para pakar ilmu syaraf telah menguji dengan menggunakan alat dari listrik pada otak manusia, dan berkesimpulan bahwa otak adalah salah satu organ yang berfungsi untuk berfikir pada manusia, serta dari penelitian tersebut diketahui munculnya gelombang listrik secara tiba-tiba dari sel otak, pada saat manusia mengkonsentrasikan fikirannya atau ketika dipengaruhi emosi dan mendengar kegaduhan yang sangat atau ketika menghitung sesuatu yang rumit.
Juga para pakar belum tahu tempat secara pasti di dalam otak yang bertanggung jawab pada memori penghafalan informasi. Dan diketahui putusnya sebagian dimaagh pada sebagian orang sakit tidak menghilangkan ingatannya. Juga telah diprediksi oleh sebagian pakar bahwa tempat penyimpan memori dari informasi yang memungkinkan manusia menguasai informasi tersebut sama kapasitasnya dengan 90 juta jilid buku yang penuh berisi dengan tulisan, ini adalah suatu penciptaan yang mengagumkan pada otak manusia sebagai argumen Maha hebatnya kekuasaan Allah, firman Allah :
“Dan bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan ?” (QS. Adz Dzaariyaat 20-21).
Adapun realitas yang bisa dideteksi indera kadang-kadang realias yang sifatnya materi seperti bulan, buku dan kuda dan juga kdang-kadang realitas yang terdeteksi hanya bekas atau pengaruh dari realitas yang sifatnya materi seperti suara angin, suara kapal terbang dan bau harumnya bunga. Akan tetapi kadang-kadang ada juga realitas yang sifatnya immateri hanya terdeteksi dari indikasi dan bekasnya saja seperti sifat pemberani, muruuah (malu), takut dan penyayang.
Adapun sesuatu yang diketahui wujudnya kadang-kadang mempunyai sifat mahsuusah dan malmuusah (terindera dan terpegang) seperti tali, pohon dan himar / kuda. Dan kadang-kadang hanya mahsuusah tanpa malmuusah seperti gembira, sakit. Juga kadang-kadang tidak mahsuusah dan tidak malmuusah hanya bisa diketahui wujudnya dari wujud penampakannya saja, seperti tiga naluri (baqa, nau’, tadayyun) dan adanya kehidupan pada manusia.
Adapun penginderaan pada realitas adalah pemindahan realitas ke otak melalui alat panca indera yaitu penginderaan penglihatan dengan alat mata, penginderaan pendengaran dengan telinga, penginderaan perabaan dengan alatnya kulit, dan penginderaan rasa dengan alatnya lidah serta penginderaan penciuman dengan alatnya hidung.
Adapun mekanisme penginderaan dengan jalan mata secara lengkapnya sebagai berikut:
Sampainya sinar yang terang yang terpantul dari benda ke dalam kelopak mata menuju jaring mata, lalu jaring mata meneruskan sinar terang tadi menuju syaraf mata dalam bentuk gelombang-gelombang listrik ke pusat penglihatan di bagian belakang otak, seketika manusia melihat bentuk gambar yang ada di depannya, akan tetapi orang yang bisa melihat tersebut belum bisa memahami gambar yang ada di depannya, yakni tidak bisa menghukumi gambar tersebut kecuali bila mempunyai ma’lumat sabiqah tentang gambar yang dilihatnya yang sudah tersimpan di dalam otaknya.
Penglihatan manusia terbatas karena mata manusia punya daya jangkau penglihatan sampai batas yang tidak mampu lagi melihat, hal ini terbukti ketika mata manusia melihat sesuatu yang sangat lembut atau ketika melihat atom juga ketika melihat sebagian bintang yang sangat jauh. Oleh karena kita tidak bisa melihat sebagian besar apa yang sebetulnya ada, ini karena keterbatasan tadi, firman Allah :
“Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang tidak kamu lihat.” (QS. Al Haaqqah 38-39).
Indera pendengaran adalah salah satu indera yang penting, karena melalui indera ini manusia memperoleh ilmu, Allah telah menyebutkan di dalam ayat-ayat-Nya tentang penginderaan ini dengan penyebutan lebih dahulu daripada indera penglihatan, firman-Nya:
“Atau siapakah yang berkuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan.” (QS.Yunus 31)
Firman-Nya :
“Dan dia memberi kamu pendengaran dan penglihatan.” (QS. An-Nahl 78)
“Sesungguhnya pengendengaran, penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al Israa 36)
Indera pendengaran adalah yang menerima gelombang-gelombang suara lalu diteruskan menuju ke syaraf pendengaran kemuadian ke otak. Telinga manusia bisa menangkap getaran-getaran suara yang kecepatannya antara 16-20 ribu getaran tiap detik, adapun suara yang getarnnya lebih cepat dari di atas, telinga manusia tidak mampu memindahkannya ke otak.
Sedang telinga kucing kemampuannya 50 ribu getaran tiap detik, dan telinga kelelawar mampu memindahkan getaran yang diterima ke otak sekitar 120 ribu getaran tiap detik, sehingga mampu menggantikan penglihatannya, karena mempunyai ketajaman terhadap benda yang ada di depannya walau tidak melihatnya, Maha Besar Allah , Firman-Nya:
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang yakin. “(QS. Adz Dzaariyaat 20)
Dan manusia tidak bisa mendengarkan sesuatu, kecuali sebagian dari suara yang ada di sekitarnya.
Indera perasa dengan syaraf-syaraf yang banyak tersebar diseluruh bagian tubuh manusia, terutama di kulit, tiap syaraf mempunyai fungsi tertentu, maka seperti indera perasa mempunyai syaraf-syaraf yang tidak seluruhnya berfungsi memindahkan indera rasa sakit, atau indera rasa dingin dan indera rasa panas. Seperti syarat-syarat penginderaan rasa sakit terdapat di kulit, sehingga bila ditusukkan sebuah jarum lewat di kulit, maka bila sudah masuk ke dalam otot-otot tidak terasa sakit, firman Allah :
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka meraskan adzab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. An Nisaa’ 56)
Setiap Kulit orang kafir itu hangus terbakar api neraka, maka Allah akan menggantikan dengan kulit yang lain agar syaraf-syaraf indera yang ada dikuliti bisa memindahkan kepada orang kafir dengan merasakan sakitnya terbakar.
Sedangakan hidung dan mulut memindahkan penginderaan, bau atau makanan melalui proses mekanisme kimiawi, yakni melalui syaraf-syaraf penciuman dan syaraf-syaraf pengecapan ke otak.
Dan yang terakhir dari unsur-unsur pemikiran adalah al-ma’luumat saabiqoh, yaitu apa yang tersimpan di dalam otak dari informasi-informasi yang telah masuk berupa realitas yang terindera. Otak akan mengeluarkan simpanan informasi yang telah masuk tadi, bila dibutuhkan dalam proses pemikiran. Informasi ini ada 2 macam:
1. Pemikiran-pemikiran yang lalu tentang realitas yang terindera, pemikiran inilah yang lazim digunakan untuk mempersepsi atau menghukumi tentang realitas yang ada di depannya, yakni dengan menghubungkan antara al-afkar al-sabiqoh dengan ealitas yang ada didepannya.
2. Informasi yang merupakan hasil dari respon otak karena penginderaannya yang lalu, yang punya hubungan dengan realitas yang terindera, hal ini disebabkan berulang-ulangnya penginderaan kepada realitas yang mempunyai hubungan dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani secara langsung.
Umumnya yang membentuk ma’lumat dari realitas ini adalah dilihat apakah dapat memenuhi atau tidak terhadap al-gharaaiz dan kebutuhan jasmani, ma’lumat seperti ini tidak sesuai bila digunakan untuk menghukumi sesuatu.
Informasi sebelunya dari realitas adalah bagian penting dari mekanisme berfikir (‘amaliyyatu al-tafkir), Jadi tidak mungkin bisa berfikir tentang realitas tanpa adanya informasi sebelumnya.
Sekarang timbul pertanyaan kritis, kalau informasi sebelumnya adalah bagian penting dari mekanisme berfikir, dari mana awal mula datangnnya informasi sebelumnya itu pada realitas pertama yang bisa dibuat pemikiran manusia ?
Konsekwensi logis dari manusia, bagaimanapun manusia tetap manusia, dengan asumsi manusia yang pertama kali hidup atau yang pertama kali ada di dunia, lalu bagaimana manusia yang pertama kali itu mendapatkan al-ma’luumatu al-saabiqah yang bisa di tangkap oleh inderanya ?
Dari sini bisa difikirkan, bahwa manusia yang pertama kali hidup di dunia harus ada informasi sebelumnya dari sesuatu, sehingga ia bisa memikirkan dan mendapatkan informasi sesuatu itu. Manusia tidak mungkin mendapatkan informasi yang bisa dan cocok untuk digunakan sebagai salah satu dari empat syarat berfikir kalau hanya penginderaan yang berulang-ulang dari sesuatu, apalagi bila digunakan untuk mempersegi atau menghukumi sesuatu, hal ini bisa dihadirkan ketika dihadirkan dihadapan kita realitas yang bisa terindera berupa bahasa china, lalu kita suguhkan secara berulang-ulangbahasa china tersebut kepada orang yang tidak mengetahui dan sebelumnya tidak pernah paham bahasa ini. Maka orang tersebut tidak akan bisa mempersepsi dan memahami bahasa tersebut walaupun dengan cara diulang-ulang.
Jadi harus ada ma’lumat yang datang dari luar manusia pertama, dan dari luar realitas, karena penginderaan pada realitas bagaimanapun berulang-ulangnya senantiasa hanya sebatas penginderaan saja, tidak bisa didapatkan ma’lumat saabiqah yang bisa memindahkan dari penginderaan ke pemikiran.
Manusia senantiasa tidak akan bisa membentuk ma’lumat sabiqah dari sesuatu, dan manusia adalah makhluk tertinggi yang ada di bumi, maka harus ada ma’lumat sabiqah yang pertama untuk pemikiran yang datang dari luar dirinya yang lebih sempurna dan lebih mengetahui, Dialah Al-Khaliq Allah SWT:
Dan Al-Qur’an telah menukilkan kepada kita, yaitu kalaamullah yang al-qoth’I al-tsubuut, bahwa Allahlah yang telah memberikan kepada manusia berupa ma’lumat, firman-Nya:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Malaikat lalu berfirman Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu orang-orang yang benar!”. Mereka menjawab:”Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahu lagi maha bijaksana”. Allah berfirman:” hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda itu. Allah berfirman:”Bukankah sudah-Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah 31-33)
Malaikat tidak mampu mengetahui nama-nama benda yang diajarkan kepada Adam karena Malaikat tidak bisa mengidraak / memikirkan nama-nama benda itu, Malaikat berkata: “Tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.” (QS. Al Baqarah 32)
Sedangkan Adam dapat memberitahukan kepada Malaikat karena Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, yaitu mengajarkan rahasia sesuatu itu seperti yang dianjurkan Allah kepada Malaikat. Allah memberikan ma’lumat yang pasti, yang dapat memikirkan sesuatu itu. Sehingga ketika Adam dituntut Allah untuk memberitahukan hakekat sesuatu itu kepada Malaikat, Adam dengan menggunakan ma’lumat tersebut mampu menerangkan kepada Malaikat.
Dan inilah awal penggunaan akal oleh Adam dan awal pemikiran terhadap sesuatu yang dibangun atas ma’lumat sabiqah dari sesuatu yang diberitahukan Allah Rabbul’alamin, yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi dan mengetahui apa yang disembunyikan makhluq-Nya ataupun yang ditampakan, dan ma’lumat ini adalah ni’mat besar yang diberikan kepada manusia, firman-Nya:
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui.” (QS. Al ‘Alaq 5).
Ma’lumat tersebut adalah inti / butir pemikiran bagi manusia yang bertambah dari sesuatu ke sesuatu dari generasi ke generasi dari zaman ke zaman hingga bermilyar-milyar ma’luumat, sebagai hasil penggunaan manusia pada ma’lumat untuk menghukumi al-assyya dan al-af’aal, sebab pemikiran manusia sebelumnya akan menjadi ma’lumat untuk manusia yang kemudian, dan hal ini akan berlanjut selama kehidupan manusia di bumi.
Lantas bagaimana berhasilnya pemikiran, inilah yang disebut dengan ‘amaliyyatu al-tafkir al-aqli (mekanisme akal dalam berfikir). Ketika manusia melihat, mendengar, mencium, merasakan dan meraba, indera memindahkan realitas ini ke otak melalui syaraf-syaraf indera, sehingga bila di dalam otak ada ma’lumat sabiqah dari realitas yang diindera maka otak akan menyambungkan realitas ini dengan ma’lumat. Proses selanjutnya otak akan memberikan penafsiran terhadap realitas dan mempersepsi / menghukuminya. Semisal kita menyuguhkan tulisan bahasa inggris kepada seseorang yang mempunyai ma’lumat sabiqah tentang bahasa tersebut maka indera mata orang tersebut akan melihat tulisan yang di depannya, kemudian dilanjutkan indera ke otak yang di dalam otak tersebut sudah tersimpan ma’lumat sabiqah terhadap bahasa yang dikirimkan otak, lalu otak tersebut akan memproses apa yang masuk, yang dilanjutkan oleh orang tersebut dengan membaca memahami bahasa tersebut, tetapi bila bahasa tadi disuguhkan kepada orang lain yang tidak mempunyai sedikitpun ma’lumat sabiqah pada bahasa inggris, maka indera penglihat akan melihat tulisan bahasa inggris yang ada di hadapannya.
Walaupun penginderaan terhadap realitas tersebut berulang-ulang hanya jadi sekedar penginderaan saja, tanpa bisa dibuat sebagai hasil dari pemikiran.
Adapun proses berfikir kadang-kadang hadir dengan realitas yang terindera tetapi juga kadang-kadang tanpa terindera hanya tergambar di dalam otak saja. Manusia kadang-kadang berfikir tentang seorang laki-laki yang dia lihat fotonya ketika membaca berita kematiannya di koran, maka foto tersebut akan menjadi ma’lumat di dalam otak dan suatu saat dia bisa mengatakan kepada orang lain bahwa orang yang mati tersebut mulia, karena sebelumnya dia telah memiliki ma’lumat tentang kemulian orang yang mati tersebut.
Kadang-kadang manusia berfikir tentang kapal terbang, dan dia bisa mempresepsi kapal terbang tersebut apakah milik sipil atau militer, dengan mendengar suaranya, karena sebelumnya telah ada ma’lumat yang masuk tentang ciri-ciri kapal terbang.
Penginderaan pada realitas kadang-kadang dengan sampainya indera itu sendiri pada realitas, dengan penginderaan mata dan lainnya , juga kadang terjadi dengan sampainya indera pada realitas tidak secara langsung tetapi berhubungan dengan realitas seperti suara atau gambar. Juga kadang-kadang dengan pengembalian indera pada realitas di dalam otak, tanpa adanya realitas atau bekasnya di dalam pusat indera, hal ini sering digunakan di dalam pembahasan di dalam pemikiran politik, pakar politik bisa memecahkan problema politik melalui kumpulan-kumpulan berita, yang dari itu dapat digambarkan sebuah realitas dan kemudian mengeluarkan ide politik tadi, yang sebetulnya indera tidak mendapatkan realitas secara langsung.
Seperti apa yang telah dianalogikan oleh sebagian orang bahwa ma’lumat sabiqah bisa dihasilkan dari eksperimen seseorang pada dirinya sendiri tanpa dimulai dari ma’lumat sabiqah yang datang dari luar dirinya.
Mereka mengemukakan argumen dengan eksperimen dari binatang, yang kemudian dari sini mereka menganalogikan antara manusia pertama dengan binatang. Di dalam eksperimen tersebut mereka berhasil menjadikan beberapa binatang seperti anjing, kera dan tikus tunduk pada eksperimen mereka, yakni mereka memukul bel setiap kali memberikan makanan pada anjing tersebut dan diulangi setiap kali …. Kemudian pada suatu saat mereka memukul bel tanpa diiringi pemberian makanan maka anjing tersebut mengalir air liurnya.
Dari sini mereka menyimpulkan bahwa ma’lumat sabiqah didapat pada anjing tersebut dengan teori berulang kali eksperimen, dan menghukumi pada realitas dengan menggunakan ma’lumat yang diambil dari eksperimen tadi.
Kemudian mereka menganalisa di padang penggembalaan yang banyak binatannya, binatang-binatang tersebut menjauhi dan tidak mau memakan rumput yang kering, maka mereka menghukumi bahwa binatang faham dan bisa memikiran hakekat sesuatu dengan disandarkan pada eksperimen di atas, yaitu binatang telah mendapatkan ma’lumat untuk menafsirkan realitas yang dihadapi.
Adapun yang benar apa yang dihasilkan dari eksperimen pada anjing di atas adalah rasa naluriah / instink yang berhubungan dengan apa bisa memenuhi rasa naluriah dan apa yang tidak, dan mengetahui secara instink ini adalah hasil dari khasiat yang telah diberikan Allah kepada binatang tersebut, agar bisa menjaga baqa dan nau’nya. Adapun apa yang dihasilkan binatang tersebut adalah pengembalian penginderaan yang dahulu karena hal tersebut bisa memenuhi gharizah atau kebutuhan jasmani maka hasilnya binatang tersebut menahan tidak memakan rumput kering itu, jadi tidak bisa menghukumi esensi dari sesuatu.
Anjing pada eksperimen diatas mendengar suara bel, maka akan muncul reaksi balik pada penginderaan yang dahulu, yakni yang berhubungan dengan pemenuhan rasa lapar berupa makanan, sebab suara bel menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan makanan, yang bisa memenuhi rasa laparnya, maka suara bel tidak ada bedanya menurut anjing dari penglihatannya atau penciumannya pada makanan, maka dua hal ini (makanan dan bel) ada dalam penginderaan yang dahulu yang terkait dengan apa yang bisa memenuhi laparnya.
Dan dari sini menjadi jelas, sekiranya kita memukul bel di dekat telinga anjing lain yang lapar, maka eksperimen di atas tentu tidak berguna, juga tentu air liur anjing tersebut tidak akan mengalir. Dan akan mengalir air liurnya bila melihat atau mencium makanan saja yang bisa memenuhi laparnya.
Adapun binatang tidak bisa berfikir karena otak yang ada padanya kosong dari khaasiyatu al-ribthi (Khasiat bisa menghubungkan ma’lumat/ penginterrelasian antara reliatas dan ma’lumat oleh otak). Jika alat inderanya mengindera suatu realitas, maka otak dan inderanya akan memberikan reaksi balik terhadap sesuatu yang bisa memenuhi gharizah atau haajatu al-udwiyyah saja. Jadi binatang bisa mengindera, tetapi tidak bisa berfikir seperti manusia, firman Allah:
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan dari mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, menahan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al Furqaan 44).
Dari ayat ini bisa dipahami binatang itu tidak bisa berfikir.
Peneliti dari eksperimen di atas telah melakukan kesalahan, karena mereka menganalogikan antara manusia dengan binatang, padahal manusia mempunyai khaasiyatu al-ribthi sedangkan binatang tidak mempunyai, binatang tidak bisa berfikir sedangkan manusia bisa. Juga kesalahan lain adalah menganalogikan orang yang menyaksikan dengan orang yang tidak ada dan tidak menyaksikan, maka mereka menganalogikan antara manusia yang ada sekarang dengan manusia yang pertama ada. Dan analog yang benar adalah antara manusia dengan manusia, dan analog orang yang tidak ada pada orang yang ada / menyaksikan.
Masih dalam pembahasan tentang manusia, manusia itu ada dan didapatkan kekhususannya, yaitu manusia tidak bisa berfikir tentang sesuatu serta menghukuminya tanpa ada ma’lumat sabiqah, maka faedah apa yang bisa kita petik dari mengetahui cara berfikir manusia pertama ? Pertama: manusia pertama memiliki kekhususan yang sama dengan manusia sekarang, dan dengan ini manusia sekarang tidak bisa berfikir menghukumi sesuatu kecuali dengan ma’lumat sabiqah, begitu juga manusia pertama tidak akan bisa dengan kemampuannya berfikir dan menghukumi sesuatu kecuali dengan ma’lumat sabiqah, dan inilah yang telah diinformasikan oleh Al-Quran tentang ma’lumat sabiqah yang pertama yaitu dari Allah:
“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya.” (QS. Al-Baqarah 31)
Firman-Nya lagi:
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq 5 )
Adapun ma’lumat yang terbentuk pada manusia dari proses berulang-ulang pengindraannya yang berhubungan dengan pemenuhan naluri dan kebutuhan jasmani adalah ma’lumat yang tidak layak untuk menghukumi sesuatu, karena ma’lumat seperti ini hanya sebatas yang berhubungan dengan bisa dan tidaknya pemenuhan terhadap naluri dan kebutuhan jasmani. Maka khaasiyatu al-ribthi yang terdapat pada otak manusia dan tidak terdapat pada otak binatang, mampu menjadikan inderanya melakukan proses reaksi balik yakni dalam mengembalikan realitas dengan bentuk yang lebih baik dan lebih cepat dari hewan, maka jika disuguhkan kepada manusia sepotong buah yang belum pernah diinderanya, lalu dimakannya dan merasakan rasa serta baunya , dan orang tersebut setelah memakannya merasakan bahwa buah tadi bisa memenuhi kebutuhan jasmani, maka pada suatu saat yang lain orang tersebut melihat melihat buah itu untuk kedua kalinya, maka otaknya akan mengulang kembali ma’lumat dulu yang telah terbentuk sebagai hasil dari penginderaannya yang pertama kali pada buah tersebut, yakni berhubungan dengan rasa, bau dan bisa memenuhi kebutuhan jasmani. Akan tetapi ma’lumat seperti ini mempunyai hubungan denga gharaiz dan hajatu al-udwiyyah tidak berarti dan tidak concern untuk menghukumi terhadap esensi sesuatu materi, atau dalam menghukumi terbentuknya materi tersebut.
Manusia tidak bisa menghukumi buah di atas dengan pernyataan, apakah masak atau mentah juga apakah buah tersebut mengandung gula, garam dan air serta vitamin-vitamin dan lainnya.
Bagaimanapun pengulangan atas penginderaan pada buah tersebut senantiasa akan berkisar pada kesimpulan bahwa buah itu adalah materi yang bisa memenuhi dari rasa lapar saja. Dan jika ingin menghukumi buah tersebut dari segi yang lain maka dibutuhkan ma’lumat sabiqah dari luar otaknya dan dari luar buah tersebut, maka tanpa ma’luumat ini senantiasa pengetahuan pada buah tadi berkisar sama dengan penginderaan hewan.
Dari preposisi di atas timbul masalah, lebih dahulu mana adanya pemikiran dengan al-maddah (materi)? Untuk menjawab pertanyaan ini kami berkata: Materi lebih dahulu dari fikir hal ini dinisbatkan kepada nabi Adam AS, Allah telah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda yang ada, sebelum pemberian Adam ma’lumat sabiqah tentang benda-benda tersebut.
Materi telah ada sebelum manusia berfikir, tanpa materi (yang berupa realitas) proses berfikir karena berjalan karena realitas adalah unsur asasi dari unsur-unsur berfikir dan karena pemikiran berfungsi untuk menghukumi realitas (alfikru hukmu ‘ala waaqi’), jka tidak di dapatkan realitas tentu tidak akan didapatkan pemikiran, jadi materi bila dinisbatkan dengan pemikiran adalah lebih dahulu.
Hal diatas bila dinisbatkan dengan manusia, adapun bila materi dinisbatkan dari tidak adanya, telah datang dalil yang jelas dan qath’I, bahwa perintah Allah lebih dahulu dari adanya materi, firman-Nya:
“Sesungguhnya perinyah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “jadilah” maka jadilah ia .” (QS. Yaa Siin 82)
Maka perintah Allah dengan “jadilah” lebih dahulu dari adanya materi, maka Allah Azza Wajalla adalah yang awal tempat bergantung yang tidak bisa disandarkan wujudnya atau sesuatu, justru mahkluklah yang disandarkan wujudnya kepada-Nya, Firman Allah:
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuran dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqaan 2)
“Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapun, sedang berhala-berhala itu (sendiri) dibuat orang.” (QS. An Nahl 20)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah