Seorang peserta ujian nasional terkulai lemas, saat di papan pengumuman nomor ujiannya benar-benar tidak kelihatan. Ia baru saja mendapatkan penghargaan sekaligus telah mengharumkan nama daerah karena telah berhasil menjadi juara pertama salah satu bidang keahlian dalam Lomba Ketrampilan Siswa SMK Tingkat Nasional. Siapa yang membayangkan ia akan gagal di tingkat UN sedangkan di tingkat nasional ia telah menunjukkan kemampuannya.
Dilain tempat, seorang siswa yang selalu membuat onar di sekolah, memprovokasi temannya untuk tak mengikuti pelajaran tertentu, dan hampir tak pernah sama sekali mengikuti pelajaran tambahan di sore hari, terlihat meloncat-loncat gembira karena nomor ujiannya tertera dengan sangat terang di papan pengumuman. Boleh jadi dalam hatinya ia mulai tak percaya tentang semua nasehat guru-gurunya agar rajin belajar dan mengikuti seluruh aturan sekolah. Selama mengikuti ujian nasional tak ada usaha yang dilakukan.
Tentang pelajaran Bahasa Indonesia ia merasa sudah cukup dapat membaca dan menulis dengan baik. Bahasa Inggris hanya dianggap angin lalu. Matematika apalagi. Setiap bertemu dengan operasi bilangan, baik itu perkalian apalagi pembagian dengan desimal ia langsung menutup buku. Konon lagi harus menghafal sudut-sudut istimewa serta rumus jumlah dan selisih kosinus, sinus dan tangen. Maka beralihlah ruangan kelasnya ke kantin sekolah dengan alasan ke toilet, atau sangat haus.
Hasil UN tahun ini walau telah menunjukkan peningkatan dalam hal bertambahnya prosentase kelulusan, namun masih tetap menimbulkan berbagai reaksi. Hal mana dipicu oleh tak adanya kesempatan mengulang bagi siswa yang belum berhasil. Demonstrasi yang dimotori artis Sophia Latjuba yang akhirnya berujung dialog dengan para legislatif memperlihatkan bahwa praktik UN semakin dipermasalahkan.
Pada kesempatan itu, ketua komisi X DPR RI, Zuber Safawi menyatakan tidak sependapat dengan komentar Wapres Jusuf Kalla yang menyebutkan siswa tidak lulus UN karena malas. Zuber juga menjelaskan, sebelum UN digelar sikap komisi X sudah tegas dengan adanya tujuh fraksi yang menolak UN. Ini merupakan jawaban bagi pertanyaan yang berkembang dalam masyarakat.
Kasus percobaan bunuh diri juga dapat kita temukan pemberitaannya sebagai reaksi atas kegagalan menembus ujian nasional. Kemudian kita disuguhi alternatif paket C yang juga ditanggapi beragam. Tuntutan untuk tidak diadakan lagi ujian nasional terus bergulir, sementara standar nasional hampir semua kita mengakui sangat diperlukan.
Kita tinggalkan dua kasus keberhasilan dan kegagalan di atas. Karena dalam suatu penilaian yang sesaat semua kemungkinan bisa terjadi. Keberhasilan dan kegagalan hanyalah sekeping mata uang yang berlainan sisi. Kita beralih pada perolehan hasil beberapa hari kemudian. Sebut saja Yanti, salah seorang lulusan sekolah menengah atas yang terbelalak matanya menyaksikan nilai 9,67 tertera pada mata pelajaran Matematika. Nilai Bahasa Inggris 10, sedangkan Bahasa Indonesia diperoleh nilai 7 dalam Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHU). Selama tiga tahun belajar di SMA tersebut, Yanti belum pernah memperoleh nilai matematika setinggi itu.
Gurunya selalu mengatakan bahwa ia takkan mampu mempertanggungjawabkan nilai tersebut dengan kemampuan yang dimilikinya tentang Bahasa Inggris, walaupun ia sangat rajin mengikuti les baik di sekolah maupun di lembaga pendidikan lain di luar sekolah, ia masih tak merasa mampu. Listening-nya masih sangat jelek. Sedangkan saat ujian, dengan kapasitas tape recorder yang jelek ia merasa sedikit kewalahan menyimak apa yang disampaikan narator. Kalau Bahasa Indonesia, ia sangat yakin itu memang kemampuannya, walau sebenarnya ia mengharap lebih pada pelajaran yang satu ini.
Yanti bisa saja bernafas lega telah memiliki SKHU yang lumayan bagus. Orang tua Yanti dan keluarganya boleh merayakan keberhasilan anaknya dengan pesta atau mungkin ia akan mentraktir temannya makan di Pizza House itu. Sekolah boleh merasa puas telah mengantarkan siswanya ke gerbang yang lapang dan akan menuju jalan yang lurus. Tapi, apa yang terjadi saat Yanti mendaftar di salah satu perguruan tinggi, ia mulai merasa gerah dengan nilai bagusnya. Seorang petugas penerima pendaftaran meledek dirinya.
Lain halnya Rifki, lulusan salah satu sekolah menengah pertama yang datang melamar di sekolah SMK yang agak favorit di
Tapi apa lacur, siswa tersebut sama sekali tak mampu menghafal kali-kali 4 dengan baik. Tahukah siswa tersebut bagaimana penarikan akar dalam operasi bilangan real, apakah ia tahu bagaimana mengerjakan persamaan kuadrat dengan melengkapkan kuadrat sempurna, atau berapa jumlah sudut suatu segitiga yang pernah ia pelajari di sekolah lanjutan pertama yang merupakan dasar untuk melanjutkan ke lanjutan atas.
Melonjaknya perolehan nilai lulusan hampir di semua sekolah tidak mungkin terjadi begitu saja. Dua kasus diatas merupakan pelajaran berharga yang merupakan buah dari kekalutan yang disebabkan tekanan-tekanan dari berbagai pihak. Berkali-kali mutu pendidikan kita terpuruk dan hampir menduduki angka kunci dari seluruh provinsi di negeri ini, menjadi salah satu penyebab terjadinya upaya penghapusan imej tak baik dengan berbagai cara. Kambing hitam-kambing hitam yang pernah dikorbankan sekarang tak mudah ditemukan lagi. Komflik telah berakhir.
Bencana, sebagian besar sudah tertangani. Bangunan sekolah telah banyak terganti. Guru-guru baru sudah juga diangkat. Turun tangan BRR dalam mempersiapkan para siswa juga tak bisa dianggap kecil. Ini terlihat dari anggaran yang disediakan untuk menambah jam belajar bagi mereka yang akan mengikuti UN. Maka selama satu semester penuh para siswa dan guru yang terkait dengan mata uji UN tersebut hampir tak pernah menikmati istirahat siang karena harus kembali ke sekolah untuk membahas materi UN yang setiap tahun tak pernah bergeser jauh itu.
Sudah jujurkah dunia pendidikan kita? Dalam rapat kerja dengan Komisi X
Diakui, beberapa siswa berprestasi seperti dua siswa SMK yang disebutkan diatas telah dinyatakan gagal dalam menempuh UN. Kepada kepala sekolah yang siswa berprestasinya tidak lulus sempat saya pertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi. “Siswa saya memang memiliki ketrampilan tapi mungkin dalam hal teori ia masih ketinggalan,” demikian pengakuan kepala sekolah tersebut. Ketika kepadanya ditanyakan konsekuensinya sebagai kepala sekolah yang gagal mendongkrak prosentase kelulusan, ia hanya menjawab “saya bekerja Lillahi Ta‘ala.”
Bagi sebagian orang kecurangan dalam pendidikan bukan jadi soal. Toh, banyak sekali sarjana-sarjana palsu yang telah membeli selembar ijazah. Tapi bagi daerah yang sedang giat-giatnya mengklaim berbudaya islami hal ini sungguh pekerjaan yang memalukan. Generasi kita seakan tak diberi kesempatan untuk mengetahui kemampuan yang ada pada dirinya. Tanpa disadari, kita telah membelokkan arah pendidikan yang seharusnya menciptakan masyarakat berbudaya luhur ke arah yang hina.
Kontrak kelulusan juga mempengaruhi psykologis para kepala sekolah. Kita mendengar bahwa sebelum UN berlangsung, antara kepala sekolah dan pihak dinas pendidikan telah terjadi deal yaitu meneken kontrak kelulusan. Segi positifnya, setiap kepala sekolah akan terus memacu guru dalam mempersiapkan siswanya mengikuti UN agar mencapai target kelulusan. Namun disisi lain, tanpa disadari telah terjadi penekanan-penekanan yang berujung hilangnya kepercayaan pada peserta didik yang nyata-nyata dari hasil try out memperlihatkan ketakmampuannya.
Persoalan menjadi komplek ketika ada anggapan bahwa jika kontrak kelulusan tidak terpenuhi maka akan terjadilah perpindahan kekuasaan, kompentensi guru diragukan, sekolah menjadi cemoohan. Maka dalam kekalapan terjadilah kesalahan dalam melakukan penyelesaian. Sepucuk
Adalah yang terpenting memperoleh
Dalam konteks keimanan ternyata kita sudah terlalu jauh dalam retorika. Memperlihatkan pada khalayak, telah berjalannya syariat dengan mempertontonkan hanya sekadar penyabung ayam menjadi kesombongan akan masyarakat yang sempurna. Bahwasanya terjadi pembohongan publik dan ketakpercayaan orang tentang nilai-nilai yang kita tawarkan telah menjadi bagian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah