Otonomi Pendidikan pada Kerangka Otonomi Daerah
(Sebuah Harapan)
Oleh :
Edy Herianto
(Dosen FKIP Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat)
Abstrak. Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan seiring dengan otonomi pendidikan sudah seharusnya dikembangkan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Paradigma baru otonomi pendidikan yang harus diemban dan diwujudkan oleh sekolah adalah melalui: (1) Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah, (2) Peran Serta Aktif Masyarakat di Bidang Pendidikan, dan (3) Guru yang Profesional dan Siswa yang Berkualitas.
Kata Kunci: otonomi pendidikan, pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, peran serta aktif masyarakat dalam di bidang pendidikan, dan guru yang profesional.
PENDAHULUAN
Otonomi daerah secara resmi telah diberlakukan di seluruh wilayah Republik Indonesia sejak bulan Januari 2001. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, pada hakekatnya otonomi daerah merupakan "keleluasaan" pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganyasendiri dalam segala-urusan, kecuali urusan tertentu yang masih menjadi urusan pemerintah pusat.
Bidang pendidikan merupakan salah satu bidang yang dapat diurus oleh pemerintah daerah. Pada bidang ini pada kenyataannya tidak serta-merta segala sesuatunya diurus oleh pemerintah daerah.
Akan tetapi, dalam hal pengelolaan secara penuh segala sesuatunya dirancang secara bertahap seiring dengan kesiapan dan ketersediaan pemenuhan persyaratan yang dibutuhkan. Dengan demikian, otonomi daerah membawa konsekuensi logis pada otonomi pendidikan di daerah, khususnya dalam hal reorientasi visi dan misi pendidikan.
Menyadari akan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan dan kenyataan yang ada, maka dalam rangka menyongsong otonomi pendidikan dalam kerangka otonomi daerah dibutuhkan serangkaian inovasi. Inovasi yang dimaksud, diantaranya berupa: pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, peran aktif masyarakat di bidang pendidikan, dan guru yang profesional dan siswa yang berkualitas.
PERMASALAHAN
Untuk mengimplementasikan konsep pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, setiap pihak haruslah memberikan sumbangan pikiran yang konstruktif. Hal ini amat penting, menginat hingga saat ini konsep otonomi pendidikan dalam kerangka otonomi daerah masih mencari bentuk (model) yang relevan. Paling tidak terdapat tiga elemen penting yang harus diperhatikan, yaitu: sekolah, masyarakat, dan guru sebagai tulang punggung penentu keberhasilan pendidikan.
Permasalahannya adalah, bagaimanakah pengelolaan pendidikan yang berbasis sekolah; bagaimanakah peran masyarakat di bidang pendidikan; dan bagaimanakah sosok guru yang dibutuhkan di dunia pendidikan?
PEMBAHASAN
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan seiring dengan otonomi pendidikan sudah seharusnya dikembangkan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Secara prinsip, paradigma baru yang ingin dibangun dan serangkaian pembahasan ini adalah:
Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah
Pada kerangka otonomi pendidikan, sekolah merupakan pilar utama dan terdepan untuk mewujudkan tujuan pendidikan secara komprehensif. Telah disadari bersama bahwa upaya mewujudkan sekolah yang mandiri dan kreatif tidak akan pernah terwujud tanpa adanya pemberian kepercayaan yang penuh bagi sekolah itu agar dapat mengaktualisasikan potensinya. Untuk itu, sekolah beserta seluruh perangkatnya segera bangkit menuju kemandirian dan senantiasa kreatif dalam melakukan setiap aktivitas (Anonim, 2000).
Kepala Sekolah sebagai pemimpin pada pengelolaan sekolah diharapkan memiliki kemampuan yang memadai untuk berinisiatif dan sekaligus mendorong inisiatif perangkat sekolah lainnya sehingga berkembang sesuai dengan potensinya. Peran sekolah bukan hanya menghasilkan siswa yang mampu meraih NEM tinggi saja, tetapi lebih ditekankan pada siswa yang terpelajar. Nantinya siswa bukan hanya pandai dalam memperoleh ilmunya, tetapi juga terpelajar dalam mempraktekkan ilmu yang dimilikinya. Misi dan visi sekolah ke depan bukan hanya diketahui oleh perangkat sekolah, tetapi perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat terkait. Secara nyata aktualiasasinya terdapat pada rancangan program kerja sekolah yang memungkinkan perangkatnya dapat menjalankan peran optimal sesuai dengan kemampuannya.
Peran Serta Aktif Masyarakat di Bidang Pendidikan
Sekolah diharapkan secara bertahap memiliki kemamampuan untuk membiayai sebagian besar kebutuhannya. Sekolah didorong agar mampu melakukan suatu terobosan baru guna memperoleh dana mandiri. Perlu diingat bahwa otonomi membawa konsekuensi pada semakin berkurangnya campur tangan pemerintah terhadap peran sekolah, termasuk dalam hal ketersediaan keuangan pemberian subsidi) sekolah.
Bagi sekolah-sekolah swasta, kebijakan itu tidak terlalu membawa pengaruh pada kinerja sekolah. Mengingat selama ini sekolah secara mandiri telah mendanai sebagaian besar aktivitasnya. Hal itu berbeda dengan sekolah negeri yang selama ini lebih banyak tergantung pada bantuan dana pendidikan dari subsidi pemerintah. Untuk itu, peran orang tua/masyarakat melalui BP3 atau lainnya sangat menentukan kelangsungan suatu sekolah. Dukungan masyarakat (community support) terhadap kelangsungan sekolah perlu lebih ditingkatkan (Anonim, 2000). Sekolah perlu mencoba dan meningkatkan kerjasama dengan pihak terkait sehingga program link and match dapat terwujud.
Melalui pola tersebut, sekolah dimungkinkan memiliki rancangan kegiatan belajar yang variatif dan inovatif, sehingga masyarakat lebih tertarik dan sekaligus meningkatkan kepeduliannya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Masyarakat setempat (sekitar) sebagai stake holders perlu diyakinkan bahwa peningkatan kualitas sekolah adalah suatu keharusan. Untuk mewujudkannya adalah tanggung jawab bersama, yakni sekolah dan seluruh komponen masyarakat.
Guru yang Profesional dan Siswa yang Berkualitas
Sekolah dapat menawarkan program yang menarik apabila didukung oleh tenaga guru yang profesional. Sebagian besar keberhasilan sekolah-sekolah ditentukan oleh kinerja guru yang profesional dan optimal. Tuntutan ini tentu wajar adanya, mengingat profesi keguruan melekat suatu kewajiban dan hak yang harus dijalankan secara profesional dan optimal.
Seseorang yang memilih profesi sebagai guru hendaknya menyadari bahwa pilihan itu bukanlah pilihan yang mudah dan menjanjikan (dari segi pendapatan finansial), namun melekat suatu taanggung jawab profesionalisme yang amat berat. Guru dituntut menjadi sosok ideal tanpa catat (Usman, 1990). Guru adalah panutan bagi siswa dan masyarakat sekitar (Nasution, 1999). Guru harus kreatif, inovatif, dan mandiri. Guru memiliki tanggung jawab bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik dan melatih siswa menjadi pribadi yang kreatif, inovatif, dan mandiri.
Telah disinyalir bahwa seseorang yang memilih profesi ini cenderung sebagai pilihan terakhir. Sebagai pilihan terakhir kadangkala berdampak pada lemahnya kinerja. Kenyataan ini disadari betul oleh pihak terkait (Depdiknas). Akan tetapi, Depdiknas serasa menemui jalan buntu untuk mencarikan solusinya. Kinerja guru masih belum optimal karena penghasilan (gaji) relatif rendah. Pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk membuat penghasilan (gaji) guru menjadi lebih memadai. Di lain pihak, kualitas pendidikan amat menentukan perjalanan bangsa Indonesia.
Jika kita senantiasa terbelenggu dengan kenyataan itu tanpa diimbangi dengan kinerja yang optimal, sampai kapan pun kualitas sekolah tidak akan menghasilkan sesuatu (lulusan) yang optimal. Untuk itu, mau tidak mau kita dituntut untuk bangkit dari keterpurukan itu dan senantiasa mencari solusi tepat dan manusiawi.
Pada dasarnya guru yang profesional terlihat dari kemampuan guru menyediakan seluruh perangkat pembelajaran yang dinamis (Ali, 1983). Jika hal ini telah dipenuhi, persyaratan berikutnya adalah berfikir dan bertindak secara kreatif, inovatif, dan mandiri (Jurnal llmu Pendidikan XII, 1998/1999). Semua itu tercermin pada kegiatan belajar-mengajar sehari-hari. Pada kegiatan belajar konvensional terdapat kecenderungan siswa dituntut menghafal dan mengerjakan soal-soal secara tepat (tanpa salah). Siswa kurang diberikan kesempatan untuk berpikir, menemukan fakta, menerjemahkan konsep, dan mengungkapkan argumentasi. Dampaknya, siswa hampir seperti "robot". Siswa senantiasa puas dengan perolehan NEM tinggi tanpa memahami dengan benar apa arti NEM itu bagi dirinya. Pada bagian lain, pembelajaran yang nonkonvensional merupakan kebalikan dari konvensional. Siswa dibimbing untuk berpikir agar mencari sendiri fakta pembelajaran; memahami konsep; dan mencoba merencanakan aktualisasi konsep pada perilaku di sekolah.
Seperti telah dipaparkan di atas, visi dan misi utama pendidikan di sekolah adalah untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu, siswa hendaknya dipandang sebagai manusia yang berpikir dan memiliki potensi untuk maju serta berkembang. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru dalam mewujudkan harapan itu adalah melalui beberapa cara berikut ini:
• Guru perlu berkreasi dengan menyusun muatan lokal pada setiap mata pelajaran yang dibinanya. Melalui muatan lokal itu siswa akan lebih memahami lingkungannya sehingga mereka tidak merasa asing dengan lingkungannya.
• Kegiatan ekstrakurikuler sebagai wahana aktualisasi bakat dan minat siswa perlu dikembangkan sehingga siswa dapat melatih diri untuk menemukan jati dirinya.
• Guru lebih kreatif dalam memilih materi pembelajaran; menyeleksi sumber belajar; dan mengkomunikasikannya dengan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Guru juga perlu mencoba dan bahkan mengembangkan penelitian tindakan kelas (classroom action research) sehingga kinerja guru menjadi lebih menarik dan menyenangkan (Muhajir, 1996; Kasbolah, 1999; dan Munsir, 1999).
• Budaya baca-tulis perlu senantiasa dijadikan sebagai kebutuhan dasar (utama) sehari-hari.
• Sebagai target ke depan, guru perlu Kelompok Kerja Guru/Musyawarah Guru
• Mata Pelajaran (KKG/MGMP) perlu dikembangkan dengan suatu bentuk aktivitas yangbervariasi. KKG/MGMP bukan hanya sebagai sarana menyusun SP/RP dan soal-soal cawu, tetapi perlu diarahkan untuk pengembangan kinerja profesional.
• Evaluasi belajar bukan hanya terbatas pada kemampuan akademik semata, tetapi perlu diupayakan secara komprehensif dan senantiasa berkesinambungan.
Apabila beberapa pokok pikiran di atas dapat dilakukan, niscaya upaya memanusiakan manusia pada diri siswa bukanlah suatu hal yang utopia. Segalanya perlu dicoba dan dikembangkan. Seluruh perangkat sekolah harus membuktikan diri sebagai pribadi-pribadi yang mampu bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Pada akhirnya akan tumbuh suatu kinerja yang optimal. Masing-masing pihak tidak ada yang lebih dominan dari pihak lain.
Setiap pihak selalu membutuhkan bantuan pihak lain. Hal inilah yang perlu disadari bersama dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
SIMPULAN
Otonomi pendidikan pada kerangka otonomi daerah membawa konsekunsi yang cukup dilematis di kalangan persekolahan. Pada satu sisi sekolah harus mandiri dalam mewujudkan kualitasnya, pada sisi lain sekolah masih banyak memiliki kekurangan (pendukung). Namun demikian, pada era otonomi pendidikan, sekolah harus mampu berkompetisi dengan sekolah lain dalam hal peningkatan kualitas lulusannya.
"Paradigma baru" otonomi pendidikan yang harus diemban dan diwujudkan oleh sekolah adalah melalui: (1) Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah, (2) Peran Serta Aktif Masyarakat di Bidang Pendidikan, dan (3) Guru yang Profesional dan Siswa yang Berkualitas. Ketiga hal itu hanya akan terwujud jika seluruh perangkat sekolah mampu menyadari dan melaksanakan tanggung jawab mereka secara optimal dalam bentuk sinergikerja yang saling menunjang satu sama lainnya. Tanpa semua itu, otonomi pendidikan benar-benar hanya sebuah utopia.
PUSTAKA ACUAN
Ali, M. 1983. Guru dalam proses belajar mengajar. Bandung: Asyraf.
Anonim. 2000. Manajemen pendidikan berbasis sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Anomirn. 2000. Dukungan masyarakat terhadap sekoiah. Jakarta: Depdiknas.
Jurnal llmu Pendidikan Tahun XlI Edisi 19-20.1998-1999.
Kasbolah, K. 1999. Penelitian tindakan kelas. Jakarta: Dirjen Dikti P2GSD.
Muhaiir, N. 1996. Pedoman pelaksanaan penelitian tindakan kelas (PTK). Yogyakarta: BP3GSD, UP3SD, UKMP-SD Dirjen Dikti Depdikbud.
Munsir, D.N. 1999. Penelitian tindakan. Jakarta: Dirjen Dikdasmen Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-lll.
Nasution. 1999. Guru yang profesionai. Surabaya: Usaha Nasional.
Usman, M.U. 1990. Menjadi guru profesional. Bandung: Remadja Rosda Karya.
(Diambil dari Buletin Pelangi Pendidikan, Vol. 6. No. Th. 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah