Bagian 4
PENGAMBILAN KEPUTUSAN YANG TAJAM
Seperti kami sebutkan di atas aktifitas yang sukses harus melewati tahapan-tahapan yang teratur sebagai berikut: Gharizah/haajaah ‘udwiyyah ---- madhar ---- ihsas ----waqi’----tafkir---- aktifitas untuk mendapatkan salah satu empat qiimah di atas.
Di sana ada tempat pemisah antara tafkir dan aktivitas yaitu tahapan pengambilan keputusan yang tajam.
Kadang-kadang seorang muslim setelah berfikir atas asas-asas Islam di dalam suatu aktifitas yang akan dilaksanakan, dan qiimah yang akan diwujudkan mengalami keraguan dalam pelaksanaan, dan sering masalah ini menyangkut pelaksanaan suatu aktifitas yang penting, baik bagi pelaku itu sendiri ataupun kepada yang lain, terutama di dalam persoalan nasib hidup.
Maka manusia akan berhenti setelah berfikir sebelum melaksanakan aktifitas karena adanya perselisihan dan pertentangan di dalam pemikiran, dilaksanakan aktifitas ini atau tidak?
Untuk menerangkan di atas, kami suguhkan kisah sepasukan sahabat Rasulullah secara ringkas pada hari kembali dari suatu peperangan:
Datang kepada Rasulullah setelah perang uhud, kabilah ‘Udhol dan Qooroh dua kabilah dari Arab, lalu mereka berkata: “Wahai Rasulullah banyak diantara kami sebagai muslim, maka utuslah beberapa orang dari Sahabat rasul kepada kami, agar kami bisa memperdalam agama, membaca Al-Qur’an dan menyampaikan Syariat Islam.”
Maka Rasulullah mengutus enam sahabat yang berangkat bersama kabilah itu. Mereka adalah shahabat Martsad al-Ghonawy, Khaalid bin al-Bakir, ‘Aashim bin Tsaabit, Thaariq bin Abdullah, Khubaib bin ‘Adiy, Zaid bin al-Datsnah, dengan dipinpin oleh Martsad al-Ghonawy.
Lalu mereka keluar menuju ke daerah dua kabilah tersebut, ketika mereka berada di daerah Raaji’ yang berada disebelah Hijaz, kelompok dari kabilah tersebut menipu kepada para shahabat, ditangan mereka memegang senjata, maka dengan sigap para sahabat menghunus senjatanya untuk memerangi mereka, akan tetapi para musyrikin itu berkata:”Demi Allah kami tidak berkehendak membunuh anda sekalian, kami hanya ingin menjaga anda dari gangguan ahli Makkah, atas kamu janji Allah yang kuat bahwa kami tidak akan membunuh anda sekalian.”
Maka Murtsad al-Ghonawy, Khaalid bin al-Bakir serta ‘Ashim bin tsabit berkata kepada para musyrik: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji dan aqod dari kaum musyrik, kemudian ‘Ashim bin Tsaabit bersyair:
Tiada kekurangan bagi saya yang mencegah untuk memerangi kamu, karena saya adalah orang kuat, sebagai pemanah yang ulung.
Satu anak panah dari tali panah yang sangat kuat
Yang akan meluncur dari muka besur mata panah yang lebar dan panjang
Mati itu haq (pasti datang) sedangkan hidup itu bathil (penuh tipuan)
Dan setiap apa yang ditetapkan Allah pasti terjadi
Dari orang per orang akan kembali kepada-Nya
Jika aku tidak membunuhmu maka ibuku akan kehilangan anaknya (tiada keberanian untuk menjadi mujahid)
Maka Martsad al-Ghonawy, “Ashim bin Tsaabit dan Khaalid bin al-bakir memerangi mereka hingga terbunuh shahid para sahabat itu, sedangakan tiga sahabat yang lain : Zaid bin Datsnah dan Hubaib bin ‘Ady dan Thaariq bin Abdullah mereka lemah dan tipis serta senang hidup, maka menyerahlah mereka lalu ditawan oleh kaum musyrik itu.
Lalu para sahabat itu dikeluarkan untuk dijual kepada penduduk Makkah, ketika sampai di daerah Dhohron, “Abdullah bin Thaariq memutus tali yang mengikat tangannya, kemudian mengambil pedangnnya, orang-orang yang ada disekitarnya takut lalu mundur dengan melempari kepada Abdullah bin thaariq dengan batu hingga syahidlah beliau.
Sedangkan yang dua lagi dijual kepada penduduk Makkah dan tidak lama kedua sahabat itu dibunuh oleh penduduk Makkah.
Kisah enam shahabat diatas memberikan kita tiga contoh dalam mengambil keputusan yang tajam dalam suatu keadaan.
1. Contoh pertama, yang terjadi pada Mustsad al-Ghonawy sebagai pemimpin pasukan serta sahabatnya Khalid bin al-Bakir dan ‘Ashim bin Tsaabit. Menghadapi kondisi keterkejutan para sahabat berfikir dan terlintas secara cepat dalam proses berfikirnya, yakni para sahabat mengambil keputusan yang tegas dan tajam sebelum melakukan aktifitas, keputusan ini jelas dengan ucapan beliau: “Demi Allah kami tidak akan menerima janji dan aqod orang musyrik selama-lamanya”’ juga dari syair ‘Ashim bin tsaabit.
2. Contoh kedua terlihat dari keputusan Thaariq bin ‘Abdullah, yang pada mula pertama menyerah, kemudian dijadikan tawanan dan diikat tangannya dengan tali. Kemudian pada keputusan yang kedua yaitu dia meniru keputusan pemimpinnya yakni Murtsad al ghonawy dengan melepas tangannnya dari ikatan, dan mengeluarkan senjata untuk memerangi kaum musyrik yang akhirnya beliau dilempari batu oleh kaum musyrik sehingga mati syahid.
3. Contoh ketiga terlihat dari keputusan Hubaib bin ‘Ady dan Zaid bin Datsnah yang menerima untuk ditawan, kemudian dua shahabat tadi dibunuh sebagai balas dendam orang musyrik kepada orang kafir karena kekalahan mereka pada perang badar dan sungguh mereka telah menghadapi maut dengan jiwa yang berani dan hati yang tenang dengan qadla Allah.
Zaid bin Datsnah berkata sebagai tolakan atas pernyataan yang diajukan oleh abu Sufyan: “Demi Allah saya tidak rela Muhammad SAW sekarang ada di tempat yang banyak durinya dan menyakitinya, sedang saya dalam keadaan duduk berada dalam keluargaku (Rasulullah dalam keadaan banyak gangguan dan Zaid bin Datsnah dalam keadaan tidak menolong.Pen).
Juga Hubaib bin ‘Ady setelah shalat 2 rakaat sebelum dibunuh berkata: “Demi Allah andaikata kamu sekalian tidak menyangka saya menunda kegelisahan dari pembunuhan dengan shalat, tentu saya akan memperbanyak shalat.”
Semua shahabat enam tadi mati shahid dijalan Allah, akan tetapi keputusan yang mereka ambil berbeda walaupun dalam kondisi, tempat dan masalah yang sama, perbedaan itu didasarkan atas pemikiran para shahabat sebelum melakukan aktifitas.
Setelah tahu kisah mereka di dalam mengambil keputusan yang tajam dalam kondisi dan masalah yang sama seperti yang dialami sahabat, tentu kita memilih keputusan yang pertama yang diambil oleh pemimpin pasukan dan dua sahabatnya. Karena mereka lebih teliti dan cermat dari yang lain di dalam memahami karakter kaum musyrikin yang tidak pernah memelihara dan menepati janji dan aqod jadi Murtsad al-Ghonawy dan dua sahabat lainnya telah mengetahui sinyal-sinyal maksud kaum musyrikin lebih cepat dari sahabat yang lain.
Dan hal ini tidak bermaksud bahwa keputusan yang diambil Thaariq bin ‘Abdullah adalah haram atau menyerahnya Hubaib bin ‘Ady dan Zaid bin Datsnah juga haram karena mereka semuah telah mengambil keputusan setelah pengerahan kemampuan akalnya di dalam memahami dan menghukumi situasi yang terjadi yang tentu pemahaman tersebut didasarkan atas hukum syara’.
Maka seorang muslim setelah mengindera realitas, harus memikirkan realitas yang diindera, kemudian mengambil keputusan yang sesuai didasarkan atas hukum syara’ yang dihubungkan situasi dan realitas, kemudian melaksanakan atau menahan suatu aktifitas untuk mewujudkan qiimah yang telah ditentukan syara’ pada aktifitas ini.
Firman Allah:
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.”(QS.Ali ‘Imran 159).
Maka setelah mengambil penegakkan pemikiran yang benar dan menghukumi realitas yang dihadapi, seorang muslim harus menetapkan keputusan yang tegas dan tajam, yaitu kebulatan tekad untuk melaksanakan aktifitas dengan bertawakal kepada Allah.
Pengambilan keputusan yang tegas dan tajam yang sesuai adalah perkara yang sangat penting di dalam kehidupan individu dan umat, keputusan yang ditetapkan Hamzah pada hari masuk Islamnya adalah contoh keputusan dari kehidupan Hamzah yang berani dan tepat, serta keputusan Abu bakar di dalam memerangi orang yang tidak mau berzakat contoh juga keputusan yang tajam dari kehidupan daulah yang masih muda.
AL-SYAKHSIYYAH
(KEPRIBADIAN)
Manusia melaksanakan aktifitasnya untuk memenuhi gharizah dan haajaah ‘udwiyyah dan kumpulan dari aktifiats ini adalah suluk (tingkah laku) manusia. Suluk terikat dengan mafaahim manusia dari al-asyya dan al-af’aal dan al-hayaah. Suluk adalah yang menunjukkan syakhsiyah seseorang, tidak termasuk di dalam syakhsiyah ini seperti poster tubuh seorang dan baik buruknya tubuh, bentuknya, warna kulitnya atau ras bangsanya.
Syakhsiyah adalah thariqah akal manusia terhadap suatu realitas, atau muyulnya terhadap realitas. Arti lain dari Syakhsiyah manusia adalah aqliyah dan nafsiyyah manusia lantas apa aqliyyah dan apa nafsiyyah itu ?
A. Al Aqliyyah
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarannnya maka tinggalkanlah. (QS. Al Hasyr 7)
Manusia mengindera realitas dan mengkaitkan dengan ma’lumat saabiqah yang ada padanya tentang realitas yang diindera itu, kemudian menghukumi realitas tersebut berdasarkan al-qaaidah al-fikriyyah yang dipakai sebagai parameter di dalam proses berfikirnya.
Minyak tanah misalnya, yang sering disebut sebagai emas hitam, realitas minyak akan diindera manusia, dan minyak itu kemudian mempengaruhi hubbu al tamalluknya maka dia akan menghukuminya bahwa minyak tadi bisa memenuhi gharizah baqanya. Akan tetapi qaaidah fikriyah yang digunakan manusia sebagai parameter untuk menghukumi sesuatu disandarkan pada penghukuman yang dahulu sama dengan yang akhir.
Maka seorang muslim melihat bahwa minyak tanah yang bisa memuaskan gharizah baqa wajib menjadi milik umum, jika dia mengambil akan menguranginya seperti mengurangi sesuatu yang bukan bagiannya, maka individu-individu dari masyarakat mempunyai hak atas minyak tanah tersebut. Sedangkan kapitalisme / liberalisme melihat bahwa minyak tanah bisa memuaskan Gharizah baqa dan menjadi milik individu, berhak setiap individu untuk memilikinya asal mampu, tanpa mengindahkan kepentingan yang lain.
Seorang wanita cantik secara realitas akan mempengaruhi al-mailu al-jinsi bagi seorang pria, maka dia akan menghukuminya bahwa wanita tersebut bisa memuaskan sebagian dari gharizah nau’nya. Akan tetapi qaaidah fikriyah yang digunakan manusia sebagai parameter dalam menghukumi realitas, disandarkan kepada penghukuman yang pertama (seorang muslim) berbeda dengan yang akhir (kapitalis).
Maka seorang muslim melihat bahwa wanita yang bisa memuaskan gharizah nau’nya adalah sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara, sedangkan kapitalisme / liberalisme melihat wanita selain bisa memuaskan gharizah nau’nya, juga sebagai barang perniagaan yang bisa dimanfaatkan untuk pemuasan gharizah baqa, juga bisa digunakan di dalam perwujudan usaha-usaha maadiyyah seperti untuk mata-mata / spionase, mengundang seorang pembesar sebagai jamuan dan lain-lain. Dan sebab perbedaan dalam menghukumi sesuatu yang dilakukan seorang muslim dan kapitalis / liberalis atas minyak tanah dan atas wanita dari perbedaan qaaidah fikriyah yang dibuat landasan berfikir. Maka aqidah Islamiyyah yang timbul darinya hukum-hukum bagi seorang muslim bukanlah aqidah kapitalis / liberalis yang menjadi sumber hukum orang kapitalis.
Aqliyah adalah cara berjalan atas asasnya untuk berfikir sesuatu atau disebut juga dengan cara manusia mengaitkan realitas dengan ma’lumat yang disandarkan pada qaaidah tertentu. Adapun aqliyyah Islamiyyah adalah cara berfikir dan menghukumi tentang al-asyya dan al af’aal yang berlandaskan atas al-qaaidah al-fikriyyah al-asaasiyyah bagi seorang muslim yaitu aqidah Islamiyyah karena hal itu merupakan hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya dan dengan Tuhannya serta dengan yang lainnya. Seorang muslim menggunakan hukum syara’ untuk menghukumi al-asyya dan al-af’aal dan hukum-hukum ini bersumber dari aqidah Islamiyyah.
Seorang muslim yang mengindera realitas kemudian mengkaitkannya dengan ma’lumat saabiqah maka ia akan menemukan esensi realitas tersebut, kemudian esensi tersebut dibahas dari hukum syara’ selanjutnya realitas ini dijelaskannya, jadi proses dari ihsaas sampai ke pengaitan penjelasan berdasarkan hukum syara’ disebut al-aqliyyah al-Islamiyyah. Barang siapa yang menempuh cara ini di dalam memahami realitas dan menghukuminya, maka berarti telah menggunakan ‘aqliyyah Islamiyyah, sehingga ia dapat menghukumi bahwa jihad itu fardhu, shadaqoh itu sunnat, buah apel itu mubah dimakan, berobat dengan barang yang najis itu makruh dan zina itu haram karena hukum syara khitob pembuat syara’ yang dikaitkan dengan aktifitas manusia yang tidak akan keluar dari al-ahkaamu al-khomsah, yakni : fardhu, mandhub / sunat, mubah, makruh dan haram.
Jadi aqidah Islamiyyah merupakan sumber munculnya hukum syara’ yang berasal dari wahyu Allah. Firman Allah:
Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa-apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.”(QS.Al hasyr 7).
Para sahabat nabi semuanya memegang ‘aqliyyah Islamiyyah mutamayyizah (modern), setiap mendapatkan dan mengetahui realitas dipandang dari sisi dan visi Islam.
Dalam perdamaian hudaibiyyah berkata Ibnu Hisyam yang dinukilkan dari ibnu Ishaq dari Al-Zuhri:
Ketika selesai perdamaian Hudaibiyyah, tapi masih di dalam tulisan saja, ‘Umar bin al-Khaththob bergegas mendatangi Abu Bakar kemudian berkata.” Bukankah dia itu rasululah ?”Abu bakar menjawab:”Betul dia Rasulullah.” Maka berkata lagi:”Bukankah kita kaum muslimin?” Beliau menjawab: Betul, kita kaum muslimin. Berkata lagi ‘Umar:” Bukankah mereka kaum musyrikin?” Menjawab Abu Bakar:” betul mereka kaum musyrikin.Berkata Umar:” Untuk apa kita memberi kehinaan pada agama kita ( mengadakan perjanjian dengan mereka ?” Berkata Abu Bakar :” Yaa Umar, tetaplah pada prinsipnya (pegang tegung keputusan yang telah dipegang nabi), maka saya bersaksi bahwa dia adalah Rasulullah..”
Abu Bakar dengan ‘aqliyyah Islamiyyah-nya yang tunggal menemukan bahwa perdamaian Hudaibiyyah adalah jaiz / mubah, maka berkata kepada umar yang belum menemukan hukum atas perkara itu: Tetaplah pada prinsipnya yaitu ikutilah perintah Rasul, Saya bersaksi bahwa Dia adalah Rasulullah.”
Maka penghukuman perdamaian Hudaibiyah yang dikatakan Abu Bakar berangkat dari pemikiran aqiidah Islamiyyahnya, yakni dengan adanya persaksian beliau terhadap kerasulan Muhammad…, dan datang perkara ini dari Allah SWT.
Adapun ‘Umar bin al-khaththab juga menggunakan aqiidah Islamiyyah mutamayyizah, terbukti dia telah berkata kepada Abu Bakar: “Saya bersaksi bahwa dia adalah Rasulullah”, kemudian beliau mendatangi Rasul dan berkata: “Wahai Rasulullah bukankah anda seorang Rasul? Rasul menjawab:” Benar saya Rasul. Berkata ‘Umar:” Untuk apa kita memeberikan kehinaan pada agama kita ? Jawab Rasul: Saya hamba Allah dan Rasul-Nya dan tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Allah juga tidak akan mengabaikan saya. Berkata al-Zuhri:”maka ‘Umar berkata:”Saya senantiasa bersodaqoh, berpuasa, shalat dan memerdekakan budak, saya takut dan berlindung kepada Allah dari perkataan yang saya katakan dan mengharap semua perkataan saya menjadi baik. Maka ‘Umar berkata: “ Saya bersaksi bahwa dia adalah Rasulullah”, menerangkan bahwa beliau masih muslim, dan masih mengambil penghukuman terhadap sesuatu berdasarkan Islam, lalu beliau pergi kepada Rasul dan melaksanakan dengan ridlo terhadap perdamaian Hudaibiyah.
Maka ‘aqidah Islamiyyah yang digunakan manusia sebagai parameter untuk menghukumi realitas itulah yang membatasi dan membedakan dengan al-aqliyyah yang lain, maka siapa yang berfikir terhadap realitas dari perspektif Islam (Islamic thinking oriented) itulah ‘aqliyyah islamiyyah dan siapa yang berfikir terhadapa realitas dari perspektif kapitalisme / liberalis maka itulah ‘aqliyyah kapitalisme dan siapa berfikir terhadap realitas dari perpektif komunis, maka itulah aqliyyah komunisme yang tidak modern.
B. Al Nafsiyyah
Tidak sempurna Iman salah seorang diantara kamu hingga nafsunya mengikuti apa yang datang dari saya (Nabi). (Al-Hadits)
Gharizah dan haajaah ‘udwiyyah yang dimiliki manusia menuntut pemenuhan, yang akan mendorong manusia melakukan aktifitas pemenuhan tersebut. Manusia akan bergerak secara fitri sebagai pemenuhan (isyba’) yang disebut dengan dorongan-dorongan (dawaafi’), maka jika dibiarkan manusia di dalam dorongan-dorongan ini tanpa aturan dan patokan, manusia akan memenuhi gharizah dan haajaah ‘udwiyyah menurut hawa nafsunya, sehingga haruslah dorongan-dorongan tersebut dikaitkan dengan mafaahim manusia tentang al-a’maal dan al-asyya.
Karena mansuia hidup di dalam masyarakat, maka konsekwensinya disitu harus ada pemikiran-pemikiran tertentu di dalam menghukumi al-asyya dan al-af’al, yang bisa mempengaruhi dan mengakses kepada masyarakat. Sehingga pemikiran tersebut dijadikan sebagai mafahin tertentu untuk menghukumi terhadap dorongan-doronga tersebut. Pengkaitan antara dorongan-dorongan manusia dan mafahimnya disebut dengan muyul (kecenderungan). Maka muyul itu lebih tinggi dari dorongan-dorongan karena muyul itu dorongan-dorongan yang dikaitkan dengan mafahim.
Dorongan-dorongan pemenuhan ada di dalam manusia dan hewan, sedangkan muyul ada pada manusia dan tidak ada pada hewan, karena beda fundamen manusia dengan hewan pada idraak / tafkir, manusia bisa berfikir, hewan tidak dan dengan tafkir saja didapatkan mafahim. Maka nafsiyyah adalah cara mengkaitkan manusia di dalam dorongan-dorongan pemenuhan dengan suatu mafahim, dan mafahim ini kembali kepada pemikiran-pemikiran tertentu yang bersumber dari perspektif kehidupan dalam arti hidup itu dibatasi atau tidak.
Maka jika mafaahim itu muncul dari ‘aqiidah islamiyyah tentu nafsiyyahnya adalah nafsiyyah Islamiyyah, begitu juga jika mafahimnya muncul dari aqiidah komunis atau kapitalis maka nafsiyyahnya adalah komunis dan kapitalisme. Dan jika mafahimnya muncul dari qaidah / aturan yang bermacam-macam berarti nafsiyyahnya adalah nafsiyyah yang kacau dan cenderung anarchisme.
Nafsiyah adalah yang menjadikan manusia mendahulukan beraktifitas atau menahan beraktifitas dan nafsiyah inilah yang menghukumi dan memutuskan di dalam dorongan-dorongan gharizah dan haajaah ‘udwiyyah.
Seorang muslim sebelum diharamkan khamr, suka meminum khamr, karena mafahimnya terhadap khamr adalah mubah / boleh, maka ketika turun ayat :
“Sesungguhnya syaiton itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan Shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al Maaidah 91).
Ketika mendengar ayat pengharaman khamr di atas, mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah menghentikan meminum khamr dan menahan mereka yang masih terbelit dengan minuman khamr, lalu dilanjutkan penumpahan seluruh khamr di jalan-jalan madinah, setelah itu mereka tidak meminum khamr lagi.
Maka perubahan pemahaman dari khamr, telah merubah muyul mereka kepada khamr. Dan kecenderungan baru ini adalah hasil dari pengkaitan dorongan-dorongan dengan mafahim (nafsiyyah).
Mafahim islam datang untuk merubah muyul orang Arab (untuk pertama kali) dan dengan mafahim Islam ini telah mampu merubah totalitas muyul mereka sampai akar-akarnya.
Kita bisa menyimak kisah dua saudara sekandung, salah satunya masuk Islam yaitu Muhayyishoh bin Mas’ud dan satunya lagi masih kafir, Yaitu Huwayyishoh bin Mas’ud. Ketika Rasulullah menyuruh sahabat yang muslim yaitu Muhayyishoh untuk membunuh Ka’ab bin Yahuudza. Kemudian saudaranya yang kafir yaitu Huwayyishoh mencela Muhayyishoh seraya berkata: Apakah engkau telah membunuh Ka’ab bin Yahuudza, sungguh ka’ab telah sering memberi makan kamu dan tumbuh di dalam perutmu hartanya, sungguh engkau tercela Muhayyishoh. Maka Muhayyishoh bin Mas’ud menjawab: “ Sungguh Rasul telah menyuruh saya untuk membunuhnya, seandainya Rasul menyuruh saya membunuh kamu maka akan kubunuh kamu. Huwayyishoh menjawab: Demi Allah sungguh agama yang datang padamu itu betul-betul mengagumkan, maka Masuk Islamlah Huwayyishoh bin Mas’ud.
Maka nafsiyyah Muhayyishoh bin Mas’ud adalah adanya pengkaitan dorongan-dorongan dengan mafahimnya, sehingga menjadikan muyulnya berdasarkan hukum syara’ hal ini jelas dari perkataan Muhayyishoh kepada Huwayyishoh: “Sungguh Rasul menyuruh saya membunuh Ka’ab, sehingga seandainya Rasul menyuruh saya membunuh kamu tentu aku akan membunuhmu”, jadi tidak berdasar gharizah atau kemaslahatan, seperti yang dijadikan pegangan saudaranya yang akfir. Dan itulah nafsiyyah yang benar seperti yang diajarkan Islam sehingga menjadikan kekaguman saudara yang kafir, yang dilanjutkan dengan proklamasi dirinya menjadi Islam.
C. Asy-Syakhsiyyatu ‘Aqliyyatun Wa
Nafsiyyahtun
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga aku (nabi) dijadikan akalnya untuk berfikir.” (Al Hadits).
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu hingga nafsunya mengikuti apa yang datang dari saya (nabi) atau Al hadits.
‘Aqliyyah adalah cara yang berlandaskan asasnya berfikir tentang realitas, atau juga disebut cara manusia mengkaitkan ma’lumat saabiqah dengan realitas berdasarkan kepada qaaidah tertentu.
Dan nafsiyyah adalah cara manusia mengkaitkan dorongan-dorongan pemenuhan gharizah dan haajaah ‘udwiyyah dengan mafahimnya, atau disebut juga dengan muyul yang merupakan hasil dari pengkaitan mafahim dengan dorongan-dorongan. Lantas apa pengait antara aqliyyah dan nafsiyyah?
Sesungguhnya sudah merupakan urusan alami manusia adalah berfikir tentang al-asyya dan al-a’maal, kemudian menghukuminya berlandaskan qaaidah tertentu seperti aqidah yang dipegangnya. Dari tafkir ini akan dihasilkan mafahim yaitu menjadikan pemikirannya sebagai dalil-dalil atas realitas yakni indera menemukan relitas atau tergambarnya realitas di dalam otak dan meyakininya seperti menemukan realitas yang bisa diindera langsung.
Mafahim ini mempengaruhi pada dorongan-dorongan pemenuhan. Maka jadilah baginya muyul pemenuhan sebagai hasil dari pengkaitan antara mafaahim dengan dorongan, bagi mafahim ada ikatan antara ‘aqliyyah manusia dengan nafsiyyahnya, karena mafahim yang terbentuk adalah dari jalan berfikir tentang realitas (aqliyyahnya) yang akan menghukumi muyul yang dihasilkan dari pengkaitan antara mafaahim dan dorongan-dorongan (nafsiyyahnya).
Dan pengkaitan antara ‘aqliyyah dan nafsiyyah nampak jelas di dalam syakhsiyyah mutamayyizah contohnya yang bisa diteladani adalah Anas bin Nadhor salah satu sahabat semoga Allah ridlo padanya, dalam perang Uhud beliau bersama ‘Umar bin al-Khaththab dan Tholhah bin ‘Ubaidillah melewati kelompok shahabat muhajirin dan anshor, kelompok shahabat tersebut duduk dan melemparkan senjatanya setelah tersebar berita bahwa Rasulullah terbunuh. Maka Anas bin nadhor berkata kepada mereka:” Apa yang membuat anda sekalian duduk? Mereka menjawab: “ Rasulullah SAW terbunuh”, berkata Anas bin Nadhor: “ Apa yang akan anda perbuat dengan hidup anda setelah Rasulullah mati? (apakah anda akan berhenti berjuang dengan wafatnya Rasul SAW?) bangkit dan matilah seperti matinya Rasulullah, kemudian mereka bangkit dan menghadapi kaun Quraisy lalu memeranginya sehingga mereka mati syahid.
Suluk dari Anas bin Nadhor menunjukan sebuah syakhsiyyah mutamayyizah, menunjukan adanya ikatan yang kuat antara ‘aqliyyah dan nafsiyyahnya. Anas bin Nadhor mengindera realitas yakni para shahabat membiarkan tidak saling menolong dalam peperang an setelah tersebar berita terbunuhnya Rasululah dan Anas bin Nadhor mengikatkan realitas dengan ma’lumat saabiqah (pahitnya kekalahan dan haramnya berpaling pada hari kepayahan pada waktu perang dan pengaruh tersebarnya kematian Rasulullah pada shahabat) Anas bin nadhor berpijak dari pemikiran qaaidah asasiyyah yaitu aqidah Islamiyyah dan bahwa peperangan itu wajib dan balasan bagi mujahid atau mati sahid adalah surga juga ajal itu sudah ditentukan Allah dan lari dari peperangan adalah haram.
Pemikiran-pemikiran ini bagi Anas bin Nadhor sebagai mafahim karena beliau yakin dan percaya atas pemikiran tersebut, kemudian mengkaitkan antara mafahim ini dengan dorongan-dorongan gharizah baqa’ yang terlihat madhahirnya dari para sahabat yaitu menjaga kehidupan dan takut dari mati, kemudian Anas bin Nadhor menyesuaikan dorongan-dorongan ini dengan mafahimnya maka jadilah mereka cenderung untuk berperang walaupun mereka melaksanakan sesuatu yang kontradiksi dengan dorongan-dorongan gharizahnya, maka ‘aqliyyah Anas bin Nadhor adalah aqliyyah Islamiyyah beliau bisa merubah dorongan-dorongannya dan menjadikannya sebagai muyul yang Islamiyyah, sehingga jadilah nafsiyyahnya cenderung berperang melawan musuh dan lebih baik mati sahid menyusul Rasulullah.
Sungguh Anas bin Nadhor telah menterjemahkan Syaksiyyah mutamayyizah yang tinggi kepada suluk yang menjasad (mengkristal) dalam dirinya dengan memerangi kaum Musyrikin.
Adapun aktifitasnya bukanlah Syakhsiyyah buka pula ‘aqliyyah dan bukan pula nafsiyyah akan tetapi merupakan bekas dari bekas-bekasnya syakhsiyyah,’aqliyyah dan nafsiyyah.
Syakhsiyyah kadang-kadang bisa berbentuk syaksiyyah mutamayyizah dan syaksiyyah ghairu mutamayyizah.
D. Syakhsiyyah Mutamayyizah
Syakhsiyyah mutamayyizah adalah syakhsiyyah yang antara aqliyyah dan nafsiyyah dalam satu jenis yakni dari satu sumber aqidah, maka muyulnya ikut pada mafahimnya, yaitu nafsiyyahnya ikut kepada aqliyyahnya, yaitu kecenderungan kepada al-asyya dan al a’maal di dalam memenuhi gharizah dan haajaah ‘udwiyyah berdasarkan mafahim yang bersumber dari qaiidah fikriyyah asasiyyah yang semua pemikiran disandarkan kepadanya.
Sehingga syakhsiyyah mutamayyizah mempunyai warna tertentu, dan haruslah qaaidah fikriyyah asassiyyah yang timbul darinya hukum-hukum pemiliknya sebagai penghukum atas realitas, qaaidah asasiyyah ‘ammah hendaknya sebagai rujukan, karena darinya bersumber hukum-hukum yang lazim untuk mengatur hubungan manusia, dengan tuhannya, dirinya dan lainnya.
Dan hal itu tidak akan bisa datang kecuali jika qaaidah asasiyyah sebagai fikroh kulliyyah (pemikiran yang total) dari kaun, insan dan kehidupan, sehingga dijadikan qaidah asasiyyah sebagai pengurai problema besar (‘uqdatul Kubra) bagi manusia, yaitu pemenuhan perasaan kekurangan, kelemahan dan membutuhkan yang kemuadian akan muncul nidhom pemenuhan gharizah dan haajaah ‘udwiyyah secara keseluruhan.
Syakhsiyyah mutamayyizah tidak akan ada kecuali sebagai mabda, seperti syakhsiyyah Islamiyyah, syakhsiyyah ro’sumaaliyyah, syakhsiyyah syuyu’iyyah, karena aqliyyah dan nafsiyyah seluruh darinya menggunakan ukuran pemikiran dan muyul dari aqidah aqliyyah yang terpancar darinya nidhom yang mengatur seluruh hubungan manusia dan itulah mabda, atau lebih mudahnya mabda adalah pemikiran yang mendasar yang diatasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain.
Dan syakhsiyyah Islamiyyah yang tinggi sebagai al-diin Islam menyebar di atas bumi, sudah berjasad pada diri manusia yang beriman kepada aqiidah Islamiyyah, sebagai fikroh kuliyyah atas kaun, insan dan kehidupan serta apa-apa sebelum hidup di dunia dan apa-apa setelah hidup di dunia dan hubungan antara sebelum dan sesudah hidup di dunia. Jadilah aqidah ini sebagai qaaidah fikriyyah yang diatas asasnya seorang muslim berfikir, dan mengkaitkan realitas dengan ma’lumat saabiqah dan menghukumi realitas dengan parameter hukum syara’ yaitu: fardlu, madhub, mubah, makruh dan haram.
Dan jadilah aqidah ini sebagai asas pada muyulnya maka jadilah mafahimnya mengkaitkan dengan dorongan-dorongan pemenuhan yang merupakan reaksi dari aksi thaaqah hayawiyyah yang berupa gharizah dan haajaah ‘udwiyyah.
Dan dengan itu jadilah syakhsiyyah islamiyyah adalah syaksiyyah mutamayyizah, aqliyyah dan nafsiyyah dari satu jenis, yang keduanya disandarkan kepada satu qaaidah asasiyyah yaitu aqiidah Islamiyyah.
Syakhsiyyah Islamiyyah seseorang berbeda dalam kekuatannya, seorang muslim yang menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai asas di dalam pemikiran dan kecenderungannya, maka dialah yang bisa dikatakan mempunyai syakhsiyyah Islamiyyah, selain itu pemilik syaksiyyah ini sangat suka mengerjakan yang sunat disamping yang fardhu dan menjauhi dari yang makruh dan juga yang haram, mengerjakan yang mubah yang dekat dengan sunat dan fardhu dan menahan dari mengerjakan yang mubah yang dekat dengan haram-dan makruh.
Jika bisa mengerjakan seperti itu maka itulah syaksiyyah islamiyyah saamiyyah (tinggi), pelakunya mampu mengkaitkan dan menguatkan fikroh dan muyulnya, oleh sebab itu aktifitasnya dilakukan dengan mafahim Islamiyyah.
Seorang Muslim yang merasa cukup dengan mengerjakan yang fardhu dan mubah dan sebagian yang mandhub, serta menahan dari pekerjaan haram dan sebagian yang makruh, maka dia mempunyai syaksiyyah Islamiyyah adl’af dari syakhsiyyah Islamiyyah saamiyyah, yakni secara hierarki berada di bawah syakhsiyyah islamiyyah saamiyyah yang disebutkan di atas.
Dan jika seorang, muslim merasa cukup dengan mengerjakan yang fardhu dan mubah saja, serta menahan dari mengerjakan yang haram, dan tidak merasa bahaya dan khawatir untuk mengerjakan yang makruh dan meninggalkan yang mandhub maka dia mempunyai syaksiyyah dlo’iifah / lemah, secara hierarki berada di bawah syakhsiyyah Islamiyyah adl’af.
Dari tiga contoh di atas terdapat derajat perbedaan yang kuat dan lemahnya syaksiyyah islamiyyah seorang muslim.
Kadang-kadang seorang muslim menempuh yang haram atau meninggalkan yang fardhu, dan syaksiyyah islamiyyahnya hanya masih sebagai asas untuk pemikiran dan muyulnya saja, atau masih sebagai aqliyyah dan nafsiyyahnya saja karena adanya lubang kekosongan di dalam suluknya yang sebetulnya seorang muslim tidak akan lepas dari suluk tersebut sebagai komponen lengkap syaksiyyah Islamiyyah maka kadang-kadang seorang muslim lupa atau salah di dalam mengkaitkan suatu pemahaman dari mafahim dengan aqidah islamiyyah dan kadang-kadang tidak tahu adanya kontradiksi antara muyulnya dengn aqidah, maka jadinya dia menghukumi waqi’ / realitas dengan hukum yang tidak islami sehingga kecenderungan melaksanakan aktifitas yang tidak diakui syara’.
Rasul berkata kepad mereka:” Wahai Hatib apa yang membawamu atas perkara ini”? Hatib menjawab:” Wahai Rasulullah demi Allah saya masih seorang mu’min yang percaya kepada Allah dan Nabi-Nya, dan saya tidak akan merubah dan mengganti keimanan saya, akan tetapi saya sebagai Qurasy asli dan juga keluargaku, maka jagalah keluarga saya dan jangan perangi kaum Qurasy.”.
Maka Umar bin al-Khaththab berkata: “ Wahai Rasulullah biarkan saya mematahkan batang lehernya, karena orang ini telah munafiq”, Bersabda Rasul:” Apa yang engkau ketahui wahai Umar sungguh Allah telah mengetahui sahabat Badr pada peperangan Badr, selanjutnya sabda Rasul:”Lakukanlah apa yang kamu semua kehendaki sungguh saya memohon ampun dan memaafkan kalian, maka Allah menurunkan ayat kepada Hatib bin Abi Balta’ah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita muhammad), karena rasa kasih sayang.” (QS. Al Mumtahanah 1 ).
Haatib bin Abi Balta’ah masih sebagai seorang muslim, syakhsiyyahnya Islamiyyah, dia tunduk untuk melakukan aktifitas yang haram, yaitu memata-matai kaum muslimin dan dia berhak mendapat hukuman, terkecuali dia tidak mengingkari aqidah Islamiyyah, dan tidak pisah darinya qaaidah asasiyyah di dalam tafkir dan muyulnya, hal ini ditunjukukkan dengan jawaban yang diberikan kepada Rasulullah,”Sungguh saya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan saya tidak akan mengganti atau merubah iman saya”’ akan tetapi dia membenarkan tindakannya yang bertentangan dengan hukum syara’ karena dia ingin menjaga keluarganya yang ada di Makkah, dan dalam tindakan ini dia tidak mengkaitkan muyulnya dengan mafahim Islamiyyahnya, dan dia menjalankan gharizah nau’nya untuk menjaga anaknya dan keluarganya sehingga di dalam perilakuknya ada lubang kekosongan pada suluknya, sebagai hasil dari kecenderungannya yang terlepas dari sasaran / majal aqidah Islamiyyah, dan itulah yang menarik dia untuk mengutamakan gharizah al nau’nya.
Demikian juga para shahabat bertindak di dalam perang uhud dan perang bani mustholaq mereka tidak keluar dari syakhsiyyah Islamiyyah. Sungguh hal ini telah disifati oleh dalil syar’iyyah dari Al-qur’an dan Al-Hadits akan syakhsiyyah Islamiyyah ini kepada Shahabat dan orang mu’min, Firman Allah:
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang kafir, tapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan Keridloan-Nya.”(QS. Al Fath 29).
Dan firman Allah tentang Jihad mereka:
Dan mereka menolong Allah dan Rasulnya,” (QS.Hasyr 8).
“Mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka.” (QS. An Anfaal 72).
Dan Allah mensifati mereka di dalam ‘ibadahnya, firman-Nya:
“Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al Furqaan 64).
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedangkan mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan Harap, dan mereka menafkahkan sebagaian rizqi yang Kami berikan kepada mereka” (QS. As Sajdah 16).
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).” (QS. Al Ma’aarij 244-25)
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang melawat (mencari ilmu atau berjihad), yang ruku’ yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakannlah orang-orang mu’min itu.” (QS. At Taubah 112).
Dan Allah mensifati akhlaqnya dengan firmanNya:
“Dan Hamba-hamba Tuhan yang maha Penyayang itu (ialah) orang orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS. Al Furqaan 63).
“Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al Hujuraat 15 ).
“Mereka tidak meminta kepada orang-orang secara mendesak.” (QS.Al Baqarah 273).
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang.” (QS.Ali ‘Imran 134).
Sabda Nabi SAW:
“Sahabat-sahabatku seperti bintang jika kamu mengikutinya, tentu akan mendapat petunjuk.”(Al Hadits).
Bagi mereka tampak sekali syakhsiyyah islamiyyahnya yang tinggi, mereka mengumpulkan antara ibadah dan siayah, antara kepemimpinan dan pemeliharaan rakyat, antara kasih sayang dan ‘adil antara bangun malam dan berjihad, kesemua itu mereka mencari apa yang diberikan Allah berupa rumah akhirat dan tidak melupakan nasib mereka di dunia, mereka menahan diri mereka dari menahan diri dari meminta walaupun mereka miskin dan mengkoreksi pemimpin yang dholim. Dalam berjuang dijalan-Nya tidak takut celaan orang suka mencela, akal dan kecenderungan mereka mengikuti apa yang datang dari Allah dan rasul-Nya, karena mereka berfikir dan memahami sabda Nabi:
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu sehingga (Nabi) dijadikan akalnya untuk berfikir.” (Al-Hadits)
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kamu hingga nafsu mengikuti apa yang datang dari saya (Nabi).” (Al Hadits)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah