BAB I
LESSON FROM THE TOP
Ada pelajaran menarik yang dapat diambil dari sebuah buku berjudul Lesson From The Top karangan Neff dan Citrin (1999).
Pada tahap pertama, penulis buku meminta kepada sekitar 500 orang (CEO dari berbagai perusahaan, LSM, dan dekan/rektor perguruan tinggi) agar mereka menominasikan 50 nama orang-orang yang menurut mereka tersukses di Amerika. Dari mereka, akhirnya diperoleh 50 nama yang beberapa di antaranya adalah:
• Jack Welch (General Electric)
• Bill Gates (Microsoft)
• Andy Grove (Intel)
• Lou Gerstner (IBM)
• Michael Dell (Dell Computer)
• Mike Armstrong (AT&T)
• John Chambers (Cisco System)
• Frederick Smith (Federal Express)
• Steve Case (America Online)
• Elizabeth Cole (American Red Cross)
• Bob Eaton (DaimlerChrysler)
• Michael Eisner (Walt Disney)
• Ray Gilmartin (Merck)
• Hank Greenberg (AIG)
• Sandy Weill (Citigroup)
• Alex Trotman (Ford Motor Company)
• Bill Steere (Pfizer)
• Howard Schultz (Starbucks)
• Ralph Larsen (johnson&Johnson)
• Walter Shipley (Chase Manhattan)
Tahap berikutnya, penulis buku mewawancarai 50 orang terpilih tersebut satu-per-satu. Dalam wawancara tersebut antara lain ditanyakan rahasia sukses para pengusaha tersebut. Jawaban mereka kemudian di rangkum di dalam bab kesimpulan yang memuat 10 kiat yang menurut 50 orang tersebut paling menentukan kesuksesan mereka.
Tahukah Anda? Dari sepuluh kiat sukses tersebut tak satupun menyebut pentingnya memiliki keterampilan teknis alias hardskills sebagai persyaratan untuk sukses di dunia kerja. Lima puluh orang tersebut seolah sepakat bahwa yang paling menentukan kesuksesan mereka bukanlah keterampilan teknis, melainkan kualitas diri yang termasuk dalam katagori keterampilan lunak (softskills) atau keterampilan berhubungan dengan orang lain (people skills). Di Jerman dieknal juga dengan istilah strategical skills atau key qualifications.
Berikut ini adalah 10 kiat sukses 50 orang tersukses di Amerika tersebut.
Ten Common Traits of the Best Business Leaders
1. Passion
2. Intelligence and clarity of thinking
3. Great communication skills
4. High energy level
5. Egos in check
6. Inner peace
7. Capitalizing early life experience
8. Strong family lifes
9. Positive attitude
10. Focus on “doing the right things right”
Mari kita perhatikan, kiat sukses nomor satu ternyata adalah “passion”, gairah, atau semangat yang membara. Orang bijak menterjemahkan semangat sebagai burning desire yang diwujudkan dalam bentuk: “bersedia mencurahkan apapun yang dipunyai untuk apapun yang sedang dikerjakan.” Karena definisinya demikian, tak heran jika 50 orang sukses tadi menempatkan “semangat” sebagai modal pertama untuk meraih kesuksesan.
Yang menjadi pertanyaan, “semangat” itu -andaikan bisa diajarkan- akan diajarkan melalui mata pelajaran apa dan diajarkan oleh siapa dengan cara bagaimana?
Kata orang bijak, semangat itu tidak bisa diajarkan, tetapi bisa ditularkan. Dengan demikian tugas dosen di perguruan tinggi bukan mengajarkan semangat, melainkan menularkannya. Artinya, para dosen perlu bersemangat terlebih dahulu supaya dapat menularkan. Apakah mahasiswa akan bersemangat jika selama 100 menit tatap muka di kelas, dosen mengajar sambil duduk dengan tayangan berbentuk transparansi yang sudah usang 10 tahun yang lalu ? Nah, ini baru soal menularkan kiat nomor satu. Lalu bagaimana dengan sembilan kiat sukses lainnya?
Ceritera diatas tadi bukan berarti tidak mementingkan hard skills dalam dunia usaha dan dunia kerja atau dunia bisnis sekalipun. Namun beberapa buku selalu menekankan bahwa di dalam dunia nyata tersebut soft skills sangat menonjol peranannya dalam membawa orang mampu bertahan di puncak sukses. Dengan kata lain:
”We HIRE people for their technical skills,
but then....
We FIRE them for behavioral faults”
Pernah di suatu masa awal tahun 80-an, ada seorang ginekolog wanita di suatu kota. Karena ia wanita, maka ibu-ibu lebih senang ditangani dokter tersebut saat persalinan. Namun sikapnya kurang ramah, bahkan cenderung “judes”. Setelah beberapa saat bermunculan ginekolog wanita lainnya, yang lebih ramah dan sabar saat menunggui persalinan, maka para pasien dokter itu mulai mundur teratur. Acapkali kita juga sering menghadapi seorang dokter yang kemampuan untuk mengobati pasien sangat bagus, namun kurang mampu berkomunikasi, sikap yang arogan dan cenderung kurang berempati terhadap pasien. Pengalaman anak pertama penulis yaitu Irham, ketika duduk di kelas satu Ironside State School Brisbane Australia, setiap hari Rabu minggu ke tiga selalu dikunjungi dokter gigi. Saat namanya di panggil dan harus berjalan ke mobil dokter (bentuk caravan), ia ketakutan, namun setelah di dalam ruang pemeriksaan dokter tersebut dapat merubah ketakutan menjadi pengalaman yang menyenangkan. Dokter tersebut membuka percakapan dengan sapaan “hallo young man, how is it going today?”, lalu dokter itu menerangkan alat-alat sekitar tempat duduk anak itu, lalu meminta mencoba memijit tombol untuk menaik turunkan kursi dst. Akhirnya ia tidak takut lagi pergi sendiri ke ruangan dokter, bahkan dengan senang hati.
Di masa persaingan yang ketat saat ini, rasanya sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi bahwa hard skills dan soft skills harus seiring dan sejalan dalam pengembangannya di perguruan tinggi sebagai pencetak sumberdaya yang tangguh dan unggul.
Penulis pun pernah memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan, ketika ingin audiensi dengan seorang Bupati di Jawa Barat. Waktu untuk bertemu sudah disepakati melalui ajudan dan sekretarisnya dengan menggunakan media telepon (tidak mudah untuk bertemu langsung dengan pejabat di negeri kita). Setelah datang dan diterima oleh penerima tamu dikatakan bahwa ”Bapak sedang menerima tamu”. Lalu penulis menunggu dengan sabar sampai dua jam, hingga tidak ada kepastian kapan Bapak Bupati itu selesai menerima tamu. Bukan itu saja, penerima tamu di ruang Bupati pun tidak ada inisiatif untuk memberikan sekedar air minum putih kepada tamunya (mungkin tidak ada SOP untuk itu). Setelah 2.5 jam, dengan senang hati penulis melihat Bupati keluar dari ruangannya, namun... Beliau benar-benar keluar dan staff di kantor itupun tidak tahu mau kemana beliau pergi. Akhirnya karena sudah tengah hari, penulispun pamit untuk keluar mencari kantin di sekitar itu dan tempat sholat. Baru saja makanan datang penerima tamu tersebut sudah nyusul dan berkata kalau Bapak sudah ada di ruangannya lagi. Setelah masuk ke ruangan Bupati, kami diterima dengan dingin dan beliau pun tidak minta maaf karena sudah telat menerima penulis. Lalu penulis utarakan maksud dan tujuan audiensi ini bukan untuk meminta bantuan tetapi Perguruan Tinggi akan memberi bantuan pada masyarakatnya. Barulah suasana mencair dan kami pun senang karena melihat wajah yang berubah.
Sepanjang jalan pulang, saya hanya berandai dan berharap. Andai saja karyawan kita diajari bagaimana melayani dengan baik, berempati, memiliki inisiatif dan selalu berprasangka baik, alangkah indahnya silaturahmi ini. Tapi saya juga berharap agar hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan dapat ditularkan pada saat calon karyawan masih duduk di sekolah. Hal ini akan sangat cepat penularannya jika dimulai dari pemimpin yang melakukan pelayanan prima, artinya pelayanan prima harus dimulai dari pimpinan.
Selain 10 kiat sukses tersebut, para pengusaha di dalam buku Lesson From the Top juga menambahkan enam prinsip utama (six core principles) bagi suksesnya orang-orang sukses, yaitu:
• live with integrity,
• develop a winning strategy,
• build a great management team,
• inspire employees,
• create a flexible organization, and
• implement relevant systems.
Sepuluh kiat sukses dan enam prinsip inti tersebut di atas semakin menegaskan pentingnya softskills bagi para lulusan perguruan tinggi sebagai calon pekerja dan pengusaha serta pemimpin masyarakat. Sadar atau tidak, diri kita seringkali menilai orang lain (terutama yang kita kagumi) dari sikap dan perilakunya. Artinya apa? Kita pun akan dinilai orang karena sikap dan perilaku kita. Jadi betapa pentingnya bagi kita untuk selalu memelihara sikap dan perilaku yang menyenangkan dan diterima baik oleh masyarakat.
Bila sejak awal mahasiswa dibekali dengan pengetahuan tentang softskills yang cukup dan bahkan sudah terbiasa mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari maka peluang mereka untuk menjadi orang sukses di masyarakat akan semakin besar. Perlu banyak contoh yang mahasiswa lihat di lingkungan perguruan tinggi. Contoh ini mulai dari pimpinan perguruan tinggi, dosen dan para staf penunjang yang menjadi frontliners yang berhubungan langsung dengan mahasiswa. Jika mahasiswa terbiasa diperlakukan baik dan terhormat, lambat atau cepat mereka akan menjadi pelayan yang baik di masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan penularan yang paling sederhana.
Sesuatu yang akan kita tularkan kepada orang lain menghendaki diri kita tertular terlebih dahulu. Layaknya seseorang yang menularkan penyakit flu, dapat dipastikan dirinya telah tertular terlebih dahulu, sebelum menular kepada orang lain. Artinya, apabila kita ingin menerapkan aturan disiplin untuk datang tidak terlambat kepada mahasiswa, maka seyogyanya dosen harus datang tepat waktu di dalam kelas dan juga tidak terlalu cepat untuk mengakhiri tatap muka di kelas. Apabila dosen ingin menularkan rasa tanggungjawab kepada mahasiswa dengan memberi tugas dan tugas tersebut dikumpulkan dalam waktu dua minggu (misalnya), maka dosen pun harus berupaya untuk mengembalikan tugas tersebut dengan umpan balik kepada mahasiswa sesuai dengan waktu yang dijanjikan kepada mahasiswa. Itu hanya beberapa contoh sikap dan perilaku yang perlu dicermati dan dimiliki dosen terlebih dahulu.
Beberapa penyakit yang sekarang sedang melanda secara nasional yaitu pertama, kalau hadir ke pertemuan atau kelas, mahasiswa atau dosen selalu memilih duduk paling belakang, dan jarang yang berani duduk di kursi atau barisan depan. Lalu penyakit kedua adalah malas untuk bertanya di dalam forum-forum resmi seperti kuliah, seminar dan lokakarya. Penyakit ketiga adalah kebiasaan ngobrol pada saat ada orang yang berbicara di podium. Ketiga penyakit ini kalau dipelihara maka akan membuahkan karakter buruk bagi bangsa Indonesia.
Lantas bagaimana mencegah agar hal ini tidak berkelanjutan?. Jawabannya perlu pergeseran paradigma dalam berperilaku dan bertindak. Bagaimana agar dosen dosen mengidap “good soft skills” terlebih dahulu? Jawabannya, buka hati dan pikiran untuk senantiasa memberikan yang terbaik kepada anak didik kita, tetap berpegang pada nilai-nilai kehidupan dan norma-norma dasar yang disepakati, baca buku dan mau belajar lebih banyak secara terus menerus.
Apabila dicermati dari kenyataan yang ada, baik dari perbincangan informal maupun hasil penelusuran atau kajian formal, maka rasio kebutuhan soft skills dan hard skills di dunia kerja/usaha berbanding terbalik dengan pengembangannya di perguruan tinggi (sebagaimana yang terlihat pada gambar di bawah ini. Gambar 1 menunjukkan bahwa yang membawa atau mempertahankan orang di dalam sebuah kesuksesan di lapangan kerja yaitu 80% ditentukan oleh mind set yang dimilikinya dan 20% ditentukan oleh technical skills. Namun, pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa di perguruan tinggi atau sistem pendidikan kita saat ini, soft skills hanya diberikan rata-rata 10% saja dalam kurikulumnya. Jadi, bagaimana baiknya agar proses pendidikan kita dapat mensinergikan antara soft skills dan hard skills dengan baik?, sementara jumlah satuan kredit mahasiswa sudah cukup banyak.
Mengamati Gambar 1 dan 2, di dunia pendidikan perlu ada pergeseran paradigma berfikir dan bertindak dari fokus pada hard skills saja menjadi mensinergikan antara hard skills dengan soft skills. Bagaimana agar penularan soft skills ini bukan merupakan beban sks yang sudah begitu banyaknya di Perguruan Tinggi, dan bagaimana agar penularannya tidak terasa ada pemaksaan baik bagi dosen maupun mahasiswa. Salah satu caranya yaitu dengan melakukan penularan soft skills melalui Hidden Curriculum.
BAB II
KOMPETENSI SARJANA
Berdasarkan hasil beberapa jajak pendapat (tracer study) yang dilakukan perguruan tinggi di Indonesia, kompetensi sarjana di dunia kerja dibagi dua aspek. Pertama, aspek teknis berhubungan dengan latar belakang keahlian atau keahlian yang diperlukan di dunia kerja. Kedua, aspek non teknis mencakup motivasi, adaptasi, komunikasi, kerjasama dalm tim, pemecahan persoalan, manajemen stress dan kepemimpinan dsb.
Masing-masing dunia usaha/industri dapat memberikan sederet kompetensi teknis maupun non teknis yang berbeda. Namun, pada umumnya jenis kompetensi non teknis lebih banyak dibandingkan dengan kompetensi teknis. Lihatlah iklan-iklan yang terpampang di papan pengumuman perguruan tinggi, atau di berbagai surat kabar. Beberapa persyaratan yang diminta oleh perusahaan yang acapkali muncul dapat dilihat pada daftar berikut:
(1) dapat bekerjasama dalam tim
(2) mampu berkomunikasi secara lisan maupun tulisan
(3) mampu menghadapi pekerjaan yang mendesak
(4) mampu bekerja di bawah tekanan
(5) memiliki ”great sense of services”
(6) mampu beradaptasi
(7) memiliki inisiatif dengan sikap dan integritas pada pekerjaan
(8) jujur, inovatif dan kreatif
(9) mampu bekerja mandiri, sedikit bimbingan
(10) memiliki kepemimpinan yang baik
(11) bertanggungjawab dan memiliki komitmen terhadap pekerjaan
(12) memiliki motivasi dan antusias dalam bekerja
Pada tahun 2007 Majalah Tempo telah memilih 10 Perguruan Tinggi karena lulusannya yang berkarakter. Karakter penting di dunia kerja yang dikemukakannya yaitu:
1. Mau bekerja keras
2. Kepercayaan diri tinggi
3. Mempunyai visi kedepan
4. Bisa bekerja dalam tim
5. Memiliki kepercayaan matang
6. Mampu berpikir analitis
7. Mudah beradaptasi
8. Mampu bekerja dalam tekanan
9. Cakap berbahasa Inggris
10. Mampu mengorganisasi pekerjaan
Sejalan dengan yang dinyatakan oleh manajemen sebuah perusahaan raksasa di bidang perkebunan di Indonesia, bahwa telah terjadi kesenjangan persepsi antara dunia pendidikan tinggi dan industri. Perguruan tinggi memandang bahwa lulusan yang “high competence” adalah lulusan dengan IPK tinggi dan lulus dalam waktu yang cepat (<4 tahun). Sedangkan dunia industri menyatakan bahwa yang dimaksud dengan lulusan yang “high competence” yaitu mereka yang memiliki kemampuan dalam aspek teknis dan sikap yang baik. Di sisi lain, sarjana baru lebih banyak yang memilih bekerja di belakang meja, di perkotaan dan tidak mau melakukan pekerjaan lapangan dengan tangan kotor, apalagi ditempatkan di pelosok. Oleh karenanya penulis sering memberi semangat dan salut kepada para lulusan yang masih mau mengabdikan diri di pelosok daerah, di pulau terpencil, seperti para dokter muda, atau sarjana pertanian yang masih berdedikasi di pantai-pantai atau perkebunan yang jauh dari sinyal HP.
Sehubungan dengan adanya perbedaan sudut pandang antara dunia industri dan pengharapan dari lulusan, maka perlu dibangun mind set yang sama dan pengembangan kepribadian atau perilaku. Sebagai contoh, salah satu indikator kebagusan program studi saat ini adalah jika lulusannya memiliki waktu tunggu yang singkat untuk mendapatkan pekerjaan pertama. Namun, industri mengatakan bukan itu, melainkan seberapa tangguh seorang lulusan untuk memiliki komitmen atas perjanjian yang telah dibuatnya pada pekerjaan pertama. Jika kontraknya 2 tahun, ya seharusnya diselesaikan selama 2 tahun, terlepas dari kenyamanan kondisi yang dihadapinya. Jika ternyata menurut ia kondisi yang dihadapi tidak memberi kenyamanan -- misal dalam gaji-- mengapa tidak dilakukan pembicaraan di awal sebelum mulai bekerja. Apabila tidak ada kepastian dalam jenjang karier karena sistem kontrak, mengapa tidak bicara baik-baik dan tidak muntaber (mundur tanpa berita).
Artinya, boleh jadi lulusan perguruan tinggi kurang dapat berkomunikasi saat ia melakukan negosiasi pekerjaan dengan perusahaan. Banyak kejadian seorang lulusan enggan atau bahkan tidak dapat menentukan besar gaji yang diinginkan ketika ditanya oleh manajer personalia perusahaan. Namun setelah 2-3 bulan mereka mengeluh dengan kecilnya gaji yang diterima. Akhirnya mereka angkat kaki, tanpa memberitahukan pula. Mungkin ada dua alasan mengapa mereka tidak dapat menentukan gaji yang diharapkan. Pertama, ia malu untuk menyatakan harga kemampuan dirinya (kompetensinya). Kedua, ia berpendapat bahwa diterima di perusahaan untuk bekerja pertama kali saja sudah bagus. Bagaimana agar proses pembelajaran kita saat ini dapat meningkatkan rasa percaya diri, yang akhirnya lulusan kita mampu menyatakan posisi tawarnya dengan baik.
Peningkatan Adversity quotient menjadi penting, karena dapat memperbaiki ketahanan seseorang untuk menghadapi berbagai keadaan, baik keadaan yang menyenangkan maupun yang sulit di pekerjaan.
Sebagian besar mahasiswa yang tidak pernah mengikuti kegiatan organisasi selama masa studi di perguruan tinggi, disinyalir lemah dalam kemampuan leadership, kemampuan berdiskusi dan berkomunikasi, kemampuan kerjasama dalam sebuah tim serta saling menghargai. Kejadian tahun 2006 membuktikan lulusan baru dengan IPK 3.8 diterima di suatu perusahaan, dan diberi kewenangan untuk membawahkan 75 orang pegawai. Diantara pegawai tersebut setengahnya berumur lebih dari 40 tahun. Ternyata dari kontrak 1 tahun masa percobaan dia hanya mampu menyelesaikan 4 bulan saja. Kenapa? Karena tidak tahan untuk memimpin orang yang lebih tua, lebih berpengalaman di perusahaan namun tidak memiliki kualifikasi sarjana. Lulusan ini kurang tahan terhadap keadaan yang sulit apalagi harus mentransformasi konflik antara perusahaan dengan buruh. Ternyata lulusan tersebut tidak pernah ikut aktif dalam organisasi mahasiswa.
Sebaliknya sarjana yang semasa studinya aktif dalam berbagai organisasi, namun memiliki IPK lebih rendah lebih mampu bertahan di pekerjaan. Mereka pada umumnya memiliki kemampuan lebih dalam berkomunikasi, manajemen stress dan kerjasama yang baik dalam pekerjaan. Sebenarnya yang diinginkan oleh para pendidik maupun pengguna lulusan atau masyarakat luas yaitu sarjana yang memiliki pengetahuan luas, memiliki keterampilan untuk menggunakan ilmunya di dunia kerja dan bersikap serta berperilaku menurut etika dan norma yang berlaku di masyarakat. Jadi selain memiliki pengetahuan dan teknologi di bidangnya, juga mereka mampu untuk bekerja mandiri dan bekerjasama dalam tim, mampu berfikir logis dan analitis serta berkomunikasi secara lisan dan tulisan. Bagaimana pun juga kompetensi inilah yang ingin dihasilkan dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Melalui peningkatan soft skills, diharapkan lulusan perguruan tinggi lebih mampu bersaing dengan lulusan dari perguruan tinggi luar negeri. Sehingga suatu saat di era kesejagatan sarjana di Indonesia tetap menjadi pemain bukan penonton.
Sehubungan dengan itu, Departemen Pendidikan Nasional RI mencanangkan misinya bahwa pendidikan di Indonesia harus mampu menjadikan insan Indonesia yang Cerdas dan Kompetitif. Insan Indonesia ke depan bukan hanya memiliki nilai akademik tinggi, namun mampu mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dipelajarinya di kehidupan bermasyarakat dengan penuh tanggungjawab dan sikap perilaku yang baik dan mampu bersaing dengan kemampuan sumberdaya manusia di luar negeri. Sarjana di Indonesia diharapkan tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi semata, namun mampu berkomunikasi secara lisan dan tulisan, mampu berfikir analitis dan logis, serta mampu bekerjasama dalam tim disamping juga mampu bekerja mandiri.
BAB III
ATRIBUT SOFT SKILLS
Soft skills didefinisikan sebagai ”Personal and interpesonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g. coaching, team building, initiative, decision making etc.) Soft skills does not include technical skills such as financial, computing and assembly skills “. (Berthal). Peggy dalam bukunya berjudul The Hard Truth about Soft Skills yang terbit tahun 2007, mengatakan bahwa “soft skills encompass personal, social, communication, and self management behaviours, they cover a wide spectrum: self awareness, trustworthiness, conscientiousness, adaptability, critical thinking, organizational awareness, attitude, innitiative, emphathy, confidence, integrity, self-control, leadership, problem solving, risk taking and time management”.
Soft skills adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, dengan demikian meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap.
Atribut soft skills ini dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru. Kebiasaan baru ini paling tidak dilakukan selama 90 hari berturut-turut (Aribowo, 2005).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh negara-negara Inggris, Amerika dan Kanada, ada 23 atribut softskills yang dominan di lapangan kerja. Ke 23 atribut tersebut diurut berdasarkan prioritas kepentingan di dunia kerja, yaitu:
1. Inisiatif 11. Kemampuan analitis
2. Etika/integritas 12. Dapat mengatasi stres
3. Berfikir kritis 13. Manajemen diri
4. Kemauan belajar 14. Menyelesaikan persoalan
5. Komitmen 15. Dapat meringkas
6. Motivasi 16. Berkoperasi
7. Bersemangat 17. Fleksibel
8. Dapat diandalkan 18. Kerja dalam tim
9. Komunikasi lisan 19. Mandiri
10. Kreatif 20. Mendengarkan
21. Tangguh
22. Berargumentasi logis
23. Manajemen waktu
Beberapa lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga konsultan SDM dan beberapa acara diskusi terbatas di DIKTI telah menghasilkan rumusan atribut soft skills yang bervariasi di dunia pekerjaan. Misalnya, hasil Tracer Study yang dilakukan oleh Departemen (dulu jurusan) Teknologi Industri Pertanian IPB tahun 2000, menyatakan bahwa atribut jujur, kerjasama dalam tim, integritas, komunikasi bahkan rasa humor sangat diperlukan dalam dunia kerja.
Penulis buku-buku serial manajemen diri, Aribowo, membagi soft skills atau people skills menjadi dua bagian, yaitu intrapersonal skills dan interpersonal skills. Intrapersonal skills adalah keterampilan seseorang dalam ”mengatur” diri sendiri. Intrapersonal skills sebaiknya dibenahi terlebih dahulu sebelum seseorang mulai berhubungan dengan orang lain. Adapun Interpersonal skills adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain. Dua jenis keterampilan tersebut dirinci sebagai berikut:
Intrapersonal Skill
• Transforming Character
• Transforming Beliefs
• Change management
• Stress management
• Time management
• Creative thinking processes
• Goal setting & life purpose
• Accelerated learning techniques
Interpersonal Skill
• Communication skills
• Relationship building
• Motivation skills
• Leadership skills
• Self-marketing skills
• Negotiation skills
• Presentation skills
• Public speaking skills
Belakangan yaitu kira-kira tahun 2006-an sedang dikembangkan atribut lain yang tergolong pada extra personal concern, yang mengandung makna kearifan/welas asih atau wisdom. Atribut ini penting karena kalaulah dia menjadi seorang pengusaha maka tidak menjadi pengusaha yang bengis, memiliki kebijakan yang berorientasi pada win-win solution.
Dalam rangka mengembangkan atribut soft skills peserta didik di perguruan tinggi, diperlukan identifikasi awal atribut soft skills apa yang ingin dikembangkan di perguruan tinggi. Hal ini dapat diidentifikasi dengan teknik survey kepada mahasiswa melalui penyebaran kuesioner. Para mahasiswa diberi lembar kuesioner yang berisi daftar atribut soft skills. Daftar atribut soft skills dapat diperoleh dari hasil jajak pendapat kepada pengguna lulusan, dan kajian dan visi para pendidik di perguruan tinggi yang dipadukan dengan tata nilai serta norma yang diyakininya untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Masih jarang Perguruan Tinggi di Indonesia yang secara eksplisit menyatakan nilai-nilai yang dianutnya. Kalaupun ada jarang sekali disosialisasikan kepada seluruh dosen, karyawan dan para mahasiswanya. Beruntunglah di IPB ada project I-MHERE yang mengadakan kegiatan membangun budaya korporat sehingga dapat menghasilkan 7 nilai budaya korporat. Dalam menentukan atribut soft skills yang akan dikembangkan seyogyanya mengacu pada nilai yang dianutnya. Tujuh nilai IPB yang dapat dijadikan acuan yaitu:
1. Keunggulan Akademik
2. Spiritualisme
3. Gigih
4. Peduli
5. Senang Bekerjasama
6. Bertanggungjawab
7. Komitmen
Kuesioner yang telah diisi oleh mahasiswa diolah dan diamati modus yang paling banyak muncul yang diinginkan oleh mahasiswa untuk dikembangkan selama di perguruan tinggi. Atribut yang ingin dikembangkan biasanya berbeda antar tingkat. Kebutuhan di tingkat satu akan berbeda dengan di tingkat-tingkat atasnya. Hal ini sering luput dari perhatian para pembina kemahasiswaan, pengembang kutrikulum di jurusan/departemen, dan para pembina bimbingan dan konseling. Pada kurikulum konvensional atribut soft skills jarang sekali muncul di dalam pernyataan tujuan program studi atau kompetensi (dalam KBK). Mungkin selama ini kita semua terfokus pada pengembangan hard skills saja.
Pengembangan soft skills di perguruan tinggi dapat dilakukan melalui kegiatan proses pembelajaran dan juga kegiatan kemahasiswaan dalam kegiatan ekstra kurikuler atau ko-kurikuler. Yang terpenting, soft skills ini bukan bahan hafalan melainkan dipraktekkan oleh individu yang belajar atau yang ingin mengembangkannya. Pada saat mahasiswa ingin mengembangkan minat dan bakatnya di dalam bidang olah raga umpamanya, acapkali pembimbing kegiatan olah raga hanya berpusat pada teknik bagaimana memenangkan pertandingan yang akan dilakukan oleh mahasiswanya. Tidak sedikit yang tidak mengindahkan, bahwa pada saat dosen menjadi pembina olah raga, maka soft skills yang perlu dikembangkan adalah sportifitas, keberanian untuk kalah, keberanian untuk menang dan semangat juang yang membara. Seringkali, hard skills-nya dalam teknik shooting (untuk basket ball), atau menendang dan bertahan (untuk sepak bola) yang selalu kita perhatikan. Namun, ketika menerima kekalahan, bukan introspeksi diri yang pertama dilakukan, tetapi mungkin malah menyalahkan cara kerja wasit, atau kecurangan yang dilakukan oleh lawan. Hal-hal demikian akan banyak digali dalam kegiatan kemahasiswaan.
Pengembangan soft skills dalam proses pembelajaran dapat dilakukan melalui kegiatan belajar melalui tatap muka di dalam kelas maupun praktek di laboratorium atau lapangan. Hal ini memerlukan keikhlasan dan kreatifitas dosen yang mengampu mata ajaran dan kompetensi yang diharapkan dari pembelajaran mata kuliah yang diampu tersebut.
***
BAB IV.
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI
Perubahan Kurikulum
Pengertian kurikulum pendidikan tinggi menurut SK Mendiknas No 232/U/2000 adalah: seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi. Kurikulum di pandang sebagai 2 bagian yaitu sebagai perencanaan yang terdiri atas sederetan mata kuliah, silabus dan program kegiatan pembelajaran (GBPP-SAP). Kurikulum juga harus dipandang sebagai kegiatan nyata yaitu proses pembelajaran, proses evaluasi dan penciptaan suasana pembelajaran. Kurikulum biasanya berubah di perguruan tinggi bukan karena tradisi 5 tahunan, melainkan karena adanya perubahan internal perguruan tinggi (visi, perubahan aturan lembaga, perubahan IPTEKS) dan perubahan eksternal (perkembangan kebutuhan masyarakat pemangku kepentingan dan kecenderungan keadaan masa depan).
Kurikulum di perguruan tinggi saat ini telah berubah. Dulu ada Kurikulum Nasional sesuai dengan SK Mendikbud No. 056/U/1994 yang berbasis pada isi (content) dan luarannya dinilai oleh perguruan tinggi sebagai kemampuan minimal penguasaan pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai sasaran kurikulum program studinya. Saat ini sudah terbit SK Mendiknas No 323/U/2002 tentang kurikulum inti dan institutional yang berbasis pada kompetensi. Luaran perguruan tinggi dinilai dari kompetensi seseorang untuk dapat melakukan tindakan cerdas, penuh tanggung jawab sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Artinya penilaian bukan lagi dilakukan oleh perguruan tinggi semata, melainkan oleh pemangku kepentingan. Dengan demikian orientasi hasil bukan terletak pada output saja melainkan bergeser ke outcome. Bukan saja nilai mahasiswa yang bagus (IPK diatas 2.75) melainkan apakah mereka akan dapat berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh dan mengimplementasikannya dengan sikap dan berperilaku dalam berkarya.
Kurikulum berbasis kompetensi merupakan kurikulum yang berorientasi pada kebudayaan yang menghasilkan lulusan perguruan tinggi lebih humanis. Berkaitan dengan pendidikan yang bersifat humanis, maka diperlukan muatan nilai kebudayaan di dalam pendidikan tinggi, mencakup :
(i) fenomena anthrophos dicakup dalam pengembangan manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
(ii) fenomena tekne dicakup dalam penguasaan ilmu dan ketrampilan untuk mencapai derajat keahlian berkarya.
(iii) fenomena oikos dicakup dalam kemampuan untuk memahami kaidah kehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya.
(iv) fenomena etnos, dicakup dalam pembentukan sikap dan perilaku yang diperlukan seseorang dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keahlian yang dikuasai.
Ditegaskan dalam SK Mendiknas No 045/U/2002 tentang kurikulum inti pendidikan tinggi yang seyogyanya mengandung lima elemen, yaitu:
1) landasan kepribadian
2) penguasaan ilmu dan keterampilan
3) kemampuan berkarya
4) sikap dan perilaku dalam berkarya
5) pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat
Kurikulum ini juga mengusung empat pilar UNESCO yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan Leaning to live together. Pada Kepmen tersebut dijelaskan bahwa ada tiga jenis kompetensi yang harus dimiliki oleh lulusan yaitu komptensi utama, kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya. Kompetensi utama adalah kemampuan minimal untuk menampilkan unjuk kerja yang memuaskan sesuai dengan penciri program studi. Kompetensi pendukung yaitu kemampuan yang gayut dan dapat mendukung kompetensi utama serta merupakan ciri khas PT yang bersangkutan. Sedangkan kompetensi lain yaitu kemampuan yang ditambahkan yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup, dan ditetapkan berdasarkan keadaan serta kebutuhan lingkungan PT. Misalnya jika di IPB mengusung pertanian tropika, maka walaupun mahasiswa belajar di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, mereka akan memiliki kemampuan dalam bidang pertanian yang ada kaitannya dengan ekonomi atau manajemen, karena core business IPB adalah pertanian. Kemampuan ini dapat diberikan dengan cara mahasiswa mengambil supporting course yang diampu oleh departemen lain di lain fakultas. Kompetensi yang sudah dirumuskan tidak selalu harus diberikan melalui pembelajaran mata kuliah melainkan dapat diberikan melalui hidden curriculum dalam proses pembelajaran. Sebagai suatu contoh, di Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN) IPB salah satu kompetensinya adalah kemampuan komunikasi efektif. Kompetensi ini dapat diperoleh baik melalui pengambilan mata kuliah di departemen lain sebagai supporting course, atau diselipkan dalam proses pembelajaran yang sudah ada di departemen TIN, melalui diskusi, diskusi kelompok, presentasi lisan dan penugasan dalam bentuk makalah yang sifatnya kontekstual, relevan dengan bidang kajiannya. Kenyataan saat ini adalah supporting course yang diambil oleh mahasiswa TIN tidak ada kaitannya dengan kompetensi yang sudah dirancang sebelumnya, karena masalah teknis yaitu bentrok jadwal kuliah.
Di sisi lain, acapkali dosen program studi merasa puas apabila sudah memberikan kemampuan tersebut dalam mata kuliah. Namun, sayangnya hampir semua yang diberikan dalam mata kuliah selalu dinilai hanya satu aspek saja yaitu aspek kognitif. Misalnya satu mata kuliah 3 sks mengandung 1 sks praktikum. Ketika mahasiswa praktikum tidak dinilai psikomotoriknya, melainkan hasil praktikumnya berupa laporan, dimana laporan sifatnya adalah kognitif. Seharusnya apabila mahasiswa praktikum yang dinilai adalah aspek psikomotorik, afektif dan kognitifnya secara utuh.
Kurikulum berbasis kompetensi berupaya untuk mensinergikan hard skills dan soft skills. Untuk mengimplementasikannya diperlukan keberanian untuk berubah, kreativitas dosen dalam mengoptimalkan sumberdaya fasilitas dan kemauan serta komitmen yang kuat dari pimpinan perguruan tinggi untuk menerapkannya. Mengapa harus dimulai dari pimpinan?, karena kebijakan adanya di pimpinan perguruan tinggi. Apabila ingin memberikan pendidikan berkarakter dan berkualitas, maka kebijakan dalam mengatur team teaching (tatap muka dalam tim dosen, bukan berarti giliran mengajar dalam satu mata kuliah), mengatur penjadwalan, menyediakan fasilitas ruangan dan alat, komitmen, dan insentif bagi dosen yang memadai.
Ciri-ciri kurikulum berbasis kompetensi yaitu:
1. Menyatakan secara jelas rincian kompetensi peserta didik sebagai luaran proses pembelajaran
2. Materi ajar dan proses pembelajaran dirancang dengan orientasi pada pencapaian kompetensi dan berfokus pada minat peserta didik (Student Centered Learning)
3. Lebih mensinergikan dan mengintegrasikan penguasaan ranah koqnitif, psikomotorik dan afektif.
4. Proses penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada kemampuan untuk berkreasi secara prosedural atas dasar pemahaman penerapan, analisis, dan evaluasi yang benar pula
5. Disusun oleh penyelenggara pendidikan tinggi dan pihak-pihak berkepentingan terhadap lulusan pendidikan tinggi (masyarakat profesi dan pengguna lulusan).
Penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Langkah-langkah penyusunannya secara bertahap dimulai dengan penentuan profil lulusan berdasarkan analisa SWOT dan tracer study juga melibatkan pemangku kepentingan dan asosiasi yang berkaitan dengan program studi tersebut. Profil yaitu “Peran” yang diharapkan dapat dilakukan nantinya oleh lulusan di dunia kehidupan bermasyarakat. Peran ini dapat menunjuk kepada suatu profesi (dokter, arsitek, pengacara) atau jenis pekerjaan yang khusus (manager perusahaan, praktisi hukum, akademisi) atau bentuk kerja yang dapat digunakan dalam beberapa bidang yang lebih umum (komunikator, kreator, leader) yang dicanangkan oleh program studi yang bersangkutan. Sebagai contoh untuk kurikulum di kedokteran profil yang untuk lulusannya:
1. Care provider
2. Decision maker
3. Communicator
4. Community Leader
5. Manager
Apabila program studi telah menetukan profil lulusan maka langkah kedua adalah menentukan kompetensi utama, kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya. Kompetensi dirumuskan bukan hanya oleh dosen (dari sisi scientific vision), melainkan bersama-sama dengan pengguna lulusan, asosiasi dan alumni sebagai sumber informasi market signal dan mempertimbangkan nilai-nilai perguruan tinggi. Berdasarkan kompetensi kedokteran di atas, University of Indiana menyusun kompetensi kedokteran sbb:
(a) Communication
(b) Clinical Skills
© Life long learning
(d) Self awareness
(e) Social & community contexts
(f) Ethics & Morals
(g) Problem Solving
(h) Professionalism
Contoh lain yaitu kompetensi bidang teknik di University of Texas:
(a). an ability to apply knowledge of mathematics, science, and engineering
(b) an ability to design and conduct experiments, as well as to analyze and interpret data
(c) an ability to design a system, component, or process to meet desired needs
(d) an ability to function on multi-disciplinary teams
(e) an ability to identify, formulate, and solve engineering problems
(f) an understanding of professional and ethical responsibility
(g) an ability to communicate effectively
(h) the broad education necessary to understand the impact of engineering solutions in a global and societal context
(i) a recognition of the need for, and an ability to engage in life-long learning
(j) a knowledge of contemporary issues
(k) an ability to use the techniques, skills, and modern engineering tools necessary for engineering practice.
Menilik kompetensi dalam bidang keteknikan di Universitas tersebut, terlihat bahwa ada sinergi antara hard skills dan soft skills. Kompetensi yang telah dirumuskan tersebut tentunya dapat diberikan melalui bahan-bahan kajian tertentu, yang dapat diprediksi kedalaman dan keluasan kajiannya yang dituangkan dalam satuan kredit semester (sks). Lalu bahan kajian tersebut, diturunkan dalam berbagai mata kuliah yang relevan, dan dirancang cara pembelajarannya, metodenya serta evaluasinya. Bagan alir penyusunan kurikulum dapat dilihat pada Gambar 3.
Pada kurikulum berbasis kompetensi, setiap bahan kajian di periksa apakah bahan kajian tersebut memiliki elemen kompetensi seperti yang diharapkan pemerintah yang tertuang dalam SK Mendiknas No 045/U/2002.
Tidak harus setiap bahan kajian memenuhi elemen tersebut. Namun di satu kurikulum program studi ke lima elemen tersebut harus terpenuhi dalam pendidikan di perguruan tinggi, baik melalui konteks, konten maupun proses pembelajarannnya.
Gambar 3. Bagan alir penyusunan kurikulum
Bahan kajian merupakan bangunan ilmu, teknologi, dan atau seni yang menunjukkan :
• Cabang ilmu tertentu/ bidang kajian Program studi, atau inti keilmuan yang dipilih oleh PS
• Pilihan cabang ilmu yang dikembangkan di PS
• Pengetahuan/ bidang kajian yang akan dikembangkan, yang dipilih karena dinilai bermanfaat bagi lulusan dimasa depan.
Pilihan bahan kajian sangat dipengaruhi oleh visi keilmuan PS, dan program pengembangan PS (misal pohon penelitian yang dibangun). Tingkat keluasan dan kedalaman dari bahan kajian ini merupakan pilihan yang otonom dari masyarakat ilmiahnya. Sedangkan keluasan bahan kajian dan besarnya sks ditentukan oleh tingkat penguasaan /kompetensi mahasiswa yang ingin dicapai, waktu untuk mencapai kompetensi atau penguasaan tertentu dan sistem pembelajaran yang diterapkan untuk mencapai kompetensi.
Dalam konsep KBK ini, sebuah mata kuliah memungkinkan berisi berbagai bahan kajian yang terkait erat dan diperlukan untuk disatukan karena pertimbangan efektifitas pembelajarannya. Artinya suatu bahan kajian dipahami dalam konteks tertentu (kontekstual). Misal materi etika bisa digabung dengan materi rekayasa, atau mungkin dengan materi manajemen. Belajar matematika dalam konteks elektro, sangat mungkin menjadi satu mata kuliah. Sehingga dengan adanya penggabungan materi ajar (sistem block) ini, ada kecenderungan jumlah mata kuliah menjadi lebih sedikit dengan bobot sks yang lebih besar. Demikian pula sebuah mata kuliah dapat dibangun untuk mencapai satu kompetensi atau beberapa kompetensi sekaligus. Dengan demikian, maka pengelompokkan mata kuliah untuk mencapai kelompok kompetensi menjadi kurang tepat.
Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa kompetensi dapat dicapai dengan berbagai cara. Kompetensi yang sama dapat dicapai dengan cara yang berbeda di masing-masing perguruan tinggi. Seperti halnya kompetensi keberanian berwirausaha di satu program studi diajarkan melalui satu mata kuliah berbobot 3 sks. Namun, di tempat lain boleh jadi diberikan dan diselipkan di semua mata kuliah yang relevan dengan berbagai metoda pembelajaran yang membangun spirit kewirausahaan. Untuk ini, nampaknya disinilah modal perguruan tinggi untuk bersaing dengan yang lainnya. Artinya hanya dengan proses pembelajaran yang berbeda, perguruan tinggi akan mampu menununjukkan keunggulannya dan menarik mahasiswa untuk belajar yang menyenangkan. Proses pembelajaran lah yang dapat dijadikan nilai jual, karena sumber belajar saat ini sudah dapat diakses oleh mahasiswa secara bebas melalui media virtual di era global.
Bab V.
PENULARAN SOFT SKILLS
MELALUI PROSES PEMBELAJARAN
Student Centered Learning
Proses pembelajaran di perguruan tinggi sedang mengalami pergeseran dari pembelajaran berbasis isi ke berbasis kompetensi. Apabila kurikulum ini dijalankan, maka tidak terlalu sulit untuk mahasiswa merubah dirinya dari yang kurang kompeten menjadi yang paling kompeten. Perubahan yang dimaksud dalam SK Mendiknas 045/U/2002, bukan semata-mata hanya mengganti daftar mata kuliah, atau susunan mata kuliah, melainkan yang lebih hakiki adalah perubahan proses pembelajaran, penyampaian dan evaluasinya. Proses pembelajaran dari teacher centered ke student centered learning. Pendidikan yang berfokus hanya pada isi sudah seharusnya bergeser pada proses. Saat ini kepemilikan pembelajaran bukan lagi berpusat pada dosen melainkan mahasiswa yang mana mereka aktif mengkonstruksikan ilmu pengetahuan bersama dosennya sebagai fasilitator, sehingga penekanan bukan lagi hanya pada teori melainkan juga pada bagaimana suatu pekerjaan dikerjakan. Oleh karenanya, perubahan pada kurikulum menjadi penting adanya dengan cara memberikan berbagai pengalaman belajar kepada mahasiswa.
Proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan SCL (Student Centered Learning) menjadi salah satu pilihan dalam KBK. Soft skills dikembangkan tidak melalui satu mata kuliah, melainkan di selipkan di setiap mata kuliah. Apabila atribut soft skills yang akan dikembangkan adalah komunikasi lisan, maka proses pembelajaran yang menggunakan presentasi, diskusi, diskusi kelompok menjadi perlu dilakukan. Namun, apabila kerjasama yang akan difokuskan, maka penugasan berkelompok yang banyak diberikan.
Saat ini dosen seringkali memberi penugasan berkelompok. Tetapi hasilnya kurang memuaskan, karena dosen menyerahkan sepenuhnya kepada mahasiswa untuk berkelompok tanpa pendampingan dari dosen. Andai tugas yang diberikan adalah membuat tulisan kelompok, maka dosen seharusnya berada di tengah kelompok memperhatikan dan mengarahkan bagaimana mereka menentukan kordinator/ketuanya, bagaimana mereka memutuskan topik yang akan ditulis, bagaimana mereka membagi tugas dan menulis bersama. Adakah sinkronisasi dilakukan setelah semua tulisan terkumpul?. Tidak heran jika tulisan yang disusun tidak runtut dari satu bab ke bab lain, karena mahasiswa tidak benar-benar bekerjasama, tetapi sama-sama bekerja. Asistensi seperti yang dilakukan di bidang arsitek perlu mendapat acungan jempol dalam menjadikan mahasiswa kompeten di bidangnya. Demikian juga yang dilakukan di teknik kimia di beberapa perguruan tinggi, saat mengadakan pembicaraan antara dosen dan mahasiswa sebelum masuk laboratorium. Hal ini tidak mungkin dilakukan dengan waktu yang terbatas dan jumlah mahasiswa yang banyak di kelas. Seyogyanya perubahan proses pendidikan diawali dengan perubahan aturan akademik terlebih dahulu. Sebagai contoh di TI ITS yang membatasi mahasiswa dalam satu kelas hanya maksimal 35 orang. Padahal satu tahun mahasiswa yang diterima sekitar 150 orang. Dengan demikian kelas paralel diterapkan oleh pimpinan perguruan tinggi.
Beberapa perubahan dalam proses pembelajaran dapat disimpulkan sebagai berikut:
1). Dari sisi pengetahuan
Dulu pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang sudah jadi, tinggal dipindahkan dari dosen ke mahasiswa. Namun sekarang pengetahuan adalah hasil konstruksi atau hasil transformasi seseorang yang belajar.
2) Dulu belajar adalah menerima pengetahuan (pasif-reseptif), sekarang belajar adalah mencari dan mengkonstruksi (membentuk) pengetahuan aktif dan spesifik caranya.
3) Dulu mengajar adalah menjalankan sebuah instruksi yang telah dirancang, namun kini menjalankan berbagai strategi yang membantu mahasiswa untuk dapat belajar.
Berbagai metoda telah banyak ditemukan oleh para peneliti pendidikan. Tinggal memilih mana yang cocok dan relevan untuk diterapkan pada mata kuliah yang diampu sesuai dengan kompetensi yang akan diberikan melalui mata kuliah tersebut. Dalam satu mata kuliah dapat diterapkan pengembangan soft skills lebih dari 2 atribut sekaligus. Misalnya melatih berpikir analitis, kreatif, berfikir kritis dan manajemen waktu dapat dilakukan pendekatan SCL dengan menggunakan Problem based Learning atau studi kasus. Intinya pembelajaran SCL:
1) mengutamakan tercapainya kompetensi mahasiswa (kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif secara utuh),
2) memberi pengalaman belajar mahasiswa. (bukan hanya memberi soal ujian/ tes,sedangkan proses belajarnya tidak bisa diketahui),
3) jadi mahasiswa harus dapat menunjukan hasil belajarnya/kinerjanya,.
4) pemberian tugas menjadi pokok dalam pembelajaran,
5) mahasiswa mempresentasikan penyelesaian tugasnya, dibahas bersama, dikoreksi, dan diperbaiki, merupakan proses yang penting dalam pembelajaran SCL.
6) penilaian proses sama pentingnya dengan penilaian hasil (ujian tulis lebih banyak mengarah pada penilaian hasil belajar, bukan prosesnya).
Beberapa metode yang dapat digunakan dalam pendekatan SCL, yaitu:
• Small Group Discussion
• Role-Play & Simulation
• Case Study
• Discovery Learning (DL)
• Self-Directed Learning (SDL)
• Cooperative Learning (CL)
• Collaborative Learning (CbL)
• Contextual Instruction (CI)
• Project Based Learning (PjBL)
• Problem Based Learning and Inquiry (PBL)
Pada saat menentukan metode pembelajaran, yang utama adalah menentukan kemampuan apa yang akan diubah dari mahasiswa setelah menjalani pembelajaran tersebut baik dari sisi hard skills maupun soft skills. Sebagai teladan, jika mata kuliah tersebut mengharapkan peningkatan atribut soft skills komunikasi, kerjasama kelompok, dan berfikir analitis dan kritis, maka diskusi kelompok diikuti dengan penyajian lisan akan menjadi pilihan untuk diterapkan. Dengan demikian pendekatan pembelajaran SCL belum tentu cocok antara satu mata kuliah dengan mata kuliah lainnya.
Cara Penularan Soft Skills
Terdapat sedikitnya tiga cara penularan soft skills dalam pembelajaran, yaitu melalui:
1) Lecturer role model
2) Message of the week
3) Hidden curriculum
Seperti yang telah diuraikan di awal tulisan ini, bahwa pengembangan soft skills hanya efektif jika melalui penularan. Salah satunya dengan menjadikan dosen role model bagi mahasiswanya. Misalnya jika akan menegakkan disiplin mahasiswa, maka contoh baik dapat didemonstrasikan kepada mahasiswa oleh dosennya. Apabila dosen menginginkan mahasiswa datang tepat waktu, maka dosen harus duluan datang ke kelas. Apabila mahasiswa diminta untuk selalu menjaga kebersihan kelas, maka dosen harus mampu menghapus papan tulis setelah selesai kuliah. Apabila dosen berjanji akan mengembalikan tugas dalam tiga minggu, maka jangan sampai mengembalikan 5 minggu kemudian.
Role model dosen dapat diperlihatkan dengan saling edifikasi dengan teman sejawat di depan mahasiswa. Edifikasi berasal dari kata to edify yaitu memberikan penghargaan sekaligus proposi bagi teman sejawat. Saling menjelekkan antar dosen di depan mahasiswa patut dihindari. Jika dosen kalah dalam satu kompetisi, jangan sampai mahasiswa menjadi tumpahan keluhan rasa kekesalan dosen dengan menyalahkan orang lain. Sering-seringlah memberikan pujian kepada mahasiswa di depan mahasiswa lainnya jika mahasiswa mampu mencapai prestasi tertentu, seperti pada kompetisi KKTM, KPKM, PKM, dan mahasiswa berprestasi serta lomba lainnya.
Penularan cara kedua dapat dilakukan dengan memberi pesan moral di setiap waktu tatap muka baik pada saat awal membuka perkuliahan atau menutup pertemuan. Cara ini disebut Message of the week (MOW). Pesan yang disampaikan dapat berupa kata-kata mutiara dari berbagai sumber dengan pemaknaannya dalam berkehidupan, atau animasi yang mendukung dari web site internet. Dapat juga dilakukan ”sharing” dari mahasiswa sendiri. Andai satu semester ada 14 kali pertemuan, dan setiap mahasiswa minimal mengambil 6 mata kuliah, maka paling tidak dalam satu smester mereka akan diinspirasi dengan 84 kata-kata dan cerita yang membangun moral. Masa iya tidak dapat memperbaiki pola pikir mahasiswa?
Selain cara kedua di atas yaitu melalui hidden curriculum.
”Hidden Curriculum is the broader concept of which the informal curriculum is a part” Pelajaran dari kurikulum tersembunyi diajarkan secara implisit. Kurikulum tersembunyi lebih ampuh karena dapat membuat proses pembelajaran lebih menarik minat dan menyenangkan. Peran dosen dalam hal ini adalah:
– Membangun proses dialog
– Menangani dinamika kelompok
– Terlibat dengan motivasi mahasiswa
– Mengintroduksikan berpikir kritis
– Memberdayakan kurikulum tersembunyi (Empowering Hidden Curriculum)
Pada saat dosen mentransferkan pengetahuan, biasanya dosen melakukannya dengan metode ceramah, dan mungkin diikuti dengan tanya jawab. Sebagai contoh ketika dosen menyampaikan sebuah ilustrasi kasus di depan mahasiswa tentang teori organisasi, pengetahuan yang ditransferkan dapat berupa struktur organisasi, fungsi tiap lini, tugas dan wewenang personilnya. Kasus ini tidak akan menceriterakan proses pengambilan keputusan ( Yogijanto, 2006). Namun jika dosen ingin memberikan kasus tersebut untuk mengembangkan ”wisdom”, maka proses pembelajarannya adalah self acquired process, yang berarti mahasiswa harus aktif berperan dan dosen bertindak sebagai fasilitator dan tanggungjawab keberhasilannya ada pada mahasiswa. Tujuan pembelajaran ini adalah untuk meningkatkan kemampuan analitis, kemampuan komunikasi, mengembangkan kepribadian dan cara berfikir berkualitas serta meningkatkan kearifan.
Pada proses pembelajaran KBK, rencana pembelajaran harus sedikit berubah dari perencanaan cara konvensional. Pada tabel perencanaan perkuliahan, seharusnya kolom kedua adalah kompetensi yang diharapkan yang akan dimiliki mahasiswa setelah selesai mengikuti perkuliahan. Pada perencanaan seharusnya juga dicantumkan metode pembelajaran untuk mencapai kompetensi tertentu. Aspek yang tidak kalah pentingnya dalam perencanaan adalah indikator penilaian. Acapkali dalam perencanaan pembelajaran konvensional, indikator penilaian tidak dicantumkan, sehingga ketika mahasiswa menggugat penilaian, dosen kurang mampu menjelaskannya. Hal ini menyebabkan mahasiswa kurang puas terhadap pelayanan dosen. Lampiran 1 menunjukkan contoh borang rencana pembelajaran yang berbasis kompetensi. Lampiran 2 menunjukkan contoh apa yang dilakukan dosen dan apa yang dilakukan mahasiswa pada pembelajaran dengan pendekatan SCL.
Setiap metoda pembelajaran spesifik untuk mencapai kompetensi tertentu, sehingga boleh jadi cara pembelajaran satu mata kuliah tidak sesuai jika diterapkan untuk mata kuliah lainnya. Kreativitas dosen dalam memotivasi mahasiswa sangat besar pengaruhnya dalam keberhasilan SCL. Pendekatan SCL ini hanya dapat dilakukan jika jumlah mahasiswa di dalam satu kelas tidak terlalu banyak yaitu antara 50 -60 orang. Jika jumlah mahasiswa sampai 100 orang seharusnya dilakukan kelas paralel. Kenyataan di IPB walaupun sudah diatur oleh Dit. AJMP untuk melakukan kelas paralel, pada kenyataan di lapangan kelas tersebut dijadikan satu, dan sayangnya hal ini tidak menjadi perhatian Fakultas yang menjadi penjamin mutu pendidikan.
Cara penilaian
Penilaian (assessment) dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ranah kognitif dapat dinilai dengan ujian tulis, ranah psikomotiorik dengan menilai saat mahasiswa praktek, dan ranah afektif dapat dilakukan dengan amatan. Nah, bagaimana jika jumlah sks hanya 2, lalu jumlah mahasiswa lebih dari 100 orang?. Rasanya student centered learning sulit untuk diterapkan, karena penilaian utuh aspek kognitif, psikomotorik dan afektif tidak dapat dilakukan. Kecuali dilakukan Team Teaching dimana dalam satu kali pertemuan, banyak dosen yang berada di dalam kelas untuk menilai proses pembelajaran pada saat-saat tertentu. Jumlah sks yang kecil hanya cocok untuk mata kuliah pengantar atau dasar.
Ada sebuah contoh yang menarik ketika melihat perencanaan pembelajaran mata kuliah kepribadian di salah satu perguruan tinggi. Kompetensinya dinyatakan sebagai kemampuan menjelaskan ilmu pengetahun, sejarah filsafat, definisi logika, perbedaan pengetahuan dan ilmu pengetahuan, pengertian etika, pengertian Pancasila dan pengertian ideologi. Namun, apabila direnungkan dengan baik, sebenarnya kompetensi apa yang pantas dicapai ketika mahasiswa mempelajari kepribadian?. Bukan kah hanya ranah kognitif saja yang akan dicapai jika mahasiswa hanya mampu menjelaskan?, bukan melakukan sesuatu dengan santun dan benar. Semuanya ini perlu kita renungkan bersama bagaimana melakukan yang terbaik bagi anak didik kita. Mari kita jawab pertanyaan di bawah ini dengan nurani kita masing-masing:
sikap seperti apa yang mau kita teladankan?
kehendak seperti apa yang mau kita bangun?
dan sikap seperti apa yang mau kita dukung?
Hidup kita ini hanya sementara dan sebentar saja, jadi ada baiknya kita isi kehidupan ini dengan sesuatu yang meninggalkan kebaikan yang signfikan bagi orang lain. Sebagai penutup dapat dikemukakan bahwa tugas dosen dalam pembelajaran dengan pendekatan SCL yaitu:
1. Memfasilitasi: menyediakan buku, modul ajar, hand-out, journal, hasil penelitian,dan waktu.
2. Memotivasi: dengan memberi perhatian pada mahasiswa; Memberi materi yang relevan dengan tingkat kemampuan mahasiswa dan dengan situasi yang kontektual; Memberi semangat dan kepercayaan pada mahasiswa bahwa ia dapat mencapai kompetensi yang diharapkan; Memberi kepuasan pada mahasiswa terhadap pembelajaran yang kita jalankan.
3. Memberi tutorial: menunjukkan jalan / cara / metode yang dapat membantu mahasiswa menelusuri dan menemukan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
4. Memberi umpan balik: memonitor dan mengkoreksi jalan pikiran / hasil kinerjanya agar mencapai sasaran yang optimum sesuai kemampuannya.
BAB VI.
PENGEMBANGAN SOFT SKILLS MELALUI
KEGIATAN KEMAHASISWAAN
Lembaga kemahasiswaan semakin berkembang jika diisi dengan berbagai kegiatan yang menarik dan bermanfaat bagi mahasiswa. Kecenderungan saat ini adalah munculnya gejala keengganan mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan. Masih tidak sedikit mahasiswa yang hanya belajar saja, tanpa menghiraukan kegiatan ko-kurikuler apalagi kegiatan ekstra kurikuler. Alasannya malas, mengganggu konsentrasi belajar, hanya membuang waktu, atau tidak bermanfaat. Tidak sedikit juga kegiatan mahasiswa yang tidak mendukung peningkatan personal growth. Misalnya kegiatannya bagus yaitu seminar ilmiah, namun mahasiswa banyak yang berkerumun di luar ruangan karena menjadi panitia logistik, penerima tamu dll. Akhirnya mahasiswa yang berorganisasi menjadi panitia tidak mendapatkan pembelajaran dari seminar tersebut. Padahal pekerjaan teknis sebenarnya dapat disederhanakan. Hal ini terpulang kembali pada ada tidaknya pendampingan oleh dosen yang membimbing kegiatan kemahasiswaan. Jadi kegiatan yang bagimana yang akan mengembangkan soft skills?. Kegiatan yang terencana, terprogram dan tersistem. Setiap kegiatan harus ada coach atau mentornya yang membimbing kemana arah kegiatan tersebut akan dilaksanakan, walau tidak harus setiap saat ada.
Beberapa kegiatan pengembangan soft skills telah dilakukan oleh perguruan tinggi. Misalnya success skills telah dicanangkan oleh UGM sejak tahun 2005 untuk meningkatkan thinking skills, learning skills dan living skills. Program ini diberikan kepada mahasiswa baru pada masa orientasi kampus.
Learning Skills adalah keterampilan yang digunakan agar mahasiswa selalu dapat mengembangkan diri melalui proses belajar yang berkelanjutan
Thinking Skills adalah keterampilan yang dibutuhkan pada saat mahasiswa berpikir untuk memecahkan masalah di kehidupan sehari-hari
Living skills adalah keterampilan yang dibutuhkan untuk beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari.
Program ini disajikan dengan sangat menarik, mengikutsertakan teknik-teknik simulasi, role play dan diskusi. Pada peningkatan learning skills, peserta didik mendapatkan teknik belajar, pemetaan pikiran, dan teknik membaca. Sedangkan thinking skills difokuskan pada peningkatan kemampuan menyelesaikan persoalan, pengambilan keputusan. Sementara living skills lebih ditekankan pada beberapa hal diantaranya manajemen diri, membangun impian, teknik berkomunikasi, mengelola konflik dan mengelola waktu.
Lain halnya dengan Universitas Airlangga yang sudah beberapa tahun memiliki program Mahasiswa Unggulan. Mahasiswa yang menjadi peserta adalah mahasiswa pilihan dari berbagai fakultas yang dinyatakan berprestasi. Program ini diisi dengan caring and sharing antara pakar/praktisi dengan mahasiswa seputar isu-isu aktual. Keuntungan program ini adalah dapat menjaring future leader dan membinanya dari sejak awal sebelum mereka lulus. Kemampuan yang ingin ditingkatkan adalah wawasan yang luas, saling menghormati satu sama lain, berjiwa entrepreneur, berfikir kreatif dan kemampuan belajar yang lebih baik.
Di ITS telah dilakukan kegiatan yang secara tidak langsung akan meningkatkan soft skills mahasiswa melalui center for entrepreneurship development, atau kegiatan business gathering. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan jiwa entrepreneurial, diantanya berani mengambil resiko, berani bermimpi, pantang menyerah dan selalu bersemangat.
Sebenarnya kegiatan pengembangan soft skills tidak akan optimal bila hanya dilakukan melalui pelatihan, seminar dan workshop. Pengembangan soft skills harus dipraktekkan berulang-ulang dan didampingi oleh mentor. Seorang pakar dalam bidang pengembangan pendidikan Christoph Hanssert dari Jerman menyarankan agar pengembangan soft skills untuk mahasiswa Indonesia dilakukan dengan cara menjalin jejaring kerja (networking) dosen Indonesia dengan dosen luar negeri yang melibatkan mahasiswa, misalnya dalam bidang penelitian. Dengan jejaring ini, mau tidak mau mahasiswa akan terpaksa berkomunikasi tulisan dengan menggunakan bahasa asing. Suatu saat mahasiswa ini difasilitasi untuk bertemu bertukar pikiran, saling menghargai pendapat, mempelajari budaya orang lain dan belajar bekerjasama dalam tim.
Berbagai kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa seperti yang diselenggarakan di IPB dan juga di berbagai perguruan tinggi lainnya, sudah banyak muatan soft skills yang dapat dikembangkan oleh mahasiswa. Hal ini akan berhasil guna jika program yang digulirkan lebih terarah untuk mengembangkan atribut tertentu sesuai dengan kebutuhan populasinya. Unit kegiatan karate saja, apabila dihayati dan benar-benar ditujukan untuk pengembangan soft skills mahasiswa, dapat diarahkan untuk memperkuat atribut komitmen, bersemangat, mandiri, dan ketangguhan.
Kegiatan pelatihan harus terprogram dengan baik, ada durasi, capaian dan keberlanjutan. Apakah pelatihan akan diarahkan pada transformasi keyakinan, motivasi, karakter, impian. Lantas tidak hanya berhenti di pelatihan tanpa adanya coaching oleh para coach yang tangguh, sampai akhirnya dalam durasi tertentu akan terjadi transformasi diri yang seutuhnya.
Prijosaksono dalam buku terbarunya berjudul the Power of Transformation (2005) menuliskan bahwa Transformasi Diri 90 hari akan mampu membangun kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih baik. Dalam buku itu juga diuraikan bahwa ada 5 prinsip transformasi yaitu:
(1) meyakini dan mendayagunakan kekuatan dan anugrah Tuhan dalam diri
(2) membuat pilihan dan keputusan dalam diri
(3) melakukan kebiasaan-kebiasaan baik secara terus menerus dalam kehidupan ini
(4) mampu membangun interaksi dengan orang lain
(5) mampu bekerja secara sinergis dan kreatif dengan orang lain dalam organisasi
Dalam pelaksanaan pelatihan harus diperhitungkan efisiensi dan efektivitasnya. Sangat tidak efisien kalau pesertanya terlalu banyak dengan fasilitas yang seadanya/terbatas. Untuk itu, perlu dilakukan Multi Level Training (MLT) yaitu pelatihan yang dilakukan secara bertingkat. Mulanya hanya 20-30 orang mahasiswa pilihan yang memiliki kemauan dan kemampuan dalam memimpin, berbagi pengalaman dan pengetahuan. Setiap satu orang diwajibkan memiliki anggota 3-5 orang dalam durasi tertentu (misalnya 1-2 bulan). Orang baru tersebut dipanggil front liners. Front liners ini melakukan hal yang sama yang dilakukan oleh Up liners. Kegiatan dalam kelompok kecil itu masing-masing adalah pertemuan rutin, sharing, membuat program kecil seperti mengubah kebiasaan yang dinilai buruk selama ini menjadi kebiasaan yan glebih produktif. Dalam kelompok kecil itu lebih banyak dilakukan coaching oleh up liners. Apabila hal ini dilakukan terus menerus, maka metoda training yang efisien akan terwujud tanpa mengurangi kualitas hasil pelatihan tersebut. Sistem ini pula yang dianut oleh Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali dalam pengembangan soft skills dengan mengadopsi multi level role model dalam menerapkan Trikaya Parisudha (Berpikir baik, berkata baik dan berbuat baik).
Masih banyak metoda yang mungkin dapat dilakukan oleh para pendidik kita untuk mahasiswanya. Untuk itu, perlu digali potensi-potensi yang ada di tiap perguruan tinggi. Kadangkala, apa yang bagus dan dapat diterapkan di satu perguruan tinggi dalam pengembangan soft skills belum tentu dapat diterapkan begitu saja di perguruan tinggi lainnya. Boleh jadi strategi dan tekniknya akan bervariasi tergantung pada visi perguruan tinggi, soft skills yang dimiliki oleh mahasiswa saat ini dan harapan pengembangan soft skills dari mahasiswa, kebutuhan soft skills para pengguna lulusan dan coach dan mentor serta sarana prasarana yang dimiliki perguruan tinggi.
Langkah-langkah dalam penyusunan Program Pengembangan Soft Skills dalam kegiatan kemahasiswaan:
1. Perguruan Tinggi atau di tingkat Fakultas menyusun citra lulusannya yang sesuai dengan nilai dan norma yang diusung Perguruan Tinggi. Sebagai contoh, lulusan salah satu Fakultas Kedokteran ingin dicitrakan sebagai ”dokter yang unggul, siap setiap saat membantu rakyat sebagai community leader”, karena sesuai dengan visi dan misi Perguruan Tingginya. Apakah di Fakultas Pertanian IPB ingin dicitrakan sebagai pemimpin masyarakat tani yang produktif, berani mengambil resiko dan komitmen?
2. Menentukan atribut soft skills yang mendukung ketercapaian pernyataan tersebut diatas, misal fokus pada atribut kepemimpinan, maka yang perlu dikembangkan percaya diri, inisiatif, komunikatifsi, integritas dan yang terkaitnya.
3. Mengidentifikasi kondisi soft skills mahasiswa sebelum dijalankan program pengembangan soft skills, karena sesungguhnya mahasiswa sudah memiliki atribut tertentu. Fokuskan pada karakteristik atribut soft skills yang akan dikembangkan. Lalu jangan lupa apa faktanya?. Misal teramati bahwa mahasiswa saat ini kurang percaya diri. Faktanya apa?, kurang berani untuk bertanya di dalam kelas, kurang mampu mengemukakan pendapat dan berbicara di depan kelas. Faktanya?, apabila diajukan pertanyaan, hanya 1-2 orang yang berani menjawab, atau kalau diberi kesempatan untuk bertanya tidak berani mengajukan pertanyaan. Namun ketika diberi pertanyaan tertulis, mereka dapat menjawab, dan ketika ditanya alasannya mengapa tidak mengajukan pertanyaan, mereka banyak yang mengatakan takut ditertawakan teman karena pertanyaannya dikira mudah dst. Jadi kalau program peningkatan percaya diri sudah dilakukan, maka indikator keberhasilan dari program tersebut adalah peningkatan jumlah orang yang bertanya, atau menanggapi pertanyaan, atau mengajukan pendapat di dalam kelas.
4. Menggali market signals dari pemangku kepentingan, para alumni dan para pengguna lulusan perguruan tinggi tentang atribut apa yang harus dimiliki di dunia kerja, keunggulan apa yang dimiliki oleh lulusan IPB, kelemahannya apa yang masih ada di lulusan IPB dalam bekerja di kehidupan masyarakat.
5. Menciptakan, merencanakan dan mengembangkan program yang mengakomodir pengembangan soft skills dengan atribut hasil kajian di atas dan dituangkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang tersistem (terkait satu elemen dengan elemen yang lainnya)
6. Tuangkan rencana dalam berbagai kegiatan dengan disertai pendampingan oleh dosen pendamping (coach/mentor)
7. Mendistribusikan kegiatan ke dalam tingkatan mahasiswa mulai dari tingkat I sampai tingkat akhir. Terkadang banyak dilupakan bahwa kegiatan tersebut hanya untuk tingkat I, II dan III, sedangkan diatasnya tidak lagi dilibatkan dalam bentuk kegiatan kemahasiswaan.
8. Evaluasi setiap kegiatan sebagai umpan balik dalam pengembangan soft skills mahasiswa.
Ada pertanyaan dari beberapa kawan, bagaimana menilai kalau penularan soft skills sudah tercapai?. Cara termudah yaitu dengan amatan, apakah atribut soft skills yang lemah sudah ada perbaikan?, Pada saat awal ketika kita menentukan atribut soft skills yang menjadi kelemahan mahasiswa senantiasa harus disertai fakta. Perubahan dari fakta inilah yang akan menunjukkan tingkat keberhasilan dari suatu program.
Pada umumnya jarang sekali perguruan tinggi melakukan identifikasi awal kondisi mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi dari sisi soft skills-nya. Yang banyak dilakukan perguruan tinggi adalah mengidentifikasi kondisi awal kemampuan dalam berbahasa Inggris, atau bahasa asing lainnya. Program studi juga jarang menanyakan kepada mahasiswa baru maupun lama tentang pembelajaran apa yang disukai dan tidak disukai selama ini?. Nah, dalam era kepuasan konsumen, nampaknya harus sudah berubah kita harus lebih banyak berkomunikasi dan menggali informasi dari mahasiswa kita.
Kita sering menyamakan pendidikan sebagaimana layaknya proses produksi barang di sebuah industri. Ada yang dinamakan input yang disetarakan dengan mahasiswa yang baru masuk, lalu ada proses produksi yang disetarakan dengan proses pembelajaran, dan ada yang dinamakan produk yang disebut lulusan. Di dalam industri dibuat SOP dan kita pun dalam dalam rangka penjaminan mutu membuat SOP. Namun ada yang dilupakan bahwa bahan baku perguruan tinggi walaupun telah disaring memiliki rentang keragaman yang cukup tinggi, bukan hanya pada intelektualnya melainkan dari sisi karakternya. Hal ini disebabkan karena pengaruh kebiasaaan belajar, pola hidup dan pola pikir yang berulang-ulang dilakukan sampai mereka berada di SMA. Belum lagi pengaruh budaya yang membentuknya. Perubahan inilah yang menjadi hakekat dari pendidikan, dimana tujuan pendidikan adalah untuk merubah perilaku. Perubahan perilaku merupakan fungsi dari olah hati dikalikan dengan fungsi dari olah pikir, olah raga dan olah rasa. Jadi mari kita tidak hanya menjadi seorang pengajar tetapi menjadi seorang pendidik.
BAB VII.
PENUTUP
Strategi sukses secara operasional dalam pengembangan soft skills dapat diringkas, yaitu (1) perguruan tinggi beserta sumberdaya manusia yang ada memiliki kepedulian dan komitmen yang tinggi dalam pengembnagan soft skills mahasiswa, (2) perguruan tinggi mengidentifikasi atribut soft skills yang telah dimiliki mahasiswanya dan yang ingin dikembangkannya, (3) perguruan tinggi menetapkan atribut soft skills yang akan dikembangkan 5 tahun ke depan berdasarkan sinyal pasar dari pendapat pengguna dan alumninya, (4) perguruan tinggi merancang langkah konkrit yang menjadi agenda akademik dan non akademik, (5) perguruan tinggi menjalankan kegiatan yang terencana dan terevaluasi, (6) perguruan tinggi membuat buku cetak biri pengembangan soft skills yang paling paripurna untuk dijalankan.
Tulisan kecil ini masih harus disempurnakan lebih lanjut dengan menambahkan rincian penjelasan transformasi karakter bagi dosen dan mahasiswa, serta cerita sukses dalam proses pembelajaran. Hal yang lebih prinsip sebenarnya adalah adanya kemauan untuk berubah, yang dimulai dari para dosennya. Untuk itu, perubahan perlu dilakukan mulai dari yang kecil, mulai dari diri sendiri dan mulai dari sekarang.
Bahan Bacaan tentang Soft Skills
Basith, A. 2004. Berani Sukses. PT. Grhadika. Jakarta.
Direktorat Akademik, 2005, Tanya Jawab Seputar Kurikulum Berbasis kompetensi. Ditjen DIKTI. Jakarta.
______________________, Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Ditjen Dikti. Jakarta
Heller R. 1998. Motivating People. Dorling Kindersley Limited. London
Helmi, A. V., D. Hastjarjo, N. Ramdhani, S. Dewayani, 2005. menjadi Pembelajar Sukses. Program Peningkatan pertumbuhan Kepemimpinan Berkualitas. UGM. Jogyakarta.
Jogiyanto, 2006. Pembelajaran Metode Kasus. Penerbit Andi. Jogyakarta.
Klaus, P. 2007. The Hard Truth about Soft Skills. Harper Collins Publisher. New York.
Nasution, A.H., 2006. Creative Thinking. Penerbit Andi. Jogyakarta.
Nasution, A.H., B.A. Noer, dan M. Suef, 2007. Entrepreneurship: Membangun Spirit Teknopreneurship. Penerbit Andi. Jogyakarta.
Neff, TJ dan J.M. Citrin. 2001. Lesson from The Top. Doubleday Business. New York.
Prijosaksono, A. M. Marlan. 2005. The Power of Transformation. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta.
Prijosaksono, A dan A. Erningpraja. 2003. Enrich Your Life Everyday. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta.
Prijosaksono, A., dan R. Sembel. 2002. Control Your Life. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta.
----------------------------------------------, 2003. Maximize Your Strength. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta.
Prijosaksono, A., dan P. Hartono. 2002. Make Yourself A Leader. Penerbit Elex Media Komputindo. Jakarta.
Putra, I.S. dan Pratiwi A. 2005. Sukses dengan Soft Skills. Direktorat Pendidikan ITB. Bandung.
Quilliam, S. 2003. Positive Thinking. Dorling Kindersley Limited. London.
Samani, M. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna. Penerbit SIC. Surabaya.
Suhardjono, 2002. Pengantar Pembelajaran Afektif. Lembaga Penerbitan Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
“A hundred times
every day
I remind myself
that my inner and
outer life
are based on the labors
of other men,
living and dead,
and I must exert myself in order to give in
the same measure
as I have received and
am still receiving.”
Albert Einstein
.
Lampiran 1.
Contoh Borang Perencanaan Pembelajaran
Minggu ke Kompetensi
yang
diharapkan Materi
Bahasan Metode Indikator penilaian Bobot
Nilai (%)
Lampiran 2.
Penjelasan kegiatan SCL untuk dosen dan mahasiswa
No MODEL BELAJAR YANG DILAKUKAN MAHASISWA YANG DILAKUKAN DOSEN
1 Small Group Discussion membentuk kelompok (5-10)
memilih bahan diskusi
mepresentasikan paper dan mendiskusikan di kelas Membuat rancangan bahan dikusi dan aturan diskusi.
Menjadi moderator dan sekaligus mengulas pada setiap akhir sesion diskusi mahasiswa.
2 Simulasi mempelajari dan menjalankan suatu peran yang ditugaskan kepadanya.
atau mempraktekan/mencoba berbagai model (komputer) yang telah disiapkan. Merancang situasi/ kegiatan yang mirip dengan yang sesungguhnya, bisa berupa bermain peran, model komputer, atau berbagai latihan simulasi.
Membahas kinerja mahasiswa.
3 Discovery Learning mencari, mengumpulkan, dan menyusun informasi yang ada untuk mendeskripsikan suatu pengetahuan. Menyediakan data, atau petunjuk (metode) untuk menelusuri suatu pengetahuan yang harus dipelajari oleh mahasiswa.
Memeriksa dan memberi ulasan terhadap hasil belajar mandiri mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah