BAGIAN 5
E. Asy-Syakhsiyyah Ghoiru Mutamayyizah
“Dan jika dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.”
(QS. Al Baqarah 11).
Syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah mempunyai indikasi aqliyyah pemiliknya bukanlah nafsiyyahnya, jadi bukan satu sumber yang saling mendukung, tidak ada sinkronisasi.
Syakhsiyyah ghoiru Mutamayyizah dipakai manusia jika qaaidah yang dibangun di atas asas pemikirannya bukanlah qaaidah yang dibangun atas asas muyulnya maka dia akan menghukumi al-asyya dan al-af’aal dengan parameter qaaidah yang digunakan berfikir tentang realitas (yaitu aqliyyahnya), ketika cenderung memuaskan gharizah dan haajaah ‘udwiyyahnya berdasarkan mafahim yang diambil dari qaaidah lain yang digunakan dalam pengkaitan antara mafahim dngan dorongan-dorongannya (yaitu nafsiyyahnya).
Orang yang mempunyai syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah nampak padanya kekacauan, kegoyahan di dalam suluknya, karena tafkirnya bukanlah muyulnya, maka mereka memberikan hukum-hukum terhadap realitas berbeda dengan muyulnya dan tindakannya yang ditunjukan pada realitas ini.
Dan sungguh nampak syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah ini dalam masyarakat Madinah Munawwarah pada zaman rasulullah SAW, ketika menampakkan keislamannya sekaligus menyamarkan kekufurannya, dan jadilah mereka menghukumi atas al-asyya dan al-af’aal dari visi Islam, akan tetapi muyulnya masih tunduk pada mafahim jahilliyyah yang disandarkan pada kekufurannya.
Dan Allah telah mensifati mereka secara detail di dalam Al-Qur’an yang menerangkan kontradiksi aqliyyah dan cara menghukuminya beserta muyul dan aktifitasnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 8 -14:
“Diantara manusia ada yang mengatakan : Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah oleh Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Dan bila dikatakan kepada mereka : “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: Sesungguhnya kami orang-orang yang mengdakan perbaikan. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Apabila dikatakan kepada mereka : Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain yang telah beriman, mereka menjawab: Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman? Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka mengatakan: Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hannyalah berolok-olok.” (QS.Al Baqarah 4-14).
Allah SWT berfirman:
“Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenarannya) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras, dan apabila ia berpaling (dari kamu) ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.” (QS. Al Baqarah 204-205).
Maka ucapan mereka menunjukan aqliyyahnya, tampak mereka sepertinya seorang muslim, maka mereka mengatakan: kami beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan Hari Akhir dan ditambah dengan kamuflase / penyamarannya dengan bersaksi Allah tuhannya yang ada di hati, akan tetapi muyulnya senantiasa berjalan dengan mafahim kufur , karena sebenarnya kufur itulah aqidahnya dan mereka melaksanakan aktifitas pemuasan gharizah dan haajaa ‘udwiyyah dibangun atas mafahim kufur.
Maka mereka mengadakan kerusakan di bumi memusuhi manusia dan menggunakan berbagai cara dan alasan untuk menahan peperangan, dan lebih parah lagi mengendurkan pasukan yang lain, seperti yang terjadi ketika perang Uhud dimana mereka mengundurkan diri dari pasukan kaum muslimin sebelum dimulai peperangan menghadapi kaum musyrikin.
Dan juga syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah yaitu yang menggunakan qaidah-qaidah tertentu sebagai ukuran dalam tafkir dan muyulnya, yakni qaidah tertentu itu sebagai aqliyyah dan nafsiyyahnya.
Akan tetapi qaidah-qaidah ini hanya memancarkan aturan-aturan yang mengatur pemuasan sebagian hubungan-hubungan manusia seperti nasrani sekarang ini yang hanya mengatur sebagian gharizah dan haajaah ‘udwiyyah saja, sehingga, membuat pemeluknya mengalami kekacauan dan kegoyahan. Sebab dalam mengatur sisa pemuasan gharizah dan haajaah ‘udwiyyah lain, berdasar qaidah-qaidah lain dan nidhom yang lain. Qaidah tersebut tidak memberikan fikroh kulliyyah (pemikiran totalitas) tentang kaun (fenomena alam), manusia dan kehidupan yang darinya terpancar nidhom syamil (lengkap) dan kamil (sempurna) yang mengatur seluruh hubungan manusia.
Syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah kadang-kadang anarchis, karena pemilik aqidah ini tidak mengambil qaidah yang tetap untuk aqliyyah dan nafsiyyahnya, maka pemikiran dan muyulnya ditujukan kepada al-asyya dan al-af’aal yang keduanya berbeda, bertentangan dan dipengaruhi lingkungan yang satu beda dengan yang lain.
Karena pemilik syakhsiyyah ini tidak menggunakan qaidah tertentu yang tetap, dalam menghukumi al-asyya dan al-af’aal maka timbullah hukum-hukum yang berbeda dalam satu perkara seperti mengharamkan daging untuk dirinya pada satu saat, dan dilain waktu menghalalkannya kembali.
Dan juga pemilik syakhsiyyah tidak menggunakan qaidah tertentu yang tetap untuk nafsiyyahnya, maka pada waktu tertentu mereka cenderung memuaskan gharizah tadayyunnya dengan menyembah matahari, kemudian meninggalkannya dan beralih menyembah sungai.
Syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah kadang-kadang bersifat rutinitas / stagnasi, pemiliknya menggunakan patokan-patokan yang tetap untuk menghukumi al-asyya dan al-af’aal yang terindera baginya, qaidah ini tidak akan bisa meluas untuk menghukumi al-asyya dan al-af-‘aal yang diperbaharui. Muyulnya dibatasi qaidah yang baku ini tanpa adanya subyek atau obyek terhadap apa yang diketahui dari realitas-realitas, maka jadilah rutinitas / terus menerus di dalam tafkir dan muyulnya, maka tinggallah tindakan-tindakannya seperti sebuah alat yang disetir manusia pada waktu bergerak di jalan tanpa bisa berinisiatif, sehingga bila diperlihatkan padanya peristiwa-peristiwa baru, maka berhentilah otaknya dan kosong, perasaannya menjadi pandir, maka tidak dia tidak bisa berfikir untuk menghukumi peristiwa tersebut, dan muyulnya tidak bisa membatasi dengan parameter yang dihadapi dari peristiwa tadi.
F. Pembentukan Syakhsiyyah Islamiyyah
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha sucu Engkau , maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 191).
Manusia mendapatkan pengetahuan-pengetahuannya dari jalan indera. Alat terpenting dari indera yang berperan di dalam mendapatkan pengetahuan adalah pendengaran dan penglihatan. Firman Allah:
“Dan kami jadikan bagi mereka pendengaran, penglihatan dan hati.” (QS.Al-Ahqaaf 26).
“Dialah yang menciptakan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati .” (QS. Al Mu’minuun 78).
“Dan (Allah) memberi bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur.” (QS. An Nahl 78).
Pendengaran dan penglihatan adalah dua indera yang melalui keduanya manusia mendapatkan sebagian pemikiran-pemikirannya bahkan bisa dikatakan semuanya.
Dalam pembentukan syakhsiyyah Islamiyyah haruslah dengan pemberian pemikiran-pemikiran Islam untuk pembentukan aqliyyahnya, dan kemudian nafsiyyahnya serta metode yang baik untuk pemberian dan pengambilan pemikiran-pemikiran, adalah dengan cara al-talqiy al-fikry, (pola pemberian ide dengan dengan pendekatan pemikiran) dengan cara ini manusia mengambil dengan pemikiran-pemikiran dari jalan mendengar atau membaca, maka dia akan mendengar atau membaca kalimat-kalimat , kemudian memaknai maknanya seperti apa yang ada pada kalimat tersebut, bukan apa yang dikehendaki oleh pembaca atau apa yang dikehendaki oleh pengulas bukunya, kemudian memahami dalil-dalil dan makna kalimat makna tersebut seperti apa yang ada pada realitas maka jadillah bacaan yang sudah masuk dalam afkarnya sebagai mafahim, bukan sekedar berupa lapadz saja, karena bacaan tersebut mempunyai dalil-dalil yang bisa diindera sehingga pembaca realitas (bacaan) tersebut bisa mengungkapkannya dengan bahasanya dan dapat mentransfer pemikiran-pemikiran ini kepada yang lain dengan jalan seperti yang ia dapatkan sebelumnya, yaitu al-talqy al-fikri.
Sesungguhnya pemikiran itu fitri ada pada manusia, adapun yang menjadikan aqiidah Islamiyyah sebagai qaaidah fikriyyah asaasiyyah pada pemikirannya dalah aktifitas yang dilakukan manusia sendiri, dan aktifitas ini membentuk aqliyah Islamiyyah yang bisa menjadikan pemiliknya berfikir berdasarkan asas-asas Islam.
Gharizah dan haajaah ‘udwiyyah fitri ada pada manusia, adapun yang menjadikan aqidah Islamiyyah sebagai qaaidah fikriyyah asaasiyyah adalah juga aktifitas yang dilakukan manusia itu sendiri. Dan aktifitas ini akan membentuk nafsiyyah Islamiyyah, yang akan menjadikan pemiliknya bisa mengkaitkan dorongan-dorongan pemenuhan dengan mafahim Islamiyyah, maka muyulnya akan muyul Islamiyyah yang akan cenderung kepada yang halal dan berpaling dari yang haram. Maka tafkir dan muyul yang ada pada manusia juga sebagai fitrah, adapun dijadikannya aqidah Islamiyyah sebagai asas di dalamnya bertafkir dan muyulnya ini juga dari usaha manusia itu sendiri.
Maka suatu keniscayaan bagi siapa yang ingin membentuk syakhsiyyah pada manusia haruslah dimulai dengan asas ini, yakni aqiidah Islamiyyah, dan itu dengan pengajaran aqidah, menggunakan pendekatan pendidikan secara aqliyyah bukan secara talqin (pendiktean secara lisan). Karena dengan aqliyyah ini akalnya akan bisa menetapkan dan faham bahwa Allah itu ada. Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, yang kemudian bisa mengimani terhadap apa yang datang dari Al-Qur’an dan semua di atas adalah hasil dari penggunaan aqidah aqliyyah.
Setelah pembentukan asas ini yaitu aqidah Islamiyyah, harus dipasok pemikirannya dengan tsaqofah Islamiyyah sebagai input yang akan memperkuat pemikirannya dari penambahan Tsaqofah Islamiyyah ini diharapkan mempunyai kapabillitas berfikir tentang al-asyya dan al-af’aal berlandaskan asas-asas Islam.
Tsaqofah ini kadang-kadang bersifat aqliyyah seperti tauhid, daan kadang bersifat syar’iyyah seperti fiqih dan tafsir dan kadang bersifat lughowiyyah (bahasa) seperti nahwu dan balagoh, dan manusia berbeda di dalam menyerap tsaqofah ini karena perbedaan kemampuan aqliyyahnya dan kekuatan al-ribthnya (penghubungan ma’lumat yang satu dengan ma’lumat lainnya).
Seorang muslim yang hanya mengambil aqidah Islamiyyah sebagai asas di dalam aqliyyah dan nafsiyyahnya yaitu sebagai asas di dalam tafkir dan muyulnya, sudah representatif akan adanya syakhsiyyah islamiyyah dalam dirinya, karena dengan itu dia bisa menghukumi realitas berdasarkan aqidah Islamiyyah, dan bisa menentukan posisi dirinya terhadap al-asyya dan al-af’aal yang bisa memenuhi gharizah dan haajaah ‘udwiyyahnya berdasarkan aqidah Islamiyyah, maka dia akan cenderung kepada yang halal dan berpaling dari yang haram.
Untuk pengembangan aqliyyah Islamiyyah haruslah dengan penambahan-penambahan tsaqofah islamiyyah yang akan menjadikan seorang muslim mampu mengambil hukum syara’ dengan usahanya sendiri melalui penggunaan dalil-dalil syar’iyyah dan juga akan menjadikan dia mampu membentuk aqliyyah Islamiyyah dengan tsaqofah ini.
Sedang untuk mengembangkan nafsiyyah islamiyyah haruslah dengan cara pengkaitan dorongan-dorongan gharizah dengan mafahim sebagai hasil dari aqliyyah Islamiyyah, maka haruslah dikondisikan hidup dalam cakrawala keimanan dari dirinya sendiri, maka hal ini adalah dengan cara memperbanyak amalan-amalan mandhub seperti tadabbur terhadap ayat-ayat Allah berupa Al-qur’an dan tadabbur terhadap ciptaan Allah dan muthola’ah serta mengamalkan sirah rasul dan sahabat seperti seringnya rasul dan sahabat berdo’a dan qiyaamul lail, firman-Nya:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 190-192).
Firman Allah :
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikannlah Shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (QS. Al Ankabut 45).
Di dalam cakrawala keimanan seorang muslim akan merasakan ke Maha Agungan dan Maha Kuasanya Allah, dan bertambahlah idraak shillah billah, maka akan memperkuat ke dalaman nafsiyyahnya dan akan menjadikan muyul serta aktifitasnya tunduk pada perintah dan larangan Allah.
Pelaksana / Pembina syakhsiyyah Islamiyyah haruslah memperhatikan dalam pembinaan asas-asas yang berdiri dan tegak-nya syakhsiyyah atas asas-asas ini (aqiidah Islamiyyah), sehingga menghasilkan al-tashdiiq al-jaazim (penerimaan kebenaran secara pasti) terhadap aqidah Islamiyyah dan hendaknya thasdiiq sesuai dengan realitas yang terindera dan hendaknya ada dalil-dalil aqliyyah atau naqliyyah yang diyakini atas wujudnya Allah, agar aqidah ini menjadi mafahim dan agar pemikiran-pemikiran yang muncul dari aqidah juga sebagai mafahim.
Dalam hal di atas kita mencontoh uswah hasanah dari Rasulullah SAW, di dalam membentuk syakhsiyyah shahabat yang mengkokohkan tiang daulah Islamiyyah yang telah didirikannya dan yang membawa Islam dengan bersih dan jelas kepada manusia. Maka Rasululah SAW melakukan di dalam pembinaan syakhsiyyah yang tanggal ini terstruktur pada garis-garis sebagai berikut:
Pertama, mengarahkan pandangan para sahabat kepada makhluq-makhluq yang menunjukan adanya Allah dan kuasa-Nya, firman Allah:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah.” (QS. Al ‘Alaq 1-2).
“Demi fajar dan malam yang sepuluh. Dan yang genap dan yang ganjil. Dan malam bila berlalu . Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang dapat diterima) oleh orang-orang yang berakal.”(QS. Al Fajr 1-5).
“Demi langit yang mempunyai gugusan bintang.” (QS. Al Buruuj 1).
Bukankah kami telah memberikan padanya dua buah mata. Lidah dan dua buah bibir.”(QS. AL Balad 8-9).
Kemudian pandangan Al-Qur’an adalah kalamullah yang menunjukan kenabian Muhammd SAW, firman Allah:
Qaaf, demi al-Qur’an yang sangat mulia. Mereka (mereka tidak menerima) bahkan mereka tercengang karena telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari (kalangan) mereka sendiri, maka berkatalah orang-orang kafir : “ Ini adalah suatu yang amat ajaib.” (QS. Qaaf 1-2).
“Haa miim. Diturunkan dari Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, Untuk kaum yang mengetahui.” (QS.41:1-3).
“Sesungguhnya kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahaminya.” (QS. Az Zukhruf 3).
Dan tantangan kepada mereka yang meragukan Al-Qur’an, firman-Nya:
Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya” Katakanlah “ (Kalau benar yang kamu katakan itu) maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Yunus 38).
Mula pertama konsentrasi Islam di dalam pembinaan syakhsiyyah ini adalah pada aqiidah Islamiyyah yang dasar pencariannya dari akal, maka berpindahlah ayat-ayat yang mulia kepada manusia dari penginderaan yang dia ketahui dari kaun, manusia dan kehidupan, kepada penegasan wujudnya Al-Kholiq dan penegasan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah dan Muhammad adalah RasulNya.
Kedua, penjelasan hubungan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, penjelasan ini banyak terdapat pada surat-surat Makkiyyah, Firman Allah:
“Dan adapun orang-orang yang berat timbangannya (kebaikannya) maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan timbangannya (kebaikannya). Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka hawiyah itu? (yaitu) api yang sangat panas.”(QS. AL Qaari’ah 6-11).
Firman Allah :
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kelebihan dunia. Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya . Maka surgalah tempat tinggal(nya). (Orang-orang) kafir bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari berbangkit kapankah terjadinya?” (QS An Naazi’aat 37-42).
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh dengan kenikmatan Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka , benar-benar berada di dalam neraka. Mereka masuk kedalamnya pada hari pembalasan.” (QS. Al Infithaar 13 -15).
“Sesungguhnya neraka jahanam itu padanya ada tempat pengintai. Lagi menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas.” (QS. An Naba’ 21-22).
“Sesungguhnya orang-orang bertaqwa mendapat kemenangan (Yaitu) kebun-kebun dan buah anggur.” (QS.An Naba 32-33 ).
Inilah hubungan antara dunia dan akhirat dengan hasil final pahala bagi orang yang beriman dan beramal sholeh dan hukuman karena dosa bagi yang kufur dan yang beramal jelek.
Syakhsiyyah Islamiyyah dijadikan pijakan berfikir sebelum suatu aktifitas dilaksanakan yang nantinya final dari aktifitas di dunia tergambar dari ni’mat yang langgeng sebab adzab yang pedih, akan merasakan kelejatan rahmat Allah dan surga-Nya, serta takut akan adzab Allah dari nerakanya, dan selalu meminta keridhoan Allah terhadap segala apa yang dikerjakannya dan akan menjauhi apa-apa yang bisa membuat Allah murka.
Ketiga, menuntut kaum muslimin untuk memecahkan problema hidupnya dengan menggunakan asas–asas Islam, oleh sebab itu mereka harus mengetahui hukum syara’ sebelum melaksanakan aktifitas , maka jika tidak tahu haruslah bertanya kepada yang tahu :Firman Allah :
Maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl 43).
Sehingga para sahabat tidak akan melaksanakan suatu aktifitas sebelum bertanya kepada Rosulnya tentang hukum aktifitas itu, dan ini terjadi pada Khoulah binti Tsa’labah, yang menyebabkan turunnya ayat kepadanya:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya , dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua, Allah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat”(QS.Al Mujaadilah 1).
Khoulah binti Tsa’labah bertanya kepada Nabi SAW tentang hubungannya dengan suaminya Aus bin Shamit yang telah mendziharnya.
Dan turunlah wahyu yang merupakan syakhsiyyah Islamiyah bila dilaksanakan, seperti apa yang telah ditanyakan Khoulah binti Tsa’labah kepada Nabi tentang problematika yang dihadapinya.
Contoh lain dari firman Allah SWT tentang hal-hal yang ditanyakan sahabat:
“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: “Harta rampasan itu kepunyaan Allah dan Rosul.” (QS. Al Anfal 1).
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan Katakanlah:”Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. Al Baqarah 219).
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran” oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”(QS. Al Baqarah 222)
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah:”Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur’an”.(QS. An Nisaa’ 127).
Dan Rasul SAW menampakan rasa cinta diantara para shahabat, sehingga mereka bertanya kepada nabi maka nabi menjawabnya dengan apa yang diwahyukan dari Allah untuk memberi pembekalan kepada mereka menuju ke dalaman iman yang bisa menambah perasaaan mereka dengan ketenangan karena shilahbillah. Dan Rasul menjadikan para shahabat cinta kepada Allah sehingga seakan-akan Allah hadir dan mengatur di dalam suluknya. Maka jadilah Islam di dalam diri mereka sebagai aqliyyah dan nafsiyyahnya. Salah satu contoh shahabat adalah Mas’ud bin Umair, dengan syakhsiyyah Islamiyyah yang diajarkan oleh Rasulullah kepadanya ini, Ia mampu mempersiapkan masyarakat Madinah Munawarah sebagai masyarakat Islami pertama yang dibentuk pada awal Daulah Islamiyyah.
Dan syakhsiyyah Islamiyyah saamiyah yang didatangkan oleh Rasul SAW selalu sebagai penolong di dalam menjaga daulah dalam mengemban da’wah selama hidupnya, sampai adanya khilafah pengggati setelah wafatnya Rasul. Karena adanya kontinuitas hubungan aktifitas dalam pembentukan syakhsiyyah yang disampaikan shahabat dengan berlandaskan asas Islam, hingga berlangsung tetapnya syakhsiyyah mutamayyizah ini sepanjang situasi dan kondisi, di kota-kota dan penjuru Daulah Khilaafah.
AL-MUJTAMA’ (MASYARAKAT)
“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhannu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak .”(QS. An Nisaa’ 1).
“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. (QS. Al Hujuraat 13).
Allah menciptakan manusia sekaligus menciptakan khaasiyah gharraiz, haajah ‘udwiyyah dan idraak. Salah satu dari gharizah ini adalah gharizah nau’ contoh dari madhohirnya seperti suka lawan jenis, cinta anak, menghormati orang tua, madhohir gharizah nau’ di atas terdapat hubungan pria dan wanita, orang tua dan anak.
Sedang gharizah baqa contoh dari madhohirnya seperti cinta kaum, cinta tanah air, cinta kekuasaan, cinta penghormatan, madhohir ini terdapat hubungan antara individu-individu dalam kabilah atau keluarga atau putera negeri. Gharizah baqa mendorong manusia saling menolong dengan yang lain, karena rasa takut kehilangan keberadaannya dari bahaya, ganguan, yang secara konvensional adanya rasa takut dari bahaya binatang buas, sungai yang dalam, gangguan manusia dan lain sebagainya. Itu semua ditanggulangi dengan cara membangun rumah, dinding-dinding penghalang yang semuanya membutuhkan bantuan bantuan dari yang lain, karena manusia secara individu tidak bisa melakukan sendiri, inilah yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan yang lain karena adanya kebutuha yang mendesak di dalam hidupnya.
Serta gharizah tadayyun, yakni adanya perasaan kurang, lemah dan membutuhkan yang lebih darinya, mendorong manusia untuk mencari sesuatu yang bisa menutupi kelemahan ini, maka dia membangun hubungan dengan sesama individu untuk menutupi kekurangan ini, juga ada dalam usaha ini mereka yang mentaqdiskan manusia yang lain, seperti yang terjadi pada zaman mesir kuno yang menyembah Fir’aun.
Manusia terdorong melakukan hubungan ini karena gharizah dan haajaah ‘udwiyyah yang ternyata membutuhkan hubungan dengan yang lain, karena itu diciptakan hubungan yang bermacam-macam diantara manusia, hal ini agar mereka bisa mempersiapkan dirinya di dalam pemenuhan gharizah dan haajaah ‘udwiyyahnya.
Maka itulah manusia beradab dengan segala tabiatnya, karena gharizah dan haajaah ‘udwiyyahnya mendorong untuk hidup bersama dengan yang lain, dengan berusaha menyambung hubungan dengan sesamanya.
Walhasil, masyarakat ini terbentuk dari individu-individu dan mempunyai hubungan-hubungan yang sifatnya tabiat / alami sebagai hasil dari dorongan-dorongan pemenuhan individu-individu.
Dan jika ditinggalkan hubungan antara individu-individu dalam masyarakat, tanpa aturan yang benar maka akan membawa kepada kekacauan dan pertarungan untuk memperoleh al-asyya dan al-af’aal yang vital bagi kehidupan manusia.
Awal pertarungan darah antara dua anak adam AS terjadi pada Haabil dan Qaabiil, Firman Allah:
“Ceritakannlah kepada mereka kedua putera Adam (Qaabiil dan Haabil) menurut yang sebenarnya, ketika yang keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Haabil) dan tidak diterima dari yang lain (Qaabil). Ia berkata (Qaabil): “Aku pasti membunuhmu!’. Berkata (Haabil) :”Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Maaidah 27).
Kemudian firman Allah selanjutnya:
“Maka hawa nafsu (Qaabil) menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.” (QS. Al Maaidah 30).
Dan hasil dari tidak adanya peraturan, orang kaya mengharamkan / melarang hartanya dan makanannya digunakan orang miskin, firman Allah:
Sekali-kali tidak (demikian) sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang bathil) dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.”(QS.Al Fajr 17-20).
Hasil dari anarchisme, yang kuat membunuh yang lemah, firman Allah :
Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah-belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang berbuat kerusakan.” (QS. Al Qashash 44).
Didapatkannya hubungan antara individu-individu, karena adanya pemikiran-pemikiran tentang al-asyaa dan al-af’aal yang vital untuk dipenuhi, maka akan menghukumi terhadap sesuatu bahwa itu baik dan sesuatu yang lain bahwa itu buruk. Begitu juga terhadap aktifitas bahwa itu penuh moral dan yang lain amoral, kesemuanya itu dilihat dari kemaslahatan al-asyya itu atau di dasarkan atas al-af’aal pemenuhan itu, dan ini difahami setelah diinderanya al-asyya atau al-af’aal pemenuhan itu, dan ini difahami setelah diinderanya al-asyya atau al-af’aal tersebut.
Maka mereka akan melakukan pemenuhan terhadap al-asyya dan al-af’aal yang telah ada pada frame ma’luumatnya.
Akan tetapi jarang difahami bahwa hukum-hukum gharizah seperti di atas berbeda antara individu yang satu dan yang lainnya, juga antara kelompok yang satu dengan yang lainnya.
Pemikiran-pemikiran yang ditujukan kepada al-asyya dal al-af’aal yang mempunyai hubungan dengan pemenuhan gharizah dan haajaah ‘udwiyyah dibentuk manusia berdasarkan masyaa’irnya (perasaan dan indera), maka akan cenderung kepada apa yang bisa memuaskan dan berpaling terhadap yang tidak bisa memuaskan.
Jika afkaar dan masyaair seperti ini dimiliki lebih dari satu manusia, atau kelompok manusia, mereka dapat mengatur hubungan-hubungannya yang didasarkan atas afkaar dan masyaa’ir tadi, dari itu akan dibentuk nidhom.
Kemudian jika berkumpul individu-individu pada sebuah tanah / bumi untuk hidup bersama maka gharizah baqanya akan mendorong mereka untuk memiliki tanah tersebut, untuk diolah dan ditanami yang kemudian menghasilkan apa-apa yang bisa menutupi gharizah dan haajaah ‘udwiyyahnya. Dan sudah dima’lumi tabiat tanah berbeda-beda dari satu tempat dari tempat yang lain, berdasarkan subur atau tidaknya atau tempat tersebut dekat dengan air atau jauh atau berdasarkan mudah tidaknya untuk dimanfaatkan, bagaimana sumber daya alamnya dan lain sebagainya, hal seperti ini kadang-kadang mansua bisa saling membunuh , akhirnya yang kuat yang menang dana akan memimpin kepada yang lemah setelah terjadinya pembunuhan atau pengusiran.
Hasil dari pergulatan seperti ini tinggallah yang kuat beserta keluarga dan kelompoknya, maka mereka akan menyombongkan, individu-individunya sampai beranak cucu, maka dia akan membentuk pergulatan yang baru agar bisa memiliki bumi, dan begitu seterusnya, aktualita dari pergulatan seperti ini tampak jelas pada zaman modern sekarang ini.
Seperti gharizah nau’ sering mendorong anak turunnya menjaga kelompoknya agar nau’nya, maka akan berganti-ganti problema diantara mereka, lalu mereka akan mengeluarkan dengan suatu aturan hubungan mereka yang diarahkan pada bumi.
Hubungan mereka sekitar bumi, dijadikan baginya sebagai pemikiran-pemikiran tentang bumi yaitu pemuliaan pada bumi, dan menganggap rizqi datang dari bumi, karena begitu didapatkan pada mereka masyaa’ir cinta kepada bumi. Selain perbedaan kuat dan lemah dan gharizah dan haajaah ‘udwiyyah didorong perbedaan pemikiran-pemikiran sebagian mereka, maka mereka menyerang dan melanggar bumi lainnya dan merampasnya lalu membunuhnya atau mengusirnya untuk mendapatkan bumi tersebut.
Aktifitas ini adalah adanya perbedaan mafahim tentang bumi. Serta kontradiksinya pandangan mereka tentang bumi dan pandangan kemaslahatan dari mereka, maka mereka memaksa meletakan nidhom untuk menghukum kepada siapa yang menentang atau menyerang hak-hak yang lain. Kemudian sebagian dari mereka bersepakan atas suatu nidhom tertentu untuk membatasi aktifitas yang baik dan yang jelek, dan membatasi hukuman orang yang melanggar karena menolak nidhom atau menahan hak yang lain.
Jadi masyarakat berdasarkan susunan secara tabiat ada seperti berikut:
• Individu-individu yang hidup bersama (Al-Frood).
• Pemikiran-pemikiran untuk menghukumi hubungan antara individu (Al-Afkaar).
• Rasa kolektif seperti kecenderungan pada al-asyya dan al-af’aal atau menahan darinya (Masyaa’ir).
• Aturan yang ditetapkan pemikiran dan pengaturan hubungan-hubungan (Nidhom)
• Dan susunan ini adalah susunan yang sifatnya tabiat sebagai hasil dari khoosiyyah yang telah diciptakan Allah kepada individu, maka Allah menjadikan mereka hidup secara berkelompok seperti suku dan bangsa, Firman Allah :
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan dari seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS. Al Hujuraat 13).
Suku adalah kumpulan manusia adapun bangsa adalah kumpulan manusia yang di nasabkan pada satu orang.
Masyarakat itu ada dan hidup seperti individu, akan tetapi susunannya berbeda dengan susunan individu, maka jika didapatkan susunan kumpulan di dalam kelompok seperti diatas maka disebut masyarakat dan jika tidak begitu, maka bukan masyarakat. Dan empat susunan itu adalah :
• Al-Afrood
• Al-Afkaar
• Al-Masyaa’ir
• Al-andhimah/nidhom
Maka jika tidak didapatkan satu susunan yang empat tersebut maka sisa liganya bukanlah masyarakat.
A. Masyarakat Modern
Perumpamaan seorang mu’min di dalam cinta dan kasih sayangnya seperti satu tubuh, jika mengeluh salah satu anggota tubuh, maka yang lain akan merasakan demam dan panas. (Al-hadits)
Mujtama’ mutamayyiz / masyarakat modern adalah bila terdapat susunan afkaar, masyaa’ir, afrood dan nidhom dari satu jenis, dan seperti itu tidak akan bisa terealisir kecuali jika individunya berpegang kepada aqidah asassiyyah yang satu yang akan cocok untuk membangun seluruh afkar yang vital di dalam memenuhi gharizah afrood dan haajaah ‘udwiyyahnya, dan untuk memecahkan problematika kehidupan umat yang dihadapinya.
Mujtama’ Islami adalah bila sebagian besar individunya kaum muslimin, yang memgang aqidah Islamiyyah. Dan afkaarnya dibangun untuk menghukumi al-asyya dan al-af’aal berasaskan aqidah ini, maka terbentuklah baginya masyaa’ir yang satu, sebagai hasil dari pandangan yang satu tentang kehidupanmereka akan cenderung kepada yang halal dan berpaling dari yang haram, dan menerapkan nidhom Islam di dalam hubungan mereka secara totalitas, baik hubungan dengan tuhannya, dirinya dan lainya.
Maka mujtama’ Islamy sebagian besar afroodnya adalah muslim, dan afkaar serta masyaa’ir individunya adalah Islamiyyah, dan nidhom yang diaplikasikan juga nidhom Islam.
Muztama’ Islamy itu ada hidup dalam satu jenis, Rasulullah mensifatinya dalam sabdanya:
Perumpamaan seorang mu’min di dalam cinta dan kasih sayangnya seperti satu tubuh, jika mengeluh salah satu anggota tubuh, maka yang lain akan merasakan demam dan panas. (Al-hadits)
Tidak akan mujtama’ mutamayyiz kecuali jika aqidah yang dipeluk individu-individunya adalah fikrah kulliyah tentang kaun, insan dan kehidupan yang akan terpancar darinya afkar yang mengatur seluruh hubungan internal individu dan mengatur hubungan eksternal dengan masyarakat yang lain.
Dan tidak akan didapatkan aqidah asasiyyah ini kecuali di dalam mabda, karena mabda adalah aqidah aqliyah yang terpancar darinya nidhom.
Dan mabda-mabda yang sekarang diterapkan di dunia adalah ada tiga :
• Mabda Islam
• Mabda Kapitalisme / liberalisme / sekularisme
• mabda komunisme / sosialisme
Maka mujtama’ mutamayiz juga tiga, yaitu:
• mujtama’ Islami
• mujtama’ syuyu’iyyah (komunisme)
• mujtama’ ra-sumaali (kapitalisme)
Mujtama’ Islami sekarang ini belum ada, karena bangsa Islam yang ada sekarang menerapkan nidhom yang ghoiru Islam, maka ini juga bukan mujtama’ Islam, walaupun individunya muslim yang berpegang kepada aqidah Islamiyyah, afkaar dan masyaa’irnya juga Islami, akan tetapi nidhomnya bukan nidhom islam, baik itu nidhom hukum, nidhom ekonomi, nidhom uqubat dan muamalah.
Mujtama’ kapitalis adalah mujtama’ mutamayyiz, karena individunya berpegang kepada Aqidah kapitalis, yaitu fashlu al din ‘ani al hayah (memisahkan agama dari kehidupan), dan afkaarnya terpancar dari aqidahnya itu, dan masyaa’ir yang diarahkan ke al-asyya dan al-af’aal adalah bersatu keluar dari afkaar ini, dan nidhom yang diterapkan dalam pemecahan problematikanya dari aqidah tadi, juga mereka bergaul dengan yang lain dari negara atau bangsa juga terilhami dari aqidahnya tersebut.
Mujtama’ mutamayyiz sebagian besar individunya percaya dan berpegang teguh kepada mabdanya, yang diterapkan kepada dirinya dan disebarkan kepada yang lainnya.
B. Al Mujtama’Ghoiru Mutamayyiz
Seperti yang telah diterangkan di atas, bahwa individu-individu mempunyai syakhsiyyah mutamayyizah dan syakhsiyyah ghoiru mutamayyizah, maka begitu juga mujtama’, ada mujtama mutamayyiz dan mujtama ghoiru mutamayyiz.
Mujtama’ mutamayyiz seperti yang telah diuraikan di atas yakni muztama yang bermabda, yang tersusun dari 4 bagian, al-afrood, al afkaar, al masyaa’ir dan al andhimah dari satu jenis atau dari jenis mabdanya itu.
Adapun mujtama’ ghoiru mujtamayyiz adalah mujtama yang tersusun ari 4 susunan (al-afrood, al-afkaar, al masyaa’ir dan al andhimah) bukan dari satu jenis, sehingga jika berbeda satu saja dari susunan di atas atau tiga sisanya, maka bukanlah mujtama’ mutamayyiz, dan juga tidak bisa disandarkan pada sesuatu yang lain, seperti negaranya, kaumnya, maka dikatakan mujtama’ Mesir atau mujtama’ Arab, dan tidak dikatakan mujtama’ Mesir atau Arab itu apakah termasuk mujtama’ kapitalisme atau mujtama’ komunisme. Hal ini berbeda degan mujtama Amerika yang bisa dikatakan mujtama’ kapitalis, atau mujtama’ china adalah mujtama’ komunis.
Mujtama’ India misalnya, adalah mujtama’ mutammayiz, mujtama’ kapitalis atau komunis atau hindu atau budha, karena individunya tidak berpegang pada suatu aqidah yang akan terpancar darinya afkaar atau nidhom yang bisa mengatasi problematika umat manusianya, juga karena tidak diterapkan nidhom yang diterapkan merupakan tarikan hubungan kepada aqidah, afkaar dan masyaa’ir individunya.
Maka unsur-unsur yang tersusun pada mujtama’ india (afrood, afkaar, masyaa’ir dan nidhom) tidak dari jenis yang satu, dari mereka ada yang muslim, budha, penyembah sapi, nasrani dan lainnya, serta afkaar mereka semisal terhadap al-asyya dan al-af’aal berbeda dibandingkan dengan afkaar mereka yang terpancar dari aqidah, seperti ketika dijajah Inggris mereka menerapkan nidhom kapitalis, jadi mujtama’nya bukan dari satu jenis, dan tidak ada satu warna tertentu, sehingga dikatakan mujtama’ india adalah mujtama’ ghoiru mutamayyiz, tidak disandarkan pada satu mabda dari tiga mabda yang ada di dunia.
C. HUBUNGAN UNSUR-UNSUR PEMBENTUK
MUJTAMA’
Sesungguhnya afkaar mujtama’ jika menjadi mafahim, akan melahirkan bagi pemiliknya masyaa'’ir dari jenis pemikiran yang sama, maka mujtama’ yang Islami misalnya yang anggota individunya memahami bahwa hukum sholat adalah fardhu, akan berpengaruh padanya masya’ir marah yang ditujuakn kepada orang yang mempermainkan atau menghina hukum ini dan berpengaruh baginya masya’ir ridlo jika mendengar muadzin memanggil untuk sholat, karena afkaar mereka tentang sholat sudah menjadi mafahim dan jadilah muyulnya tampak pada mafahim ini sehingga dengan itu dituntut pula seorang hakim untuk menjatuhkan hukuman penahanan bagi orang yang meninggalkan sholat, dan dituntut pula untuk memperhatikan masjid-masjid, karena nidhom yang diterapkan ada mujtama’ dari jenis afkaar dan mafahim yang dipegang dan didirikan oleh individunya, maka jadilah ada penjagaan terhadap pelaksanaan nidhom ini (muhaafadhotu al aqiidah), dan ada mata-mata/intel untuk menjaganya.
Adapun nidhom yang diterapkan pada mujtama’ yang bukan merupakan afkar dan mafahimnya, maka akan tampak berbeda masyaa’irnya, sehingga mereka tidak memperhatikan penerapan nidhom ini, bahkan akan menggerutu, menyesal dan marah dan berusaha untuk merubahnya supaya sama dengan mafahimnya dan berusaha menyelaraskan dengan masyaa’irnya.
Kadang-kadang masyarakat mengajarkan afkaar yang tidak bersumber dari aqidahnya, sehingga afkar ini bagi anggota individunya jadi sebuah ma’lumat saja.
Maka mereka akan berpura-pura, ragu-ragu memalingkan, dan berusaha melepaskan diri dari sela-sela hukumnya atas al-asyya dan al-af’aal. Afkaar tersebut tidak bisa naik sampai pada tingkat mafahim baginya, maka jadilah masyaa’irnya tidak berdasarkan afkaar tersebut, dan sekalipun jika ada nidhom yang diterapkan kepada mereka dan disandarkan pada afkaar ini, maka nidhom itu akan menghalangi mereka untuk bertindak berdasarkan afkaarnya itu, sebab sudah berangkat dari keraguan dan pura-pura.
Dan dalam kondisi seperti ini terputuslah syakhsiyyah mujtama’, maka anggota individunya akan menyenangi berbagai perkara, dan condong pada perkara tersebut akan tetapi mereka mengerjakannya yang berbeda dengan muyulnya, itu semua karena tidak adanya ikatan pada mereka antara afkaar yang mereka terima, dan antara masyaa’irnya yang disandarkan pada aqidah yang mereka pegang.
Maka seorang muslim di dalam mujtama’ seperti ini akan menempuh keharaman seperti riba, minum khamr dan dalam waktu bersamaan menggemborkan bahwa siapa minum khamr berarti telah menempuh haram, dan berusaha mendapatkan kebaikan dalam melaksanakan al-af’aal ini (melarang minum khamr), dan ironisnya mereka juga senang mendengar adzan dan pembacaan Al-Qur’an dan tersisa dalam dirinya masyaa’ir ruhiyah, akan tetapi dia tidak sholat dan tidak membaca al-Qur’an.
Terputusnya ini di dalam syakhsiyyah mujtama adalah penyakit yang berbahaya, yang akan menghentikan penerus yang datang kemudian, di dalam membangkitkan dan meninggikan mujtama’ akan terjadi kesulitan yang dihadapi oleh generasi yang menginginkan perubahan kepada mujtama’ mutamayyiz.
D. PERUBAHAN MUJTAMA’
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaaan suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mau merubahnya .”(QS. Ar Rad 11).
Sesungguhnya mafahim itu sebagai parameter suluk seseorang, maka jika kita menginginkan merubah suluk seseorang maka kita harus merubah mafahim kehidupannya (pandangan hidup) dan dengan ini akan menjadikan orang itu mempunyai syakhsiyyah mutamayyiz, yang disandarkan tafkir dan muyulnya pada qaadiah fikriyyah asasiyyah yang terpancar darinya suatu nidhom untuk memenuhi gharizah dan haajaah’udwiyyah.
Sedangkan pengubahan masyarakat diperlukan pengubahan unsur-unsur yang menyusun masyarakat yaitu (afrood, afkaar, masyaa’ir dan nidhom).
Adapun susunan individu dan khosiyyah fitriyyahnya, tiada seorangpun mempunyai hak untuk merubahnya atau menentukannya, akan yang dimungkinkan untuk dirubah adalah aqidah syakhsiyyah individu karena dua hal ini termasuk dalam lingkup kemampuan manusia.
Begitu juga pemikiran-pemikiran masyarakat yang digunakan utnuk menghukumi al-asyya dan al-af’aal dimungkinkan untuk dirubah dengan cara diajak berdiskusi tentang pemikirannya setelah puas dengan pembahasan aqidah yang sebagai sumber pemikirannya, maka diikuti dengan perubahan afrood, masyaa’ir, nidhom.
Dan perubahan harus menuju yang terbaik oleh sebab itu hendaklah pengemban perubahan sementara berusaha merubah mujtama’ ghoiru mutamayyiz ghoiru nahidl (mayarakat yang tidak modern dan tidak bangkit), menuju mujtama’ mutamayyiz nahidl (masyarakat modern dan bangkit).
Kondisi sekarang tidak terdapat mujtama’ mutamayyiz nahidl, kecuali dua mujtama’ yakni mujtama’ kapitalisme dan komunisme, adapun selain dari dua mujtama’ ini adalah mujtama yang tidak bangkit dan tidak modern.
Sungguh sangat sulit untuk merubah menuju masyarakat modern yang bangkit dari intern, menuju masyarakat modern yang bangkit dari jenis lain, seperti merubah masyarakat kapitalis menuju masyarakat komunis, atau menuju masyarakat yang tidak modern, seperti ini tidak mustahil kita merubahnya, sehingga setiap pengemban da’wah harus memusnahkan kata tidak mungkin dalam setiap gerak langkahnya, sebab tiada sesuatupun yang mustahil bagi Allah.
Ternyata terbukti efektif untuk merubah masyarakat, baik yang modern maupun yang tidak modern dari ekstern dengan kekuatan militer dan qiyaadah fikriyyah, kecuali merubah masyarakat yang tidak modern dari internnya dimungkinkan lebih mudah, hal ini karena sifat masyarakat yang tidak modern, sepert tidak adanya konsistensi dan ketentuan, disebabkan kemundurannya dan tidak adanya kemungkinan individu-individu di dalam masyarakat memenuhi gharizah dan haajaah ‘udwiyyahnya secara benar.
E. CARA MERUBAH
Sesungguhnya masyarakat yang tersusun dari 4 unsur, menyamai seperti gelas tipis yang penuh berisi zat cair, al-afraad atau individu-individu yang ada pada masyarakat sebagai gelas kacanya, sedangkan afkaar, masyaa’ir dan nidhom sebagai zat cair.
Gelas itu akan terlihat bagaimana warnanya sesuai dengan warna zat cair yang ada dalam gelas. Perubahan masyarakat tidak dimaksudkan merubah warna zat cair yang ada di dalam gelas dengan mencampurkan warna celupan tertentu ke dalam zat cair itu akan tetapi maksud perubahan adalah menumpahkan zat cair yang ada di dalam gelas seluruhnya, kemudian dituangkan zat cair baru yang dikehendaki ke dalam gelas tersebut.
Begitulah perubahan masyarakat dengan perubahan totalitas sampai akar-akarnya maka berubahlah warna masyarakat, karena afkaar dan masyaa’ir dan nidhom bagi kelompok masyarakat itu adalah yang membatasi macam dari masyarakat dan warna masyarakat.
Maka jikalau kita menginginkan mengubah masyarakat yang tidak modern menuju masyarakat modern dan bangkit, prinsip pertama yang harus kita mulai adalah menumpahkan zat cair yang ada di dalam gelas dan itu maksudnya adalah dengan memberi keterangan yang bisa memuaskan dan memahamkan mereka tentang kelemahan, tidak benar dan tidak ada maslahatnya afkaar, masyaa’ir dan nidhom yang ada atau yang mereka gunakan sekarang ini. Lalu menumpahkan zat cair baru pada tempat dimana zat cair yang telah ditumpahkan tadi, maksudnya memberikan kepuasan keterangan kepada individu-individu dengan afkaar, masyaa’ir dan nidhom yang baru yang seperti kita kehendaki untuk diterapkan pada masyarakat.
Setiap mabda mempunyai thoriqah untuk mengubah masyarakat seperti kapitalis thoriqah adalah penjajahan, baik fisik, ekonomi, politik, dan lainnya. Sedangkan komunis thoriqohnya adalah menciptakan gap atau jurang kontradiksi (biasanya antara proletar dan borjuis), dan Islam thoriqahnya adalah Al-jihad yakni mengemban aqidah Islamiyyah kepada manusia dalam bentuk pengupasan dan penghancuran pembatas-pembatas maadiyyah yang membelit mereka, Sabda Nabi SAW:
Saya diutus untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Lailaahaillallah Muhammadurrasulullah, maka jika mereka telah mengucapkan kalimat itu berarti mereka telah saya lindungi dan haram darah dan hartanya dengan hak.(Al Hadits).
Dan Thariqoh-thariqah perubahan ini digunakan sebelum pemilik tiga mabda pada waktu adanya daulah sebagai mabda, dan ini tampak jelas ketika kemenangan Islam setelah pendirian daulah Islamiyyah di madinah, dan juga tampak ketiak perang dunia I dan perang dunia II yang dinisbatkan perang mabda kapitalis dan mabda komunis, dimana mereka mengadakan perjanjian dunia setelah peperangan dahsyat melawan daulah Utsmaniyah dan melawan Jerman serta Italia.
Adapun ketika hilangnya daulah yang diemban sebagai mabda, maka disini mulai ada perbedaan thariqah untuk mendapatkan mabda lagi dalam kehidupan, dalam rangka eksistensi daulah, yakni bagaimana mewujudkan kembali mabda dalam dalam kehidupan dan menciptakan masyarakat modern yang mengemban mabda.
Sesungguhnya mabda ditinjau dari aspek pembinaannya yaitu dari aqidah aqliyyah yang akan terpancar darinya nidhom dimana nidhom yang terpancar dari aqidah sebagai tumbuhnya batang dari biji. Dan mabda dari aspek pelaksanaannya haruslah adanya satu jenis fikroh dan thoriqah
Fikroh mencakup aqidah dan bagian dari nidhom, yaitu mu’aalajah (problem solving). Thariqah adalah bagian lain dari nidhom (sistem) dan mencakup cara mengemban mabda, dan cara memeliharanya serta cara pelaksanaan problem solving.
Barang siapa hendak merubah suatu masyarakat menuju masyarakat modern berasaskan mabda tertentu agar bisa meletakan thoriqah pada ikatan yang tepat bilamana menghadapi kesulitan dan penipuan karena thoriqoh adalah bagian yang tidak terpisahkan dari mabda.
Dan thoriqah perubahan menurut Islam adalah dengan mencontoh Rasululah SAW.
Allah telah mengutus beliau mulai pertama kepada masyarakat Makkah jahiliyyah, maka Rasul melakukan thoriqoh seperti apa yang telah digariskan kepada beliau, dan thoriqah ini telah berjalan dengan tiga tahapan:
Tahap Pertama:
Tahap Pembentukan Syaksiyyah Dengan Durus Dan Ta’lim
Setelah Rasul menerima risalah dari Allah memulai bertabligh menurut apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya ditujukan kepada orang-orang terdekatnya, seperti Isteri Khadijah, Shahabatnya Abu Bakar dan anak pamannya yaitu Ali bin Abi Thalib serta lainnya. Dan Rasul menjadikan mereka memiliki syakhsiyyah Islamiyyah, aqidah Islamiyyah sandaran tafkir dan muyulnya, dimana awal diturunkan wahyu berisi pemikiran tentang aqidah ini, seperti iman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Rasul-Nya, hari Akhir, dan pemilik aqidah ini mengingatkan kejelekan terhadap penyembahan berhala, mempercayai dukun dan tukang sihir, hal ini terlihat jelas ketika Rasul ditanya pamannya Abu Thalib suatu hari “ Apakah ini sebuah agama yang menunjukan kepada kamu sebagai suatu agama?”, Berkata Rasul: Wahai pamanku ini adalah agama Allah, Malaikat dan rasul-rasul-Nya serta agama moyang kita Ibrahim As, Allah menjadikan saya sebagai utusannya kepada hamba-hamba-Nya dan engkau wahai pamanku adalah yang lebih berhak untuk mengorbankan kepada agama ini dengan memberikan nasihat kepada orang lain, menda’wahkan agama ini kepada orang lain agar menerima petunjuk serta yang lebih berhak menerima agama ini dan menolong saya dalam menyebarkan agama ini”, Maka Abu Thalib menjawab: “Wahai Muhammad, saya tidak bisa memisahkan agama nenek moyang kita dan apa-apa yang ditinggalkannya, akan tetapi demi Allah saya tidak rela terhadap sesuatu yang itu kamu benci datang kepadamu.
Maksud dari agama disini adalah aqidah saja, karena agama dalam hadits ini disandarkan kepada Malaikat, Rasul dan Ibrahim, karena jelas syari’ yang dahulu sebelum Rasulullah saw bukanlah syari’at Islamiyyah bila dinisbathkan kepada nidhom maka maksud dengan agama pada hadits ini adalah aqidah saja, karena aqidah yang dituntut untuk diimani pada hadits ini untuk seluruh agama-agama yang satu (maksudnya) dari Allah saja yaitu tidak terbilang yakni mengimani satu agama yang diturunkan oleh Allah Iman dengan realitas keimanan yang pasti dengan adanya dalil, maka otak tidak bisa berfikir bahwa sesuatu itu adalah sekaligus tidak ada dalam waktu bersamaan.
Rasul memulai da’wahnya dengan sembunyi-sembunyi, rasul mengajak untuk membentuk dan mengajarkan kepada orang sudah beriman seperti Abu Bakar, Jafar, dan Abi Ubaidah, Umar bin Khathtab, Bilal bin Rabah, kepada Islam agar mempunyai syakhsiyyah modern, untuk mengemban da’wah bersama Rasulullah, dan mereka itulah yang nantinya mengemban da’wah setelah berdirinya daulah islamiyyah.
Rasulullah yang memindahkan atau mengajarkan wahyu yang diterima dari Allah, dengan metode penyampaian da’wah menggunakan pendekatan pemikiran, yang nanti bisa memantapkan suluknya dan bisa memperkuat shilahbillah dan membuat mereka semakin mantap dengan agama yang baru.
Tahap Kedua:
Tahap Tafaa’ul / Interaksi
Dari apa yang dijadikan thariqah Rasul dan Thariqah para shahabat yang memang lain dari kebiasaan masyarakat jahiliyah pada waktu itu kemudian dikenal oleh masyarakat Makkah dengan agama baru, maka mulailah individu-individu dari masyarakat Makkah baik laki-laki maupun peempuan masuk Islam secara berbondong-bondong, hingga tersebar di Makkah, sehingga semakin banyak orang-orang Makkah membicarakan agama ini lalu Allah menurunkan Wahyu:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperitahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al Hijr 94).
Dan Allah menurunkan ayat:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (QS.Asy syu’araa 214-215).
Dan mulailah Rasulullah berda’wah dengan terang-terangan serta memulai al-kifaah al-siyaasi (interaksi politik), dan menjelaskan kelemahan menyembah Tuhan-tuhan orang Quraisy dan menunjukan kebodohan pemikiran mereka, serta mengingatkan bahwa aktifitas mereka adalah jelek.
Maka para pemimpin quraisy mendatangi paman Rasul SAW Abu Thalib untuk mengadu, agar kemenakannya itu menghentikan da’wahnya, dan ketika Abu Thalib mengemukakan pendapat dari pemimpin Quraisy kepada Rasul SAW beliau menjawab:”Wahai pamanku, demi Allah jikalau mereka meletakan matahari pada tangan kananku dan bulan pada tangan kiriku, untuk meninggalkan agama ini, saya tidak akan meninggalkannya, sampai Allah akan menunjukan kemenangan agama ini atau menghancurkannya”.
Sikap yang teguh hati dan mantap ini menjadikan Abu Thalib berkata kepada Muhammad : “Pergilah dan laksanakanlah hai anak saudaraku (Muhammad) dan katakanlah apa yang kamu senangi (berda’wahlah sekehenadakmu) maka aku akan menjagamu dari gangguan sesuatu selama aku hidup”.
Orang Quraisy berusaha dengan beragam cara untuk menghentikan da’wah dari agama baru ini, maka dia mencoba dengan metode politis, Walid bin mughiroh menyebarkan berita bahwa muhammad itu penyihir, dan yang lebih parah lagi dengan cara memisahkan anak, saudara, isteri dan karib kerabat yang masuk Islam atau memasang jerat bagi orang muslim yang masuk ke daerah Makkah ketika Musim Haji.
Tetapi da’wah Islam dengan pengemban da’wah yang tangguh dan pantang menyerah tetap menyebar ke daerah arab, Bahkan Rasulullah walaupun dilempari dengan berbagai macam kejelekan seperti tukang sihir, orang gila pembual dan lainnya tidak pernah mundur. Pada suatu saat orang musyrikin bertanya kepada nabi: “Apakah kamu yang mengatakan ini dan itu kepada sesembahan kami dan agama kami? Rasul menjawab: “Betul saya yang mengatakan itu”. Maka dengan marah orang musyrik itu bergerak mau membunuh Nabi, dengan sigap Abu Bakar menghalanginya dan berkata: “Apakah kamu akan membunuh seseorang yang mengatakan tuhanku adalah Allah?”
Cara lain juga digunakan digunakan untuk membujuk nabi, disodorkan kepada nabi kemulian , kerajaan dan harta kekayaan, tetapi Rasul tidak memberi respon kepada iming-iming mereka.
Juga nabi diuji mereka dengan perintah agar Allah membuatkan sungai seperti sungai Syam dan Iraq dan menghidupkan nenek moyangnya yang telah mati , membuatkan sebuah istana agar Allah memberikan rizqi mereka harta emas dan perak yang diturunkan dari langit, mak jawab Rasul:” Aku diutus bukan untuk urusan seperti yang kamu minta , akan tetapi aku diutus untuk menyampaikan risalah ini kepada kamu sekalian, maka jika kamu menerima ini maka berarti inilah keuntunganmu di dunia dan di akhirat , akan tetapi jika kamu menolak , kita tunggu saja sampai Allah mengadili kita semua.”
Kemudian mereka berusaha memalingkan manusia dari Islam dan dari Muhammad, Serta dari membaca dan mendengar AlQur’an dengan cara menyuruh Nadhor bin Harits sebagai seorang pendongeng ulung untuk mendongengkan tentang cerita-cerita raja-raja persi, akan tetapi semua tipu daya, semua kesulitan dan semua gangguan dan teror tidak menggoyahkan hikmah Rasul SAW.
Pada waktu kabilah-kabilah Makkah takut kepada Abu Yhalib bani hasyim dan bani abdi manaf, mereka tidak terlalu menyakiti Rasul, akan tetapi mereka menyakiti orang-orang muslim yang lemah dan yang ada pada kabilah mereka, dengan siksaan dan pukulan tidak memberi makan dan minum untuk memalingkan mereka dari agamanya, dari pedihnya siksaan ada diantara mereka yang tidak kuat sehingga berpaling, juga ada yang kuat dan teguh hingga akhirnya mati, maka melihat kondisi seperti ini Rasul berkata kepada mereka: “ Jikalau anda sekalian masuk ke bumi Habasyah, disana ada raja yang tidak mendholimi seorangpun dan itulah bumi yang baik, hingga disana Allah akan memberikan kepada anda kegembiraan dan kelonggaran”. Maka itulah hijrah pertama kaum muslimin.
Akan tetapi ternyata hingga hijrahpun kaum musyrikin Makkah mendengar hal ini, karena hasad yang tidak pernah hilang untuk mematikan da’wah Islam, mereka mengejar kaum muslimin dengan mendatangi rajanya, akan tetapi raja Najasy menolak dan menyelamatkan kaum muslimin.
Melihat kondisi kaum muslimin yang aman di daerah raja Najasi, dan banyak kaum dari kabilah mereka yang masuk Islam, ditambah dengan masuk Islamnya Umar bin Khoththab dan Hamzah 2 pendekar Quraisy yang gagah berani, maka mereka bersepakat untuk melarang tiap orang dari kabilahnya menikah atau menikahkan dengan bani hasyim dan bani Abdul Muthalib juga mengadakan embargo ekonomi dengan melarang jual-beli dan aktifitas lain yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari , itu semua diarahkan agar Rasul kosong dari perlindungan maupun pengikut.
Sesudah berusaha menentang sekuat tenaga seperti diatas tidak berhasil, mereka mengeluarkan ide kerjasama saling bergantian beribadah, maka turunlah ayat:
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah . Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. AL Kaafiruun 1-6).
Rasulullah beserta para shahabat tetap mengadakan interaksi siyasi untuk mengadakan perubahan tanpa henti-hentinya menghadapi penipuan dan kesulitan dan semua dianggap sebagai tantanganda’wah yang tidak menghilangkan ‘azamnya untuk tetap berjuang.
Tahap Ketiga:
Penegakkan Daulah Dan Pemberlakuan Hukum
Rasulullah SAW masih berinteraksi dengan kaum Quraisy dengan interaksi yang sifatnya politis, membuka kebatilan apa yang mereka peluk, dan keburukan aktifitasnya serta menerangka kebenaran yang diturunkan Allah berupa al-Qur’an sebagai mu’jizat.
Kebenaran Islam ini tidak begitu saja diterima oleh mereka, karena masyarakat Makkah sudah terlalu kental dengan pemikiran kufur, juga dikarenakan keras kepalanya pemimpin-pemimpin mereka dan kesombongannya. Maka Rasul meminta pertolongan (Thalabun Nushrah) untuk melindungi da’wah dan rencana pendirian daulah kepada kabilah-kabilah lain yang ada di Makkah dan orang yang pergi ke Makkah pada musim haji, sampai Allah menyiapkan tempat da’wah ini di Madinah Al Munawarah, yang penduduknya menerima islam dan memberikan pertolongan kepada Rasul SAW pada bai’ah ‘aqobah kedua. Kemudian Rasul dan Shahabatnya hijrah ke madinah dan mendirikan Daulah Islamiyyah.
Tiga tahapan ini berlaku untuk da’wah Islamiyyah di dalam menciptakan masyarakat Islam modern, hal ini adalah thoriqah syar’iyyah dalam memulai kehidupan yang Islami, tidak boleh ditinggalkannya. Maka seorang pengemban da’wah yang ingin mengubah masyarakat berdasar asas Islam wajib baginya faham dengan baik.
Rasul adalah seorang individu di dalam masyarakat Makkah, oleh Allah diberikan kepadanya penghayatan totalitas terhadap Islam, dengan kata lain Islam telah menjasad dalam dirinya baik fikroh maupun thoriqahnya, maka jadilah beliau seorang yang mempunyai jenis pemikiran yang bersih dan suci dan nampaklah thoriqahnya jelas dan lurus.
Sehingga seseorang yang mempunyai syakhsiyyah modern ini, tidak akan tinggal diam untuk selalu bergerak dan mempengaruhi bagian-bagian lain dari apa yang ada disekitarnya dari masyarakat, yakni pemilik syakhsiyyah modern ini bergerak untuk menciptakan masyarakat tersebut memiliki syakhsiyyah modern. Maka haruslah terbentuk di dalam kelompoknya sebuah kutlah (group) yang tersusun dari satu jaringan.
Penopang kutlah tersebut adalah manusia, fikroh, thoriqoh, yang akan bergerak dalam kutlah tersebut bila ada yang sakit, dan akan segerak akan dideteksi rahasia penyakitnya, kemudian digunakan obat yang manjur yang telah diberikan Allah Tuhan Semesta Alam maka kutlah tersebut akan menyuntikannya kemudian akan terjadi reaksi intern dalam jaringan-jaringan dan sel-sel antara obat dan akar penyakit dengan terus berjalannya obat yang manjur dan kuat akan melemahkan akar penyakit. Kemudian akan lenyaplah penyakit itu hal ini ibarat tubuh dengan obat yang akan mengalir dalam darah kehidupan , begitu juga akan terjadi di dalam kutlah sebuah keselarasan antara pengemban perubahan dengan peletak nidhom mabda yang bersumber pada aqidahnya pada saat pelaksanaannya , yang akan bisa menjadikan masyarakat modern yang bangkit, dan masyarakt berikutnya akan melakukan untuk memperoleh kesamaan ide antara peletak nidhom dan masyarakatagar kekuatan masyarakat berpindah dengan bercampurnya kepada kutlah, dan dengan begitu akan meliputi kesehatan yang sebenarnya secara totalitas , sehingga tersingkaplah penyakit-penyakit yang ada dan berguguranlah akar-akar penyakitnya dalam aliran darah yang panas.
Dan bagi pengemban di dalam kutlah hendaklah menentukan dan membedakan serta mendiagnosis penyakit-penyakit masyarakat pada tempat perubahan secara teliti.
Hal itu dengan cara mengetahui setiap apa yang ada dalam afrodd, afkaar, masyaa’ir dan nidhom serta apa-apa yang ada di dalam gerakan-gerakan intern dan pengaruh-pengaruh ekstern kemudian mengkaji mabda yang akan digunakan untuk perubahan dengan studi luas dan dalam lalu dilanjutkan dengan membangun apa yang seharusnya bagi mereka untuk perubahan seperti kutlah (kelompok) , dan hendaklah menjauhkan diri membangun sesuatu yang tidak dibutuhkan ditengah berjalannya perubahan walaupun mereka menuntut hukum yang merupakan kelaziman hidup bagi manusia.
Pengemban perubahan hendaklah yakin dengan kebaikan thariqah dan fikrohnya dengan keyakinan yang tidak akan terlintas padanya keraguan dan kebimbangan dan hendaknya tidak berpengaruh dalam cita-citanya kesulitan-kesulitan yang dihadapinya, dan haruslah sabar disebabkan lama dan panjangnya thariqah yang harus ditempuh, sehingga seperti apa yang difirmankan Allah :
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang padamu (bobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka di timpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan macam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “ bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat.” (QS. Al Baqarah 214).
“Diantara orang-orang mu’min itu ada orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepda Allah; Maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya.” (QS. Al Ahzab 23)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sesungguhnya akan menjadikan mereka kholifah di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridloi-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itu orang-orang yang fasiq.” (QS. An Nuur 55).
Miqdad Ash Shiddiq Al Sundii
Nurizzah Umair As Sidiq Al Sundawi
Diketik ulang Dzulhijjah 1420 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah