Semnas TP Yogyakarta/ym/22/0803 1
MENYINGKAP TABIR KEBENARAN ILMIAH
Oleh
Yusufhadi Miarso
Gurubesar UNJ
Pendahuluan
Suatu bidang kajian, seperti halnya teknologi pembelajaran, hanya berhak
menyatakan dirinya sebagai suatu disiplin keilmuan apabila ditunjang oleh dan
memberikan kesempatan untuk dilakukannya beragam penelitian yang mengungkap
obyek formal yang menjadi garapannya, yaitu belajar pada manusia. Selama ini
memang telah banyak penelitian, terutama dalam bentuk tesis dan disertasi, yang
dilakukan dalam kawasan teknologi pembelajaran. Namun menurut pengamatan saya,
ragam penelitian itu sangat monoton; mayoritas, kalau tidak boleh dikatakan hampir
semua, penelitian merupakan penelitian eksperimen atau korelasional.
Makalah ini dimaksudkan sebagai sentilan agar mereka yang terlibat dalam
atau membina kegiatan penelitian teknologi pembelajaran menyadari dan berusaha
untuk mengembangkan berbagai ragam penelitian sesuai dengan perkembangan
paradigma penelitian ilmiah. Dalam makalah ini saya memakai analogi dalam
panggung sandiwara. Sandiwara biasanya ditampilkan dalam beberapa babak, dan
tiap babak mempunyai latar (setting) yang berbeda, minimal dengan adanya tabir yang
diberi lukisan sesuai dengan jalannya cerita. Sebelum pertunjukkan dimulai,
panggungpun masih ditutupi dengan tabir yang netral atau tidak terkait dengan jalan
cerita.
Penelitian yang hakekatnya merupakan usaha mengungkap kebenaran, selama
ini saya ibaratkan sebagai tabir penutup panggung, atau paling tidak merupakan tabir
pada babak pertama. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa cerita yang ditampilkan
belum selesai, atau kebenaran yang diungkapkan belum tuntas. Makalah ini berusaha
mengungkap berbagai tabir kebenaran.
Tabir Kebenaran Ilmiah .
Seringkali kita ragu-ragu untuk menentukan apakah pikiran sehat (common
sense) dapat dikategorikan sebagai salah satu inkuiri ilmiah (scientific atau disciplined
inquiry), yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran ilmiah. Seperti telah sama-sama
kita ketahui kebenaran dapat dibedakan dalam empat lapis. Lapis paling dasar adalah
kebenaran inderawi yang diperoleh melalui panca indera kita dan dapat dilakukan oleh
Semnas TP Yogyakarta/ym/22/0803 2
siapa saja; lapis di atasnya adalah kebenaran ilmiah yang diperoleh melalaui kegiatan
yang sistematik, logis, dan etis oleh mereka yang terpelajar. Pada lapis di atasnya lagi
adalah kebenaran falsafi yang diperoleh melalui kontemplasi mendalam oleh orang
yang sangat terpelajar dan hasilnya diterima serta dipakai sebagai rujukan oleh
masyarakat luas. Sedangkan pada lapis kebenaran tertinggi adalah kebenaran religi
yang diperoleh dari Yang Maha Pencipta melalui wahyu kepada para nabi serta diikuti
oleh mereka yang meyakininya.
Kebenaran falsafi dan religi dianggap sebagai kebenaran mutlak. Kepada kita
hanya ada dua pilihan : ambil atau tinggalkan (take it or leave it); kalau kita
mengambilnya atau menganutnya maka kita harus mengerjakan semua perintah atau
ajarannya. Namun justru karena perkembangan dalam falsafah dan agama itu sendiri,
serta perkembangan budaya dan akal manusia, maka kita mulai mempertanyakan
apakah memang kebenaran mutlak itu mengharuskan adanya kesatuan pengertian
dalam segala hal mengenai hidup, kehidupan, dan bahkan alam semesta ini yang
seragam ? Mulailah berkembang berbagai mazhab atau aliran dalam bidang falsafah
dan agama dengan memberikan penafsiran terhadap apa yang telah diperintahkan
secara tertulis.
Kalau kebenaran falsafi dan religi saja memungkinkan adanya tafsir yang
menimbulkan mazhab atau aliran tersendiri, apalagi dalam memperoleh kebenaran
ilmiah. Kita semua dilahirkan sebagai mahluk yang unik, masing-masing di antara kita
berbeda. Kalau penampakan kita saja dapat dibeda-bedakan, seperti misalnya sidik
jari dan DNA, apalagi yang kasatmata yang ada dalam otak dan hati kita masingmasing.
Suatu gejala atau peristiwa yang sama, dapat diberi arti yang lain oleh orang
yang berlainan. Timbul pula pertanyaan apakah gejala yang kita amati di sekitar kita
yang didasarkan pada akal sehat (common sense) dapat pula dipertimbangkan
sebagai kebenaran yang dapat diterima secara ilmiah.
Tabir Kebenaran Positivistik
Selama hampir dua dekade di lingkungan perguruan tinggi kependidikan,
khususnya dalam kawasan teknologi pendidikan, telah dipertahankan tradisi bahwa
kebenaran ilmiah itu bersifat universal, obyektif, dan bebas nilai. Hampir semua skripsi,
tesis maupun disertasi harus bepegangan pada kaidah-kaidah tersebut. Untuk
memperoleh kebenaran itu perlu dilakukan pendekatan deduktif, yaitu dengan bertolak
dari hal yang bersifat umum dan abstrak ke arah yang khusus dan konkrit, serta
didasarkan pada teori-teori tertentu dengan prosedur yang baku. Untuk keperluan itu
Semnas TP Yogyakarta/ym/22/0803 3
harus digunakan piranti (tools) yang bersifat nomotetik yaitu yang abstrak dan berlaku
universal berupa angka-angka matematis atau lazim dikenal dengan statistik.
Tradisi ini dikenal sebagai paradigma positivis, dengan landasan berpikir :
“kalau sesuatu itu ada, maka sesuatu itu mengandung besaran yang dapat diukur.”
(Eichelberger,h.4). Banyak di antara kita menganggap bahwa pernyataan itu masuk
akal, sebab kalau kita tidak dapat mengukur dengan tepat, bagaimana kita dapat
mengetahuai hubungannya dengan variable lain. Para positivis berpendapat bahwa
peneliti adalah pengamat obyektif atas peristiwa yang ada di alam semesta, dimana
peneliti tersebut tidak mempunyai pengaruh atau dampak terhadap peristiwa tersebut.
Teori penguatan (reinforcement theory) oleh Skinner misalnya, merupakan rampatan
dari percobaan laboratorik dengan merpati. Peneliti memberikan berbagai macam
rangsangan kepada burung merpati yang dikurung, dan reaksi burung itu dicatat dan
diulang hingga diperoleh atau terjadi peristiwa yang berlaku secara tetap. Berdasarkan
hasil penelitian tersebut, lahirlah kemudian teori yang mendasari dikembangkannya
pengajaran terprogram, antara lain dalam bentuk “mesin pengajaran” (teaching
machine).
Para penganut positivis yang setia memandang pengetahuan sebagai
pernyataan mengenai keyakinan atau fakta yang dapat diuji secara empirik, dapat
dikonfirmasi atau dapat ditolak. Variabel mengenai ciri manusia, seperti misalnya
kemampuan berbahasa, dapat dinyatakan dalam bentuk istilah fisik yang dapat
dihitung sebagaimana halnya dalam ilmu alam. Kemampuan membaca misalnya
ditunjukkan dengan indikator perbendaharaan kata, gramatika, ejaan, dan
pemahaman. Indikator ini kemudian dijabarkan secara kuantitatif dalam serangkaian
instrumen yang hasilnya dapat dinyatakan dengan angka. Demikian pula motivasi
belajar misalnya dijabarkan dalam indikator operasional keinginan, ketekunan, usaha,
persaingan dsb. Indikator operasioanl ini dijabarkan lebih lanjut dalam serangkaian
instrumen yang dapat dikuantifikasikan. Oleh karena itu pendekatan positivis ini
seringkali juga dikenal sebagai paradigma kuantitatif karena semua datanya perlu
ditransfer dalam bentuk angka yang dapat dihitung.
Tabir positivistik ini telah begitu dominan dengan menutupi berbagai upaya
untuk memperoleh kebenaran dengan melalui cara lain. Yang lebih parah bahkan
dibuat pedoman untuk melakukan penelitian dengan format yang standar termasuk
harus adanya hipotesis dan pengujian atasnya. Pembakuan seperti ini mungkin
dilakukan untuk mempermudah pengelolaan, tetapi juga dicurigai bahwa para
pengambil keputusan yang menetapkan pedoman tersebut tidak peduli (ignorance)
Semnas TP Yogyakarta/ym/22/0803 4
dengan berbagai pendekatan atau paradigma baru dalam memperoleh kebenaran
ilmiah (atau barangkali tidak mempunyai pengetahuan mengenai paradigma baru
tersebut, dan berusaha menutupi kekurang kemampuan tersebut dengan berpegang
pada tradisi ?). Hal ini dapat diibaratkan sebagi panggung sandiwara dengan hanya
satu layar pada latar belakangnya, atau bahkan layar atau tabir penutup panggung
belum terbuka.
Tabir Kebenaran Pascapositivistik
Sebenarnya telah cukup lama tabir kebenaran positivistik tersebut dikuak.
Menurut Eichelberger (1989:2) tabir positivis itu telah mulai dikuak oleh kaum Sufi yang
berpendapat bahwa : “ Apa yang benar untukmu, adalah untukmu; dan apa yang benar
untukku adalah untukku.” Sejalan dengan pendapat para Sufi tersebut Francis Bacon
(1561-1626) dan John Locke (1632-1704) mengembangkan pemikiran bahwa
informasi empirik yang kita peroleh dari dunia sekitar kita adalah hal yang paling
penting untuk membangun pengetahuan. Jadi sejak lk. 300 tahun yang lalu telah
terjadi perkembangan dalam membangun pengetahuan atau memperoleh kebenaran.
Salah satu paradigma baru dalam memperoleh kebenaran tersebut dipelopori
oleh seorang matematikawan Jerman, Edmund Husserl (1859-1938), dengan
pendekatan falsafi yang disebutnya fenomenologi (Eichelberger,1989:5; Creswell,
1998:52). Dengan pendekatan ini maka penelitian perlu mengungkap makna yang
sasungguhnya dari pengalaman dengan menggali unsur-unsur dasar pengalaman
yang dimiliki oleh sekelompok anggota masysrakat tertentu, atau bahkan seluruh
kelompok manusia.
Pendekatan fenomenologisk ini boleh dikatakan merupakan awal dari
tumbuhnya paradigma pascaposivistik. Paradigma ini banyak digunakan dan
dikembangkan oleh para sosiolog dan antropolog, kemudian diikuti oleh mereka yang
berkecimpung dalam penelitian ilmu sosial lain, terutama yang berhubungan langsung
dengan manusia. Kecuali pendekatan fenomenologik juga tumbuh pendekatan
hermenetik (hermeneutic) yaitu pendekatan penafsiaran atas naskah yang dilandasi
oleh prasangka dan pemahaman awal (prior knowledge) mengenai suatu peristiwa
atau situasi. Pendekatan hermenetik ini pada awalnya banyak digunakan oleh pada
agamawan, sejarawan dan ahli hukum. Mereka ini menafsirkan apa yang ada dalam
naskah (kitab suci, artefak atau kitab undang-undang) sesuai masalah yang
dihadapinya dengan membangun argumentasi sendiri.
Semnas TP Yogyakarta/ym/22/0803 5
Paradigma fenomenologik ini justru menggunakan akal sehat (common sense)
yang oleh penganut positivis dianggap tidak/kurang ilmiah. Akal sehat ini mengandung
makna yang diberikan oleh seseorang dalam menghadapi pengalaman dan
kehidupannya sehari-hari. Jadi tidak semata-mata didasarkan pada data atau informasi
yang diperoleh melalui penginderaan. Dalam paradigma ini suatu kebenaran ilmiah
tidak dimulai dengan adanya sejumlah teori yang mendasari, namun secara induktif
mengakumulasikan pengalaman khusus menjadi umum, atau yang konkrit menjadi
abstrak, dan bahkan kemudian bahkan mengukuhkan pengalaman itu menjadi teori
(teori membumi = grounded theory) yang bersifat holistik (meliputi segala sesuatu yang
berkaitan dengan pengalaman yang bersangkutan). Kebenaran ilmiah menurut
paradigma ini tidak bersifat nomotetik melainkan bersifat ideografik, yaitu mengungkap
secara naratif dengan memberikan uraian rinci mengenai hakekat suatu obyek atau
konsep. Kebenaran itu juga bersifat unik dan hanya dapat ditransfer bila kondisi dan
situasinya sama atau tidak berbeda. Kebenaran ini sarat dengan nilai (value loaded).
Paradigma hermenetik, meskipun dapat dikatakan satu kategori dengan
paradigma fenomenologik, mempunyai sejumlah ketentuan yang berbeda. Kebenaran
ilmiah dalam paradigma ini tidak analitik maupun holistik, melainkan sinektik yaitu
memadukan pendapat yang berlawanan (tesis dan antitesis). Kebenaran dinyatakan
dalam bentuk interpretatik, yaitu penafsiran yang didasarkan pada keyakinan tertentu.
Pendekatan yang dilakukan tidak berupa deduktif atau induktif, melainkan sinkretik,
yaitu menggunakan berbagai pandangan dan praktek. Seorang pengacara dalam
membela kliennya, tidak hanya menafsirkan hukum dari aspek legal saja (secara
deduktif merinci pasal dalam perundangan), atau bertolak dari pengalaman saja
(secara induktif membangun kesimpulan dari kasus), melainkan berusaha
memasukkan aspek moral, sosial dan politik, hingga diharapkan dapat menjadi suatu
keputusan jurisprudensi tersendiri. Data dan informasi yang dikumpulkan tidak dari
latar laboratorik maupun empirik, melainkan dengan cara empatik yaitu data yang
diperoleh dengan membangun kepedulian dengan adanya getaran yang bermakna.
Kebenaran diperoleh melalui penafsiran yang tidak memihak, meskipun dilandasi oleh
prasangka dan adanya pengetahuan awal. Setiap pengacara akan bertolak dari azas
praduga tidak berrsalah sebagai suatu kebenaran. Dia berlindung dibalik azas ini tanpa
“kelihatan” memihak kepada klien yang dibelanya.. Kebenaran yang diusahakan
adalah kebenaran yang dapat diterima oleh mereka yang berkepentingan. Kebenaran
ini tidak bersifat bebas nilai.
Ke tiga paradigma penelitian untuk memperoleh kebenaran ilmiah tersebut
dapat dibandingkan dengan tabel berikut :
Semnas TP Yogyakarta/ym/22/0803 6
POSITIVISTIK FENOMENOLOGIK HERMENETIK
Analitik Holistik Sinektik
Nomotetik Ideografik Interpretatik
Deduktif Induktif Sinkretik
Laboratorik Empirik Empatik
Pembuktian dengan logika Pengukuhan pengalaman Penafsiran tak memihak
Kebenaran universal Kebenaran bersifat unik Kebenaran yang diterima
Bebas nilai Tidak bebas nilai Tidak bebas nilai
Tabir kebenaran pasca positivistik ini masih belum lengkap, karena akhir-akhir
ini telah berkembang perspektif ideologis baru, atau masih adanya tabir yang perlu
diungkap lagi. Perpektif ideologis baru itu meliputi paradigma pasca modernis
(postmodernism), paradigma kritis (critical paradigm), pendekatan feminis (feminist
approaches), dan pendekatan konstruktivis. Paradigma baru ini pada dasarnya
menganggap bahwa perkembangan ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat. Seperti halnya pada paradigma pasca
positivis, kebenaran dalam paradigma baru ini bersifat unik dan menekankan pada
manusia sebagai mahluk yang mampu membangun pengetahuan sendiri yang tidak
terlepas dari lingkungannya. Paradigma baru ini masih perlu dikaji dan dipelajari lebih
dalam lagi untuk dapat disajikan.
Kesimpulan
Teknologi pembelajaran hanya dapat diakui sebagai suatu disiplin keilmuan
apabila memberikan kemungkinan untuk dilakukannya berbagai macam penelitian
yang diselenggarakan dengan pendekatan yang bervariasi sesuai dengan
perkembangan paradigma penelitian. Hasil penelitian tersebut akan menunjang dan
memperkokoh teknologi pembelajaran sebagai suatu disiplin keilmuan yang tidak
bebas nilai.
Para calon teknolog pembelajaran hendaknya berusaha mencari kebenaran
ilmiah dengan tidak terpaku pada tabir positivis. Hendaknya pertimbangan rasionalis
tidak dijadikan satu-satunya pertimbangan dalam mencari kebenaran ilmiah, namun
Semnas TP Yogyakarta/ym/22/0803 7
juga digunakan pertimbangan idealis, realis, konstruktivis dan humanis. Sedangkan
para teknolog pembelajaran yang telah berkarya, hendaknya selalu bersikap terbuka
dan belajar terus mengikuti perkembangan mengenai hakekat ontologis teknologi
pembelajaran dan pendekatan epistemologisnya untuk mengungkap kebenaran.
Kepustakaan
Creswell, John W. Qualitative Inquiry and Research Design : choosing among the
five traditions. 1998. London : Sage Publications
Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln.(eds.). Handbook of Qualitative Research.
1994. London : Sage Publications
Eichelberger, Tony R. Disciplined Inquiry : understanding and doing educational
research. 1989. New York : Longman Inc.
Merriam, Sharan B. Qualitative Research and Case Study Applications in
Education. 1998. San Franscisco: Jossey-Bass Publishers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
al hamdu lillah